Pasca Revolusi, Pengajian Pun Menjamur
Salah satu agenda
sekulerisasi yang diterapkan secara sistematis oleh mendiang Presiden Habib
Borguiba yang memerintah selama 30 tahun (1957-1987) adalah memberangus
pendidikan Islam. Pengajian-pengajian halaqah dan majelis taklim dibubarkan,
Universitas Zitouna “dikerdilkan” menjadi fakultas yang menginduk ke
Universitas Tunis. Pendidikan keagamaan diidentikkan sebagai “tidak menarik”
dan “tidak penting”.
Revolusi Yasmin
(Arab Spring) tahun 2011 membalikkan keadaan itu. Zainal Abidin ben Ali sang
presiden diktator lengser, kran
kebebasan terbuka, pengajian-pengajian pun kembali bermunculan bak cendawan di
musim hujan.
Ahad pagi pekan lalu (12/5),
ratusan jemaah duduk lesehan di dalam Masjid Zitouna. Mereka khusyu’ menyimak
pidato yang disampaikan oleh Syekh Hasan al ‘Abidi, sang imam besar di masjid
yang didirikan tahun 732 Masehi itu. Setelah syekh ‘Abidi, beberapa syekh lain
turut berpidato secara bergiliran.
Mereka yang hadir pagi
itu adalah para santri pengajian Ta’lim Zitouni yang berasal dari
berbagai daerah di Tunisia. Mereka berkumpul dalam rangka syukuran ulang tahun
kedua dibukanya kembali Ta’lim Zitouni.
Ta’lim Zitouni adalah
sebuah program pengajian halaqah yang digelar oleh Masjid Zitouna, juga
masjid-masjid besar lain yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Pengajarnya
adalah para syekh terkemuka di Tunis. Sistem pengajiannya mirip dengan sistem pesantren
tradisional di Indonesia. Dilakukan terjadwal setiap hari, serta menggunakan
kitab tertentu sebagai panduan. Syekh membaca teks kitab dan menerangkan kandungannya,
sedangkan para santri menyimak dan mencatat. Pada akhir sesi belajar, biasanya
ada tanya jawab.
Ta’lim Zitouni sudah
ada sejak masjid Zitouna dibangun, yakni tahun 732 Masehi. Sejumlah ulama
terkemuka di dunia Islam tercatat menempuh pendidikannya di sini. Sebut saja
misalnya Ibn Khaldun, Ibn Arafah, Tahir al Hadad, dan Tahir ibn Asyur. Ta’lim
Zitouni inilah yang kelak menjadi cikal bakal Universitas Zitouna.
Imbas Sekulerisasi
Tahun 1956, Tunisia
memperoleh kemerdekaan dari penjajah Perancis. Habib Borguiba, seorang lulusan
Fakultas Hukum Universitas Sorbone, menjadi presiden pertama.
Begitu terpilih
sebagai presiden, Borguiba langsung menerapkan serangkaian kebijakan dalam
rangka sekulerisasi di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini. Dalam konsep
Borguiba, agama harus dipisahkan dari kehidupan. Penyelenggaraan negara tidak
perlu dipandu oleh ajaran agama. Syiar-syiar keagamaan harus dijauhkan dari
ruang publik.
Salah satu – dari
sekian banyak - gebrakan yang dilakukan Borguiba dalam rangka sekulerisasi ini
adalah membubarkan Ta’lim Zitouni yang telah eksis selama lebih dari 1200
tahun. Pintu gerbang ruwwaq* di dalam Masjid Ziotuna disegel dan
digembok permanen.
Universitas Zitouna
juga dikerdilkan, dijadikan fakultas yang menginduk ke Universitas Tunis.
Namanya Kulliyah Zaituniyyah li Syariah wa Ushuluddin. Padahal
sebelumnya adalah universitas dengan beberapa fakultas dan program studi. Gedung
fakultas Syariah di kawasan Monflury ditutup, belakangan digunakan sebagai
kampus sebuah Sekolah Tinggi Ekonomi.
Abdurrahman al Heila,
seorang pengacara senior di Tunis dan alumni Ta’lim Zitouni menuturkan dalam
bukunya bahwa pada awal dekade 1950-an, jumlah mahasiswa Universitas Zitouna
lebih 5000 orang. Seribu di antaranya adalah berasal dari Aljazair. Pengajian
Ta’lim Ziotuni juga berlangsung semarak, baik di kota Tunis maupun di cabang-cabang
yang tersebar di seantero negeri.
Pada masa Borguiba, semua
berubah. Secara sistematis, studi Islam dibikin tidak menarik, tidak kren dan
seolah tidak menjanjikan masa depan. Tidak heran jika minat masyarakat untuk
studi Islam pun menurun. Satu per satu, kegiatan-kegiatan pengajian mengalami
mati suri. Kalaupun ada pengajian halaqah atau madrasah tahfidz yang berjalan,
itu tak lepas dari pantauan intel.
Berkah Revolusi
Awal tahun 2011,
revolusi bergulir. Puncaknya, 14 Januari 2011, Presiden Ben Ali yang dikenal
diktator sekaligus pelanjut beberapa agenda sekulerisasi Habib Borguiba,
lengser secara tidak terhormat. Rakyat menyambut dengan suka cita.
Meski sebenarnya untuk
konteks pendidikan Islam, Presiden Ben Ali yang memerintah selama 1987-2011
telah memberikan ruang yang cukup baik. Di antara yang ia lakukan, pada tahun
1992 Universitas Zitouna dikembalikan ke asalnya, yakni menjadi universitas
yang mandiri. Gedungnya diperluas dan lebih megah. Fasilitasnya dilengkapi. Pokoknya
diperlakukan sama dengan universitas lain, sama-sama dibawah pengelolaan Kementerian
Pendidikan Tinggi.
Tetapi ini rupanya
tidak berlaku untuk Ta’lim Zitouni. Gembok dan segel yang dipasang Borguiba
pada awal pemerintahannya, dibiarkan terpasang hingga era Ben Ali.
Tanggal 12 Mei 2011, atau
4 bulan setelah Ben Ali lengser, para ulama dan para aktifis berkumpul di
Masjid Zitouna. Pintu gerbang ruwwaq yang tidak pernah dibuka selama 50
tahun itu pun dijebol. Pekik Allahu Akbar bergiliran diteriakkan. Para ulama
berorasi secara bergiliran. Suasana haru tak bisa disembunyikan. Kinilah
saatnya memulai kembali jihad ilmu pengetahuan melalui Ta’lim Zitouni.
Pengajian Ta’lim
Zitouni kembali digelar, menggunakan sistem tahun akademik seperti halnya
sekolah. Aku mencatat kurikulum angkatan pertama 2011-2012, terdiri dari
delapan kitab dari berbagai bidang ilmu agama seperti fiqh, tauhid, tarikh,
adab, nahu sharaf dan ilmu qiraat. Kegiatan belajar dilaksanakan empat hari
seminggu, yakni Senin sampai Jumat, jam 08.00 hingga 13.00. Ada juga kelas
Sabtu-Ahad. Beberapa rekan mahasiswa Indonesia mengikuti pengajian ini secara
aktif.
Hingga tahun 2013 ini,
Ta’lim Zitouni telah memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah di Tunisia. Di
antaranya di Kaioruan, Sousse, Sfax dan Gabes. Pada acara ulang tahun minggu
lalu, perwakilan para masyayikh dari cabang-cabang itu hadir di Masjid Zitouna.
Banyak Majelis
Bukan hanya Ta’lim
Zitouni yang berjalan. Sejumlah halaqah pengajian lainnya juga bermunculan,
selama 2 tahun terakhir. Beberapa di antaranya pernah aku kunjungi.
Di kawasan al Manar I,
ada Ma’had Imam Malik lil ‘Ulum as Syar’iyyah. Ma’had ini mengglear
beberapa program pengajian. Ada pengajian setiap sore, ada juga yang sifatnya
pelatihan-pelatihan (dauroh) yang temporer. Kitab yang dipelajari pada
pengajian sore adalah : Rawa’i al Bayan (Tafsir Ahkam) yang disampaikan oleh Syekh Abdurrazak al Mahdi, kitab Risalah Ibn Abi Zaid al Qairawani (Fiqh Maliki) disampaikan oleh Syekh Sami an Nabili, kitab Aqidah Thahawiyah (akidah) disampaikan oleh Syekh Shabir as Syarni, serta kitab Qurrotul ‘Ain fi Syarh Waraqat (Ushul Fiqh) oleh Syekh Najmudin. Ma’had ini memiliki dua
cabang di luar kota, yakni Sfax dan Binzerte.
Di kawasan Zahrouni, ada
Darul
Hadits az Zaituniyyah, yang
dipimpin oleh seorang ulama terkemuka Tunis saat ini ; Syekh Farid al Baji.
Syekh ahli
hadits yang baru berusia 45 tahun,
telah menulis 31 kitab, hafal puluhan ribu hadits sejak usia 23 tahun, serta
memiliki sanad riwayat hadits yang bersambung hingga ke Rasulullah saw.
Di Darul Hadits, ada
pengajian harian, juga ada mingguan. Pengajian harian bersifat formal, dengan
kurikulum tertentu. Pesertanya terdaftar resmi. Sedangkan pengajian mingguan terbuka
untuk umum, digelar setiap Sabtu dan Ahad. Materinya khusus kitab-kitab hadits,
serta langsung diasuh oleh Syekh al Baji. Jika pengajian telah selesai, para
santri akan mendapat ijazah talaqqi yang ditandatangani langsung oleh Syekh.
Beberapa rekan mahasiswa Indonesia mengikuti pengajian ini secara aktif.
Di kawasan Ibn Sina,
ada Jam’iyyah
Mushtafa lil ‘Ulum as
Syar’iyyah. Program pengajian
dan kurikulumnya hampir sama dengan Ma’had Imam Malik. Syekh Sami al Aridy, salah seorang dosen di
Universitas Zitouna, memimpin lembaga ini.
Satu lagi, Jam’iyyah
Tunisiyyah lil Ulum as Syar’iyyah, yang
juga menggelar pengajian halaqah seminggu dua kali. Lembaga ini dikelola oleh
sejumlah ulama terkemuka Zaituna, seperti Syekh Habib bin Tahir dan Syekh
Burhan an Nafati. Syekh Habib dikenal sebagai ulama yang produktif menulis, di
antara karyanya adalah Al Fiqh al Maliki wa Adillatuh. Sedangkan Syekh
Nafati adalah guru besar Ushul Fiqh di Universitas Zitouna, yang tak lain
adalah dosen pembimbing disertasiku.
Masih ada majelis-majelis
pengajian lain yang belum kusebut di sini. Termasuk madrasah-madrasah tahfidz
yang juga kembali aktif. Semuanya rame, semarak, direspon secara positif oleh
umat. Alhamdulillah. Hadza Min Fadhli Robbina. Semua ini adalah karunia
Allah yang patut disyukuri. Salam Manis dari Tunis.
*Ruwwaq adalah
ruangan-ruangan kecil di bagian dalam atau samping masjid, khusus untuk
kegiatan pengajian. Masjid-masjid tua di Timur Tengah umumnya memiliki ruwwaq di sudut-sudutnya.