Wednesday, February 22, 2006

Universitas Zaituna

Barat dan Timur Bertemu di Zaituna


Aku diterpa angin kencang di depan kampus Zaituna, Tunis...

Pagi Ahad (19/2) ini saya merasa rileks. Pikiran tenang, badan pun terasa ringan. Pasalnya, saya baru saja menyelesaikan ujian akhir. Ujian tulis enam mata kuliah, digelar tiap pagi selama enam hari berturut-turut.

Ujian akhir pada program pascasarjana (S2) Universitas Zaituna sebenarnya ngga sulit-sulit amat. Asal kita memahami materi secara baik, mampu menuliskannya secara sistematik serta dukungan bahasa Arab yang memadai, Insya Allah mudah. Soalnya pun hanya satu, untuk setiap mata kuliah. Hanya saja, jawaban yang diminta tidak bisa asal tulis semua yang dihafal. Melainkan harus mengacu pada sistematika penulisan makalah ; diawali dengan latar belakang, perumusan masalah (isykaliyyat), hipotesa, penyajian data, analisa, serta pendapat pribadi dan kesimpulan. Jawaban berlembar-lembar dengan data yang lengkap tetapi cara penyajiannya tidak mengikuti metodologi ilmiah alias tidak runut, hanya akan membuahkan nilai nol besar.

Soal ujian yang hanya satu itu biasanya bersifat menantang, memaksa mahasiswa untuk menganalisa persoalan, mengaitkan materi yang dipelajari dengan realitas kekinian. Sebagai contoh, pokok bahasan mata kuliah Hadis adalah tentang kajian kaum orientalis terhadap hadis Nabi. Selama satu semester kuliah, kami mempelajari kiprah akademis kaum orientalis dalam ‘memperlakukan’ hadis Nabi. Baik itu yang ‘menguntungkan’ umat Islam –seperti upaya penerjemahan kitab-kitab hadis, penulisan kamus ensiklopedi hadis – ataupun yang ‘menyerang’ Islam seperti aneka kritik pedas mereka terhadap keotentikan hadis dan bahkan terhadap kesucian pribadi Rasulullah saw. Dalam ujian akhir, soal bikinan dosen tak hanya meminta mahasiswa untuk bertutur tentang data-data. Melainkan juga mempertanyakan sikap mahasiswa dalam menghadapi kaum orientalis itu. “Apakah anda setuju dengan sikap sebagian umat Islam yang apriori terhadap temuan ilmiah para orientalis?”, tulis dosen dalam lembaran soal ujian. Soal yang singkat, tetapi menuntut jawaban yang panjang dan analitik.

Dalam mata kuliah Ushul Fiqh, dosen meminta kami membuktikan kebenaran teori maslahat mursalah sebagai salah satu pendukung konsep keluwesan (al murunah) syariat Islam. Yakni syariat Islam yang syumul, tidak kaku (jumud), serta selalu dinamis dalam merespons setiap isu kekinian. Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini tak bisa to the point, langsung ke definisi maslahat mursalah, dasar hukum serta contoh-contoh aplikasinya dalam beristinbath. Melainkan harus diawali dengan muqaddimah singkat tentang konsep syariat Islam yang shalilah likulli zaman wa makan, berdasarkan ayat-ayat Alquran atau hadis, dengan wajhul istidlal yang benar. Lalu, dilanjutkan dengan penjelasan tentang posisi syariat Islam ketika berhadapan dengan wacana kontemporer yang maskut anhu, belum diatur secara jelas dalam syariat. Apakah langsung dihukumi bid’ah?! Ataukah ada solusi kreatif yang ditawarkan ?! Nah, dari pintu inilah, pembicaraan konsep maslahat mursalah bermula. Definisi, dasar kehujjahan, urgensi, pendapat para ulama klasik dan kontemporer, serta contoh aplikasinya dituturkan secara runut. Di bagian berikutnya, ada uraian khusus tentang sikap mahasiswa serta kesimpulan. Maka, enam halaman kertas polio pun hampir tak cukup untuk menampung semua jawaban ini.

Benar-benar ujian tulis yang tidak ringan. Serupa dengan proses penulisan makalah ilmiah biasa. Selain harus menguasai materi secara utuh, mahasiswa harus pandai memilah dan memilih, menentukan sudut pandang yang menarik untuk memulai tulisan. Ide-ide yang dihadirkan pada bagian akhir juga harus segar, tanpa kehilangan obyektifitas dan bobot ilmiah.

Metode ujian seperti ini memang telah menjadi sistem yang baku di seluruh universitas di Tunisia, baik pada program S1 ataupun S2. Konsep dasarnya tak sekedar al hifdzu wan naqlu, menghafal dan menyalin materi, melainkan juga al fahmu, memahami materi.

Bagi para mahasiswanya, gaya ujian seperti ini bukanlah hal yang baru. Sejak masa belajar di kelas, dosen sudah mengenalkan metode makalah dan diskusi dengan pola pikir analitik. Mahasiswa tak disuruh untuk melulu menghafal, melainkan juga menganalisa dan menulis. Materi yang disampaikan dalam satu semester juga tak begitu banyak, hanya empat hingga enam tema per mata kuliahnya. Jika tradisi menulis telah akrab dalam aktifitas harian sang mahasiswa, gaya ujian seperti ini akan terasa lebih mudah. Tradisi menulis khan akan membentuk pola pikir yang sistematis...!

Sistem SKS yang diterapkan juga memungkinkan mahasiswa untuk berkonsentrasi penuh pada materi-materi kuliah berbobot tinggi. Tentu tanpa mengabaikan materi lain. Seperti pada mata kuliah Ushul Fiqh yang berbobot 6 SKS, atau tiga kali lipat mata kuliah lain. Karena jika nilainya tinggi, ia bisa menutupi kekurangan nilai mata kuliah yang rendah.

Gaya belajar dan ujian seperti ini mirip dengan yang saya alami di IAIN dulu, juga dengan yang sering saya dengar dari penuturan beberapa kawan mahasiswa di Barat. Dan sistem ini, diadopsi oleh Tunis, atas pengaruh Perancis, negeri yang pernah menjajahnya dulu. Dalam banyak hal yang lainnya pun, nuansa Perancis memang sangat terasa di negeri ini. Mayoritas warga Tunisia mampu berkomunikasi dengan bahasa Perancis. Produk-produk dagang Perancis bertebaran, menyisihkan produk-produk Amerika. Di sini tidak ada KFC dan Mc Donald. Yang ada Baguette yang Perancis itu. Di bidang pendidikan, trend melanjutkan sekolah ke Paris sangat kuat di kalangan masyarakat Tunis. Empat dari sembilan dosen yang mengajar di kelas saya adalah alumni Perancis. Perpustakaan kampus juga dipadati buku-buku berbahasa Perancis.

Kiprah para alumni Barat (baca : Perancis) dalam modernisasi pendidikan Islam di Tunisia memang tak lepas dari bingkai umum modernisasi Islam di Tunisia yang gencar dikampanyekan oleh reformis Khairuddin Pasha dan Habib Bourgiba, sejak akhir abad 19 lalu. Keduanya sangat bersemangat dalam mengadopsi Barat sebagai model peradaban yang layak ditiru oleh Tunisia. (Tentang kiprah kedua reformis ini akan saya tuturkan dalam tulisan khusus nanti, insya Allah). Pada saat yang sama, nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas lembaga pendidikan Islam juga tetap terjaga. Maklum, Zaituna merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Afrika Utara pada abad 8 Masehi. Saat ini, sistem belajar qiraatul kutub serta mendiktekan materi, masih terus dilestarikan oleh sebagian dosen lain di kampus kami.


Menjelang ujian, aku mendadak so'rajin belajar, hehehe..

Itulah sekelumit cerita tentang gaya ujian kuliah di Universitas Zaituna, Tunis. Dalam beberapa hal, ada sedikit perbedaan dengan yang pernah saya alami di tanah air atau di Mesir dulu. Lain ladang, lain belalang, begitu kata orang. Istilah lainnya, banyak jalan menuju Roma. Meski caranya berbeda-beda, tujuannya tetap sama ; memperkaya diri dengan ilmu, sebagai sarana meraih ridha Allah. Subhanaka la ‘ilma lana, illa ma ‘allamtana.. Salam manis dari Tunis.

Tunis, 20 Februari 2006

Tuesday, February 07, 2006

Gila Bola

Fanatisme Bola, dari Mesir ke Tunisia
Belakangan ini, sepakbola kembali menjadi perhatian orang-orang di sekitarku. Piala Afrika 2006 yang digelar di Kairo adalah biangnya. Arena pertemuan dua tahunan bagi 16 tim terbaik Afrika. Dua tahun lalu, Tunis menjadi tuan rumah sekaligus menyabet juara.

Di tulisan ini, aku tak hendak bicara tentang Piala Afrika. Karena aku tidak mengikuti keseluruhan pertandingan itu secara serius. Aku hanya menonton beberapa pertandingan kebelasan Mesir dan kesebelasan Tunisia – yang kalah di perempat final lewat adu penalti yang menyakitkan dengan Nigeria. Aku hanya mau bertutur tentang fanatisme bola orang Arab, baik di Mesir ataupun Tunisia.

Orang Mesir dengan orang Tunis ternyata sama saja. Sama-sama penggila bola. Setiap kali Tunis main di Piala Afrika ini, jalanan selalu lengang, toko banyak tutup. Seorang kawan sempat gusar karena chating dengan kekasihnya batal, gara-gara warnet langganannya tutup. “Tukang warnetnya nonton bola” tuturnya, Jumat lalu, kala Tunis ketemu Nigeria itu.

Sebaliknya, kafe-kafe mendadak penuh. Kaum pria Tunis menonton bola rame-rame di kafe sambil menyeduh kopi dan mengisap rokok. Mirip dengan tradisi orang Mesir ; menonton bola di kafe (maqha) sembari mengisap syisya. Teriakan histeris atau suara gaduh mereka kal gol tercipta, kadang terdengar kemana-mana. Memecah kesunyian malam serta mengagetkan para pejalan kaki yang berlalu di dekatnya.

Arena Piala Afrika tahun ini bertepatan dengan Pameran Intenasional Buku Islam di Kairo. Seorang kawan di Kairo bercerita bahwa setiap kali kesebelasan Mesir main, stand-stand pameran banyak yang tutup sejak pukul 15, lebih cepat 5 jam dari jadwal seharusnya. “Semua orang pergi ke stadion”, keluh sang kawan. Hanya untuk menonton bola, para pedagang buku itu rela mengabaikan rezeki.

Bola memang bikin lupa segalanya. Bola melahirkan fanatisme yang kadang berlebihan. Sebagaimana trend umum yang terjadi di berbagai belahan dunia. Termasuk di tanah air. Seringkali kita dengar, setiap musim kompetisi Liga Indonesia di Senayan, ribuan supporter memadati ibukota, hingga kerap menimbulkan persoalan keamanan.

Di Mesir, cerita tentang supporter brutal sangat jarang terdengar. Tak seperti supporter Inggeris atau para bonek di tanah air itu. Di Mesir, fanatisme terhadap bola bahkan bisa menjadi berkah yang menguntungkan. Dukungan terhadap al Ahli atau Zamalek –dua kesebelasan terkemuka kota Kairo- kerap terasa hikmahnya dalam aktifitas sehari-hari. Di jalan-jalan, kantor, atau di mana saja, jangan heran kalau orang Mesir tiba-tiba bertanya, “anta ahlawi wal zamalkawi”? Kamu pendukung mana, Ahli atau Zamalek?

Pada saat itulah, kita –meskipun orang asing- harus bisa menjawab sesuai dengan keinginan si penanya. Jika kita mengaku ahlawi dan kebetulan dia juga seorang ahlawi, ia akan tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk punggung, atau bahkan memeluk kita. Jika ia seorang pedagang di sebuah toko, bisa jadi ia akan memberikan harga diskon kepada kita. Jika ia seorang pegawai kantor atau polisi tempat kita ada urusan, ia tak segan-segan akan membantu kita.

Sewaktu dalam perjalanan pulang dari Bukit Sinai ke Kairo pertengahan 2003 lalu, aku mampir ke kantor polisi di Mafariq Katrin, masih 400 km dari Kairo. Aku –bersama dua kawan- mengaku kehabisan uang dan minta bantuan polisi, menitipkanku ke mobil apapun, yang penting sampai ke Kairo. (Sebuah tradisi lama kala aku ABG,hehe... bepergian jauh tapi tak mau keluar duit. Sebagian orang Sunda menamai perilaku ini dengan istilah “papalidan”).

Komandan polisi menanyaiku macam-macam. Dari soal paspor, aktifitas di Mesir, tujuan perjalanan ke Sinai, hingga soal dukungan sepakbola itu. Tatapan matanya penuh curiga. “Ihna Ahlawiyyin ya Kapten”, tuturku berspekulasi. Kami semua pendukung Ahli. Raut muka sang komandan yang asalnya jengah berubah sumringah. Wawlohi?! Bigad?! Benarkah demikian?! Tanya pak komandan sembari menyalami kami erat. Seolah ketemu saudara yang lama berpisah. Beberapa stafnya ikut tersenyum dan berbicara ramah. Rupanya mereka juga pendukung al Ahli. Akhirnya, petang hingga sore itu kami bertiga jadi kawan ngobrol sang komandan, sambil menanti mobil lewat yang bersedia membawa kami secara gratisan. Teh (syay) dan aneka halawah, kue manis khas Mesir pun disuguhkan, mengisi perut kami yang keroncongan. Menjelang senja, sebuah bis wisata full AC yang dicegat oleh sang komandan, membawa kami hingga ke Kairo. Selama 5 jam perjalanan, aku tertidur lelap –bahkan mimpi indah-, berkah dukungan basa-basi terhadap al Ahli. Subhanallah.

Itu berkah dukungan terhadap kesebelasan yang sama. Sebaliknya, jika jawaban yang kita berikan tidak tepat -kesebelasan favouritnya berbeda dengan yang kita sebut, maka orang Mesir itu akan cemberut. Ia akan menunjukkan mimik muka kecewa.

Aku belum menemukan trend fanatisme seperti ini di Tunis. Mungkin karena aku belum banyak berinteraksi dengan orang Tunis. Tetapi dalam hal tradisi bermain bola, orang Tunis juga tak beda dengan orang Mesir. Setiap tempat yang agak luas, bisa disulap menjadi lapangan bola. Halaman rumah atau pelataran parkir beraspal pun bisa menjadi lapangan bola dadakan. Tak peduli kendaraan yang lalu lalang.

Lapangan bola di samping kediamanku sekarang, selalu diramaikan oleh anak-anak penggemar bola. “Musim panas nanti, lapangan itu lebih ramai lagi”, tutur seorang mahasiswa senior. Seperti yang sering kusaksikan di Mesir dulu. Selama musim panas, pertandingan bola menjadi aktifitas rutin, baik pagi, siang, malam hingga menjelang dini hari. Lapangan beraspal suq sayyarah, yang setiap Jumat berfungsi sebagai pasar mobil bekas, pada hari lainnya berubah fungsi menjadi lapangan bola.

Para pemainnya, tak pandang bulu. Anak-anak kecil, remaja hingga kakek-kakek bongkok. Tak punya bola, benda apapun jadi. Kaleng bekas minuman pun bisa dianggap seolah-olah bola. Ditendang sana-sini. Cuek saja. Toh pakaian pemainnya pun apa adanya. Tanpa kaos atau sepatu olah raga. Cukup dengan pakaian biasa, bahkan jubah yang biasa dipakai sembahyang.

Begitulah, sepakbola memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi juga di Asia, Afrika dan Tanah Arab yang notabene negara muslim. Karena pandai bermain bola, seseorang bisa mendadak terkenal lalu jadi jutawan. Karena hendak menonton bola, pedagang bisa lupa pembelinya. Karena fanatisme bola, yang sulit bisa berubah mudah, lawan bisa menjadi kawan, atau sebaliknya.

Berkaitan dengan fanatisme bola ini, aku teringat analisa seorang ustad yang kutemui di Jakarta tahun 2000. Bahwa sepakbola (football) telah dijadikan sebagai salah satu –dari paket 9F - media propaganda Yahudi yang dihembuskan ke dalam tubuh umat Islam. Tujuannya, untuk meracuni, merusak persaudaraan, menebar benih permusuhan atau menghancurkan umat Islam. Ke-9 F itu diantaranya adalah fashion, food, film, fun, dan football itu tadi. Lainnya aku lupa.

Analisa semacam itu – meski terkesan mengada-ngada, menurutku sah-sah saja dan layak kita renungkan sejenak. Sekedar untuk berhati-hati, demi kebaikan bersama. Siapa tahu memang benar adanya; ada pihak ketiga yang memancing di air keruh. Menunggangi sikap fanatisme bola di kalangan umat Islam ini, demi kepentingan sang penunggang. Bisa saja terjadi, khan?!

Aku tak merasa perlu untuk bertutur lebih jauh lagi –baik tentang bola, atau tentang analisa sang ustad ini. Beberapa saat lagi, semi final Piala Afrika –antara Mesir dan Senegal- akan segera digelar. Aku akan segera bersiap-siap, duduk santai depan televisi, ditemani rokok, nescafe hangat dan snack. Bersama kawan-kawan serumah, tentu. Karena kami tak mau kehilangan momen yang mahal ini.
Salam Manis dari Tunis

Tunis, 7 Februari 2006