Para Guru Besar yang Bersahaja
Salah satu teladan para guruku di Tunis yang sangat menginspirasi adalah keluhuran akhlak mereka, dibuktikan dengan kesahajaan dan kesederhanaan.
Sejumlah dosen senior yang bergelar guru besar (profesor), dikenal sangat ramah dan rendah hati. Mereka tak merasa gengsi mengajar di jenjang s1. Adik-adik kelasku yang kuliah s1 di Univ Zitouna, tiap hari menikmati perkuliahan berbobot yang disampaikan para profesor. Tanpa asisten-asistenan.
Di Fakultas Peradaban, ada Prof Zu'airi (ahli hadits), Prof Hentati (Sejarah), Prof Allusy (tafsir), Prof Fethi Abidi (Ulumul Quran / Qiraat), juga Prof Nefati (Ushup Fiqh). Bahkan rektor pun, Prof Hisham Grissa, rajin masuk kelas pada jenjang S1. Di Fak Ushuludin, ada Prof Munjia (tafsir), Prof Bozguiba (Fiqh) dan Prof al Majdi (filsafat). Prof Nurdin Khadimi dan Prof Mounir Tlili - keduanya guru besar & mantan Menteri Agama - juga rajin ngajar, lalu shalat di musholla kampus bersama para mahasiswa.
Aku cukup sering mendampingi tamu dari tanah air, bertemu rektor. Hampir selalu dijadwalkan jam 17.00 sore, karena "Pak Rektornya ngajar dulu", kata Bu Saidah, sang sekpri. Pernah suatu saat, jelang jam 17.00, aku berdiri depan Gd Rektorat. Dari arah gedung perkuliahan S1, aku melihat beliau datang.
Para guru besar itu rajin hadir ke kelas dan selalu tepat waktu. (Ini sebenarnya tipe umum orang Tunis : tepat waktu). Kalo sekali-kali mereka berhalangan, para mahasiswa jangan senang dulu.. Kelak mereka akan menjadwalkan hissoh ta'widhiyah (jam pengganti) pada akhir semester.
Mereka juga berpenampilan sederhana. Mobil mereka umumnya tua dan lusuh, bukan mobil mewah. Banyak juga yang berangkat ke kampus naik angkutan umum. Entah karena tidak punya kendaraan atau memang mereka tdk mau membawanya ke kampus. Ini pengamatanku ya.
Prof Nefati - supervisor disertasiku - biasa naik taxi. (Taxi di Tunis ini jarang yang bagus, semua tanpa AC. Ongkosnya memang murah). Beberapa kali aku menemuinya saat beliau berdiri di halte, nunggu taxi. Pernah suatu ketika, aku menemaninya ngobrol di halte, hingga aku diajak ikut naik taxi menuju rumahnya. Sepanjang jalan, kami melanjutkan diskusi yang tadi tertunda.
Beberapa di antara mereka berangkat dari rumah naik trem ke stasiun Barcelona, di pusat kota Tunis. Dari situ mereka jalan kaki menuju kampus. Jaraknya sekitar 1,5 km, melewati pasar Sidi Basyir yang padat itu. Jarak ini biasa ditempuh dengan 20 menit. Mengapa tidak naik taxi? Untuk ukuran orang Tunis, jarak ini terhitung dekat. Sopir taxi akan bilang, "jarak segitu mah jalan kaki saja". Di kota Tunis ini, berjalan kaki - terutama di kwsn kota tua - memang hal biasa. Karena itulah, aku sering berpapasan dengan Prof Allusy, Prof Fethi Abidi, atau Prof Ali Oulwi, atau beberapa dosen lain. Mereka berjalan menjinjing tas, dalam perjalanan menuju kampus atau sebaliknya.
Oya mereka juga rajin ke perpustakaan, membaca buku, tak segan duduk berdampingan dengan para mahasiswanya. Seperti suatu ketika aku bertemu Prof Ali Oulwi di perpus kampus. "Bpk sedang cari data utk riset yah?", tanyaku menerka-nerka. "Oh tidak", jawabnya, "Saya ke sini sedang mengecek akurasi bbrp referensi seorang mahasisawa bimbinganku dalam thesisnya", kata beliau. Wow, subhanalloh. Beliau sangat khawatir mahasiswanya menulis thesis secara copas..
Yang sempat mengagetkanku, umumnya mereka menolak hadiah dari mahasiswanya. Apalagi berupa uang. Kisah ini sering aku dengar, bahkan kualami sendiri, seingatku dua kali. Salah satunya, ketika seorang teman menitipkan oleh-oleh untuk dosen pembimbingnya, berupa aneka souvenir. Di sela souvenir itu rupanya ada amplop tebal, berisi uang. Siang hari, kuserahkan titipan itu. Malam hari, sang dosen menelponku, mengapa harus ada uang di souvenir itu? Tahukah kalian, kami tdk pernah mengambil hadiah berupa uang dari mahasiswa? Aku sangat terhina dengan pemberian ini...bla bla bla.. Aku hanya terdiam. Dan keesokan harinya, dengan kepala tertunduk, aku menerima pengembalian amplop itu..
Aku kadang bertanya-tanya, apakah mereka tidak butuh uang? Ah, masa sih. Dosen juga manusia, pikirku.
Aku juga penasaran, mengapa mereka memilih jalan kaki atau naik kereta? Mengapa mereka tidak membeli kendaraan? Padahal gaji mereka besar. Aku tau banget berapa angka-angka gaji guru di Tunis. Di negeri berpenduduk 12 juta jiwa ini, guru dan dosen adalah profesi favorit, karena gajinya tinggi. Buah dari alokasi 26 persen APBN untuk pendidikan. (Pada zaman Habib Borguiba 1956-1987 malah 33 %).
Menurut sebuah buku yang kubaca, orang Tunis lebih menilai status sosial didasarkan pada strata akademis. Semakin tinggi ijazah, ilmu atau prestasi akademik seseorang, ia akan semakin dihormati. Jadi, penghormatan didasarkan atas ilmu, bukan kekayaan.
Oh ini ternyata rahasianya. Pemerintah menganggarkan dana besar untuk pendidikan, rakyatnya menghormati ilmu dan memuliakan ulama.
Pantas jika Tunisia - setidaknya pada masa lalu - menempati posisi negeri termakmur kedua di Afrika. Pantas jika Tunisia juga adalah negeri dengan infrastruktur paling bagus, untuk ukuran "benua hitam" Afrika. Sekali lagi : untuk ukuran Afrika.. Karena ilmu dan ulama dijunjung tinggi.
Ilmu didukung, para guru berakhlak luhur, rakyat juga pandai menghormati ulamanya. Makanya di negeri ini tidak ada cerita anak muda yang berani menghina ulama, sebagaimana belakangan terjadi di negeriku tercinta nun jauh di sana 😢
*Salam hormat dan doa tulus, untuk para guru yang pernah mengajarku, di mana pun berada
** Fotoku bersama Syeikh Ali Bousyalaghim, salah satu guruku di bidang ilmu tajwid/ qiraat di Tunis.
Tunis al Khadra, 29 Nopember 2016
Sejumlah dosen senior yang bergelar guru besar (profesor), dikenal sangat ramah dan rendah hati. Mereka tak merasa gengsi mengajar di jenjang s1. Adik-adik kelasku yang kuliah s1 di Univ Zitouna, tiap hari menikmati perkuliahan berbobot yang disampaikan para profesor. Tanpa asisten-asistenan.
Di Fakultas Peradaban, ada Prof Zu'airi (ahli hadits), Prof Hentati (Sejarah), Prof Allusy (tafsir), Prof Fethi Abidi (Ulumul Quran / Qiraat), juga Prof Nefati (Ushup Fiqh). Bahkan rektor pun, Prof Hisham Grissa, rajin masuk kelas pada jenjang S1. Di Fak Ushuludin, ada Prof Munjia (tafsir), Prof Bozguiba (Fiqh) dan Prof al Majdi (filsafat). Prof Nurdin Khadimi dan Prof Mounir Tlili - keduanya guru besar & mantan Menteri Agama - juga rajin ngajar, lalu shalat di musholla kampus bersama para mahasiswa.
Aku cukup sering mendampingi tamu dari tanah air, bertemu rektor. Hampir selalu dijadwalkan jam 17.00 sore, karena "Pak Rektornya ngajar dulu", kata Bu Saidah, sang sekpri. Pernah suatu saat, jelang jam 17.00, aku berdiri depan Gd Rektorat. Dari arah gedung perkuliahan S1, aku melihat beliau datang.
Para guru besar itu rajin hadir ke kelas dan selalu tepat waktu. (Ini sebenarnya tipe umum orang Tunis : tepat waktu). Kalo sekali-kali mereka berhalangan, para mahasiswa jangan senang dulu.. Kelak mereka akan menjadwalkan hissoh ta'widhiyah (jam pengganti) pada akhir semester.
Mereka juga berpenampilan sederhana. Mobil mereka umumnya tua dan lusuh, bukan mobil mewah. Banyak juga yang berangkat ke kampus naik angkutan umum. Entah karena tidak punya kendaraan atau memang mereka tdk mau membawanya ke kampus. Ini pengamatanku ya.
Prof Nefati - supervisor disertasiku - biasa naik taxi. (Taxi di Tunis ini jarang yang bagus, semua tanpa AC. Ongkosnya memang murah). Beberapa kali aku menemuinya saat beliau berdiri di halte, nunggu taxi. Pernah suatu ketika, aku menemaninya ngobrol di halte, hingga aku diajak ikut naik taxi menuju rumahnya. Sepanjang jalan, kami melanjutkan diskusi yang tadi tertunda.
Beberapa di antara mereka berangkat dari rumah naik trem ke stasiun Barcelona, di pusat kota Tunis. Dari situ mereka jalan kaki menuju kampus. Jaraknya sekitar 1,5 km, melewati pasar Sidi Basyir yang padat itu. Jarak ini biasa ditempuh dengan 20 menit. Mengapa tidak naik taxi? Untuk ukuran orang Tunis, jarak ini terhitung dekat. Sopir taxi akan bilang, "jarak segitu mah jalan kaki saja". Di kota Tunis ini, berjalan kaki - terutama di kwsn kota tua - memang hal biasa. Karena itulah, aku sering berpapasan dengan Prof Allusy, Prof Fethi Abidi, atau Prof Ali Oulwi, atau beberapa dosen lain. Mereka berjalan menjinjing tas, dalam perjalanan menuju kampus atau sebaliknya.
Oya mereka juga rajin ke perpustakaan, membaca buku, tak segan duduk berdampingan dengan para mahasiswanya. Seperti suatu ketika aku bertemu Prof Ali Oulwi di perpus kampus. "Bpk sedang cari data utk riset yah?", tanyaku menerka-nerka. "Oh tidak", jawabnya, "Saya ke sini sedang mengecek akurasi bbrp referensi seorang mahasisawa bimbinganku dalam thesisnya", kata beliau. Wow, subhanalloh. Beliau sangat khawatir mahasiswanya menulis thesis secara copas..
Yang sempat mengagetkanku, umumnya mereka menolak hadiah dari mahasiswanya. Apalagi berupa uang. Kisah ini sering aku dengar, bahkan kualami sendiri, seingatku dua kali. Salah satunya, ketika seorang teman menitipkan oleh-oleh untuk dosen pembimbingnya, berupa aneka souvenir. Di sela souvenir itu rupanya ada amplop tebal, berisi uang. Siang hari, kuserahkan titipan itu. Malam hari, sang dosen menelponku, mengapa harus ada uang di souvenir itu? Tahukah kalian, kami tdk pernah mengambil hadiah berupa uang dari mahasiswa? Aku sangat terhina dengan pemberian ini...bla bla bla.. Aku hanya terdiam. Dan keesokan harinya, dengan kepala tertunduk, aku menerima pengembalian amplop itu..
Aku kadang bertanya-tanya, apakah mereka tidak butuh uang? Ah, masa sih. Dosen juga manusia, pikirku.
Aku juga penasaran, mengapa mereka memilih jalan kaki atau naik kereta? Mengapa mereka tidak membeli kendaraan? Padahal gaji mereka besar. Aku tau banget berapa angka-angka gaji guru di Tunis. Di negeri berpenduduk 12 juta jiwa ini, guru dan dosen adalah profesi favorit, karena gajinya tinggi. Buah dari alokasi 26 persen APBN untuk pendidikan. (Pada zaman Habib Borguiba 1956-1987 malah 33 %).
Menurut sebuah buku yang kubaca, orang Tunis lebih menilai status sosial didasarkan pada strata akademis. Semakin tinggi ijazah, ilmu atau prestasi akademik seseorang, ia akan semakin dihormati. Jadi, penghormatan didasarkan atas ilmu, bukan kekayaan.
Oh ini ternyata rahasianya. Pemerintah menganggarkan dana besar untuk pendidikan, rakyatnya menghormati ilmu dan memuliakan ulama.
Pantas jika Tunisia - setidaknya pada masa lalu - menempati posisi negeri termakmur kedua di Afrika. Pantas jika Tunisia juga adalah negeri dengan infrastruktur paling bagus, untuk ukuran "benua hitam" Afrika. Sekali lagi : untuk ukuran Afrika.. Karena ilmu dan ulama dijunjung tinggi.
Ilmu didukung, para guru berakhlak luhur, rakyat juga pandai menghormati ulamanya. Makanya di negeri ini tidak ada cerita anak muda yang berani menghina ulama, sebagaimana belakangan terjadi di negeriku tercinta nun jauh di sana 😢
*Salam hormat dan doa tulus, untuk para guru yang pernah mengajarku, di mana pun berada
** Fotoku bersama Syeikh Ali Bousyalaghim, salah satu guruku di bidang ilmu tajwid/ qiraat di Tunis.
Tunis al Khadra, 29 Nopember 2016