Tuesday, April 14, 2015

Tunis Halaqah

Mereguk Makrifah di Negeri Zaitunah

Suasana pengajian kitab Fiqh Maliki di Masjid Hamouda Pasha, Old Tunis, Maret 2015

Sabtu sore usai shalat Ashar. Puluhan pria duduk rapi dekat mihrab di dalam sebuah masjid. Sebagian besar mereka memegang buku. Seorang pria berusia setengah baya duduk di kursi, berhadapan dengan mereka. Sang pria yang berpeci merah khas Arab Magribi itu berbicara, sambil sesekali membaca buku yang dipegangnya. Sesekali pula ia mempersilahkan orang-orang di hadapannya itu mengajukan pertanyaan atau komentar.

Di pojok belakang kanan ruangan Masjid itu, beberapa orang wanita duduk berbaris. Di balik tirai tipis, mereka juga nampak khusyu menyimak pembicaraan sang pria.

Begitulah suasana pengajian (halaqah) kitab Tanqih al Fushul setiap Sabtu sore di Masjid ad Diwan, sekitar 250 meter dari Masjid Agung Zitouna, Tunis. Tanqih al Fushul fi Ikhtishar al Mahsul fi al Ushul adalah kitab ushul fiqh karya Imam al Qurafi, seorang ulama besar Malikiyah yang wafat pada tahun 684 H. Puluhan pria dan wanita yang duduk di Masjid itu adalah para jema’ah halaqah. Dan pria setengah baya itu tak lain adalah Syekh Prof Dr Burhan Nefati, penyampai materi pengajian.

Sabtu sore itu, syekh membahas lafadz-lafadz al musytarak, al mutawathi, al murtajal, dan al mutaradifah, yang merupakan isi pasal enam dari bab pertama kitab Tanqih itu. Dengan fasih, sang syekh menjelaskan lafadz-lafadz itu disertai contoh-contohnya dalam Al Quran atau hadits, serta ragam pendapat ulama dalam memahaminya. Sang syekh menjelaskannya dengan Bahasa Arab fushah, seolah tahu bahwa audiensnya banyak orang non Arab. Pembahasan kebahasaan (al mabahis al lafdziyah) yang rumit pun menjadi mudah.

Pengajian berakhir sesaat sebelum adzan Magrib berkumandang.

***
Halaqah kitab Ushul Fiqh di Masjid Diwan, adalah satu di antara sekian banyak majelis halaqah yang saat ini tumbuh subur di kota Tunis. Bak cendawan di musim hujan, halaqah-halaqah itu bermunculan seiring dengan keran kebebasan yang dirasakan umat Islam pasca revolusi 2011. Revolusi yang berhasil menumbangkan rezim penguasa sekuler, kemudian menggantikannya dengan kekuatan baru yang lebih bersahabat dengan Islam.

Tak jauh dari Masjid Diwan tadi, ada Masjid Hamouda Pasha. Di masjid yang dibangun pada tahun 1655 M ini, setiap hari Minggu siang ada pengajian Fiqh Maliki. Pengajian ini disampaikan oleh Syekh Habib ben Tahir, seorang ulama ahli fiqh terkemuka di Tunis saat ini. Kitab yang dibaca adalah al Fiqh al Maliki wa Adillatuhu yang beliau karang sendiri. Kitab setebal 7 jilid ini dicetak berulang-ulang oleh sebuah penerbit di Beirut. 

Di Masjid Agung Zitouna, pengajian halaqah ini bahkan digelar setiap hari, yang dikemas dalam program Ta’lim Zitouni. Peserta belajar tiap hari, dengan jadwal yang tetap. Menurut catatan sejarah, Ta’lim Zitouni ini telah ada sejak masjid ini dibangun, yakni pada tahun 732 Masehi. Tak heran jika Ta’lim Zitouni – yang merupakan cikal bakal Universitas Zitouna di era modern - dinilai sebagai lembaga pendidikan keagamaan tertua di dunia Islam.

Selain Ta’lim Zitouni, Masjid Zitouna juga menggelar beberapa pengajian mingguan untuk umum. Di antaranya adalah kajian Tafsir Tahrir wa Tanwir karya ibn Asyur, yang diasuh oleh Syekh Hasan al Mana’i, guru besar tafsir di Universitas Zitouna. Pengajian ini digelar setiap Sabtu bakda Magrib. Juga ada pengajian yang disampaikan oleh Syekh Nizar Hamadi, ulama muda yang dikenal produktif menulis dan mentahqiq kitab.

Ta’lim Zitouni, dengan segala warna-warni persoalan yang dihadapinya, hingga kini masih masih dianggap sebagai lembaga pendidikan keislaman yang ‘orsinil’, orientasi murni turats, serta para pengajarnya memiliki sanad keilmuan yang tersambung hingga para ulama madzhab.

***
Masih banyak majelis ilmu lainnya yang ada di negeri Zaitunah ini. Di Masjid al Busyra yang berlokasi di Jalan Carthage - masih kawasan Old Tunis - ada pengajian setiap Senin, Selasa, dan Rabu bakda Magrib. Hari Senin adalah kajian kitab al Muwatha karya Imam Malik, diasuh oleh Syekh Kamil Sa’adah. Hari Selasa adalah ilmu qiraat, diasuh oleh Syekh Muhamed Musyfir, dan Rabu adalah kajian kitab Tafsir Tahrir wa Tanwir karya ibn Asyur, bersama Syekh Ali Gharbal.

Di luar kawasan Old Tunis, pengajian juga tak kalah ramai. Di kawasan el Menzah, ada majelis Syekh Munir Kamantar. Ulama muda yang menyerap aneka warisan ilmu di negeri Syam dan Mesir ini menggelar pengajian setiap Senin, Rabu, Kamis dan Sabtu bakda Magrib. Kyai bergelar doktor Ushul Fiqh Al Azhar Mesir ini, mengajar kitab fiqh Maliki, yakni as Syarh as Shagir li Aqrab al Masalik ala Madzhab al Imam Malik.

Di kawasan Zahrouni, ada Syekh Farid al Baji, ulama muhaddits yang cukup terkenal di Tunis saat ini, karena keberaniannya mengkritik kaum Salafi-Wahabi yang belakangan melanda negeri  Maliki ini. Di majelisnya, Syekh al Baji biasa menggelar pengajian kitab-kitab hadits, sesuai keahliannya. Sejumlah mahasiswa Indonesia telah mendapatkan ijazah kitab hadits dari beliau, seperti ijazah kitab al Muwatha (Imam Malik), al Musnad (Syafi’i) dan al Mustadrak (Naisaburi).

Di kawasan Bardo, ada Syekh Ali Bouslagem, ulama ahli  qiraat yang memperoleh aneka sanad qiraat dari para ulama besar di Syria. Setiap bakda Subuh beliau mengajarkan ilmu qiraat kepada para santrinya, termasuk sejumlah mahasiswa Indonesia.

Masih banyak yang lainnya. Perlu survai serius untuk bisa menyebutkannya satu per satu.

Semua yang dipaparkan di atas, adalah halaqah-halaqah yang digelar oleh individu sang ulama. Semuanya digelar secara terbuka untuk umum,dan tentu saja tidak dipungut biaya. Modal mau berangkat saja. Masjid Zitouna, Masjid Diwan, dan Masjid Hamuda Pasha, berlokasi di kawasan  kota tua, yang tidak jauh dari pemukiman mahasiswa Indonesia. Bisa ditempuh dengan jalan kaki santai sekitar 15 menit. Tidak bisa naik kendaraan seperti bis atau taksi, karena masjid-masjid ini berada di tengah-tengah kawasan Medina, pasar tradisional nan antic yang berusia ratusan tahun.

Halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh lembaga resmi semacam ma’had/pesantren, juga banyak. Di kawasan el Manar, ada Ma’had Imam Malik lil ‘Ulum as Syar’iyyah, tempat aku dulu pernah mengaji kitab fiqh Maliki berjudul Risalah ibn Abi Zaid al Qairawani kepada syekh Sami an Nabli. Di kawasan ibn Sina, ada Jam’iyyah Mushtafa. Di Monfluri, tak jauh dari pemukiman mahasiswa Indonesia, ada Jam’iyyah Husnul I’tidal. Banyak mahasiswa kita yang aktif mengaji di sini. Di kawasan Hay al Khadra, ada Jam’iyyah Tunisiyyah lil Ulum as Syar’iyyah. Dan lain sebagainya.  

Lembaga-lembaga ini menggelar kajian berbagai disiplin ilmu keislaman. Pengajian dilakukan secara klasikal dan berjenjang. Para pesertanya terdaftar resmi. Setiap akhir tahun ada ujian. Setelah tahun ketiga, ada ijazah.


***
Mengikuti pengajian-pengajian itu, kerap mengingatkanku pada suasana di pesantren, sekian tahun silam. Para santri duduk lesehan melingkar sambil memegang kitab, dalam kondisi berwudhu, dengan penuh adab. Sang kyai atau syekh menjelaskan isi kitab dengan bersahaja, penuh kesederhanaan, dan khidmat. Bedanya, kali ini sang kyainya orang Arab, penjelasannya pun berbahasa Arab. Khusus di Tunis, kitab-kitab fikihnya  adalah bermadzhab Maliki.

Inilah salah satu kelebihan belajar Islam di negara Arab seperti Tunis. Terlepas dari konflik politik atau ancaman terror dari kelompok garis keras seperti ISIS yang selalu membayangi, atau juga kritik metodologi yang kerap disampaikan oleh sejumlah kalangan di luar terhadap system studi di Timr Tengah, halaqah-halaqah ini adalah sebuah fenomena menarik yang khas.  

Ia laksana samudera makrifah yang menjadi obat bagi para pencari ilmu yang kehausan. Selagi masih di sini, reguklah sepuasnya. Untuk bahagiamu kelak, di dunia dan akhirat. Amin Ya Robb. Salam Mani dari Tunis.


Tunis al Khadra, Selasa dinihari 14 April 2015