Tuesday, June 23, 2009

Pesantren Mesir

Demam Mesir di Pesantren




Belakangan ini, sekelompok santri di pesantrenku meminta diajari bahasa Arab Mesir. Macam-macam alasan dan motivasi mereka. ”Saya mau belajar ke Kairo!”, tutur Uum, seorang siswi kelas 2 Aliyah. ”Bahasanya unik!”, kata Ahmad, santri kelas 3 Tsanawiyah. ”Bahasanya romantis..!”, tutur yang lainnya, sok tau.

Aku pun segera berdiskusi dengan isteri - yang juga alumni S1 Al Azhar Mesir – selaku Ketua Biro Pengajaran di pesantren. Perlukah kita mengajarkan bahasa Amiyah Mesir kepada para santri? Tidakkah itu terlalu dini? Bukankah selayaknya mereka fasih bahasa Arab Fushah (resmi) dulu sebelum belajar Amiyah (prokem)?

Sebagai pesantren yang menggunakan kurikulum terpadu, pesantren kami memang menggalakkan program bahasa asing, terutama Inggris dan Arab, kepada para santri. Kedua bahasa ini digunakan dalam komunikasi harian serta dalam kegiatan formal seperti upacara bendera, kegiatan belajar mengajar, kegiatan OSIS dan acara-acara keagamaan. Seminggu dua kali, para santri belajar pidato berbahasa Arab dan Inggeris. Setiap tahun ada kontes Raja dan Ratu Bahasa. Belum lagi setumpuk program kebahasaan lain, semisal English Club, Musabaqah Lughawiyah, dan lain-lain. Di tingkat Aliyah, program studi yang kami buka juga program bahasa. Bahasa Arab menjadi salah satu materi Ujian Nasional.

Aku sempat berfikir, jika mereka belajar bahasa Amiyah padahal Arab Fushah saja belum bisa, laksana orang yang belum bisa berjalan, sudah ingin belajar berlari.

Aku terus berdiskusi dengan isteri, hingga akhirnya kami sepakat untuk mengajarkan bahasa Amiyah Mesir kepada para santri yang menginginkannya. Syaratnya, mereka telah memiliki dasar-dasar bahasa Fushah dengan baik. Sejak awal 2009, program ini berjalan. Alhasil, ungkapan-ungkapan ringan seperti ’Izayyak?’, ’Amil Eh?’, ’Ana Kuwais/Kuwaisah’, kini sering terdengar dituturkan para santri dalam aktifitas harian.

Favorit Santri
Demam Mesir rupanya telah melanda pesantrenku. Sejumlah santri bersemangat mempelajari bahasa Amiyah. Beberapa lainnya rajin bertanya tentang Mesir dalam setiap pelajaran kelas atau pengajian kitab yang kuasuh. ”Ustad, memang gadis Mesir selalu pake cadar?”, tanya Ridho, seorang siswa cerdas di tingkat Tsanawiyah. ”Benar di sana ada bakso atau sate?”, ”Ustad pernah mandi di Sungai Nil?”, tanya santri lainnya. Dan seterusnya.

Di perpustakaan pondok, buku-buku tentang Mesir menjadi bacaan favorit santri. Novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Ketika Cinta Bertasbih (KCB) jadi rebutan. Sewaktu film AAC diputar di Aula, hampir seluruh santri ikut nonton. Menjelang akhir tahun ajaran baru ini, para santri Aliyah banyak bertanya tentang cara belajar dan mendapatkan beasiswa di Mesir.

Dalam acara Musabaqah Fanniyah (Kompetesi Seni) beberapa waktu lalu, sekelompok santri menampilkan teater bertema kepahlawanan. Teater berbahasa Arab itu durasinya hanya 20 menit. Tetapi yang menarik, para aktornya sesekali menggunakan bahasa Mesir. Kontan saja, sebagian besar penonton terbengong-bengong, tak faham. Ah, dasar ABG, fikirku. Bisa tampil beda lalu menjadi perhatian publik, rupanya menjadi kebanggaan tersendiri.

Begitulah, label ’Mesir’ tiba-tiba menjadi magnet yang diyakini penuh daya tarik. Di luar pesantren pun demikian. Baliho atau poster film KCB dibubuhi stempel bundar bertuliskan ’ASLI MESIR’. Film Perempuan Berkalung Sorban yang sempat memicu polemik beberapa waktu lalu juga menampilkan sosok Hudori, seorang santri berpendidikan S2 yang disebutkan sebagai sarjana lulusan Mesir.

Sarat Kisah Mesir
Para santri di pesantrenku sebenarnya telah lebih dahulu ’mengenal’ Mesir, jauh sebelum novel dan film AAC muncul. Soalnya, beberapa tahun lalu pernah ada empat orang guru berkebangsaan Mesir yang mengajar di pondok dan tinggal di tengah-tengah komunitas santri. Dari keempat syekh itulah, para santri terbiasa mendengar obrolan berbahasa Arab Mesir, atau memperoleh info-info tentang negeri Al Azhar itu.

Kini, ketika mereka telah kembali ke negeri asalnya, aku dan isteri yang sering diminta para santri bercerita tentang Mesir, sekaligus juga mengajari mereka bahasa Mesir. Tentu aku tak keberatan. Bahkan tanpa diminta pun, aku sering membumbui materi pelajaran atau pengajian dengan cerita-cerita dan pengalaman pribadi dari Mesir. Hal itu terjadi secara mengalir dan juga spontan. Misalnya ketika menjelaskan sejarah Firaun yang tenggelam di Laut Merah, aku pun melukiskan suasana Laut Merah seperti yang pernah kulihat dulu. Kisah dakwah Nabi Musa as, kubumbui dengan detail gambaran tentang bukit Sinai yang pernah kukunjungi beberapa kali. Saat mengaji kitab Fikih, aku juga menjelaskan pendapat-pendapat Imam Syafii ra diselingi kisah-kisah ziarahku ke makam sang Imam di pinggiran kota Kairo.

Model pengajian yang diperkaya dengan wawasan-wawasan sosiologis Mesir yang relevan seperti ini, sepertinya cukup menarik perhatian santri. Frekuensi kehadiran mereka sangat baik, pun juga antusiasme saat mendengarkan pelajaran atau pengalaman pribadi ustadnya selama tinggal di negeri piramid. Mereka terdiam khusyu. Mata mereka nyaris tak berkedip, sesekali mulut berdecak, tersenyum, atau tertawa terbahak. Mereka tak sadar bahwa hati dan pikiran sang ustadnya sedang dibalut kerinduan. Kerinduan yang teramat dalam pada negeri yang saat itu sedang menjadi bahan pembicaraan. Mana lagi kalau bukan Mesir.

Darul Iman Pandeglang, 15 Juni 2009