Sunday, October 26, 2014

Pemilu Tunis 2014

Pemilu Tunisia, Taruhan Kemulusan Revolusi Arab

Hari ini (26/10), Tunisia akan menggelar pemiluhan umum (Pemilu) legislative. Lima jutaan pemilih akan menyalurkan hak suaranya di TPS, guna menentukan masa depan negeri berpenduduk 11 juta jiwa ini. 

Ini adalah pemilu kedua Tunisia setelah revolusi 2011 (Arab Spring) yang menumbangkan rezim sekuler Ben Ali. Pemilu pertama, Oktober 2011, berlangsung secara aman, damai, dan dinilai sebagai demokratis. Hasilnya, 217 kursi parlemen terisi dengan komposisi : Partai Islam Nahda 89 kuri (41 %), Hizb al Muktamar 29 kursi (13 %), Hizb ar Ridha 26 kursi (26 kursi), Hizb at Takattul 20 kursi (9%), dan sisanya dibagi habis oleh partai-partai gurem.

***
Akankah Pemilu kedua ini juga berlangsung damai? Semoga saja ya. Karena Pemilu kedua ini adalah salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi.

Sejauh ini, masa transisi di Tunisia berjalan cukup aman dan damai. Hiruk pikuk konstelasi politik di kalangan elit, hanya terjadi di ruang parlemen, tidak berimbas pada kehidupan rakyat bawah. Aktifitas harian rakyat tetap berjalan normal. Saya melihat, ini terjadi karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang umumnya baik, sehingga mereka umumnya berfikir rasional, tidak mudah terprovokasi untuk ikut-ikutan ribut.

Berbeda misalnya dengan revolusi yang terjadi di beberapa negara Arab lain, seperti Libya, Mesir, Syria atau Yaman, yang kerap diwarnai perang saudara yang sering menjatuhkan korban jiwa. Semua kelompok merasa benar sendiri dan tidak ada yang mau mengalah. Di Libya sekarang ini malah hamper setiap warga memegang senjata. Saya lihat di TV, dengan gagahnya para pemuda desa memberondongkan peluru ke perkampungan saudara-saudarinya yang sebangsa dan setanah air. Laksana jagoan dalam film. Di Syria, rakyat sipil menembakkan bedil sambil meneriakkan Allahu Akbar.

Setiap kali menyaksikan adegan-adegan itu di TV, rasanya saya ingin teriak, Hai orang Arab, apa sih yang kalian inginkan? Tidakkah kalian sadar bahwa aksi-aksi kalian itu sebenarnya merugikan kalian sendiri? Juga mengundang tawa orang-orang Amerika dan Barat? 

Yang pasti, aneka konflik dan perang saudara yang terjadi di negara-negara itu membuat banyak orang berfikir bahwa orang Arab tidak bisa berdemokrasi. Muncul teori di sebagian kalangan bahwa revolusi Arab telah gagal.

Tapi teori ini belum bisa sepenuhnya terbukti karena revolusi yang terjadi di Tunisia, hingga sementara ini, masih terhitung mulus. Mulus dalam arti tetap berjalan sesuai dengan agenda yang diamanatkan oleh revolusi. Di sisi lain, seperti yang saya sebutkan di atas, konflik elit politik hanya terjadi di parlemen, tidak berimbas pada kehidupan harian rakyat bawah.

Protes rakyat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dilakukan melalui unjuk rasa damai atau aksi mogok (idhrab). Sebagaimana pernah saya tulis pada bulan Januari 2014 lalu dalam judul “Negeri Ahli Mogok”. Kalaupun ada kontak senjata yang menimbulkan korban jiwa, itu adalah agresi yang dilakukan militer Tunisia dalam rangka penyerbuan terhadap kelompok-kelompok terduga teroris. Seperti penyerangan terhadap sarang teroris di bukit Sya’anbi di propinsi Gasserine, dekat perbatasan Al Jazair. 

***
Berulang kali Syekh Rashid Gannushi, pimpinan gerakan Nahdah, mengemukakan bahwa kunci kesuksesan revolusi di Tunisia adalah karena kemauan berkompromi antarkelompok-kelompok politik. Jumat (22/10) lalu, ia kembali menegaskan hal itu pada hari kampanye terakhir yang digelar di alun-alun kota Tunis. Sirru Najah ats Tsaurah at Tunisiyah huwa at Tawafuq baina al Ahzab as Siyasiah, demikian tuturnya. Rahasia kesuksesan revolusi Tunisia adalah kesiapan kompromi antarelit partai politik.

Tentang hal ini, saya pernah menuliskannya secara khusus dalam judul “Mau Mengalah, Kunci Kemulusan Revolusi Tunis”, Desember 2013 lalu.

Syekh Gannushi tidak hanya mengucapkan kalimat itu, tetapi juga membuktikannya dengan aksi konkret melalui partai yang dipimpinnya : Nahdah. Perjalanan masa transisi revolusi Tunisia sejak 2011 hingga kini, membuktikan hal itu. Selama kurun waktu 3 tahun, tiga kali Perdana Menteri ganti, atas desakan kaum oposisi sekuler. Padahal, andai saja Nahdah selaku pemenang Pemilu “ngotot” dan mempertahakan Hammadi Jebali – PM pertama, sebenarnya bisa saja. Pun juga ketika penggantinya, Ali el Aridhi digoyang dari kursi PM pada akhir 2013 lalu, dengan mudahnya Nahdah pun mengalah. Tanpa banyak komentar, Nahdah merelakan kursi PM diduduki tokoh non partisan, Mehdi Jumah hingga hari ini.

Sikap kompromi yang ditunjukkan partai pemenang ini bukan hanya dalam urusan kursi PM.    Tetapi juga dalam berbagai isu lain, termasuk sejumlah proyek perundang-undangan. Ketika kaum oposisi sekuler gencar menyerang Nahdah dengan tuduhan akan mendirikan Negara Islam di Tunisia –bahkan sekelompok lain yang saya baca di koran menyebutnya kekhalifahan Nahdah – Syekh Gannushi segera menyangkal itu. Melalui wawancara media, orasi ilmiah dan juga sejumlah buku yang ditulis, Gannushi menegaskan bahwa Nahda sedikitpun tidak akan menjadikan Tunisia sebagai Negara “Islam”.

***
Wah, tulisan ini jadi kemana-mana, semakin menjauh dari angle awal, yakni tentang Pemilu.  Kita akhiri saja dulu ya pembaca. Saya akan bersiap-siap untuk menonton jalannya Pemilu di sejumlah TPS yang akan segera dibuka beberapa jam lagi.

Saya tidak ingin melewatkan momen bersejarah ini begitu saja. Momen ketika warga Arab- Islam di Tunisia bisa membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa diatur, bisa berbeda pendapat. Dalam Bahasa modernnya, mereka pun bisa berdemokrasi. Agar tuduhan sekelompok orang  yang saya sebut di atas – bahwa revolusi Arab telah gagal – tidak terbukti. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, dini hari 26 Oktober 2014