Tuesday, April 25, 2006

Pesona Kairouan

Berziarah ke Kota Sejarah

Aku berdoa khusyu di depan makam sahabat Nabi, di Kairouan

Sejak lama aku rindu berziarah dan berdoa di depan makam sahabat atau keluarga Nabi, sebagaimana yang sering kulakukan dulu di Mesir. Maka, tatkala ada info studi tour ke kota Kairouan, aku segera mendaftarkan diri ke panitia.

Di kota yang berjarak 156 km selatan ibukota ini, terdapat makam Abu Zam’a Balawi, seorang sahabat Nabi. Menurut catatan sejarah, beliau adalah tukang cukur Baginda Rasulullah saw. Makamnya berada di sebuah ruangan dalam mesjid besar di kawasan al maghrib al arabi square, Kairouan. Orang Tunisia biasa menyebut mesjid ini dengan Zawia Sidi Sahabi.

Rabu (19/4) pukul 14.00, aku bersama rombongan mahasiswa tiba di depan mesjid itu. Sebelumnya, kami mengikuti acara diskusi ilmiah di Markaz ad Dirasat al Islamiyyah, sebuah lembaga penelitian di lingkungan Universitas Zaituna cabang Kairouan. Usai diskusi, kami makan siang di Rumah Makan Fakultas Pendidikan Universitas Kairouan.

Alangkah senangnya hatiku kala tiba di mesjid itu. Karena sejak acara diskusi berlangsung, aku sudah tak tenang, hampir tak sabar ingin segera berziarah. Acara-acara diskusi ilmiah seperti ini, mudah kujumpai di kota Tunis, begitu pikirku saat itu. Karena kota Tunis kaya dengan aktifitas ilmiah. Akan tetapi, kota Tunis miskin spiritualitas. Maksudku, simbol-simbol formal dan ritual keagamaan tak bebas bergerak. Aliran-aliran tarekat sufi pun terpuruk. Semuanya tergeser oleh kuatnya arus modernisasi dan kepentingan politik yang alergi dengan segala hal yang beraroma Islam.

Di depan mesjid, ada pelataran seluas 200an meter persegi. Luas mesjidnya sendiri kira-kira 3000 meter persegi. Dinding depan setinggi 3 meter, memanjang sekitar 60an meter. Warna temboknya coklat usang. Dekat pintu masuk, ada tulisan dinding berbahasa Arab, berisi biografi singkat sang sahabat. Baris demi baris kubaca. Abu Zam’a Balawi ternyata seorang sahabat yang pernah menemani Nabi dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sepeninggal Nabi, Abu Zam’a ikut rombongan pasukan Amr bin Ash yang menaklukkan Mesir. Setelah Mesir berada dalam kekuasaan Islam, Abu Zam’a hijrah ke Kairouan. Di sana ia menyebarkan Islam hingga akhir hayatnya pada tahun 34 H. Atau satu tahun sebelum khalifah Usman bin Affan ra terbunuh.

Abu Zam’a adalah seorang tukang cukur Rasulullah. Karena kecintaannya kepada Rasulullah, diam-diam ia menyimpan sebagian rambut Rasulullah. Rambut itu ia bawa kemana pun pergi, hingga ke Kairouan sekalipun. Tatkala membaca informasi ini, aku merasakan keharuan yang teramat sangat. Semangat cintanya kepada Rasul, pantas kuteladani.

Ruangan makam terletak di pojok belakang kiri mesjid. Dari gerbang utama, peziarah harus melewati pelataran dalam serta beberapa ruangan kecil. Di pintu makam, seorang lelaki gendut duduk di kursi. Tangannya mengusap punggung setiap peziarah yang lewat. Rupanya, tangannya itu telah dilumuri minyak wangi. Baik juga ini orang, pikirku.

Hampir seluruh dinding dalam mesjid ini dihiasi kaligrafi dan ukiran khas al maghrib al arabi. Sebuah motif ukiran yang artistik, dengan dominasi warna biru, sisa peninggalan kejayaan peradaban Islam Andalusia. Sedangkan bentuk makamnya sama dengan makam-makam para ahlu bait Nabi yang kujumpai di Mesir. Dikelilingi pagar kayu serta kain berhias kaligrafi yang diselimutkan pada pusaranya.

Di ruangan ini, dalam hening, aku merasakan kenikmatan berdoa. Bermunajat kepada Yang Kuasa. Aku membayangkan, bagaimana sahabat Abu Zam’a memegang, membelai dan –mungkin- menciumi kepala Baginda Rasulullah yang mulia. Kala ia hendak mencukur rambutnya. Aku teringat kisah yang kubaca tadi di luar, bagaimana kecintaan Abu Zam’a kepada Nabi, hingga ia menyimpan dan membawa rambut Nabi kemana pun ia pergi, bahkan hingga ke Kairouan ini. Dalam khusyu dan syahdu, bibirku bergetar menggumamkan doa, “Wahai Allah, karuniakanlah kepada kami, kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada Rasul-Mu, juga kecintaan orang-orang yang mencintai-Mu..”
Makam Abu Zam’a hanyalah salah satu lokasi wisata ziarah di kota Kairouan. Selainnya, ada mesjid Uqbah bin Nafi, yang didirikan tahun 55 H. Uqbah juga seorang sahabat Nabi yang tiba di Kairouan pada tahun 50 H. Pada masa Uqbah, Kairouan dijadikan sebagai kota pusat penyebaran Islam di kawasan barat dan utara Afrika. Kegiatan dakwah dan pengajaran ilmu-ilmu keislaman dipusatkan di sini. Ekspansi Thareq bin Ziyad dalam merebut kawasan Afrika Barat dan Andalusia (Spanyol) pun bermula dari Kairouan.

Di era modern ini, Kairouan dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan dan obyek wisata ziarah utama di Tunisia. Dibandingkan kota-kota lain di Tunisia, Kairouan dinilai sebagai kota yang masih lekat dengan tradisi Islam. Jauh berbeda dengan kota lain seperti Tunis, Sfax atau Sousse, yang nyaris kering dari sentuhan tradisi dan kehangatan spritual. Saat ini, sejumlah madrasah tahfidz al quran dan pengajian kitab secara talaqqi ala pesantren, masih dapat kita jumpai di Kairouan. Tradisi penyambutan hari-hari besar keagamaan pun masih sempat dilakukan masyarakatnya.


Salah satu ruangan dalam Zawia Sidi Sahabi yang disucikan

Dari kota Tunis, Kairouan dapat ditempuh selama 2 jam perjalanan. Jalan rayanya mulus, menembus hijaunya perkebunan zaitun dan sesekali perkampungan penduduk. Setengah jam pertama dari kota Tunis, kita akan melewati Hamamet, kawasan wisata pantai dengan hotel-hotel mewahnya yang berderet. Di sela-sela rindang pepohonan dan padang golf yang menghampar. Memasuki kota Kairouan, ada tugu selamat datang, berupa tembok besar bergambar ukiran permadani bercorak warna-warni.

Permadani memang telah menjadi trademark-nya Kairouan. Adalah tapis, permadani cantik khas Kairouan, biasa jadi oleh-oleh para turis asing yang melancong ke kota sejarah ini. Hanya saja, harganya cukup mahal, bisa mencapai ribuan dolar. Tetapi, bagi Anda yang berdompet tipis, tak usah berkecil hati. Ada makroud, kue manis wajit kurma khas Kairouan yang manisnya minta ampun itu. Cukup 2 Dinar per kilo, atau sekitar 15 ribu rupiah.

Beberapa saat sebelum kembali ke Tunis, rombongan kami juga mampir ke pertokoan khusus penyedia makroud. Kusisihkan dinar untuk membeli beberapa kilo makroud, sekedar kenang-kenangan buat kawan serumah. Biarlah kawan-kawan ikut merasakan makroud. Meski manisnya makroud tak semanis kenangan ziarahku kali ini, ke makam sahabat yang amat mencintai Rasulullah, di Kairouan kota sejarah. Salam Manis dari Tunis.

Selasa 25 April 2006

Friday, April 21, 2006

Apa Salah Jilbab

Mawar Ingin Keluar Sangkar


Sempat-sempatnya aku menengok ke arah fotografer pada sebuah acara diskusi di Tunis

Siang itu, suasana ruang baca perpustakaan utama Universitas Zaituna agak lengang. Maklum, jam aktif kuliah. Hanya belasan mahasiswa yang nampak duduk melingkari meja-meja baca yang berderet rapi. Beberapa orang diantara mereka asyik berbincang pelan.

“Aku sudah merasa tak sanggup lagi tinggal di negeri ini”, tutur seorang mahasiswi berjilbab lebar yang duduk di kursi pojokan ruangan. Kepalanya menunduk, pura-pura baca buku.

Seorang lelaki muda berkacamata yang duduk di dekatnya tertegun heran. “Kenapa ukhti tak lagi betah tinggal di negeri sendiri ?! Negeri tempat ukhti dilahirkan dan dibesarkan...?!”, tanya si lelaki yang sejak tadi jadi lawan bicaranya itu. Aneh rasanya, pikir lelaki itu, seseorang bisa benci tanah airnya sendiri. Tidak tahukah ia akan peribahasa ‘lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang?’

“Dewa, kamu mungkin tidak tahu betapa beban bathin yang aku rasakan. Juga yang dirasakan oleh semua wanita sekeyakinan denganku di negeri ini. Imbas dari konsistensi kami memegang teguh apa yang kami yakini sebagai perintah Tuhan”.

Spontan lelaki yang dipanggil Dewa itu mengernyitkan dahinya. Buku yang dipegangnya disimpan di meja. Dan wajah gadis beralis tebal itu ditatapnya. Konsistensi?! Perintah Tuhan ?! Oh, my God. Tentu yang dimaksud oleh si gadis ini adalah jilbab. Ya, jilbab. Persoalan inilah yang selama ini kerap jadi beban berat kaum muslimah berjilbab di Tunisia.

Dewa masih melongo kala sang gadis itu melanjutkan bicaranya. “Pilihan kami untuk berjilbab, harus ditebus dengan ongkos idealisme, dilema dan perjuangan berat. Kami kerap mendapat perlakuan diskriminatif dalam banyak hal urusan. Aku sendiri, sering mendapat kesulitan akademik di kampus lamaku, Universitas Al Manar. Dalam setiap urusan aku selalu mendapat giliran akhir, disindir dosen di kelas, susah dapat nilai bagus, serta jarang dapat prioritas dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Hingga kini terpaksa aku pindah ke kampus ini, berharap orang-orangnya lebih mengerti”.

Dewa semakin terperangah dibuatnya. Hatinya juga bertanya-tanya, kenapa siang ini tiba-tiba gadis pendiam itu mau bicara urusan pribadinya. Dewa tak mau melewatkan kesempatan langka ini. Aku harus bertanya sebanyak-banyaknya, mumpung ia mau bicara, pikirnya. “Mawar, dengarkan baik-baik. Itu Najwa dan Warda, kawan sekelas kita yang juga berhijab. Tapi mereka nampak enjoy-enjoy saja dengan hijabnya. Kenapa ukhti seperti yang resah?!”

Gadis cantik yang ternyata bernama Mawar itu tersenyum kecut. “Coba akhi perhatikan bagaimana gaya mereka memakai jilbab. Apakah sama dengan jilbab yang aku pakai?! Coba juga akhi lihat bagaimana pergaulan mereka sehari-hari di kampus..”, tuturnya seraya mengubah posisi duduknya. Menghadap jendela. Tatapannya kosong menerawang, mengamati pelataran luas di balik kaca.

Dewa termenung. Di kelasku, hanya tiga mahasiswi yang berjilbab, pikirnya. Najwa, Warda dan Mawar. Najwa berjilbab, tetapi kok rambutnya tetap kelihatan. Jilbabnya juga asal tempel. Warda juga pake kerudung, tetapi kok busananya selalu modis dan serba ketat. Jika didekatnya, aroma parfum tercium semerbak. Salma, gadis di kelas lain juga berhijab, tetapi ia biasa salaman sama lelaki. Malah beberapa kali Dewa lihat Salma sun pipi kiri-kanan sama kawan-kawan mahasiswa. Hanya Mawar yang jilbabnya rapi serta tidak suka salaman dengan kaum lelaki. Tetapi, ya itu tadi. Mawar selama ini cenderung tertutup dari pergaulan sesama kawan kampus. Hingga kawan-kawan lain pun agak sungkan.

”Kamu lihat tuh suasana sekeliling kita sekarang. Apakah kamu yakin bahwa mereka di sini sedang membaca buku?!”, ujar Mawar lagi. Tanpa menoleh ke Dewa yang masih duduk tertegun.

Dewa mengangguk-angguk. Tanpa melirik pun ia sudah tahu perilaku sebagian orang di tempat ini. Tak semua mahasiswa yang datang ke ruang baca ini untuk belajar. Banyak juga yang datang untuk cari tempat, sekedar berduaan, berbicara mesra dengan pasangannya.

“Jadi..ukhti sudah tak betah dengan suasana kehidupan di negeri ini ?! ” akhirnya Dewa menebak-nebak.

Spontan Mawar menganggukkan kepalanya. Bola matanya yang bundar melirik ke arah Dewa duduk. “Aku bukan sok suci atau sok alim, ya akhi Dewa. Tetapi aku sangat merasa bahwa apa yang terjadi di sekitarku saat ini, sangat jauh dari apa yang kufahami dari konsep pergaulan Islami. Banyak kawanku yang berjilbab karena formalitas. Perilakunya tetap yukhalifus syara ”.

“Pertemuan kita siang sekarang juga yukhalifus syara, ya ukhti. Saya bukan mahram ukhti...!” Dewa iseng memancing komentar. Membuat Mawar tertegun sesaat. Hingga kemudian ia kembali duduk di kursinya seperti tadi.

“Benar, Dewa. Hatiku juga berkata begitu. Tetapi kita khan tidak berdua. Banyak orang lain di ruangan ini. Lagipula aku percaya kepadamu. Kamu mahasiswa muslim yang baik. Kamu suka shalat, khan?! Aku jujur kepadamu, Dewa. Selama ini aku tidak pernah berbicara dengan kawan-kawan mahasiswa senegeri. Kecuali untuk urusan akademis yang sangat-sangat penting”.

Dewa tersenyum. “Ah, kamu jangan begitu Mawar. Bahwa kamu punya idealisme, itu hak kamu. Tetapi membatasi pergaulan, itu takkan selalu menguntungkanmu”, kata Dewa lagi. Gayanya sama dengan tadi, mencoba memancing-mancing reaksi.

“Tidak, Dewa. Insya Allah apa yang kulakukan adalah yang terbaik. Sesuai koridor syariah yang aku yakini”.

“Terus, jika ukhti sudah tak betah di sini, emangnya mau kemana?!” Dewa bertanya mendesak, seraya membuka-buka buku yang tadi ia baca. Padahal pura-pura saja.

“Aku berharap mendapat suami saleh yang bisa membawaku pergi dari negeri ini. Terserah kemanapun. Yang penting di negara muslim, dimana agama bebas berekspresi. Cukup orang tuaku yang menderita. Ayahku hingga saat ini harus lapor diri setiap seminggu sekali ke kantor polisi”, tutur Mawar lirih. Kepalanya terunduk lesu.

“Lha, emang kenapa?! Ada apa dengan ayahmu?! Apakah ia terlibat masalah besar?!” Lagi-lagi Dewa terkaget-kaget. Bukunya ia tutup lagi.

“Bukan, bukan itu. Ayahku hanya seorang pebisnis biasa. Tetapi, ia diawasi pemerintah karena ayah berjenggot lebat. Beliau meyakini itu adalah sunnah Nabi. Tetapi di negeri ini, lelaki berjenggot lebat kurang disukai oleh penguasa”.

Dewa semakin terperanjat. Tak sadar, tangan kanannya memegang dagunya yang juga berjenggot. Jenggot tipis, ikut-ikutan trend penyanyi favoritnya dulu. Haruskah kucukur?! Mawar tersenyum dibuatnya. “Tak apa, kamu orang asing dan bukan orang Arab. Asal kamu tak melakukan kriminalitas, insya Allah akan aman”, kata Mawar berkomentar.

“Bagaimana jika ternyata lelaki yang ukhti angankan itu tak kunjung datang?! Jika nanti ukhti mendapat suami yang cocok, lalu ukhti dibawa pergi ke luar negeri, bagaimana dengan orang tua ukhti?!” beruntun Dewa bertanya.

“Dewa, aku yakin, Allah menyiapkan lelaki yang baik bagiku. Saatnya nanti akan tiba. Tetapi jika sampai lulus sekolah aku belum ada yang meminang, mungkin aku aku akan ikut kakakku yang tinggal di Syria. Tentang orang tua, aku tidak khawatir. Karena jika sudah menikah, suamilah yang harus jadi prioritas pengabdianku”, tutur Mawar penuh percaya diri.

Dewa berdecak kagum. Kagum plus haru. Ternyata, di negeri ini masih ada gadis muda berjilbab yang punya prinsip seperti Mawar. Terbayang oleh Dewa, betapa berat perjuangan seorang muslimah di negeri ini yang memegang teguh ajaran agamanya.

Dewa teringat sebuah hadis Nabi yang ia dengar dari seeorang khatib Jumat dulu bahwa pada mulanya Islam itu datang dan dianggap aneh. “Suatu hari nanti”, kata Nabi, “Islam akan kembali dianggap aneh. Dan berbahagialah orang-orang yang dianggap aneh”. Demikian bunyi hadis itu. Dewa berfikir, bisa jadi salah satu indikasi keanehan ini telah terjadi di Tunisia. Wanita muslimah berjilbab rapi dianggap asing oleh lingkungannya.

Dan Mawar, adalah satu diantara sedikit gadis Tunis yang dianggap aneh itu. Berjilbab lebar tak asal tempel, serta mampu menjaga iffah dan kehormatan diri sebagai muslimah yang istiqamah. “Jilbab yang bermode begini yang aku yakini sebagai libas syar’i”, tutur Mawar, beberapa waktu lalu.

Dewa masih termenung, seperti halnya Mawar yang juga terdiam membisu. Tiba-tiba adzan dzuhur terdengar berkumandang dari mesjid dekat kampus. Mawar pun pamitan. Mungkin hendak ke mesjid, pikir Dewa.

Tinggallah Dewa sendiri, duduk menghadap kaca jendela seraya menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia melemparkan pandangannya ke luar sana, pelataran kampus yang dipadati para mahasiswa usai kuliah. Mahasiswa-mahasiswi yang berbaju trendi, dalam canda tawa manja dan mesra.

Perlahan Dewa beranjak dari duduknya. Lalu berjalan gontai keluar dari perpustakaan. Pikirannya menerawang ke masa 2002 hingga awal 2005, kala pemerintah Tunisia sangat sangat ketat mengawasi aktifitas umat Islam, termasuk dalam hal jilbab. Ia ingat betul bagaimana setiap pagi para mahasiswi berjilbab ditanya ini itu oleh satpam kampus, bahkan pernah ada yang disuruh mengubah gaya jilbabnya biar agak modis. Tetapi, dalam setahun terakhir ini, perubahan mulai terasa secara perlahan. Pemerintah mulai bersikap longgar. Pemakai jilbab pun bertambah sedikit demi sedikit. Maka Dewa pun ingat Mawar, dengan segala kegelisahan yang dituturkannya. Dewa berfikir menebak-nebak, terlalu subyektifkah Mawar?!

Dewa juga ingat negerinya nun jauh di sana. Bagaimana nasib kaum muslimahnya?! Apakah mereka bebas berekspresi dengan jilbabnya?! Andai suatu saat terjadi, kepentingan politik yang rendah membatasi ruang gerak muslimah yang berhijab, akan adakah figur-figur yang istiqamah seperti Mawar?!

Dewa terus melenggang, tak mempedulikan sapaan beberapa kawan yang berpapasan. Hatinya mendendangkan syair lagu kasidah yang sering ia dengarkan dulu. Jilbab-jilbab putih, lambang kesucian, lembut hati penuh kasih teguh pendirian..di balik jilbabmu, ada jiwa yang takwa...

Tunis, Hari Kartini 2006

Tuesday, April 11, 2006

Buku dan Ideologi

Buku Qardhawi Susah Dicari


Aku berpose, pura-pura baca buku di Perpustakaan KBRI Tunis

Lebih setengah jam aku duduk memelototi monitor komputer katalog buku di perpustakaan kampus Universitas Zaytuna. Tetapi, buku Fiqh az Zakat karya Yusuf Qardhawi yang kucari tetap tak ada. Kutub bita’ Qardhawi ma fammasy huni’, tutur seorang pegawai yang kutanya. Buku-buku Qardhawi ga ada di sini. Kenapa Om ?! tanyaku penasaran. Mamnu’, kata si pegawai sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Seorang kawan senior bercerita bahwa sejak tahun 1996, pemerintah Tunisia mencekal semua karya Qardhawi. Juga buku-buku karya Hassan al Banna, Said Ramadhan al Buti dan beberapa tokoh lain. “Pokoknya buku-buku karya tokoh Islam gerakan yang berhaluan kanan”, tutur sang kawan.
Batinku kemudian berfikir, ternyata trend pelarangan pemikiran manusia terjadi di berbagai tempat di muka bumi ini. Kepentingan politik yang rendah, biasanya berada di belakang aksi pelarangan ini.
Di Kairo, aku melihat buku Qardhawi berserakan di mana-mana. Di maktabah Dar as Shuruk, toko buku terkemuka di Tahrir pusat kota, buku-buku Qardhawi memadati etelase terdepan. Bahkan ada Maktabah Wahbah, sebuah penerbit Mesir yang getol menerbitkan buku Qardhawi. Sedangkan di Tunis, koleksi buku Qardhawi hanya dimiliki oleh perpustakaan kedutaan besar Saudi Arabia. Alhamdulillah, buku Fiqhuz Zakat itu bisa kubaca juga di sana.
Aku semakin meyakini bahwa warna pemikiran yang berkembang di suatu tempat, sangat terkait dengan selera dan kepentingan penguasa setempat. Tunisia alergi dengan pemikiran-pemikiran Islam gerakan (harakah) yang dinilai berhaluan kanan. Barangkali Qardhawi dikategorikan dalam kelompok ini. Karena keterlibatannya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi sekaligus partai oposisi Mesir yang kritis terhadap pemerintah. Menurut cerita yang kudengar, selain buku Fiqhuz Zakat, semua buku Qardhawi dinilai ‘tidak ilmiah’ oleh pemerintah Tunisia. Tentu penilaian ini sangat subyektif dan sarat kepentingan.
Di bandara Tunis, sesekali ada pemeriksaan isi koper. Buku-buku yang dicurigai tak segan-segan akan diambil sementara. Beberapa hari kemudian, kementrian luar negeri Tunisia akan memberikan informasi kepada pemiliknya. Apakah buku itu bisa diambil lagi ataukah tidak. Hal yang sama juga diterapkan oleh pemerintah Saudi Arabia di bandara-bandara internasionalnya. Sewaktu aku berhaji tahun 2003, isi tasku dibuka. Kebetulan ada sebuah buku panduan haji dan umroh berbahasa Indonesia karya Iwan Gayo itu. "Buku apa ini ?!" tanya petugas. "Ini buku pedoman haji", jawabku seadanya. Kebetulan ia percaya lalu membiarkanku pergi.
Di Tunisia, buku-buku Qardhawi susah dicari. Tetapi, buku-buku keislaman kontemporer kekiri-kirian malah beredar luas. Suatu fenomena yang berbanding terbalik dengan Mesir ; buku-buku kiri yang kontraversial sering dilarang pemerintah. Pemikiran-pemikiran modern Hassan Hanafi dan Nawal Sa’dawi misalnya, malah mendapat apresiasi lebih baik dari kalangan akademis di luar Mesir. Di Kairo, buku-bukunya agak susah didapat. Tahun 2002, sewaktu aku membeli buku Haqiqatul Hijab-nya Said Ashmawi yang kontraversial itu, sang pedagang yang orang Mesir menyeringai. “Buku ini tidak bagus”, katanya. Kalo tidak bagus, kenapa kamu mau jual?! Tanyaku. Ia hanya mencibir. Pikirku, idealismenya kalah oleh kepentingan bisnis yang praktis, hehe..Trend pelarangan buku seperti ini, sebenarnya tak lepas dari bingkai umum pengekangan kebebasan berfikir. Dalam sejarah Islam, ini bukanlah hal baru. Tetapi telah terjadi sejak abad permulaan Islam. Sebut saja misalnya kasus hukum mati atas al Hallaj atau vonis murtad bagi Ibnu Arabi karena memiliki gagasan wahdatul wujud. Di tanah air, kita teringat kisah Syeh Siti Jenar yang memiliki konsep manunggaling kawula lan gusti. Tuhan bisa bersemayam dalam diri manusia yang telah mencapai derajat spiritual tertentu.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pertautan agama dengan politik selalu menimbulkan ketegangan-ketegangan, pertumpahan darah, atau –setidaknya - pengucilan terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan. Seperti yang selama ini terjadi di banyak negara, termasuk Mesir dan Tunisia. Ini terutama disebabkan oleh arogansi kekuasaan, yang memandang perbedaan sebagai ancaman, yang mencurigai ijtihad dan penafsiran-penafsiran baru sebegai terowongan bawah tanah yang akan menjadi sarang pembangkang, lalu mengibarkan bendera pemberontakan. Padahal sebenarnya perbedaan adalah buah dari kemerdekaan. Inilah salah satu imbas yang tidak enak dari politik. Kekuasaan yang dominan –setelah mengganyang perbedaan – tidak hanya melahirkan penyeragaman, melainkan juga penyempalan dan perlawanan, dari mereka yang terpinggirkan.
Ketika kebebasan berfikir dikekang dan buku-buku dilarang, maka imbas negatifnya dirasakan oleh banyak orang, termasuk kaum muda yang masih dalam tahap belajar seperti aku. Cari buku Qardhawi saja susah…Salam Manis dari Tunis.
Senin 10 April 2006

Saturday, April 01, 2006

Maulid di Tunis

Bubur Assida untuk Rasulullah
…anta syamsun anta badrun
anta nurun fauqa nuri
anta iksirun wa ghali
anta misbahus suduri........

Bagi muslim Tunisia, kelahiran Nabi Muhammad saw tak hanya diperingati dengan upacara keagamaan biasa serta pembacaan sirah nabawiyah, syair al Barzanzi atau Dibai seperti dalam syair di atas. Tetapi juga dimeriahkan dengan adanya assida, bubur manis dan lezat khas Tunis yang hanya diproduksi pada bulan Mulud.

Sejak penghujung bulan Safar, tanda-tanda perayaan maulid sudah nampak. Assida pun mulai mengisi pojok-pojok toko dan super market. Asida adalah bubur berwarna hitam dilapisir krem dan ditaburi berbagai jenis kacang-kacangan, seperti noisette, amande dan lain-lain. Bahannya utamanya adalah zagugu – sejenis tepung gandum khas Arab - gula pasir dan air. Untuk lapisan kremnya ada susu, kuning telur, vanili dan maizena.

Di kafe-kafe gaul kota Tunis, assida juga tersedia. Jadi teman minum kopi sambil duduk santai di tengah eksotisme kota. Di kafe-kafe, satu mangkok kecil assida biasa dijual seharga 1,5 Dinar atau sekitar 12 ribu rupiah. Kadang ada yang lebih mahal. Bagi yang hendak bikin sendiri di rumah, biji zagugu dan kacang-kacangan itu juga tersedia di toko-toko.

Seorang kawan senior bertutur bahwa setiap tanggal 12 Mulud, ibu-ibu rumah tangga muslim Tunisia biasa membuat bubur assida. Ibu kos pun biasa menghadiahkan sepiring besar assida bagi kami, para mahasiswa Indonesia.

Adanya assida pada peringatan maulid Nabi di Tunisia semakin menegaskan adanya keterkaitan antara jenis makanan tertentu dengan tradisi keagamaan tertentu dalam Islam. Saat di Mesir, saya melihat peringatan 10 Muharram (Asyura) di Mesjid Husein, biasa diramaikan oleh adanya para pedagang asongan penjual kacang Arab. Sejenis kacang yang biasa ditanam oleh para petani di kawasan selatan Mesir. Jualan ini menjadi laris manis, dibeli ribuan umat Islam yang datang dari berbagai pelosok Mesir. Dua-tiga hari setelah Asyura, kacang sejenis itu sulit didapat di pasar.

Tradisi makan kacang Arab di hari Asyura seperti yang dilakukan umat Islam Mesir itu rupanya memiliki dasar historis yang dalam. Saat rombongan keluarga Imam Husen terkepung pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala -pada tahun 680 M - mereka kehabisan bekal makanan. Satu-satunya makanan yang sempat mereka konsumsi adalah kacang Arab ini. Maka tak heran, jika belakangan tradisi makan kacang Arab di hari Asyura bisa difahami sebagai bentuk solidaritas dan simpati atas perjuangan Imam Husein ra.

Saya pun teringat kenangan silam di Indonesia. Kyai kampung saya biasa membagi-bagi bubur putih tanpa gula pada hari 10 Muharram. Bubur itu dinamakan bubur asyura. Sayang sekali, saat itu saya tidak banyak bertanya mengapa harus ada bubur putih yang tak manis. Saat ini, saya hanya mencoba husnudhan bahwa tentu itu tak sembarangan bubur, melainkan memiliki nilai religius yang dalam.

Kadang saya tidak memahami apa keterkaitan jenis makanan atau kebiasaan tertentu, dengan momen keagamaan yang sedang diperingati. Seperti maulid di Mesir yang diramaikan dengan aneka halawa, kue khas Mesir yang manisnya minta ampun itu. Juga ada boneka-boneka hias yang tiba-tiba memenuhi etelase toko-toko Mesir menjelang bulan Mulud. Toko-toko penjual boneka dan halawa itu dihias dengan umbul-umbul dan lampu warna-warni.

Bisa jadi, boneka-boneka itu sekedar simbol tradisi lokal dalam menyambut momen keagamaan. Seperti halnya ketupat yang diidentikan dengan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia, roti buaya dalam prosesi pernikahan adat Betawi dan bakakak hayam dalam pernikahan adat Sunda.

Di sebagian daerah di tanah air, berbuka puasa Ramadhan seolah kurang afdlal jika tanpa kurma. Sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw. Di sebagian daerah Jawa Barat, hidangan kolak seolah jadi trend makanan berbuka. Bahkan ada kolak tertentu yang hanya dibuat pada bulan Ramadhan. Seperti kolang kaling (caruluk dalam bahasa Sunda) yang biasanya hanya dijual orang-orang pada bulan Ramadhan.


Aku berjalan menelusuri alun-alun kota Tunis, usai menikmati Assida...

Selain mengkonsumsi assida, umat Islam Tunisia juga biasa mengkhitan puteranya pada bulan Mulud. Barangkali untuk berharap berkah yang lebih. Acara khitanan massal pun digelar di banyak tempat.

Sedangkan acara puncak peringatan maulid tingkat nasional biasa dilaksanakan di mesjid Uqba bin Nafi, Kairouan, kota propinsi 156 km selatan ibukota. Dihadiri oleh presiden, para pejabat negara dan duta besar negara sahabat. Kairouan jadi pilihan karena nilai sejarah yang dimilikinya. Kairouan adalah kota yang dibangun oleh sahabat Nabi Uqbah bin Nafi pada tahun 50 H, sebagai pusat penyebaran Islam di bagian barat jazirah Arab. Mesjid Uqbah yang dibangun pada tahun 55 H masih berdiri tegar hingga kini.

Di kota ini juga, terdapat Makroud, makanan khas serupa dodol kurma. Seperti halnya assida, makroud juga banyak beredar pada bulan Mulud. Menikmati assida dan makroud pada bulan Mulud, diyakini orang Tunisia akan melengkapi ekspresi kecintaan kepada Rasulullah. Subhanallah. Salam Manis dari Tunis.

Sabtu 1 April 2006