Sunday, February 10, 2013

Tunis Islam Politik


PARTAI ISLAM KENA GETAH POLITIK

Demo massa di Tunis, Rabu sore (06/02/2013). Gambar diambil dari www.attounissia.com.tn 

Terbunuhnya seorang politisi terkenal (Rabu 06/02) menyisakan gelombang demonstrasi anti pemerintah di berbagai pelosok Tunisia. Mogok nasional diserukan. Semua libur, tak terkecuali bandara internasional hingga warung kopi di perkampungan. Partai Islam terkena getahnya.

Kamis, 7 Februari 2013. Jam tanganku baru menunjukkan pukul 14.50 waktu Tunis (20.50 WIB). Aku masih asyik memilih-milih kue kering kesukaan anakku di sebuah toko swalayan di Bab el Jezira, sekitar 1 km dari pusat kota Tunis.

“Monsieur, Monsieur”, seorang pelayan toko memanggilku.
Oui, ada apa?!”, tanyaku.
“Mohon maaf, toko akan segera tutup. Silahkan Anda langsung saja ke kasir”, tuturnya seraya menghampiriku.
“Kenapa? Ini khan masih siang?” tanyaku penasaran. Sedikit kaget. Lagi pula, aku baru 10 menit di sini. Benda yang kucari belum lengkap kudapat.
“Ini perintah dari bos. Kami harus menutup toko” jawab pria itu seraya bergegas menghampiri pengunjung lain. Ya sudah, aku manut saja. Kulangkahkan kakiku menuju arah kasir, dekat pintu keluar.

Sambil antri di kasir, pandangan kutujukan ke jalan raya.  Nampak orang-orang berjalan cepat, dari arah pusat kota. Wajah-wajah mereka menyiratkan kecemasan. Sebagian mereka berbicara dengan rekannya. Aku juga melihat orang-orang yang berdiri di trotoar. Pandangan mereka ke arah yang sama ; alun-alun Habib Borguiba.

Sementara itu, toko-toko mulai tutup. Mobil-mobil  melaju agak kencang, seolah ingin segera sampai tujuan. Televise local yang diputar di toko swalayan itu menayangkan secara langsung aksi unjuk rasa yang nampak anarkis di alun-alun. Ribuan demonstran berhadapan dengan ratusan polisi. Batu-batu melayang, melawan semprotan gas air mata.

Oh, aku baru mengerti, mengapa toko harus segera tutup.

Setelah urusan pembayaran di kasir selesai, aku pun bergegas pulang. Puteriku yang usianya belum genap 3 tahun, kupeluk erat dalam pangkuan. Isteriku membawa keranjang belanjaan. Di bawah naungan langit yang mendung dan suhu 6 derajat Celsius, kami berjalan cepat, menembus kerumunan orang-orang. Aku ingin segera sampai rumah.

Mogok Politik
Sore itu, rupanya aksi unjuk rasa sedang berlangsung di Le Passage, kawasan bisnis yang padat di dekat alun-alun Habib Borguiba. Unjuk rasa yang berdarah. Seorang polisi tewas meregang nyawa, puluhan demosntran terluka. Info di televise, di beberapa kota propinsi lain, demo besar juga digelar.

Unjuk rasa anti pemerintah ini dipicu oleh tewasnya Syukri Bel’eid, seorang tokoh oposisi dari partai berhaluan sekuler, Rabu (6/2) pagi. Ia ditembak pria tidak dikenal di halaman rumahnya, saat hendak berangkat kerja.

Berita penembakan ini sangat cepat menyebar. Belum tengah hari, ribuan massa berkumpul di pusat kota. Gedung Kementerian Dalam Negeri jadi sasaran. Demo anarki pun tak terhindarkan.
Opini – yang sepertinya langsung jadi aksioma – menyebar begitu cepat. Bahwa Gerakan An Nahdha, partai Islam yang saat ini sedang berkuasa, adalah dalang penembakan.

Jika pada musim dingin 2011 para demonstran itu turun ke jalan untuk menentang Ben Ali, sang presiden dictator, maka pada musim dingin 2013 ini mereka unjuk rasa menentang An Nahdha, partai Islam yang menguasai 90 dari 217 kursi parlemen. Sejumlah kantor cabang partai Islam berhaluan moderat ini menjadi sasaran amuk masa. Di Sfax – kota pantai – kabarnya ada kantor an Nahdha yang dibakar.

Kamis malam, ada seruan agar pada hari Jumat keesokan hari, masyarakat melakukan mogok massal. Artinya, jangan melakukan aktifitas. Tidak usah berangkat kerja. Guru dan murid tidak usah berangkat sekolah. Angkutan umum tidak usah beroperasi. Warung pun tidak usah dibuka. Masyarakat diam saja di rumah masing-masing.

Seruan ini disampaikan oleh Al Haiah al Idariyah li al Ittihad al ‘Am at Tunisi lis Syugl - semacam serikat pekerja nasional – melalui media televise, radio dan internet.

Aku lihat, seruan ini cukup efektif. Jumat pagi, suasana kota Tunis nampak lengang. Toko-toko tutup, kecuali tukang roti. Warung yang berada di gang sempit pun terkunci rapat. Alhamdulillah, pikirku, persediaan makanan di rumah relative cukup.

Fitnah Politik
Hingga saat tulisan ini diposting, pelaku penembakan masih misterius. Berita TV dan internet yang kupantau, belum menunjukkan titik terang. Entah siapa pelakunya. Orang dari Nahdhah-kah, atau dari partai lain, atau siapa, belum ada indikasi yang jelas.

Aku teringat obrolan ringanku tadi siang dengan Bapak Jamal, warga Tunis yang tiada lain bapak kost-ku sekarang. Ayah empat anak yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ini meyakini bahwa penembakan Bel’eid hanyalah rekayasa pihak ketiga untuk menyudutkan Nahdhah. Yakni pihak-pihak yang tidak mau jika partai yang seideologi dengan Ikhwanul Muslimin ini semakin besar dan nanti kembali memenangkan Pemilu parlemen, Juni 2013.

Aku mengangguk-angguk mendengar paparan Pak Jamal. Ya, pendapat yang tidak mustahil. Toh kekuatan sekuler di Tunis ini masih dominan. Perancis juga masih sangat setia mem-back up-nya. Buktinya, Kamis malam kemaren, Menteri Dalam Negeri Perancis menyampaikan statemen resmi yang disiarkan TV dan internet, isinya pernyataan perang terhadap Gerakan Nahdhah dan Kaum Islamist Tunis.

Jadi, bisa saja itu hanya fitnah yang ditudingkan oleh kelompok sekuler yang pernah berkuasa di negeri ini selama 55 tahun. Mereka tidak rela jika Islam menjadi kekuatan politik di negeri berpenduduk 99 persen muslim ini.

Seperti halnya pelaku pengeboman menara kembar WTC yang ditudingkan ke jaringan Al Qaeda. Amerika kemudian memborbardir negara-negara muslim atas dalih menumpas Al Qaeda dan jaringan terorisme. Mungkin saja apa yang terjadi di Tunis saat ini pun demikian. Partai Nahdlah dikambinghitamkan, kemudian jadi bulan-bulanan politik. Ia difitnah dan dijadikan musuh bersama.

Jalan yang harus ditempuh oleh Gerakan Nahdlah di Tunis rupanya masih panjang, berliku, juga bertabur kerikil. Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, Ahad 10 Februari 2013

Sunday, February 03, 2013

Salafi Tunis


Salafi Bongkar Kuburan Wali

Masa transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi, tercoreng ulah kaum Salafi. Atas dalih kebebasan dan dalam rangka pemurnian akidah, mereka main hakim sendiri. Kedubes asing dibakar, pameran lukisan diserang, belasan kuburan ulama saleh dibongkar dan dihancurkan.Ulama terkemuka berusia 62 tahun pun dianiaya secara sadis pada malam Maulid Nabi.

Senin 14 Januari 2013 adalah hari istimewa bagi sebelas juta warga Tunisia. Hari itu mereka menikmati libur nasional, mengenang dua tahun revolusi yang menggulingkan presiden dictator, Zaenal Abidin Bin Ali.

Di tengah keasyikan mereka tumpah ruah ke jalan, berpesta dan menggelar acara syukuran, sekelompok anak manusia yang berjenggot dan mengenakan jubah– sebagaimana penuturan saksi  mata - masuk ke komplek makam ulama sufi terkenal Syekh Sidi Abu Said al Baji,  di pinggir utara ibukota. Makam guru Syekh Hasan Syadzili (w 1258 M) itu diobrak-abrik dan dibakar.

Senin malam, radio dan televise menyiarkan tragedy itu. Selasa pagi, beritanya juga muncul di koran-koran. Public terpana, tawa terhenti, pesta pun berganti duka. Kecaman demi kecaman disuarakan, tak terkecuali Presiden sementara Tunisia, Dr. Moncef Marzuki.

Menurut catatan koran terkemuka As Shuruq, ini adalah situs ziarah ke-14 yang dibakar kaum salafi, dalam 2 tahun terakhir. Ya sejak revolusi bergulir di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini, Januari 2011 lalu. Sebelumnya, mereka membakar makam dan zawiyah Sayidah Manubiyah di Manuba, Sidi Hasyani di Kota Manzil Abdurrahman, Sidi Abdul Qodir di Manzil Bouzlifah, dan beberapa lainnya. Makam mendiang Presiden Habib Borguiba – memerintah tahun 1957-1987- di Monastir juga diserang.

Kecaman dan kutukan dari berbagai pihak tidak membuat Salafi jera. Seminggu kemudian, makam ulama sufi Sidi Ali bin Salem di kota Gabes, menjadi sasaran ke-15. Seminggu berikutnya lagi, tepatnya Rabu (30/1) yang baru lalu, makam Syekh Abid al Hazami di desa Zarat – masih Propinsi Gabes – juga dibakar. Bahkan ini lebih parah ; lubang makam dibongkar, tulang belulang sang Syekh yang dikubur 500 tahun silam ini juga dimusnahkan.

Keesokan harinya, anak-cucu Syekh Hazami berkumpul di lokasi. Mereka menangis dan mengutuk pelaku.  Mereka mencoba menyisir serpihan tulang belulang yang masih tersisa. Mereka tidak terima leluhurnya diperlakukan seperti itu. “Ini adalah penghinaan terhadap nama besar keluarga kami”, tutur salah seorang keluarga, sebagaimana dikutip koran. 
  
Bukan Hanya Bakar
Perusakan makam dan zawiya para ulama saleh, hanyalah satu dari serangkaian aksi kaum Salafi Tunis dalam menjalankan apa yang mereka sebut sebagai pemurnian (purifikasi) akidah.

Jauh-jauh hari sebelum itu, mereka berusaha “masuk” ke masjid-masjid, mengambil alih peran imam dan khatib Jumat. Isi ceramah dan khutbah mereka sangat khas ; senang memvonis bid’ah, murtad dan bahkan kafir pada umat Islam yang tidak sefaham dengan mereka.

Data Kementerian Agama Tunis akhir 2012 lalu, dari sekitar 4900an masjid jumat se antero negeri, ada 100-an masjid yang telah “dikuasai” oleh khatib dari kalangan Salafi. Padahal dalam aturan yang berlaku selama ini di Tunisia – dan umumnya Negara-negara Arab – bahwa petugas imam dan khatib Jumat ditunjuk secara resmi oleh Pemerintah. Sejak revolusi 2011 hingga kini, pengawasan Pemerintah memang agak longgar. Maklum, masa transisi. Legitimasi pemerintah sementara belum kuat.

Bulan Juni 2012 lalu, mereka menyerang dan memporakporandakan aula lokasi pameran lukisan di al Marsa, kota kecil dekat ibukota. September 2012, mereka juga menyerang dan membakar kantor Kedubes Amerika. Kini, 94 pelakunya – semua dari kalangan Salafi - telah diadili dan dijebloskan ke penjara. Sejak saat itu, kantor kedutaan AS dan beberapa kedubes negara sekutunya – termasuk Saudi Arabia – dikelilingi teralis berduri besi dan dijaga ketat aparat.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka tak segan menyerang saudara-saudara sesama Muslim. Tak cukup mengkafir-kafirkan umat Islam dari atas mimbar pidato, tetapi juga melakukan terror fisik terhadap para ulama.  Satu di antaranya - yang hari-hari ini masih menjadi pemberitaan nasional - adalah penganiayaan yang dialami oleh Syekh Abdul Fatah Moro, ulama terkemuka yang dikenal moderat, toleran dan kharismatik. Beliau dikenal luas di Tunis, dan bahkan di beberapa negara Arab lain.

Syekh berusia 62 tahun ini dianiaya oleh sekelompok pemuda Salafi hingga berdarah-darah, pada malam 12 Rabi’ul Awal yang baru lalu. Penganiayaan terjadi dalam keremangan dekat sebuah masjid di daerah Jamal – kota kecil - yang di dalamnya sedang berlangsung peringatan Maulid Nabi. Syekh Moro hadir untuk menyampaikan ceramah Maulid di sana.

Keesokan harinya, sebuah koran nasional menjadikan peristiwa itu sebagai headline dengan judul al Ihtifalu bi al Maulid Bid’ah, wa Dlarbu Syekh Moro Sunnah Mu’akkadah. Perayaan Maulid adalah bid’ah yang sesat, sedangkan memukuli Syekh Moro adalah sunah muakkad. Para pengamat menilai, terror terhadap Syekh Moro hakikatnya adalah terror terhadap para ulama dan bahkan terhadap Islam di Tunis yang selama ini dikenal mengusung nilai-nilai tasamuh dan wasathiyah.

Bukan Hanya Sekarang
Salafi adalah nama baru dari Wahabi. Sebuah gerakan reformasi keagamaan dalam Islam yang mengusung visi pemurnian akidah dari segala takhayul, bid’ah dan khurafat, disingkat TBC. Dinamakan Wahabi karena dinisbatkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M), pendiri gerakan ini, di Saudi Arabia.

Kala itu, Syekh ibn Abdil Wahab yang didukung oleh Raja, menghancurkan situs-situs sejarah di Mekah dan Madinah, termasuk kuburan para ulama dan sahabat yang biasa diziarahi umat. Tentu saja, tindakan ini ditentang oleh dunia Islam, termasuk para ulama Indonesia. Para ulama Indonesia mengirim tim ke Saudi, untuk meminta penghentian atas tindakan perusakan itu. Tim yang dinamai Komite Hijaz ini, kelak kemudian menjadi cikal bakal organisasi Nahdlatul Ulama.

Jadi, bukan hanya sekarang kaum Salafi senang membakar kuburan. Dan juga bukan hanya di Tunis. Tetapi sejak awal gerakan ini berdiri, dan berlangsung di berbagai penjuru dunia.

Para ulama Sunni di Tunis, telah menentang gerakan Wahabi, sejak Syekh ibn Abdil Wahab masih ada. Adalah Syekh Abu Hafs Umar bin Qasim al Mahjub, salah seorang ulama terkemuka Tunis yang wafat tahun 1807 M, pernah mengkritik dan menentang ajaran-ajaran Wahabi, dalam sebuah risalah  yang dikirimkan oleh Raja Hamuda Pasha – penguasa Tunis kala itu – kepada Syekh ibn Abdil Wahab di Saudi. Tapi Syekh ibn Abdil Wahab tidak berkomentar balik. (Naskah lengkap risalah Syekh Mahjub itu dikutip secara utuh oleh sejawaran Tunis, ibnu Abi Dhiyaf, dalam bukunya yang terkenal, Ithaf Ahli Zaman).

Syekh Ahmad at Tamimi, ulama lainnya yang wafat tahun 1832 M  juga menulis risalah berjudul al Minah al Ilahiyah fi Thamsi ad Dhalalah al Wahabiyah, yang dikirimkan ke Saudi, oleh penguasa Tunis kala itu.

Para ulama Tunis abad ini juga bersikap sama ; menentang gerakan kekerasan ala kaum Salafi-Wahabi. Ketidaksetujuan mereka itu dituangkan dalam sebuah pernyataan sikap bersama, baru-baru ini, isinya menolak segala macam bentuk kekerasan atas nama agama.

Bukan Hanya Tunis
Tunisia pasca revolusi. Keran kebebasan tiba-tiba terbuka lebar.  Aksi unjuk rasa yang pernah “diharamkan” selama setengah abad, kini menjadi pemandangan harian.  Para aktifis muslim militant yang selama puluhan tahun terisolasi di luar negeri, kini berdatangan, mudik ke kampung halaman. Gerakan-gerakan keagamaan yang selama ini dibungkam, sekarang bebas menggelar kegiatan.

Fenomena yang lumrah, dan bukan hanya terjadi di Tunis. Bisa terjadi – dan bahkan telah terjadi - di berbagai penjuru bumi. Termasuk negeri kita tercinta, ketika kita mengalami masa transisi yang diwarnai euphoria kebebasan, 15 tahun silam.

Ibarat burung yang terlepas dari sangkar, atau narapidana yang baru keluar penjara, kita semua – termasuk kaum Salafi di Tunis - menikmati alam kebebasan. Seperti syair Rhoma Irama dalam lagu berjudul “Bebas”, yang kuhafal sejak SD tahun 1990-an.

“Bebas aku bebas, bebas sekarang bebas
Menghirup kembali, udara merdeka,
tanpa dinding pemisah,
bagai burung-burung, terbang leluasa…”


Tunis al Khadra, Ahad 03 Februari 2013