Monday, April 21, 2014

Tunis Feminis

Tahir Haddad, Sang Feminis dari Tunis

Cover buku Imroatuna cetakan Beirut, 220 halaman

Tahir Hadad (1899-1935) mengusulkan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Ia menentang poligami, menilai jilbab sebagai pengekang ruang gerak perempuan, serta mendorong wanita sekolah dan bekerja. Reaksi keras muncul dari para ulama Zitouna. Haddad diasingkan, ijazahnya dicabut, kemudian meninggal – konon dibunuh- pada usia 36 tahun.  

TUNISIA dikenal sebagai negeri Arab yang memiliki Undang-undang Hukum Keluarga yang paling progressive di dunia Islam, hingga saat ini. Di antara pasalnya : (1) poligami dilarang, pelakunya diancam denda plus penjara. (2) Gadis di atas 18 tahun tidak dapat dipaksa untuk menikah, meskipun oleh ayah kandungnya sendiri. Artinya, sang gadis boleh menolak pilihan ayah. Padahal dalam fikih Islam, ayah kandung memiliki hak ijbar, artinya boleh memaksa puterinya menikah. (3) Suami yang menceraikan isteri wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isteri, tak hanya pada masa iddah, tetapi selama isteri itu menjanda. Dan masih banyak pasal lainnya.

Mengapa UU yang diberlakukan sejak tahun 1956 itu sangat progressive? Mengapa begitu semangat mendukung hak-hak kaum perempuan meskipun –nampak- menyalahi ketentuan-ketentuan dalam fikih?

Banyak factor yang melandasinya. Selain karena factor ideology sekuler yang diterapkan oleh Presiden Habib Borguiba, UU Keluarga ini juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran sejumlah tokoh modernis di Tunis. Satu di antara mereka adalah Tahir Haddad yang terkenal karena bukunya yang kontroversial : Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Sang Pahlawan
Nama Tahir Haddad bukanlah nama asing di Tunis. Sejak tingkat Sekolah Dasar, nama ini sudah dikenalkan ke para murid sebagai ‘udzama biladi’, salah satu orang besar di negeriku. Fotonya terpampang di sejumlah tempat : lembaga pendidikan, kantor pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir Haddad”. Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia.

Apa dan siapa Tahir Haddad? Ia adalah pahlawan nasional, sastrawan, sekaligus ulama yang menyuarakan kebebasan perempuan. Gagasan-gagasannya yang menentang penjajah Perancis, juga aktifitasnya sebagai pendiri partai al Hizb al Hurr ad Dusturi pada tahun 1920-an bersama aktifis terkenal Abdul Aziz Tsa’albi, menjadikannya masuk dalam kategori pahlawan nasional. Syair-syairnya yang terkenal, membuat namanya juga dikenang sebagai salah satu sastrawan Tunis, bersanding dengan nama besar Ali as Syabi. Dan terakhir, ia dikenal juga sebagai feminis, karena keberaniannya mengusung kebebasan perempuan dalam bukunya, Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Tahir Haddad lahir di kota Tunis, pada tahun 1899. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan.

Mula-mula, Haddad belajar agama di kuttab, menghafal Al Quran, kemudian belajar agama di Ta’lim Zitouni, hingga meraih syahadah tathwi’, setingkat SMA sekarang. Kemudian ia melanjutkan belajar di fakultas hukum Universitas Tunis. 

Haddad seorang yang cerdas serta peduli akan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya di koran local pada tahun 1920-an, ia menyuarakan semangat perjuangan kepada para pemuda Tunisia.

Pada tahun 1927 ia menulis buku “al ‘Ummal at Tunisiyun wa Dzuhur al Harakah an Naqabiyah”. Melalui buku ini, ia menyuarakan pentingnya gerakan social menuju perjuangan merebut kemerdekaan. Bukunya ini dilarang beredar oleh penjajah Perancis.  Dalam bidang pendidikan, ia juga menulis buku at Ta’lim al Islami wa Harakat al Ishlah fi Jami’ az Zaituna. Melalui buku ini, ia menyampaikan sejumlah gagasan reformasi pendidikan pada lembaga tempat ia belajar : Ta’lim Zitouni.

Tahun 1930, bukunya Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’ terbit, setebal 140 halaman. Penerbitnya adalahal Mathba’ah al Fanniah, yang berlokasi tak jauh dari Masjid Zitouna. Melalui buku ini, ia mengusulkan kesetaraan antara pria dan wanita. Tentu saja buku ini memicu reaksi keras para ulama, hingga sempat hilang dari peredaran. Ia terbit lagi tahun 1972 pada era kemerdekaan Tunisia, di bawah kepemimpinan Presiden Habib Borguiba yang sekuler. Pada masa sekarang, buku Haddad ini dicetak berulang-ulang oleh Dar Tunisiyah lin Nasyr, juga oleh Dar al Intisyar al Arabi, Beirut.

Sang Feminis
Gagasan-gagasan Haddad dalam buku Imroatuna sebenarnya terinspirasi oleh para feminis Muslim pada era terdahulu, seperti Qassim Amin atau Rif’at Tahtawi. Isu-isu yang diangkatnya, tak jauh dari seputar jilbab, waris, hak-hak isteri dalam perkawinan, serta pendidikan kaum perempuan.

Ide-ide pembaharuan yang dikemukakan Haddad selalu berangkat dari fenomena kaum wanita Muslimah di Tunisia pada masanya, yang ia nilai sangat terbelakang. Keterbelakangan nasib kaum wanita di negerinya, sangat berimbas besar bagi keterbelakangan negerinya secara umum. Karena itu, kata Haddad, jika masyarakat Tunisia ingin  maju, maka majukanlah kaum perempuannya.

Salah satu penghalang kemajuan kaum perempuan, menurut Haddad, adalah jilbab. Haddad yang menilai jilbab sebagai tradisi bangsa Arab, bukan merupakan murni ajaran Islam (laisa hukman min ahkamid din), melihat jilbab sebagai symbol keterkungkungan wanita. Jilbab telah menghalangi kaum perempuan dari kesempatan belajar, bekerja, dan melakukan aktifitas lain di luar rumah.

Perzinaan, tidak muncul karena banyaknya wanita yang  tidak berjilbab. Melainkan karena akhlak yang buruk, atau karena kefakiran. Perzinaan, kata Haddad, bisa dihilangkan melalui pendidikan yang baik.

Tentang pendidikan. Seorang ibu tidak akan bisa mengasuh dan mendidik anaknya secara baik, jika si ibu itu sendiri tidak berpendidikan baik. Ia juga tidak bisa menjadi mitra kaum pria dalam membangun negeri, jika ia tidak berpendidikan. Membatasi kesempatan sekolah hanya untuk kaum pria, semakin membuka jurang kesenjangan antara kaum pria dan wanita. Pada gilirannya, akan mendorong kaum pria untuk lebih memilih wanita Eropa yang berpendidikan sebagai isterinya.

Karena itu, Hadad menyeru untuk dibangun sekolah bagi kaum perempuan, yang di dalamnya juga diajarkan berbagai macam ilmu, termasuk matematika, IPA, dasar-dasar ilmu kesehatan, ilmu kerajinan tangan, bahkan olahraga dan seni.

Tentang perkawinan. Hadad mengusulkan agar ada batasan minimal usia pernikahan bagi kedua mempelai. Ia memprotes tradisi Arab yang biasa meninggi-ninggikan mahar, atau royal dalam melaksanakan pesta perkawinan. Haddad mengkritik fenomena orang Arab Tunis yang biasa memiliki utang setelah menggelar pesta kawin. Selain itu, Hadad  juga mengkritik keluarga yang memperbanyak anak, tetapi tidak mampu mensejahterakan dan member mereka pendidikan yang baik. Artinya, Hadad mengusulkan program keluarga berencana, meski secara tersirat.

Poligami (ta’addud az zaujat) dalam pandangan Hadad adalah salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al Jahiliyah al ula). Hadad menggambarkan fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri beberapa orang wanita, bahkan tanpa batas. Kemudian para isteri itu diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas perilaku ini dengan menurunkan ketentuan secara bertahap (tadarruj) ; mula-mula membatasi jumlah maksimal wanita yang dijadikan isteri hingga 4 orang, dan kemudian mensyaratkan berlaku adil di antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan oleh seorang suami. Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami sebenarnya tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam sebenarnya bermaksud memberantas perilaku poligami ini. 

Hadad juga memandang bahwa poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu sendiri, yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan suami isteri. Ketiga hal itu aka terwujud jika seorang suami hanya mencurahkan kasih sayangnya pada seorang isteri.

Tentang perceraian. Hadad mengusulkan agar perceraian terjadi di depan hakim. Kemudian, jika perceraian dijatuhkan secara sepihak oleh suami, Hadad mengusulkan agar ada uang tebusan atau denda dari pihak suami.

Masih banyak ide-ide Haddad yang tidak aku tulis di sini. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih detail, silahkan baca bukunya langsung. Pada cetakan Beirut, buku ini hanya 220 halaman saja.

Menurut sejumlah analis, gagasan-gagasan Hadad lebih berani dari pada gagasan-gagasan pendahulunya seperti Qassim Amin. Jika Qassim Amin mengusulkan kesetaraan hak kaum pria dan kaum wanita dalam pendidikan minimal tingkat sekolag dasar, maka Haddad menyebutkan kesetaraan itu hingga dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu olah raga dan kesenian.

Sang Kontroversial
Ragam reaksi publik terhadap buku Hadad ini. Kalangan nasionalis yang didukung oleh penjajah Perancis, menyambut buku ini dengan sukacita. Mereka menggelar perayaan khusus (haflah) yang digelar secara mewah. Haddad diundang hadir dalam acara ini. Kisah tentang haflah ini diceritakan secara detail oleh penulis bernama Muhammad al May dalam buku berjudul Haflah Takrim Kitab Tahir al Haddad.

Sedangkan kalangan ulama Zitouna, menentang keras buku ini.  Setelah bukunya beredar Haddad mengalami kritikan dan kecaman. Ia sempat diusir dari ruang ujian di kampus fakultas hukum, kemudian dilarang mendapatkan ijazah.

Sejumlah ulama menulis buku sanggahan, di antaranya Syekh Muhammad Shalih bin Murad yang menulis buku al Hadad ‘ala Imroati al Hadad. Sedangkan Syekh Umar al Madani menulis buku Saeful Haq ‘ala Man La Yara al Haq.

Kecaman public juga disuarakan melalui koran-koran local, di antaranya adalah artikel Haula Zindiqat al HadadMauqif as Shahafah al ‘Arabiyah haula Nazilat al Hadad, Khurafat as Sufur, dan Aina Yashilu Ghurur a Mulhidin. Dewan Ulama Zitouna juga mengeluarkan vonis kafir kepada Hadad atas gagasan-gagasannya yang dianggap controversial dan melenceng dari ajaran yang benar.

***
Pemerintahan Tunisia pada era sekuler (1956-2011), sangat menjunjung tinggi nama Tahir al Haddad. Ia disanjung-sanjung sebagai pahlawan pembebasan perempuan di Tunis.

Di kota asalnya, Hammah, patung kepala Haddad berdiri tegar di sebuah perempatan. Aku kebetulan berkesempatan mengunjungi kota Hammah, beberapa bulan lalu, dan sempat lewat ke depan patung Haddad.
“Ini dia patung Tahir Haddad”, tutur Butsainah, seorang mahasiswi S2 asal Hammah.
Siapa dia? Pahlawankah? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
 “Oh, ia itu seorang ulama Zitouna. Tapi ia dipecat dari keualamaannya karena bukunya yang dianggap melenceng oleh para ulama”, kata dia.
Kalo sikap masyarakat kota ini bagaimana?
“Warga kota ini tidak menyukainya”, jawab dia lagi.

Aku sudah menduga jawabannya bakal seperti itu. Dan ketidaksukaan masyarakat Tunisia kepada Hadad, baru bisa diungkapkan sekarang, ketika rezim sekuler yang mengapresiasi pemikiran-pemikiran Haddad sudah tak lagi berkuasa di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.

Akankah pemikiran-pemikiran Haddad dilestarikan oleh pemerintah Tunisia sekarang? Dan tetap menginspirasi proyek hukum-hukum keluarga yang pro perempuan di Tunisia? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, semudah membalikkan telapak tangan.

Selamat Hari Kartini, Salam Manis dari Tunis


Tunis al Khadra, 21 April 2014 

Saturday, April 19, 2014

Tunis PAUD

KUTITIPKAN PUTERIKU PADA ORANG ARAB

Untuk bisa melepas puteriku yang masih balita ke TK/PAUD orang Arab, ternyata perlu keberanian. Terhalang keraguan, khawatir yang berlebihan dan cinta yang – kadang - memanjakan.

SUATU siang di TK al Malik as Shagir Tunis, hampir setahun silam.  Puteriku Kaira, yang baru berusia 3 tahun, meronta-ronta di pangkuan Rim, gurunya.  Tangisnya pecah. Air matanya berderai.

“Ayo, A, pergi”, kata isteriku seraya menggandeng tanganku.
Benarkah kita akan meninggalkan anak kita di sini? Aku masih ragu.
“Ya, kita harus berani memulai”, jawabnya sambil menarik tanganku. Aku pun berjalan pelan. Langkah-langkah kaki terasa berat. Sedangkan isteriku terus berjalan, semakin jauh dari pintu sekolah.

Suara tangis Kaira terdengar makin keras. Hatiku luluh. Kelopak mataku terasa hangat. Aku terus berjalan dengan langkah yang semakin berat.

Aku tak mau membohongi hatiku. Aku belum bisa jauh dari anakku. Segera aku balik kanan. Kubuka kembali pintu sekolah. Puteriku kuraih dari tangan Rim. Kupeluk erat dan kubisikkan, aku tak mau jauh darimu, sayang. Aku merasa belum siap menitipkanmu ke gurumu. Kaira kubawa pulang.

***
Firyal Khaira Ahlami, puteriku yang lahir pada tanggal 18 April 2010 silam. April 2013, saat usianya genap 3 tahun, aku berniat menyekolahkannya, agar ia punya teman main. Agar ia bisa berinteraksi dengan anak-anak seusianya. Agar ia tidak bĂȘte tiap hari hanya main dengan ayah-bundanya di rumah.

Sempat Pak Jamal – bapak kost yang baik hati itu- menawarkan agar puteriku dititipkan di rumahnya. “Kalo kamu sibuk kuliah, titipkan saja sama isteri saya”, katanya. Aku menolak secara halus. Aku tetap akan menyekolahkannya, Pak, supaya ia memiliki teman sebaya. Supaya ia tumbuh bersama anak-anak seusianya.

Anak itu harus bermain dengan teman sebayanya, supaya ia tidak egois. Ketika bermain dengan ayah bundanya, ia sebenarnya sedang bermain dengan kepalsuan. Karena ayah bunda bukanlah pesaing sejati baginya. Ayah bundanya akan selalu mengalah dan berpura-pura. Kemenangan anak saat bermain-main dengan ayah atau ibunya, adalah kemenangan yang semu.

Sedangkan di sekolah, ia akan menang dengan sesungguhnya, sebagaimana ia juga akan mengalami kekalahan yang sesungguhnya, dari teman-temannya. Inilah proses pembentukan karakter yang alami, tanpa rekayasa. Biarkan warna warni kehidupan ia temukan secara wajar dalam kesehariannya.

***
Bersama isteri, aku pun keliling mengunjungi beberapa sekolahan TK di sekitar tempat tinggal kami di Makal Zaim, Tunis. 

Mula-mula aku datang ke sebuah TK di belakang SMP Makal Zaim. Nurdin el Ayari, nama pengelolanya. Pria berusia setengah baya itu mengaku sebagai pensiunan kepala sekolah, yang kemudian mendirikan TK bersama isterinya.

Aku minta izin melihat-lihat ruangan kelasnya. Kok sepi? Mana anak-anaknya? Dari sela-sela jendela yang ditutup, aku intip salah satu ruangan kelasnya. Aku kira tidak ada orang. Ternyata ada sekitar 15 anak yang duduk berjajar di kursi panjang, sebagian menelungkupkan kepalanya ke meja. Sebagian lagi saling berbisik-bisik. Dari kelas sebelah, terdengar suara seorang wanita yang membentak-bentak. Suara itu menyuruh anak-anak tidur. Beberapa kali terdengar suara penggaris yang dipukul-pukulkan ke meja.

Semua jendela dan hordeng kelas ditutup. “Ini jam tidur siang, kata Pak Nurdin. Kulirik jam tangan : pukul 14.00 siang. Okelah, mereka “harus” tidur. Tapi mengapa suasana itu harus dipaksakan, bahkan diancam dengan hardikan atau pukulan ke meja. Aku merasa, ini tidak humanis. Bukannya positif, malah menekan mental anak. Itu buktinya, anak-anak tadi terdiam bukan karena tidur, tapi takut.

Tuan Nurdin, model pengajaranmu tidak akan mencerdaskan! Aku jadi meragukan pengalamanmu sebagai mantan kepala sekolah ! Aku langsung pamit.

***
Keesokan harinya, aku dan isteriku mengunjungi sebuah TK yang berlokasi di belakang Masjid al Hawa, samping kampus Universitas Zitouna. Begitu pintu dibuka, bacaan murattal Al Quran yang diputar dari kaset terdengar nyaring. Guru-gurnya juga berjilbab. Wah ini Islami, pikirku. Aku optimis.

Seorang guru wanita menemui kami. Ia menjawab beberapa pertanyaan seperlunya. Malah terkesan kurang ramah dan jarang tersenyum. Lalu aku amati  anak-anaknya, banyak yang hidungnya meler. Lehoan, kata orang Sunda mah. Tidak bersih. Beberapa lainnya bermata sayu.

Aku langsung ilfil. Ayo Neng, kita pulang, tuturku pada isteriku. Optimisme yang tadi sempat mencuat karena menduga ini sekolah yang “Islami”, seketika buyar.

Kaira bersama teman-temannya di PAUD al Hawa

***
Beberapa hari berikutnya, aku mengunjungi TK al Malik as Shagir itu. Jaraknya sekitar 500 meter dari kediamanku. Menuju ke sana, kami harus menyeberangi jalan raya dan menelusuri beberapa gang sempit di kawasan pemukiman tua.

Kaira langsung senang dengan suasana sekolah ini. Selain karena dinding-dinding sekolahnya rame dengan aneka gambar warna-warni, di pelataran tengah juga ada ayun-ayunan untuk anak. Oke deh, Kaira sekolah di sini saja.  Terlebih tiga gurunya : Rim, Amira dan Sausan, juga ramah-ramah.

Aku dan isteri, bergiliran menemani Kaira di sekolah. Saat isteriku ada kuliah, aku yang antar Kaira, dan sebaliknya.

Hari demi hari berlalu. Anakku enjoy bermain dengan teman-temannya. Tapi ya itu : ia belum mau ditinggal. Aku harus ada di dekatnya, ikut bermain bersamanya. Atau kalaupaun berjauhan, aku harus tetap dalam posisi kelihatan olehnya.
                                                                                                                                       
Beberapa kali aku mencoba memberanikan diri pergi. Kaira kutinggalkan sendiri. Tentu saja ia nangis. Dalam kondisi itu, seharusnya aku kuat : berani tega sedikit. Lama-lama juga ia akan terbiasa dengan teman-temannya. Tapi aku selalu ‘kalah’, seperti dalam kisah di awal tulisan tadi.

Aku hanya berfikir, anak usia 3 tahun itu belum saatnya dilepas. Apalagi dititipkan ke orang lain yang tidak sebangsa dan setanah air.

***
September 2013, Masjid al Hawa membuka TK Al Quran. Lokasi belajarnya adalah sebuah gedung baru, tepat di pojok kiri Masjid. Dengan pertimbangan lebih dekat dari rumah, kami memindahkan Kaira ke sekolah ini.

Sekolah agama memang sedang jadi trend baru di Tunis. Sejumlah masjid membuka pengajian-pengajian dan madrasah-madrasah tahfidz. Termasuk juga TK/PAUD Islami, yang mengajarkan Al Quran.

Kurikulum di TK Al Hawa ini lebih variatif dibanding sekolah Malik Shagir tadi. Di sini, setiap hari ada pelajaran mengaji, membaca hadits Nabi, menulis huruf sederhana, mewarnai/menggambar, doa harian, dan hafalan surat-surat pendek. Tentu selain aneka permainan khas anak kecil. Lokasinya juga samping kampus tempat kami kuliah. Guru-gurunya : Aminah, Aman, dan Rifqah, juga nampak energik, dan nyantri.

Antara Oktober2013 hingga awal 2014, Kaira masih ditemani ibunya. Aku hanya sesekali saja. Lama-lama, gurunya bilang, mau sampai kapan anakmu ditemani? Kapan ia bisa mandiri? Aku jadi berfikir, kalo belum dimulai satu langkah pun, perubahan itu mustahil terjadi. Selamanya hanya mimpi.

Bismillah, awal Maret 2014, Kaira tak lagi ditemani ibunya. Isteriku hanya ngantar sampai pintu kelas, kemudian Kaira dipangku oleh Sati, panggilan singkat dari Anisati (sebutan untuk pengasuh anak di sekolah). Tentu Kaira nangis. Tapi kami berusaha tegar.

Aku biasa ikut mengantar, tapi tak sampai depan pintu sekolah. Aku tak tega mendengar suara tangisnya. Isteriku yang dengan setia mengantar ke pintu, menyerahkan Kaira pada gurunya, lalu berdiri di samping jendela, sekedar mengintip, untuk memastikan bahwa Kaira berhenti menangis. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Jika tangis Kaira sudah benar-benar terhenti, barulah kami pergi.

Aku berkali-kali diskusi dengan isteri, apakah kita tidak terlalu memaksakan diri? Bukankah anak usia 4 tahun itu masih harus bersama ayah bundanya? Kata isteriku, kita harus bisa memulai. Toh anak-anak seusianya juga sudah sendiri di sekolah. “Allah yang akan menjaganya”, katanya meyakinkaku.

***
Hari-hari terus berlalu. Tanpa sepengetahuan isteriku, sesekali aku lewat ke depan sekolahan anakku, lalu mengintip dari jendela. Ia nampak begitu lucu. Ia sedang bermain dengan teman-temannya yang orang Arab. Aku ingin mengambilnya ! Tapi bathinku berbisik : tidak boleh! Biarkan ia bermain lepas dengan teman-teman sebayanya ! Biarkan ia menemukan dunianya !

Setiap hari, gurunya selalu melaporkan perkembangan anakku. Hari-hari pertama, Kaira menangis agak lama saat dilepas ibunya. Minggu kedua, frekuensi nangisnya berkurang. Dan awal April 2014 ini, Kaira tak pernah nangis lagi di sekolah. Begitu tiba di sekolah, ia langsung ceria dalam pangkuan sati-satinya.  Ia juga bisa lumjah (ngemil) sendiri. Hanya sesekali disuapi gurunya.  Di rumah, ia selalu semangat bercerita tentang teman-temannya.

Dan hari ini, adalah hari ulang tahunnya yang ke-4. Tadi pagi ia nampak semangat melangkahkan kakinya menuju sekolah.  Alhamdulillah.

Selamat ulang tahun puteriku. Berjalanlah ke sekolahmu, ukirlah mimpi-mimpimu di sana. Duniamu ada di sana. Aku menitipkanmu pada guru-gurumu, karena aku mencintaimu.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh, tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sambil meresapi makna dari bait-bait puisi Khalil Gibran di atas, aku merasakan kebanggaan menjadi seorang ayah. Selamat ulang tahun puteriku, 18 April 2010-18 April 2014.


Tunis al Khadra, 18 April 2014 

Wednesday, April 09, 2014

Kantin Mahasiswa

PERBAIKI GIZI DI MATH'AM JAMI'I

Dua puluh enam persen APBN yang digelontorkan pemerintah Tunisia untuk sector pendidikan, dinikmati berkahnya oleh para mahasiswa di Tunis. Selain bea kuliah yang murah meriah, para mahasiswa juga menikmati fasilitas Math’am Jami’i alias kantin mahasiswa.

Di kantin ini, para mahasiswa menikmati menu bergizi, porsi besar ukuran orang Arab, tetapi dengan harga murah meriah. Uang 1 Dinar (senilai Rp 7 ribu), bisa ditukar dengan 5 kupon, untuk 5 kali makan. Semua bisa murah karena subsidi pemerintah.

Math’am Jami’i ada di mana-mana. Di setiap kawasan kampus, di situ ada math’am jami’i. Atau di mana ada asrama mahasiswa, pasti di sebelahnya berdiri gedung math’am jami’i. Laksana pepatah lama, di mana ada Romi, di situ ada Yuli, hehe..

***
Selasa siang kemaren sepulang kuliah, aku bersama beberapa rekan sengaja makan siang di Math’am Jami’i Rabta. Math’am ini biasa menjadi lokasi makan para mahasiswa dari 2 kampus yang lokasinya saling berdekatan : Universitas Tunis dan Universitas Zitouna.  

Kami berjalan kaki menyeberangi Jalan Raya 9 April, salah satu jalan utama di kota Tunis, yang membentang di samping kampus kami. Kemudian kami melewati depan gedung fakultas Adab Universitas Tunis. Nampak para mahasiswanya berkelompok-kelompok berjalan menuju arah Rabta. “Mungkin mereka juga mau makan siang di Math’am”, pikirku menerka-nerka, hehe.

Di kawasan ini, terdapat beberapa kafe gaul tempat para mahasiswa nongkrong, menunggu jadwal kuliah atau menunggu bis. Tapi tentu saja, harga makanan di kafe-kafe itu jauh di atas tarif math’am jami’i.

***
Tak lama kemudian, kami tiba di halaman math’am impian. Aku langsung menuju loket penjual kupon. Antri dengan mahasiswa lain. Maklum, jam 12an siang menjelang dzuhur begini, memang waktunya makan.  

Tepat di samping loket, ada whiteboard kecil yang menggantung. Tertulis di situ kalimat dalam bahasa Arab : Menu siang ini : Syurbah, Lubia, Thojin, Salathah dan Burtuqal.   Syurbah adalah sup pembuka. Lubia adalah kacang berkuah. Thojin adalah sejenis perkedel, bahannya telur dan aneka sayuran. Salathah adalah salad sayura segar. Selalu ada buah zaitunnya. Burtuqal adalah buah jeruk. Oya, ada satu yang tidak disebutkan di situ tapi pasti selalu ada : roti baguette yang besar dan panjang itu..  

Menu di math’am jami’i telah dijadwal oleh pengelolanya. Cukup variatif. Kadang ada kuskus, makaruna (spageti), atau nasi kebuli. Lauknya juga macam-macam, ada daging sapi, daging kambing, ayam, ikan, telur atau thojin. Plus salad, sayuran segar dan buah-buahan. Sesekali, buah-buahan diganti dengan yoghurt local. Pokoknya mah, variasi menu dan porsinya yang jumbo, sangat cocok untuk mereka yang sedang terapi program perbaikan gizi, hehe.

Saat studi S2 dulu (2005-2007), aku cukup sering makan di sini. Malah waktu itu aku sampe hafal menu sehari-harinya, baik makan siang atau makan sorenya.  Wow, segitunya. Oya, math’am jami’i ini buka dua kali sehari : makan siang (pukul 12.00-14.00) dan makan sore (pukul 17.00-18.00).

Bagi ‘member’ yang tidak tertarik dengan menu yang disebutkan di whiteboard tadi, dapat membatalkan niatnya lalu langsung balik kanan. Kalo aku, jangan ditanya. Sejak awal jadi nasabah math’am ini pada tahun 2005 silam, Alhamdulillah tak pernah melakukan itu. Seperti kata pepatah lagi : sekali kaki melangkah ke depan, pantang mundur ke belakang…! Hehe…


***
Setelah kupon di tangan, kami masuk ke pintu ruang makan. Kami berdiri mengantri, di sela deretan panjang para mahasiswa. Campur semua di situ. Mahasiswa dan mahasiswi, baik orang Tunis maupun orang asing. Para mahasiswinya ada yang berjilbab, ada juga yang tidak. Ada yang modis cantik, juga yang biasa-biasa. Para mahasiswanya juga sama : ada yang pecian dan jenggot panjang, ada juga yang pake jeans lusuh. Tak ada kasta atau status social di sini. Math’am jami’i mengajarkan kesetaraan ! hehe…

Siang itu, banyak juga kulihat mahasiswa yang mengenakan kemeja lebar berwarna putih. Sepertinya mereka adalah para mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Tunis. Kampus mereka memang berada di kawasan ini.

Para pegawai rumah makan berdiri siaga menyambut kami. Ada yang bertugas memberikan buah-buahan ke piring yang kami pegang. Ada yang bertugas menuangkan kuah, ada yang memilihkan daging, juga mengisi piring kami dengan salad atau sayuran segar. Semua ada tugas sendiri-sendiri. Dan kami berjalan pelan melewati setiap mereka.

Kami makan di meja-meja yang berderet. Duduk saling berhadapan, berbaur dengan para mahasiswa lain dari berbagai negeri. Kami lupa dengan perbedaan warna kulit atau bentuk rambut. Kami disatukan oleh kesamaan perasaan : lapar..!

Allahumma Barik Lana Fiimaa Raqaztanaa… Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 08 April 2014 

Wednesday, April 02, 2014

Puisi Mahasiswa

Padahal Aku Adalah Mahasiswa

Seharian aku bisa online
chating di Face Book 
atau menonton Youtube,
tapi baca buku
sepuluh menit saja aku tak mampu
padahal aku adalah mahasiswa. 

Berjam-jam duduk di kafe
ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok
oh itu hobiku,
duduk melingkar di forum diskusi sambil memegang buku
sorry ya, aku tak suka !
padahal aku seorang mahasiswa

Di mana perpustakaan? 
di mana toko buku?
jangan tanya itu, aku tak tahu,
aku lebih hafal toko baju dan toko sepatu 
meski aku seorang mahasiswa

tuh lihat kamar kost-ku,
banyak sepatu baru,
silahkan buka lemariku
penuh dengan koleksi baju,
buku..di mana kau buku?! 

Siapa intelektual kesohor di kotaku,
mana kutahu..!
nama rektor di kampus
dekan fakultas
bahkan dosen di kelas, 
aduh, aku tak pernah mengingatnya !
padahal aku adalah mahasiswanya

tugas makalah, tinggal copas dari Google
hadapi ujian, tinggal siapkan contekan
praktis, khan?!
...
Hai diriku,
jika kau lebih suka buang-buang waktu tanpa baca buku
lebih sering ngerumpi daripada ngaji
masih suka copas dan nyontek
masih hobi maksiat dan males solat,
jangan harap cahaya ilmu 
'kan terangi jalan hidupmu

Tunis al Khadra, 01 April 2014