Monday, May 20, 2013

Tunis Pengajian


Pasca Revolusi, Pengajian Pun Menjamur

Di masjid inilah, sejarawan terkemuka Ibn Khaldun belajar (saat masih kecil)

Salah satu agenda sekulerisasi yang diterapkan secara sistematis oleh mendiang Presiden Habib Borguiba yang memerintah selama 30 tahun (1957-1987) adalah memberangus pendidikan Islam. Pengajian-pengajian halaqah dan majelis taklim dibubarkan, Universitas Zitouna “dikerdilkan” menjadi fakultas yang menginduk ke Universitas Tunis. Pendidikan keagamaan diidentikkan sebagai “tidak menarik” dan “tidak penting”.

Revolusi Yasmin (Arab Spring) tahun 2011 membalikkan keadaan itu. Zainal Abidin ben Ali sang presiden diktator  lengser, kran kebebasan terbuka, pengajian-pengajian pun kembali bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Ahad pagi pekan lalu (12/5), ratusan jemaah duduk lesehan di dalam Masjid Zitouna. Mereka khusyu’ menyimak pidato yang disampaikan oleh Syekh Hasan al ‘Abidi, sang imam besar di masjid yang didirikan tahun 732 Masehi itu. Setelah syekh ‘Abidi, beberapa syekh lain turut berpidato secara bergiliran.

Mereka yang hadir pagi itu adalah para santri pengajian Ta’lim Zitouni yang berasal dari berbagai daerah di Tunisia. Mereka berkumpul dalam rangka syukuran ulang tahun kedua dibukanya kembali Ta’lim Zitouni.

Ta’lim Zitouni adalah sebuah program pengajian halaqah yang digelar oleh Masjid Zitouna, juga masjid-masjid besar lain yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Pengajarnya adalah para syekh terkemuka di Tunis. Sistem pengajiannya mirip dengan sistem pesantren tradisional di Indonesia. Dilakukan terjadwal setiap hari, serta menggunakan kitab tertentu sebagai panduan. Syekh membaca teks kitab dan menerangkan kandungannya, sedangkan para santri menyimak dan mencatat. Pada akhir sesi belajar, biasanya ada tanya jawab.

Ta’lim Zitouni sudah ada sejak masjid Zitouna dibangun, yakni tahun 732 Masehi. Sejumlah ulama terkemuka di dunia Islam tercatat menempuh pendidikannya di sini. Sebut saja misalnya Ibn Khaldun, Ibn Arafah, Tahir al Hadad, dan Tahir ibn Asyur. Ta’lim Zitouni inilah yang kelak menjadi cikal bakal Universitas Zitouna.

Imbas Sekulerisasi
Tahun 1956, Tunisia memperoleh kemerdekaan dari penjajah Perancis. Habib Borguiba, seorang lulusan Fakultas Hukum Universitas Sorbone, menjadi presiden pertama.

Begitu terpilih sebagai presiden, Borguiba langsung menerapkan serangkaian kebijakan dalam rangka sekulerisasi di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini. Dalam konsep Borguiba, agama harus dipisahkan dari kehidupan. Penyelenggaraan negara tidak perlu dipandu oleh ajaran agama. Syiar-syiar keagamaan harus dijauhkan dari ruang publik.

Salah satu – dari sekian banyak - gebrakan yang dilakukan Borguiba dalam rangka sekulerisasi ini adalah membubarkan Ta’lim Zitouni yang telah eksis selama lebih dari 1200 tahun. Pintu gerbang ruwwaq* di dalam Masjid Ziotuna disegel dan digembok permanen.

Universitas Zitouna juga dikerdilkan, dijadikan fakultas yang menginduk ke Universitas Tunis. Namanya Kulliyah Zaituniyyah li Syariah wa Ushuluddin. Padahal sebelumnya adalah universitas dengan beberapa fakultas dan program studi. Gedung fakultas Syariah di kawasan Monflury ditutup, belakangan digunakan sebagai kampus sebuah Sekolah Tinggi Ekonomi.

Abdurrahman al Heila, seorang pengacara senior di Tunis dan alumni Ta’lim Zitouni menuturkan dalam bukunya bahwa pada awal dekade 1950-an, jumlah mahasiswa Universitas Zitouna lebih 5000 orang. Seribu di antaranya adalah berasal dari Aljazair. Pengajian Ta’lim Ziotuni juga berlangsung semarak, baik di kota Tunis maupun di cabang-cabang yang tersebar di seantero negeri.

Pada masa Borguiba, semua berubah. Secara sistematis, studi Islam dibikin tidak menarik, tidak kren dan seolah tidak menjanjikan masa depan. Tidak heran jika minat masyarakat untuk studi Islam pun menurun. Satu per satu, kegiatan-kegiatan pengajian mengalami mati suri. Kalaupun ada pengajian halaqah atau madrasah tahfidz yang berjalan, itu tak lepas dari pantauan intel.

Berkah Revolusi
Awal tahun 2011, revolusi bergulir. Puncaknya, 14 Januari 2011, Presiden Ben Ali yang dikenal diktator sekaligus pelanjut beberapa agenda sekulerisasi Habib Borguiba, lengser secara tidak terhormat. Rakyat menyambut dengan suka cita.

Meski sebenarnya untuk konteks pendidikan Islam, Presiden Ben Ali yang memerintah selama 1987-2011 telah memberikan ruang yang cukup baik. Di antara yang ia lakukan, pada tahun 1992 Universitas Zitouna dikembalikan ke asalnya, yakni menjadi universitas yang mandiri. Gedungnya diperluas dan lebih megah. Fasilitasnya dilengkapi. Pokoknya diperlakukan sama dengan universitas lain, sama-sama dibawah pengelolaan Kementerian Pendidikan Tinggi.

Tetapi ini rupanya tidak berlaku untuk Ta’lim Zitouni. Gembok dan segel yang dipasang Borguiba pada awal pemerintahannya, dibiarkan terpasang hingga era Ben Ali.

Tanggal 12 Mei 2011, atau 4 bulan setelah Ben Ali lengser, para ulama dan para aktifis berkumpul di Masjid Zitouna. Pintu gerbang ruwwaq yang tidak pernah dibuka selama 50 tahun itu pun dijebol. Pekik Allahu Akbar bergiliran diteriakkan. Para ulama berorasi secara bergiliran. Suasana haru tak bisa disembunyikan. Kinilah saatnya memulai kembali jihad ilmu pengetahuan melalui Ta’lim Zitouni.

Pengajian Ta’lim Zitouni kembali digelar, menggunakan sistem tahun akademik seperti halnya sekolah. Aku mencatat kurikulum angkatan pertama 2011-2012, terdiri dari delapan kitab dari berbagai bidang ilmu agama seperti fiqh, tauhid, tarikh, adab, nahu sharaf dan ilmu qiraat. Kegiatan belajar dilaksanakan empat hari seminggu, yakni Senin sampai Jumat, jam 08.00 hingga 13.00. Ada juga kelas Sabtu-Ahad. Beberapa rekan mahasiswa Indonesia mengikuti pengajian ini secara aktif.

Hingga tahun 2013 ini, Ta’lim Zitouni telah memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah di Tunisia. Di antaranya di Kaioruan, Sousse, Sfax dan Gabes. Pada acara ulang tahun minggu lalu, perwakilan para masyayikh dari cabang-cabang itu hadir di Masjid Zitouna.

Banyak Majelis
Bukan hanya Ta’lim Zitouni yang berjalan. Sejumlah halaqah pengajian lainnya juga bermunculan, selama 2 tahun terakhir. Beberapa di antaranya pernah aku kunjungi.

Di kawasan al Manar I, ada Ma’had Imam Malik lil ‘Ulum as Syar’iyyah. Ma’had ini mengglear beberapa program pengajian. Ada pengajian setiap sore, ada juga yang sifatnya pelatihan-pelatihan (dauroh) yang temporer. Kitab yang dipelajari pada pengajian sore adalah : Rawai al Bayan (Tafsir Ahkam) yang disampaikan oleh Syekh Abdurrazak al Mahdi, kitab Risalah Ibn Abi Zaid al Qairawani (Fiqh Maliki) disampaikan oleh Syekh Sami an Nabili, kitab Aqidah Thahawiyah (akidah) disampaikan oleh Syekh Shabir as Syarni, serta kitab Qurrotul ‘Ain fi Syarh Waraqat (Ushul Fiqh) oleh Syekh Najmudin. Ma’had ini memiliki dua cabang di luar kota, yakni Sfax dan Binzerte.

Di kawasan Zahrouni, ada Darul Hadits az Zaituniyyah, yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka Tunis saat ini ; Syekh Farid al Baji. Syekh ahli hadits yang baru berusia 45 tahun, telah menulis 31 kitab, hafal puluhan ribu hadits sejak usia 23 tahun, serta memiliki sanad riwayat hadits yang bersambung hingga ke Rasulullah saw.

Di Darul Hadits, ada pengajian harian, juga ada mingguan. Pengajian harian bersifat formal, dengan kurikulum tertentu. Pesertanya terdaftar resmi. Sedangkan pengajian mingguan terbuka untuk umum, digelar setiap Sabtu dan Ahad. Materinya khusus kitab-kitab hadits, serta langsung diasuh oleh Syekh al Baji. Jika pengajian telah selesai, para santri akan mendapat ijazah talaqqi yang ditandatangani langsung oleh Syekh. Beberapa rekan mahasiswa Indonesia mengikuti pengajian ini secara aktif.

Di kawasan Ibn Sina, ada Jam’iyyah Mushtafa lil ‘Ulum as Syar’iyyah. Program pengajian dan kurikulumnya hampir sama dengan Ma’had Imam Malik. Syekh Sami al Aridy, salah seorang dosen di Universitas Zitouna, memimpin lembaga ini.

Satu lagi, Jam’iyyah Tunisiyyah lil Ulum as Syar’iyyah, yang juga menggelar pengajian halaqah seminggu dua kali. Lembaga ini dikelola oleh sejumlah ulama terkemuka Zaituna, seperti Syekh Habib bin Tahir dan Syekh Burhan an Nafati. Syekh Habib dikenal sebagai ulama yang produktif menulis, di antara karyanya adalah Al Fiqh al Maliki wa Adillatuh. Sedangkan Syekh Nafati adalah guru besar Ushul Fiqh di Universitas Zitouna, yang tak lain adalah dosen pembimbing disertasiku.

Masih ada majelis-majelis pengajian lain yang belum kusebut di sini. Termasuk madrasah-madrasah tahfidz yang juga kembali aktif. Semuanya rame, semarak, direspon secara positif oleh umat. Alhamdulillah. Hadza Min Fadhli Robbina. Semua ini adalah karunia Allah yang patut disyukuri. Salam Manis dari Tunis.

*Ruwwaq adalah ruangan-ruangan kecil di bagian dalam atau samping masjid, khusus untuk kegiatan pengajian. Masjid-masjid tua di Timur Tengah umumnya memiliki ruwwaq di sudut-sudutnya. 


Tunis al Khadra, 20 Mei 2013