Friday, August 25, 2006

Tunis Agustusan

Merdeka dengan Angklung

Aku memakai baju adat Melayu, saat penampilan Angklung.

Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya kala aku melangkahkan kakiku, naik ke atas panggung. Hati berdebar-debar. Beberapa kali aku menarik nafas panjang. Aku berusaha setenang mungkin, sambil menatapi ke-16 orang rekanku yang tengah mengatur barisan.

Aku ragu bukan karena demam panggung. Selama rentang 2002-2005, lebih 30 panggung gamelan kuikuti di Mesir. Dari acara pernikahan mahasiswa hingga festival internasional. Malam ini, aku merasa keki di atas panggung, karena belum yakin timku bisa tampil oke. Nada-nada angklung yang dimainkan rekan-rekan masih sering tak kena dengan ketukan bas dari gitar pengiring.

Hingga saat gladi resik tadi siang pun, kesalahan masih terjadi. Dan jika itu terulang sekarang, aduh, betapa malunya aku. Malam ini, penampilan kami membawa nama baik negeri pertiwi. Dua ratusan penonton, adalah para pejabat diplomatik dari negara-negara sahabat. Juga para petinggi Tunisia, termasuk Menteri Agama, DR Abu Bakar al Akhzouri. Karena malam ini adalah acara resepsi diplomatik HUT RI di KBRI Tunis.

Akhirnya, aku hanya bisa berpasrah kepada Tuhan. Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada kami. Kami ingin menunjukkan salah satu sisi baik negeri kami di depan orang lain, gumam hatiku kala itu.

* * *
Aku berdiri tegak membelakangi para pemain, menghadap arah penonton. “Tiga, Empat”, ucapku pelan seraya membungkukkan badan. Diikuti oleh para pemain. Begitulah kami memberi penghormatan awal kepada para hadirin.

Lalu aku balik kanan, berhadapan dengan para pemain. Mereka, 16 orang, terdiri dari pelajar, mahasiswa dan ibu-ibu Dharma Wanita di KBRI Tunis. rekan-rekan senegeriku di perantauan.

Aku memberi kode, kedua tangan kuangkat hingga sepinggang. Dan serentak, angklung-angklung di tangan para rekan itu pun terangkat. Siap main.

Lalu aku bergeser ke pojok kanan panggung, untuk memulai lagu. “Kita bisa, jika kita yakin bisa”, ucapku setengah berbisik kepada para rekan. Untuk memberi support kepada mereka yang belum percaya diri.

Mulutku mendendangkan intro. “Mi, Re Do Mi, Sol Sol La Do Mi Do Re....”. Stick yang kupegang kuangkat tinggi. Dan ketika stick itu bergoyang, ruas-ruas bambu itu pun ikut bergoyang. Buahnya, alunan lagu Rek Ayo Rek bergema malam itu. Dari atas panggung kecil, di lapangan hijau Wisma Duta Besar RI di Tunis yang menghadap Laut Tengah. Dalam keremangan dan kerlap kerlip lampu malam.

Stick kecil di tangan, kugerakkan secara teratur. Mengikuti tempo lagu. Mulutku mendendangkan nada-nada lagu. Telinga kupasang untuk mencermati setiap nada, untuk kusesuaikan dengan irama bas yang kudengar dari belakang panggung. Agar harmoni antara bas dan melodi tetap terjaga. Sementara pandangan mataku bergerak kiri kanan, menatapi setiap pemain pemegang nada yang sedang berbunyi.

Bait demi bait berlalu. Hingga aku terlarut dalam irama lagu. Badanku bergoyang-goyang, mengikuti gerak tangan yang zig zag. Sesekali aku tersenyum, atau mengerdipkan mata. Kadang juga aku melotot, atau berbisik kepada para pemain “ senyum donk...”

Dan Alhamdulillah, lagu pertama berlalu dengan lancar. Tanpa kesalahan satu pun. Tepuk tangan penonton menggema.



Aku membaca Teks Proklamasi pada upacara HUT RI 2006, di Tunis

Aku bersiap-siap dengan lagu kedua, Ya Mustafa. Sebuah lagu Arab yang sangat populer. Lagu ini berirama cepat. Lebih cepat dari lagu Jawa Timur, Rek Ayo Rek itu.

“Lagu pertama tadi, bagus sekali. Lebih bagus dari yang dibayangkan sebelumnya. Kita bisa mengukir sukses di lagu kedua, asal tetap konsen, dan o p t i m i s..”, tuturku depan para pemain. Mereka tersenyum. Aku pun segera bersiap.

“Sol Mi Mi Mi Mi, Fa Sol Fa mi Re....”, aku mendendangkan intro awal lagu Ya Mustafa. Stick kuangkat tinggi, seperti tadi. Dan ketika stick bergoyang, irama lagu Ya Mustafa pun bergema.

Aku kembali bergoyang, terlarut dalam irama lagu. Tempo lagu yang cepat, membuat goyangan tubuhku juga terasa lebih cepat. Sementara tanganku bergerak mengatur nada, bibirku terus mendendangkan tangga nadanya. “Re Re Re Re Re, Fa Sol Fa Mi Re...” Sesuai irama teks lagunya : Ya Mustafa Ya Mustafa, Ana Bahibbak Ya Mustafa.

Dalam asyik, di tengah semilir angin laut dan jepretan kamera para penonton, hatiku juga tak diam. Ia ikut mendendangkan lagu.

“Ya Indonesia Ya Indonesia, Ana Bahibbak Ya Indonesia...”

Dirgahayu Republik Indonesia ke-61. Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 25 Agustus 2006

Filosof Maroko (PM7)

Maroko, Negeri Para Ulama

Salah satu sudut kampus Universitas Darul Hadits, Rabat

Hanya 6 hari aku berada di Maroko. Di sela-sela kesibukan acara dan jadwal perjalanan, aku berusaha untuk mengetahui banyak hal tentang Maroko, termasuk yang berkaitan dengan studi Islam.

Diantara hal terpenting yang kucatat, Maroko adalah negeri gudangnya ulama, tempat munculnya para kyai dan intelektual muslim. Sejak dulu hingga sekarang. Tradisi ilmiahnya tetap terpelihara. Karena itu, negeri kerajaan berpenduduk 35 juta jiwa ini sangat cocok untuk menjadi lokasi belajar Islam.

Negeri Para WaliMaroko kaya dengan ulama sejak zaman awal Islam. Dan karya-karya mereka tetap bisa dibaca hingga saat ini. Anda yang pernah belajar di pesantren, tentu mengenal kitab Jurumiyyah dan Dalail al Khairat. Jurumiyah, kitab ilmu tata bahasa Arab (Nahwu) ditulis oleh Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shonhaji, atau yang dikenal dengan Ibnu al Jurrumy. Beliau adalah orang Maroko, wafat tahun 723 H. Makamnya di kota Fes, saat ini menjadi salah satu lokasi wisata ziarah yang sangat terkenal. Sedangkan Dalail al Khairat, yang juga sangat terkenal di kalangan pesantren di Tanah Air karena sering dijadikan aurod oleh para kyai dan santri kita, juga ditulis oleh orang Maroko. Yakni Syeh Aby Abdulloh Muhammad Bin Sulaeman al- Jazuly, yang wafat tahun 870 H dan dimakamkan di Marakesh, 321 km selatan Rabat.

Anda yang menekuni tarekat sufi, mungkin pernah mendengar tarekat Tijaniyah. Ulama pendiri tarekat ini adalah Syeh Abal Abbas Ahmad at-Tijani, ulama Maroko yang wafat dan dimakamkan juga di kota Fes.

Dalam bidang ilmu Fiqh, Maroko pernah memiliki ulama besar bernama Ibnu al Arabi. Nama lengkapnya Qodi Abu Bakar Muhammad bin Abdulloh bin Muhammad al-Ma'afiri, yang wafat tahun 544. Beliau adalah ahli fiqih terkemuka pada zamannya, yang terkenal dengan kitabnya Ahkam al Quran. Saat ini, kitab Ahkam al Quran menjadi salah satu rujukan terpenting para mahasiswa pengkaji Ulumul Quran dan Fiqh.

Juga ada Imam as-Sholih Abu Zaid bin Abdurrahman bin Ali bin Sholih al-Makudy atau yang dikenal dengan Imam al-Makudy, pengarang kitab al-Makudy, syarah dari Khasiyah Ibnu Hamdun. Beliaulah ulama pertama yang menulis syarah kitab Alfiyah-nya Ibnu Malik.

Masih banyak ulama lain yang pernah lahir dan dibesarkan di Maroko. Diantaranya ada Qodi ‘Iyadh , wafat tahun 544 H, juga Ibnu Batutah, pengembara terkenal itu. Mereka semua orang Maroko.

Negeri Para Filosof
Di era modern sekarang, Maroko terkenal dalam pentas pemikiran Islam karena memiliki sederet ahli filsafat, juga pemikir modern lainnya. Anda mungkin pernah mendengar nama Abed al Jabiri, Abdullah al Urwi, Thaha Abdurahman dan tokoh feminisme, Fatima Mernisi. Mereka semua adalah para ilmuwan Maroko terkemuka yang buku-bukunya menjadi rujukan penting saat ini. Keberadaan mereka membuat posisi Maroko tak bisa diabaikan dalam kancah dinamika pemikiran Islam modern.

Dedi Wahyudin, seorang rekan akrab, kandidat doktor jurusan Sejarah dan Peradaban Timur di Universitas Abdel Malek Sakdi, Tetouan, menuturkan bahwa dinamika pemikiran filsafat Maroko dimulai pada dekade 50an. Ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V, Rabat. Adalah Dr. Muhammad Aziz al Habbabi, yang menjabat sebagai Dekan fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Muhammad V saat itu, dinilai sebagai tokoh penting yang menanam benih pemikiran filsafat di Maroko.

Buah pemikiran para filosof Maroko, terutama yang berkaitan pola hubungan ideal antara umat Islam saat ini dengan tradisi (turats), merupakan salah satu bahan polemik menarik di kalangan para pemikir muslim. Untuk menggapai kemajuan yang diidamkan, apakah umat Islam harus berpegang pada turats, ataukah harus mengabaikan turats sama sekali ?!

Abdullah al Urwi, seorang pemikir terkemuka Maroko mengatakan bahwa Dunia Arab terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu. Hingga menghalanginya melompat ke masa depan. Maka, jika Dunia Arab dan Islam mau maju, al Urwi meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi. Lalu, modernitas menjadi keniscayaan. Dan modernitas tidak bisa dicapai kecuali dengan melakukan revolusi kebudayaan. Maka al Urwi mengusulkan konsep nalar (mafhum al aql), konsep kemerdekaan (mafhum al hurriya), konsep ideologi, konsep negara (mafhum ad daulah), dan konsep sejarah (mafhum at tarikh).

Sementara itu, Abid al Jabiri melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ unsur-unsur tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Konsepnya ini tertuang dalam proyek pemikiran yang terkenal dengan sebutan Kritik Nalar Arab.

Al Jabiri adalah sosok yang sudah tak asing di kalangan intelektual Islam di Indonesia. Di kalangan NU, ada seorang pemikir muda yang secara serius menekuni pemikiran Al Jabiri. Dialah Ahmad Baso. Sewaktu masih di Ciputat, aku sering melihat Baso berbicara tentang pemikiran Al Jabiri. Baik dalam sesi-sesi diskusi mingguan di Piramida Circle, atau di acara-acara seminar biasa.

Saat ini, Al Jabiri dianggap sebagai guru filsafat Maroko kontemporer. Buah pemikirannya dapat dibaca melalui buku-bukunya : Madkhal li Falsafat al Ulum (1976), Nahnu Wa Turats (1980), al Khitab al Arabi al Muashir (1982), Isykaliyat al Fikr al Arabi al Muashir (1989), Qadlaya fi al Fikr al Arabi al Muashir (1997), al Mas’alah ats Tsaqafiyah (1994), ad Dimuqrathiyyah wa Huquq al Insan (1994), Mas’alat al Huwiyyah (1995), ad Din wa ad Daulah (1996), serta Ruba’iyat Naqd al Aql al Arabi (Takwin al Aql al Arabi, Bunyah al Aql al Arabi, al Aql as Siyasi al Arabi dan al Aql al Akhlaqi al Arabi).
Masih dalam polemik seputar tradisi (turats), Ali Omlel, pemikir filsafat Maroko lainnya yang terkenal karena bukunya as Sultah as Siyasiyah wa as Sultah ats Tsaqafiyah (1996) mengusulkan keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya, dalam rangka menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda.

Satu lagi pemikir Maroko yang bicara soal turats, yakni Thaha Abdurahman. Sikapnya berbeda dengan Omlel dan al Urwi. Thaha mengkritik modernitas dan membela dua displin keilmuan Islam yang sering dikambinghitamkan sebagai biang kemunduran umat, yakni Ilmu Kalam dan Tasawuf. Thaha melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam Ilmu Kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Menurut Thaha, umat Islam bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan dari filsafat hingga teknologi), dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama. Menurut Dedi, Thaha Abdurahman sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para filosof Maroko saat ini.

Belajar S3 ke Maroko
Masih banyak intelektual Maroko lainnya yang belum kusebut. Dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Aku sendiri, yang selama ini sedang berusaha menekuni ilmu Ushul Fiqh, mengenal beberapa nama ilmuwan Maroko seperti Alal al Fasi, yang terkenal karena bukunya Maqasid as Syariah al Islamiyyah wa Makarimuha. Juga nama Ahmed Raisuni, Guru Besar Ushul Fiqh di Universitas Muhammad V, Rabat, yang karya-karnya banyak kubaca di Tunis, dan bahkan dulu di Mesir.

Dalam beberapa kali pembicaraan dengan rekan-rekan di Maroko, aku sempat menjajaki kemungkinan melanjutkan S3 ke sana. Aku sempat mencatat beberapa nama profesor bidang ilmu Syariah dan Ushul Fiqh di Maroko yang mungkin bisa diminta untuk menjadi promotor disertasi. "Coba saja dulu. Insya Allah profesor-profesor di Maroko selalu ramah dan kooperatif terhadap mahasiswa asing", tutur Dedi meyakinkanku. “Insya Allah, ustad”, tuturku pelan. Tetapi menyiratkan keinginan yang tinggi, untuk belajar Islam di negeri muslim tetangga Spanyol ini. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 25 Agustus 2006

Wednesday, August 23, 2006

Tunis Tunangan

Bergoyang di Malam Rajaban


Para penari cilik tak lelah bergoyang, di Malam Rajaban

Ahad (20/8) siang, selepas adzan zuhur, tiba-tiba musik Arab terdengar mengelegar di dalam rumah Babeh, alias rumah Bapak Kost kami. Tepat di depan pintu rumah yang kutinggali. Sesekali terdengar zagrudah, lengkingan khas seorang wanita Arab, sebagai tanda suka ria. Suasana berubah bising, tak nyaman lagi untuk baca buku atau tidur siang. Kaca-kaca jendela sesekali bergetar. “Wah, tentu ada pesta di rumah Babeh”, gumamku.

Dan ternyata benar. Beberapa saat kemudian, Babeh – nama aslinya Salim al Jallasi - mengetuk pintu rumah kami. “Nanti malam kalian aku undang hadir di acara tunangan si Zuher”, tuturnya. Zuher adalah putera bungsu Babeh.

Wah, kesempatan yang tak boleh disia-siakan, pikirku. Aku ingin tahu bagaimana prosesi tunangan orang Tunisia. Samakah dengan orang Mesir?! Apa bedanya dengan orang Indonesia?!

Klakson Mobil
Rumah calon besan Babeh berada di Ben Arous, sebuah kota kecil, 20 km arah selatan dari pusat kota Tunis. Kawasan yang tenang, hijau dan tentu saja indah

Aku bersama seorang rekan, memenuhi undangan Babeh, mewakili keluarga mahasiswa Indonesia. Pukul 21.00, tiga buah mobil yang membawa rombongan keluarga Babeh bergerak perlahan, beriringan, sambil tak henti membunyikan klakson. Juga lampu yang dikerlap-kerlipkan. Inilah kebiasaan orang Arab kala mengarak pengantin atau mereka yang sekedar tunangan.

Selama perjalanan, sesekali kami berpapasan dengan parade mobil-mobil yang berprilaku sama ; membunyikan klakson dan menyalakan lampu. Diantara mobil-mobil itu ada yang dipasangi bunga. Itu tandanya pengantin kawin, bukan pengantin tunangan. Selama musim panas, memang hampir tiap hari ada orang Tunis yang menggelar pesta kawin. Sama dengan di Mesir. Hari Sabtu dan Ahad, irama pesta terdengar menggema dari hampir setiap arah.

Laksana Pengantin Kawin.Tak sampai setengah jam, kami tiba di depan rumah mempelai wanita. Sebuah rumah berlantai dua, berlokasi di komplek pemukiman padat penduduk.

Rombongan pihak lelaki berjalan berbaris. Beberapa orang membawa parcel yang dihias bunga-bunga. Zuher berjalan paling depan, diiringi Babeh dan Mama. Babeh yang malam itu juga memaki jas hitam plus dasi, nampak gagah, kendati ia sudah berusia hampir 70 tahun. Maklum, Babeh adalah purnawirawan polisi. Tiga puteranya, juga berprofesi sebagai polisi. Rido, putera sulungnya, adalah polisi Buru Sergap, tukang bekuk penjahat. Adiknya, Munsif, seorang intel. Dan Zuher, si bungsu yang berusia 30 tahun itu, adalah seorang polisi lalu lintas. Karena profesi polisi itulah, keluarga Babeh sangat dihormati – bahkan ditakuti - di lingkungan tinggal kami. Berkahnya dirasakan oleh kami, para mahasiswa Indonesia yang tinggal di apartemen milik Babeh ; kami selalu merasa aman, bebas dari gangguan anak-anak nakal atau preman mabuk yang banyak berkeliaran di sekitar kampung kami.


Aku hadir di acara tunangan putera bungsu Babeh

Keluarga pihak wanita menyambut kedatangan kami di beranda. Zuher, yang malam itu mengenakan jas hitam dan dasi, langsung dipersilahkan masuk rumah, lalu berdiri berdampingan dengan mempelai wanita. Mempelai wanita mengenakan gaun putih, seperti halnya pengantin kawinan.

Hanya beberapa menit Zuher dan tunangannya berdiri di dalam rumah. Sekedar untuk foto-foto. Lalu, keduanya naik tangga, menuju sutuh, pelataran atap rumah. Area di alam terbuka seluas kira-kira 100 meter persegi itu, menjadi lokasi pesta. Puluhan kursi berderet, juga kursi pelaminan dengan background hiasan layar kapal laut yang romantis.

Orang Arab ternyata biasa menggunakan pelataran atap rumahnya untuk lokasi pesta-pesta. Murah meriah, tak usah sewa gedung, juga tak mengganggu kelancaran lalu lintas jalanan.

Goyang Perut
Zuher dan tunangannya langsung duduk di pelaminan. Tanpa ada prosesi apapun. Puluhan tamu – kebanyakan wanita - duduk menempati kursi-kursi di depan mempelai. Aku bersama keluarga Babeh, duduk di deretan kursi belakang.

Belum satu menit kami duduk, musik Arab tiba-tiba terdengar menggelegar. Memekakkan telinga. Rupanya, di sudut depan kanan area ini, satu set sound system telah tersedia, plus para teknisi dan penyanyi.

Suasana mendadak bising dengan lagu-lagu dangdut Arab. Diselingi zagrudah itu. Tanda orang bersuka ria. Dan, tanpa komando, serentak kaum wanita yang mulanya duduk-duduk itu, tiba-tiba berdiri dan berjoged. Bergoyang pinggul, meliuk-liukkan tubuh. Tua muda, sama saja. Ada anak-anak gadis ABG yang berbaju ketat dan dengan lincah meliku-likukan perutnya yang terbuka. Juga anak-anak kecil yang menari genit. Pun ibu-ibu tua yang bergoyang-goyang.

Bibirku menggumamkan beberapa syair Arab yang kudengar. Beberapa diantaranya memang kuhafal. Seperti lagu-lagu George Wossef, penyanyi terkenal asal Lebanon, yang sangat cocok dinikmati dalam pesta tradisi orang Arab. Aku pun terlarut dalam suasana malam itu. Tapi tiba-tiba, aku ingat, bahwa malam ini adalah malam 27 Rajab. Malam Isra Mikraj.

Tidak ingatkah orang-orang Tunis yang ada di arena pesta ini akan Isra Mikraj ?!

Kaum lelaki yang berada di arena pesta, nampak terlarut dengan musik. Kulihat, beberapa orang tua berjubah –nampaknya pemuka agama- juga tetap asyik ngobrol dengan rekannya.

Para penari terus beraksi. Joged erotik, baju ketat dengan pusar terbuka, rupanya tak dianggap sebagai hal tabu, apalagi dinilai sebagai pornografi. Tak peduli syair-syair yang didendangkan, yang kadang ternyata syair-syair pujian kepada Nabi. Syair-syair kaum sufi Arab dalam mengekspresikan cintanya kepada Rasulullah.

Sama dengan yang dulu sempat kuamati di Mesir. Goyangan tari perut, terus seiring sejalan dengan ramainya aneka tradisi Islam yang dipraktikkan masyarakat. Maraknya tari perut di diskotik-diskotik terapung di sungai Nil, atau di hotel-hotel berbintang, bahkan di acara-acara kawinan orang kampung, tak pernah jadi bahan polemik kaum santri. Kecuali pada sekitar akhir 2002, ketika muncul para penari gadungan, yang dinilai telah menodai citra penari perut. Beberapa oknum penari, dikhabarkan bisa dibawa ke ranjang. Hingga kemudian, Vivi Abduh, ketua ikatan para penari Mesir, angkat bicara. Lalu pemerintah mengadakan penertiban. Para penari ‘nakal’ itu ditangkapi. Lalu, para penari perut wajib memiliki lisensi. Tak sembarangan orang bisa menari perut. Serta tak sembarang tempat bisa menggelar tari perut. Semuanya diatur tertib.

Qiraatul FatihahKira-kira setengah jam kemudian, Zuher dan tunangannya turun dari kursi pesta. Diikuti beberapa lelaki tua. Termasuk Babeh. "Ayo kita turun", tutur Babeh mngajakku pergi. Aku pun ikut turun, bersama mereka menuju ruangan dalam rumah.

Di dalam rumah, kami duduk di kursi yang melingkar. Sekitar 10 orang lelaki. Ada seorang kakek renta berjubah putih, duduk diapit oleh Babeh dan Zuher. Ternyata kakek tua itu adalah seorang kyai. Lelaki lainnya adalah aku, Munsif, Rido dan beberapa dari keluarga perempuan.

Kakek tua itu membuka pembicaraan. Mula-mula ia berceramah, temanya tentang pernikahan. Ia mengutip beberapa ayat di awal Surat An Nisa, yang khusus berbicara tentang pernikahan dalam Islam. Juga beberapa hadis tentang pernikahan. Setelah sepuluh menitan, lalu ia membaca wirid-wirid, solawat, dan diakhiri dengan bacaan surat Al Fatihah. Pada saat bacaan Al Fatihah ini, semua orang yang ada di ruangan itu ikut baca, dengan suara agak nyaring.

Dalam tradisi Arab, bacaan al Fatihah ini merupakan salah satu ritual penting, dan merupakan tahapan awal dari prosesi tunangan. Ritual ini biasa dinamakan Qiraatul Fatihah, yang dihadiri oleh orang tua lelaki dari dua belah pihak.


Kyai Sepuh, diapit Babeh dan Zuher dalam acara Qiraatul Fatihah

Duet MautUsai acara Qiraatul Fatihah, kami semua kembali ke atas, menuju ruangan terbuka lokasi pesta. Aku melanjutkan acara yang tadi tertunda ; menyaksikan goyangan para penari amatiran itu.

Lagu-lagu yang diputar oleh operator pun berganti-ganti. Ada lagu berirama Rai, remix Arab khas Aljazair itu. Juga ada beberapa lagu Barat ceria, baik yang berbahasa Petrancis maupun Inggeris. Salah satunya, lagu Shakira yang sedang nge-trend itu.

Wael, salah seorang cucu Babeh yang berusia ABG, nampak asyik berjoged. Matanya terpejam, kepalanya bergoyang-goyang, seperti orang tripping. Ia berpegangan tangan dengan seorang ibu yang rambutnya memutih. Kuamati lebih dekat. Wah, rupanya dengan Mama, isteri Babeh, alias nenek Wael sendiri. Malam itu, Mama berduet maut dengan cucunya sendiri, bergoyang tak mau kalah. Mama berjingkrak lincah. Di malam Rajaban.

Pasang Cincin dan TatoTak lama kemudian, musik terhenti. Serombongan ibu-ibu menghampiri kursi pelaminan. Mereka membawa sebuah kotak kecil dan parcel. Ternyata kotak kecil itu berisi sepasang cincin tunangan. Sedangkan parcel berhias itu berisi halawah, kue-kue manis.

Perhatian hadirin tertuju para Zuher dan tunangannya. Mereka saling mengenakan cincin. Sementara, seorang wanita sibuk berkeliling, membagi-bagikan halawah itu kepada para hadirin.

Sambil menyaksikan prosesi tukaran cincin, aku bertanya kepada Munsif , putera Babeh. “Kalo tunangan begini, dari pihak lelaki bawa duit berapa?!”. Munsif menggelengkan kepala. “Sekarang tak ada uang tunai. Hanya cincin dan kue-kue itu. Juga ada sedikit pakaian”, tutur Munsif.

Oh, pantas, pikirku. Menurut cerita beberapa kawan, tunangan dan prosesi Qiraatul Fatihah di Tunis, masih belum jadi ikatan yang cukup kuat menuju perkawinan. "Hubungan putus usai Qiraatul Fatihah, masih sering terjadi", tutur seorang kawan Tunis beberapa waktu lalu.

Usai pasang cincin, kedua mempelai kembali duduk di kursi. Musik kembali menggelegar. Para penari kembali beraksi. Semakin malam, semakin bising, gerakannya semakin tak karuan.

Aku berjalan bolak-balik, mencari-cari fokus bagus untuk foto. Selain memotret Zuher, keluarga Babeh, aku juga mengambil gambar para penari itu. Dari berbagai sisi. Dan para penari itu, baik yang gadis ABG, anak-anak kecil atau mereka yang manula, nampak semakin semangat menari, kala tahu bakal diphoto.

Menjelang pukul 00.00, musik dihentikan lagi. Rupanya ada prosesi pemasangan tato Arab, pada telapak tangan mempelai perempuan. Tato Arab yang terbuat dari ramuan daun-daunan. Namanya Tato Hena. Tato kebanggaan kaum wanita Arab, bahkan sebagai identitas sosial tertentu.

Kawin Tahun Depan
Di tengah meriah pesta, aku bertanya pada Babeh. “Beh, kalo tunangannya sekarang, pesta kawinnya kapan?!” Babeh spontan menjawab, “Musim panas tahun depan, insya Allah”, tuturnya. “Nanti ada juga pesta di atap rumah kita itu.”, tutur Babeh lagi.

Wah, tahun depan?! Lama sekali, pikirku. Tapi, ini memang tradisi di sini. Jarak waktu antara tunangan ke nikahan, sekitar 6 hingga 12 bulan. Karena untuk pesta pernikahan, mempelai lelaki harus menyediakan biaya yang tidak sedikit. Pesta enam hari, plus bekal rumah tinggal, mas kawin dan biaya teknis lainnya.

Selama di Mesir dulu, aku mendengar banyak cerita tentang tinginya biaya nikah yang harus diemban pihak lelaki. Kadang aku merasa kasihan kepada mereka, kaum lelaki di Tanah Arab ini. Semoga Allah memudahkan jalan bahagia mereka.

“Pada acara pesta kawin si Zuher nanti, mungkin kalian akan kami rekrut sebagai panitianya”, tiba-tiba Babeh ngomong lagi. Matanya tetap menuju ke depan, ke arah penari-penari perut itu. Aku kaget. Apa Beh?! Panitia?! Tidak ah, Beh. Tahun depan aku sudah di Tanah Air, insya Allah. Mau bikin acara sendiri, hehehe...Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 23 Agustus 2006

Friday, August 18, 2006

Marakesh Merah (PM 6)

Tak Ada Fez, Marakesh Pun Jadi

Aku di kota tua Marakesh, dengan menara Kutubia-nya yang berdiri tegar

Salah satu agenda yang kucita-citakan sejak masih di Tunis, adalah mengunjungi kota Fez di Maroko. Fez, 198 km timur Rabat, adalah kota kebudayaan terpenting di Maroko, bahkan di kawasan al maghrib al arabi. Nilai sejarah yang dimiliki Fez, bisa disejajarkan dengan Kairouan di Tunisia, dan Kairo di Mesir.

Fez pada masa dulu, adalah pusat peradaban Islam dan kota ilmu. Di kota ini, terdapat Mesjid Qurawiyyin -didirikan pada tahun 857 M, yang menjadi cikal bakal Universitas Qurawiyyin.. Juga terdapat makam para sufi dan ulama terkenal yang menjadi obyek ziarah populer umat Islam, termasuk para ulama/kyai dari Indonesia. Seperti makam Syekh Abal Abbas Ahmad at-Tijani, pendiri tarekat at-Tijaniyah, serta makam Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shonhaji, wafat tahun 723, pengarang kitab al-Jurumiyah yang terkenal di seluruh pesantren di Indonesia.

Di era modern, Fez juga melahirkan banyak cendekiawan. Seperti Alal al Fasi, ahli Ushul Fiqh yang terkenal dengan bukunya, Maqasid as Syariah ai Islamiyyah wa Makarimuha. Juga ada Fatima Mernissi, tokoh feminisme yang sudah tak asing lagi dalam dunia pemikiran Islam kontemporer.

Aku sangat berkeinginan mengunjungi Fez, mengunjungi mesjid tua-nya, berziarah ke makam para ulamanya.

Renovasi Fez
Aku merencanakan pergi ke Fez pada hari Senin (31/7). Tetapi, Ahad (30/7) malam, usai menelusuri kota Rabat, aku bertemu seorang kawan yang baru saja tiba dari kota Fez, menemani al mukarram KH Mustafa Bisri. “Saran saya, Anda tidak usah ke Fez. Anda akan kecewa. Seluruh situs sejarah, mesjid dan makam para ulama, sedang direnovasi, ditutup untuk umum”, tuturnya.

Oya?! Aku kaget dan agak kecewa. Bagaimana jika aku ngotot pergi ke sana?! “Ya silahkan saja. Tetapi Anda tidak bisa masuk mesjid, juga komplek makam. Hanya berdiri di luar. Gus Mus pun tadi agak kecewa”, tutur sang kawan lagi.

Aku mengangguk-angguk tanda percaya. Sang kawan ini, di kalangan WNI di Maroko, memang dikenal sebagai guide spesialis kota Fez dan lokasi-lokasi wisata spiritual lainnya. Aku tak jadi ke Fez, itu tak apa. Beruntung aku tahu lebih awal. Andai sudah tiba di sana, lalu ternyata semua obyek wisata itu ditutup, tentu aku akan lebih kecewa dan kebingungan.

Hari ini, aku harus rela menunda cita-cita untuk pergi ke kota Fez. Jika Allah berkehendak, aku akan bisa mengunjungi Fez, suatu hari nanti. Begitu pikirku menghibur diri.

Pergi ke Marakesh
Setelah mendengarkan saran beberapa kawan, malam itu aku memutuskan untuk memilih Marakesh - 321 km selatan Rabat, sebagai pengganti Fez. Marakesh, kota terindah di Maroko, terletak di kaki Gunung Toubkal, yang tingginya 4167 m diatas permukaan laut. Daratan tertinggi di Maroko, yang terkenal karena di puncaknya terdapat salju abadi. Marakesh adalah kota wisata utama dan juga kota sejarah. Selain menyimpan mesjid-mesjid kuno, kota tua dan pasar rakyat di Sahah Jami el Fina yang eksotis, di kota ini juga terdapat makam Syekh Aby Abdulloh Muhammad Bin Sulaeman al- Jazuly ( wafat tahun 870 ), pengarang kitab Dala'il al-Choirot yang sering dijadikan aurod oleh para kyai dan santri di Indonesia. Juga ada makam ulama terkenal, Qadi Iyadh, yang sekarang diabadikan sebagai nama universitas di Marakesh.

Senin pagi, pukul 08.30 aku sudah berada di stasiun kota Rabat. Tiket KA kelas II jurusan Rabat – Marakesh adalah 101 Dirham, atau sekitar 100 ribu rupiah. Aku duduk satu kamar dengan tujuh orang Maroko lain. Kawan seperjalananku, Ikbal, duduk di kamar lain. Karena kebetulan, tak ada kamar yang menyisakan dua kursi kosong.

Ketujuh orang Maroko itu, masing-masing 3 laki-laki dan 4 perempuan. Tiga pasang suami isteri dan seorang ibu-ibu tua. Keempat wanita itu menggunakan jilbab. Ibu-ibu tua yang duduk berhadapan denganku, nampak mengantuk. Punggung telapak tangannya dihiasi hena, tato khas Arab yang bergambar bunga-bunga. Kren juga nih si Ibu, pikirku.

Beberapa orang diantara mereka ngobrol dengan bahasa Arab logat Maroko. Aku pura-pura melihat ke luar, padahal telinga kupasang untuk mencoba mengikuti isi pembicaraan mereka. Aduh, bahasa Arab mereka ternyata sangat susah difahami.

Itulah IndonesiaAku merasa bosan. Sendirian tak ada kawan ngobrol. Aku menyesal, mengapa koran Maroko yang kubeli semalam di kota tua Rabat, pagi ini tak kubawa. Padahal koran itu memuat liputan panjang tentang kehidupan pribadi Raja Maroko, Muhammad VI. Data-data koran itu penting kuketahui, setidaknya untuk bekal berbagi cerita, dalam tulisanku di blog, hehe..

Haruskah aku tidur?! Ah, jangan. Aku tak biasa tidur dalam perjalanan, apalagi jika rute yang ditempuh adalah daerah yang baru pertama kukunjungi. Sayang banget jika pemandangan sepanjang jalan itu dilewatkan.

Tak ada kawan bicara, kecuali orang-orang Maroko itu. Maka, aku harus memulai pembicaraan dengan mereka. Aku pura-pura bertanya jam kepada seorang bapak yang duduk di sebelah kiriku. Aku juga bertanya tentang lama perjalanan ke Marakesh.

Si bapak itu menjawab seperlunya. Tetapi, seorang ibu yang duduk di pojok, tiba-tiba bertanya. “Kamu dari mana?!”. Aku menjawab, “saya dari Indonesia, saat ini sedang sekolah di Rabat”. Aku berbohong sedikit, hehe..

Ketika mendengar nama “Indonesia”, bapak-bapak yang duduk dekat jendela mengangkat mukanya. Mulanya ia menunduk. “Indonesia?! Jakarta?!”, ia bertanya. Rupanya ia tahu nama ibukota kita. “Indonesia adalah negeri Islam terbesar. Saya sering mendengar banyak hal positif tentang Islam di Indonesia”, tutur dia lagi. “Indonesia?! Yang ada tsunami itu?!”, tutur seorang ibu lain di sebelahnya.

Aku hanya mesem. Sering aku mendengar kalimat ini terucap dari mulut orang Arab. Bahwa Indonesia adalah negeri muslim terbesar. Dan betapa hal itu sangat dibanggakan oleh muslim Arab. Tetapi aku belum sepenuhnya yakin, negeriku tercinta layak menyandang gelar sebagai negeri Islam terbesar. Besar hanya dalam kuantitas, belum diimbangi oleh keunggulan kualitas. Semoga jalan menuju ke sana terus terbuka..

“Dari sisi jumlah, negeriku memang muslim terbesar. Jumlah umat Islam Indonesia bahkan lebih banyak ketimbang jumlah kaum muslimin di seluruh Tanah Arab”, aku menjawab. Orang-orang Maroko itu berdecak. “Akan tetapi, umat Islam di negeri kami, masih sedang dalam perjuangan panjang. Kami sedang terus berusaha memperbaiki pendidikan kami, memperbaiki keislaman kami...”, tuturku agak panjang.

Dan pembicaraan kami berlanjut. Hingga tentang Aceh, tentang bencana tsunami, dan tentang tujuan kunjunganku ke kota Marakesh. Mereka cukup antusias mendengar, juga bertanya. Atau sesekali mereka bertutur tentang negerinya. Mereka nampaknya senang bertemu dengan orang Asia yang muslim.

Alam Gersang
Setelah dua jam perjalanan, aku merasa lapar. Maklum, tadi pagi belum sempat sarapan. Kebetulan, di kereta ada penjual makanan keliling. Penjual resmi KA. Aku pesan sandwich ayam. Harganya 18 dirham. Juga sebotol air mineral setengah liter, seharga 6 dirham. Wah, mahal juga, pikirku. Tetapi rasa lapar mengalahkan segalanya.

Sebagian orang-orang Maroko yang tadi menjadi kawan ngobrolku, telah turun di stasiun yang terlewati. Ibu tua yang duduk di depanku nampak sedang dibuai mimpi, alias bobo, hehe.. Sambil menikmati sarapan, aku menatapi pemandangan di luar, dari balik kaca. Sesekali kereta melewati jembatan tinggi, di bawahnya ada rimbunan pepohonan, dan bahkan danau berair jernih. Indah sekali.

Akan tetapi, pada pukul 11.15, jalur kereta mulai melewati padang pasir yang jarang pepohonan. Pemandangan hijau mulai hilang. Anginnya nampak kencang. Maklum, musim panas. Lama-lama, kami melewati padang pasir yang benar-benar gersang.

Agak lama pemandangan ini kulewati. Hingga menjelang pukul 12.00. Aku kaget, selama lebih setengah jam perjalanan, tak ada stasiun satu pun. Tak bisa dibayangkan jika kereta tiba-tiba mogok di tengah jalan ini. Betapa sulitnya, jauh kemana-mana..

Marakesh Itu MerahSetelah beberapa saat, kereta kembali melewati jalur yang hijau pepohonan. Juga mulai nampak rumah-rumah penduduk. Bangunan-bangunan tembok berwarna merah. Baik merah tua, ataupun merah hati. Benar kata seorang kawan, bahwa gedung-gedung di kawasan Maroko Selatan, didominasi oleh warna merah.

Pukul 12.45, kereta berhenti di stasiun Marakesh. Sebuah stasiun yang luas, gedungnya besar. Juga berwarna merah. Alhamdulillah, gumamku sambil beranjak dari tempat duduk.

Aku berjalan melewati pintu kereta. Badan terasa pegal. Suasana di pelataran dalam stasiun itu nampak sibuk. Pandanganku tertumpu pada sebuah plang kecil di dinding stasiun. Plang itu bertuliskan Arab dan latin. Bacanya : M a r a k e s h.

Aku keluar dari stasiun. Berjalan pelan menuju jalan raya yang terbentang di depan stasiun. Melewati deratan mobil parkir serta para sopir taksi yang berdiri berjajar sambil menawarkan jasa. Stasiun Marakesh, di tepi jalan raya besar, dengan gedung-gedung megah yang berderet. Semuanya berwarna merah. Ternyata benar, kawan. Marakesh itu merah..! Salam manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 14 Agustus 2006

Sunday, August 13, 2006

Kota Rabat (PM 5)

Rabat, Indah dan Bersejarah


Bangunan putih, lokasi pusara Raja Muhammad V dan Hassan II, di kota Rabat

Gersang dan panas. Itulah barangkali komentar sebagian orang ketika ditanyai tentang kondisi Tanah Arab atau benua Afrika. Namun, komentar ini takkan sepenuhnya benar, terutama jika kita berada di Maroko, khususnya di ibukotanya, yakni Rabat.

Rabat kota yang indah. Jalanannya lebar, bersih dan lalu lintasnya teratur. Pepohonan tinggi berderet di hampir semua tepian jalan.

Di kota ini ada sebuah perempatan namanya Hilton Square. Aku berdecak kagum kala melewati tempat ini. Kagum akan rindangnya pepohonan, bunga warna-warni, serta hotel Hilton yang megah. Melewati Hilton Square serta jalan-jalan raya di sekitarnya, serasa melewati Jalan Padjadjaran di kota Bogor – terutama jalur antara terminal Baranangsiang dan Plaza Jambu Dua- yang rindang karena pepohonan di kebun raya-nya.

Bermalam minggu di alun-alun
Rabat, didirikan oleh Raja Abdul Mukmin pada tahun 1152 M. Selanjutnya diperluas dan mengalami masa keemasan di zaman Raja Yaqoub al Mansur, dari Dinasti Muwahhidin. Pada tahun 1610, Rabat menjadi kota penampungan bagi Arab muslim yang meninggalkan Tanah Andalusia alias Spanyol. Saat ini, kota Rabat dihuni oleh 2,3 juta jiwa.

Enam hari aku berada di kota ini. Waktu yang sangat singkat, untuk bisa menelusuri keindahan sudut-sudutnya, serta untuk merasakan desah nafas budaya masyarakatnya. Belum lagi kesibukan acara seminar dua hari yang kuikuti. Tetapi aku berusaha mencuri-curi waktu senggang, untuk sekedar ‘menikmati’ Rabat.

Jumat (28/7) senja, aku naik taksi bersama dua orang rekan menuju kampus Darul Hadis. Sebagaimana kututurkan dalam tulisan Pesona Maroko 2. Sabtu malam keesokan harinya, aku bermalam minggu dengan cara menelusuri alun-alun kota Rabat. Pusat kota yang terkonsentrasi pada Jalan Hassan II dan Jalan Muhammad V.

Dua jalan ini terbentang panjang. Gedung-gedung kuno berderet. Gedung-gedung berwarna kuning emas dengan arsitek klasik nan antik. Di tengah jalan Muhammad V, ada trotoar luas yang diapit deretan pepohonan rindang. Para pejalan kaki atau mereka, muda-mudi Rabat yang duduk-duduk santai, memadati kawasan ini.

Aku berjalan menelusuri trotoar itu bersama dua rekan. Satu delegasi PPMI Mesir, satu lagi delegasi PPI Saudi. Keduanya tak henti menjepretkan kameranya pada obyek-obyek pemandangan yang eksotik.

Alun-alun Rabat ini, Tunis banget...!, gumamku dalam hati. Maksudku, setting jalan raya lebar dengan trotoar luas di tengahnya dan diapit deretan pepohonan, mirip sekali dengan alun-alun kota Tunis. Dan konon, juga serupa dengan Paris. Maklum, Maroko dan Tunisia, khan negara bekas jajahan Perancis. Pantas jika setting alun-alunnya pun mengikuti gaya Paris.

Sepanjang jalan Muhammad V, ada beberapa gedung penting. Seperti gedung parlemen Maroko, Mesjid Sunnah dan Istana Raja. Pun juga hotel-hotel mewah yang berderet.

Napak Tilas
Ahad (30/7) sore, aku bersama kawan-kawan kembali menelusuri lekuk-lekuk kota Rabat. Juga mengunjungi beberapa monumen sejarah yang dimilikinya. Karena ternyata, Rabat juga sarat nilai sejarah. Di kota ini, ada puing-puing reruntuhan gedung Romawi Kuno di situs sejarah Sella. Juga ada benteng Kasbah dan Kota Tua Oudaya, peninggalan dinasti Muwahhidin. Makam raja Hassan II dan Raja Muhammad V juga ditata rapi dan jadi salah satu obyek wisata terkenal. Oya, satu hal lagi. Di kota Rabat ini, ternyata ada jejak Indonesia. Ada jalan Soekarno, Jalan Jakarta, Jalan Indonesia dan Jalan Bandung.

Situs sejarah Sella adalah sebuah musium terbuka, berupa reruntuhan bangunan peninggalan Romawi Kuno. Terletak di tepi utara kota Rabat. Pintu gerbangnya berupa tembok tua dan usang setinggi 5 meteran. Seseorang berpakaian adat Maroko dan bertopeng, mendadak menari-nari sambil menabuh gendang kecil yang dipegangnya. Ceritanya, menyambut kedatangan para turis. Ada-ada saja, pikirku.

Area dalam komplek Sella dipadati pepohonan rindang. Diselingi reruntuhan bangunan tua. Berupa tembok-tembok setinggi 1 meteran. Ada ruangan-ruangan kamar, juga menara yang tinggi. Katanya sih, itu bekas istana.

Aku tak banyak berjalan di dalam komplek Sella ini. Selain untuk menghimpun tenaga, juga karena suasananya tak beda dengan Chartage, di pesisir Laut Tengah, tepian kota Tunis. Yang juga kawasan reruntuhan puing-puing Romawi Kuno. Di Chartage bahkan ada gedung teater kuno yang hingga kini masih dipakai untuk acara festival seni. Seperti Roman Theatre di kota Iskandariah Mesir itu.

Usai dari Sella, kami pergi ke Dharih Hassan II, yakni komplek makam dua Raja Maroko; Muhammad V –meninggal tahun 1961- dan Hassan II –meninggal tahun 1999.

Komplek makam ini kira-kira seluas lapangan sepak bola. Dikelingi pagar tembok yang dijaga para tentara kerajaan berkuda putih. Di salah satu sudut kompek ini ada bangunan persegi empat berwarna putih yang menandai lokasi pusara kedua raja. Atapnya ditutupi genting berwarna biru.

Di pintu makam, ada dua orang tentara kerajaan, tubuhnya tegap, tinggi besar. Memakai seragam tentara tradisional kerajaan dan memegang senjata laras panjang. Mirip dengan tentara keamanan dalam salah satu episode film Mr Bean itu. Yang kemudian dijadikan model kawan foto Mr Bean.

Ruangan tempat pusara berada, luasnya kira-kira 200 meter persegi, ditata rapi dan sangat artistik. Dindingnya berlapiskan marmer dan berhiaskan warna-warni. Ukiran bunga-bunga khas Andalusia. Juga ada lampu-lampu besar yang indah.

Dari tempat ini, Laut Atlantik yang biru, kelihatan jelas. Maklum, hanya terpaut jarak 300an meter. Indah sekali. Pantas jika setiap hari, lokasi ini dipadati ribuan peziarah. Baik orang Maroko, atau juga para turis asing.

Jejak Indonesia
Setelah puas mengunjungi makam raja, kami kembali ke bis. “Kita akan menelusuri jejak Indonesia di kota Rabat”, tutur seorang panitia.

Bis bergerak, lalu berjalan menelusuri jalan-jalan utama kota Rabat. Menuju alun-alun. Ketika tiba di jalan Muhammad V, dekat kantor pos besar, bis belok kanan. “Ini adalah jalan Soekarno”, kata panitia lagi. Bis berjalan pelan. Ternyata benar, di tembok gedung sebelah kanan jalan, nampak tertulis jeas : Avenue Soekarno. Aku berdecak kagum. Nama presiden kita diabadikan sebagai nama jalan besar, di jantung kota Rabat.

Lalu bis berputar-putar lagi. Melewati jalur-jalur utama, kemudian menelusuri jalan-jalan sempit. Sepertinya menuju kawasan dekat pantai. Di sebuah perempatan dengan jalan agak menurun, bis berhenti. Di sebelah kanan, nampak tertulis plang : Rue Bandung. Jalannya agak sempit. Wah, aku kaget lagi. Betapa kota Bandung dinilai bersejarah oleh orang Maroko.

Beberapa saat kemudian, kami juga melewati Jalan Indonesia dan Jalan Jakarta. Tak jauh posisinya dari Rue Bandung itu.

Aku berfikir, tentu orang Maroko tak begitu saja menamakan jalan-jalan ini dengan nama-nama Indonesia. Melainkan buah dari persahabatan antara kedua negara yang terjalin baik sejak lama. Hingga sampai saat ini, Maroko memberikan On Arrival Visa kepada WNI yang berniat pergi ke Maroko. Visa gratis, tanpa harus diurus ke kedutaan.

Aku jadi ingat Mesir. Di sana, ada kota kecil di tepi Terusan Suez, namanya Ismailia. Di kota ini, ada perempatan bernama Indonesian Square. Sangat masyhur di kalangan warga setempat. Juga ada toko Soekarno. Aku pernah mengunjunginya pada bulan April 2004, bersama seorang wartawan Gatra dari Jakarta. Lalu, Gatra menulis pesona kota Ismailia ini dengan judul Mutiara Indonesia di Terusan Suez.
Aku juga ingat, betapa Bung Karno sangat disegani oleh para pemimpin negara lain. Gaya diplomasi dan lobi politiknya tentu sangat memikat para petinggi negara sahabat. Hingga mereka merasa perlu mengabadikan nama pendiri republik kita ini, dalam nama-nama jalan di kota mereka. Suatu prestasi yang layak ditiru oleh para pemimpin kita sekarang.

Kota Tua Rabat
Menjelang senja, kami menuju Benteng Kasbah dan Kota Tua Oudaya. Keduanya terletak di di pinggir pantai Samudera Atlantik. Yang sekaligus sebagai peninggalan Kota Tua Rabat. Dekat benteng ini, ada sungai Bouregreg yang tidak pernah kering sepanjang tahun.

Benteng Kasbah dibangun oleh Raja Moulay Ismail pada masa Dinasti Alawy, yang memerintah selama 1672-1694. Tujuannya, untuk mengawasi ancaman serangan laut dari Spanyol. Saat ini, Kasbah berfungsi sebagai museum yang menyimpan barang bersejarah.

Tak jauh dari Kasbah, ada pasar kuno Oudaya, yang menjual barang souvenir khas Arab Maroko. Pasarnya mirip dengan Khan Khalili di Old Cairo ; kios-kios yang berderet diantara jalan yang berkelok-kelok. Souvenirnya juga kebanyakan sama.

Di pasar ini, aku membeli beberapa piring indah dan gantungan kunci bertuliskan “Maroc”. Tak banyak yang kubeli, karena memang harganya cukup mahal. Gantungan kunci saja dijual seharga 8 dirham, atau sekitar 8 ribu rupiah. Di Tunis, benda serupa dijual seharga 0,8 dinar (enam ribu rupiah). Di Pasar Khan Khalili Mesir, bahkan lebih murah lagi, hanya 2 Pound, atau 3 ribu rupiah.

Aku membeli sedikit souvenir ini, sekedar untuk buah tangan bagi rekan-rekan di Tunis. Sebagiannya akan kusimpan sendiri, sebagaimana aku telah menyimpan memori perjalanan ini, dalam lubuk sanubari. Sekedar perekat kenangan, bahwa aku pernah berkunjung ke kota ini. Salam manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 12 Agustus 2006

Tuesday, August 08, 2006

Kota Casablanca (PM4)

Kota Casablanca Sangat Mempesona

Aku di kota tua Casablanca, dengan tiang-tiangnya yang berderet

Hari Ahad (30/7), panitia menyediakan acara City Tour gratis. Obyeknya, kota Rabat dan kota Casablanca. Tentu saja aku merasa senang. Ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Maka, kendati masih ngantuk karena semalam begadang menelusuri kota Rabat, Ahad pagi pukul 08.00 aku mandi lalu bersiap menanti bis jemputan.

Jalan TolPukul 08.30, bis yang kami tumpangi bergerak pelan, menelusuri sudut-sudut kota Rabat yang lengang. Maklum, hari ahad pagi. Hanya satu-dua mobil yang berpapasan. Pagi itu, kami langsung menuju kota Casablanca, yang berjarak 91 km dari Rabat.

Aku duduk di depan. Di sebelah kiriku, Abdurrahman, sopir bis yang orang Maroko. Di sebelah kiriku, Dedi Wahyudin, ketua PPI Maroko yang telah 5 tahun tingal di Maroko. Maka, sepanjang jalan, aku pun bertanya banyak hal tentang negeri Maroko kepada mereka.

Perjalanan dari Rabat ke Casablanca, melewati jalan tol yang mulus. Kiri kanan jalan, pepohonan berbaris, serta sesekali ladang gandum yang kering. Pada musim panas, ladang-ladang itu dibiarkan tak produktif. Sesekali jalan tol itu melewati pesisir pantai. Pantai lautan Atlantik dengan airnya yang biru, di sebelah kanan jalan. Ombaknya besar. Seperti Pantai Pelabuhan Ratu di selatan Sukabumi yang dulu sering kukunjungi.

Casablanca Kota Niaga
Usai menempuh perjalanan selama satu jam, kami tiba di Casablanca. Kota terbesar di Maroko, yang kini berpenduduk 3,6 juta jiwa. Casablanca juga dikenal sebagai kota pusat perniagaan terpenting di Maroko, bahkan di kawasan al maghrib al arabi.

Pemerintah Maroko rupanya sengaja memisahkan ibukota administratif dan ibukota pusat bisnis. Rabat, kota cantik dan lengang, dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan politik. Lokasi istana raja berada. Juga lokasi belajar para mahasiswa. Sedangkan Casablanca disulap menjadi kota industri dan bisnis.

Menurut catatan sejarah, peran Casablanca sebagai kota pusat bisnis, telah berlaku sejak lama. Bahkan sejak didirikannya kota ini oleh para para saudagar Spanyol, tahun 1575. Mulanya, Casablanca berupa desa di abad 12 yang disebut dengan desa Anfa, tempat singgah para perompak yang menyerang kapal-kapal yang datang dari pantai utara Maroko. Pada tahun 1468, desa ini dihancurkan oleh Portugal hingga luluh lantak. Tak ada yang tersisa. Baru pada tahun 1515, Casa Branca atau Casablanca dibangun kembali, hingga kemudian dimanfaatkan sebagai kota dagang penting oleh orang-orang Spanyol itu.

Tak ada yang unik dengan pemandangan kota Casablanca modern. Sebagaimana kebanyakan kota besar dunia lainnya. Ada gedung-gedung yang tinggi, papan reklame yang warna-warni serta lalu lintas yang padat.

Casablanca Kota TuaTak lama kemudian, bis berhenti di depan sebuah komplek gedung-gedung berwarna putih. Aku menengok ke kiri dan kanan, mengamati suasana. “Kita tiba di Old Medina, kawasan kota tua Casablanca”, tutur Dedi.

Rupanya, di Tanah Arab ini, hampir semua kota memiliki kawasan kota tua dan kota baru. Kota Tua adalah kawasan kota yang ‘asli’, yang telah ada sejak awal dibangunnya kota itu. Kawasan ini biasanya ditandai dengan gedung-gedung kuno, dibatasi oleh pintu gerbang di setiap sudut kota, serta adanya pasar souvenir. Sedangkan kota baru adalah kawasan modernnya.

Sekedar contoh, di Mesir ada kawasan Old Cairo, yang dikelilingi oleh Bab el Louk, Bab en Nasr, Bab el Fath. Di dalam Old Cairo, ada benteng Salahudin, puluhan mesjid bersejarah dan Pasar Khan Khalili. Di Tunis, ada Medina, sebuah kawasan yang eksotik, dikelilingi oleh benteng-benteng kokoh ; Bab Sa’dun, Bab el Bahr, Bab Souika dan Bab el Khadra. Di kawasan ini, ada pusat perbelanjaan tradisional, berupa lorong-lorong kecil dan jalan yang berkelok-kelok. Mesjid Agung Ez Zitouna, yang didirikan tahun 762 M, berdiri tegar ditengah komplek Medina ini. Di Rabat, ada Oudaya, kawasan kota tua di tepi pantai, pun juga dengan pasar tradisionalnya

Setiap kota tua itu memiliki trade mark masing-masing. Ada ciri yang membedakan. Kota Tua Casablanca, memiliki komplek pertokoan yang bangunannya berwarna putih, dengan tiang-tiang yang berderet. Sesuai dengan nama Arabnya ; ad Dar al Baidha. Kota yang dipadati oleh gedung-gedung putih.

Aku senang menelusuri kawasan ini. Sudut-sudut eksotisnya, hampir tak pernah luput dari jepretan kamera. Tak peduli para pedagang yang menawarkan produknya. Selain tak ada uang, hehe, barang-barang jualannya juga tak beda dengan yang ada di Medina Tunis, bahkan di Khan Khalili, Cairo

Berjalan menjelajahi kota tua Casablanca, seolah berkunjung ke masa silam. Seakan-akan menemukan sebuah perjalanan sejarah yang telah terhenti. Bangunan kuno dengan deretan tiang, serta rumah peninggalan masa abad pertengahan Islam mewarnai secara mencolok. Sulit dipercaya, bahwa kawasan eksotik nan antik ini berada di tengah-tengah gemerlap metropolitan Casablanca.

Para turis berlalu lalang, meski tak sepadat di kota tua Tunis. Sesekali, ada bapak-bapak tua berjubah putih khas Maroko ; jubah dengan tutup kepala, seperti jas hujan. Di tengah teriakan para penjaja barang serta irama oud, gitar Arab yang dimainkan oleh para artis amatiran yang duduk di emperan-emperan toko. Ah, Casablanca memang mempesona....!

Megahnya Mesjid Hasan II
Menjelang dzuhur, kami mengunjungi Mesjid Hassan II yang terletak di tepi pantai, menghadap Samudera Atlantik. Dirikan oleh Hassan II, raja Maroko yang memerintah selama rentang 1961 – 1999. Sebuah mesjid yang megah, menaranya menjulang tinggi. Jika dilihat dari arah samping, akan nampak bahwa separuh bagian mesjid ini terapung di atas laut.

Pelataran depannya sangat luas. Perkiraanku, lebih dari luas dua lapangan sepak bola. Tak heran jika menurut cerita yang masyhur, mesjid ini adalah terbesar ketiga setelah al Haramain, yakni Mesjid al Haram dan Masjid Nabawi.

Arsitektur mesjid ini terbilang modern. Dindingnya terbuat dari marmer yang berukiran warna-warni. Indah banget. Corak ukiran dan hiasannya khas Andalusia.

Tempat wudlu berada di ruangan bawah tanah. Melewati tangga tembok yang indah serta ruangan-ruangan kecil yang cantik. Padahal, dinding-dinding indah ini berada di dalam ruangan wudlu dan toilet. “Mang Dede, jika kita difoto di sini, orang akan menduga kita tengah berada di hotel berbintang”, tutur seorang kawan berseloroh.

Di gerbang mesjid, tiga orang penjaga berseragam putih-biru nampak berdiri. Sewaktu aku hendak masuk, mereka menanyaiku dengan bahasa Perancis. “Anda muslim?!” Orang Maroko – juga Tunisia – memang biasa menyapa turis asing dengan bahasa Perancis. “Oh, ya, saya muslim. Dan saya mau salat dzuhur di sini”, tuturku dengan bahasa Arab. Para penjaga itu pun tersenyum ramah. “Ahlan wa sahlan”, katanya.

Aku berdecak kagum atas kemegahan mesjid ini. Meski nampaknya, mesjid ini lebih terkesan sebagai obyek wisata ketimbang sebagai sarana ibadah. “Ah, bagi saya ini terlalu megah untuk ukuran mesjid”, tutur seorang pejabat kita yang kumintai komentar tentang mesjid ini.


Aku berdiri pada jarak 200an meter dari mesjid

Pulang ke Rabat
Pukul 13.00, kami kembali ke Rabat. “Kita makan siang di sana. Lalu istirahat sebentar di KBRI. Sore hari hingga malam, kita akan telusuri kota Rabat”, tutur seorang panitia.

Aku mengangguk-anggukka kepala tanda setuju. “Oke dech Pak”, jawabku sambil duduk santai di bis. Tubuhku bersandar ke kursi yang empuk. Sementara pikiranku masih melayang, menerawang, mengingat-ingat sudut-sudut kota tua Casablanca yang mempesona.

Tunis al Khadra, 6 Agustus 2006

Sunday, August 06, 2006

Islam di Maroko (PM3)

Ini Rabat, Bukan Tunis


Alun-alun kota Rabat, Sabtu malam. Gelap fotonya, indah kotanya...
Sore Ahad (30/7) langit kota Rabat nampak cerah. Udara masih terasa panas. Pelataran luas depan makam Raja Hassan II dan Raja Muhammad V yang menghadap ke Laut Atlantik, dipenuhi ribuan pengunjung.

Aku berjalan memasuki gerbang komplek makam yang dijaga dua tentara kerajaan berkuda putih. Di taman hijau depan gerbang, dua orang Arab Maroko nampak sedang salat Ashar berjamaah. Beralaskan hijaunya rumput.

Spontan aku menghentikan langkah. Aku mengamati kedua orang itu. Juga mengamati orang-orang yang ada di sekitar mereka. Para peziarah yang lalu lalang, serta para polisi kerajaan yang berjaga-jaga.

Rupanya, salat di ruangan terbuka begini, menjadi hal biasa di negeri ini. Seperti yang sering kusaksikan – bahkan kulakukan - dulu di Mesir. “Rabat ternyata berbeda dengan Tunis”, gumamku. Di kota Tunis, hal seperti ini tidak ada. Karena memang ritual keagamaan masih belum bebas berekspresi di ruang publik. Akibat iklim politik yang masih sensitif terhadap segala hal yang bernuansa Islam.
* * *
Keeseokan harinya aku naik kereta api menuju Marakesh, salah satu kota tujuan wisata utama Maroko, 321 km selatan Rabat. Tiket KA kelas dua jurusan Rabat-Marakesh adalah 101 Dirham (14 Dinar Tunis, 12 Dolar AS).

Di kereta, aku duduk satu kamar dengan 7 orang Maroko. Tiga laki-laki dan empat perempuan. Tiga pasang suami isteri dan seorang ibu-ibu tua. Keempat wanita itu menggunakan jilbab.

Saat kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Rabat, lelaki yang duduk di dekat jendela memeriksa isi tasnya. “Mungkin ia mau periksa uangnya. Siapa tahu ada copet”, pikirku berspekulasi. Ah ternyata, ia mengambil mushaf kecil Alquran.

Lelaki itu kemudian membaca Alquran. Pelan. Tak peduli orang-orang sekitarnya sedang ngobrol ngalor ngidul. Tak peduli isterinya yang menyandarkan bahunya kepadanya. Manja.

Aku iri pada lelaki itu. Ia bisa memandangi hijaunya pemandangan alam Maroko, sambil membaca ayat suci, didampingi isteri tercintanya yang berjilbab.

Menurut cerita, membaca Alquran di ruang publik, seperti yang dilakukan lelaki itu, adalah pemandangan biasa di kota Rabat ini. Sedangkan di kota Tunis, hal seperti ini masih sangat jarang terjadi. Orang-orang masih takut dicurigai sebagai Islam fundamental yang membahayakan.

Di Rabat, agama seolah tengah kembali ke masyarakat. Di negeri kerajaan ini, kini semakin banyak generasi muda terdidik yang kembali membaca Alquran dan menekuni ilmu-ilmu agama.

Aku juga iri pada keempat wanita yang duduk di dekatku ini. Juga pada semua kaum muslimah Maroko. Sepertinya mereka bebas berekspresi dengan jilbab. Tak seperti saudari-saudari seiman mereka di Tunisia, yang masih sering mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah hanya karena jilbab. Lagi-lagi aku hanya bisa bergumam, Rabat memang berbeda dengan Tunis.
* * *
Aku kembali dari Marakesh pukul 21.00. Naik kereta malam menuju Rabat. Menjelang pukul 01.00 dinihari, kereta tiba di stasiun Casablanca. Masih 91 km lagi ke Rabat. Puluhan penumpang naik. Seorang pria separuh baya duduk di sebelahku.

Aku menduga-duga. Dari tampangnya, sepertinya ia seorang yang berpendidikan. Lalu, dengan penuh percaya diri, kubuka obrolan basa- basi. Ternyata ia merespon dengan baik. Ia mengaku bernama Abdul Aziz, bekerja sebagai guru SMA di kota Casablanca.

Kala aku menjelaskan identitasku, bahwa aku sekolah S2 Syariah Islamiyyah di Tunis, si bapak nampak kaget. Matanya terbelalak.

“Kamu belajar syariah di Tunis?!”
“Iya Pak. Memang kenapa?!”
“Saya tidak yakin, kamu akan jadi seorang faqih, yang ngerti agama. Jika kamu belajar ilmu syariah di sana”.
“Kenapa bisa begitu Pak?! Bukankah sekolah itu sama saja?! Yang penting kitanya bisa belajar atau tidak?!” aku penasaran.

Si Bapak lalu bertutur panjang. Mula-mula ia mengkritik pola beragama orang Tunisia. Bahwa Islam yang dikembangkan di Tunisia, bukanlah Islam yang sebenarnya.

“Kamu lihat tuh Presiden Borguiba. Bagaimana mungkin seorang presiden di negara muslim mengajak umatnya untuk tidak berpuasa Ramadan?!”

Si Bapak terus bertutur. Mula-mula ia mengkritik sistem politik di Tunisia yang sering diskriminatif terhadap Islam. Lama-lama, ia bahkan mengkritik umat Islam yang sering tidak konsisten terhadap ajaran agamanya. Nada bicara si bapak itu tinggi, penuh semangat.

Aku berusaha menimpali, serta sesekali memancing-mancing dengan pertanyaan yang nadanya berseberangan dengan arah opini si bapak. Sebagaimana teori wawancara jurnalistik yang dulu pernah kupelajari. Katanya sih, agar nara sumber bicara ‘habis-habisan’.

Tapi aku merasa was-was juga. Khawatir tiba-tiba ada intel menangkap kami. Karena untuk ukuran Tunis, bicara seperti itu sudah dianggap tabu, alias berbahaya. Tetapi aku lihat orang-orang Maroko di kereta itu ; semuanya cuek.

Hampir satu jam kemudian, pembicaraan hangat kami terputus, karena aku harus turun di stasiun Rabat Agdal. Sungguh tak terasa.

Dari stasiun, aku naik taksi menuju penginapan. Dalam kesenyapan, di tengah gemerlap lampu malam, aku berfikir, betapa di Rabat ini, kebebasan mengeluarkan pendapat, relatif lebih terbuka ketimbang di kota Tunis. Bicara soal Islam, adalah hal yang lumrah. “Di Maroko, kajian keislaman sangat terbuka lebar”, tutur seorang rekan S3 di Maroko.

Lagi-lagi aku ingat Tunis, negeri tempat tinggalku saat ini. Tunisia dan Maroko, dua negara Arab yang bersahabat, juga bertetangga dekat. Tetapi, wajah Islam nampak berbeda di kedua negara ini.
* * *
Aku belum tahu secara pasti, mengapa semua ini bisa terjadi. Selama ini aku mencoba bertanya kepada banyak orang, juga pada beberapa buku.

Temuan sementaraku, semua ini merupakan imbas dari sikap beragama penguasa. Ar Rojulu ala dini mulkihi, kata orang Arab. Corak beragama penguasa sangat mewarnai corak beragama rakyatnya.

Tunisia sangat alergi dengan hal-hal yang berbau Islam. Trauma dengan konflik perang saudara yang dulu terjadi di negara tetangganya, Aljazair. Maka, segala hal yang berbau Islam, selalu diawasi oleh pemerintah. Tak terkecuali ritual keagamaan dalam skala sekecil apapun.

Pada saat yang sama, ideologi sekulerisme gencar dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Simbol-simbol agama, dalam image umum yang berkembang di Tunisia, hanya layak dibicarakan dan diekspresikan di mesjid, atau di ruang-ruang akademis.

Sedangkan di Maroko, kebebasan mengekspresikan syiar agama sangat didukung oleh penguasa. Bahkan raja bertugas untuk menjaga dan memelihara syiar agama di seluruh negeri. Sesuai dengan salah satu gelar raja di Maroko, yakni amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman.

Maka, Raja Muhammad VI di kota Rabat adalah kepala negara sekaligus pemimpin agama. Berbeda dengan konsep mendiang Habib Borguiba di Tunis ; agama harus disingkirkan dari pentas politik.

Akhirnya, aku hanya kembali berkomentar, Rabat memang tak sama dengan Tunis.

Tunis al Khadra, 5 Agustus 2006

Thursday, August 03, 2006

Belajar di Maroko (PM 2)

Mereka Belajar Islam di Maroko


Aku berpose di salah satu sudut kampus Darul Hadis al Hasaniyah, Rabat.

Menjelang pukul 11 siang waktu Maroko, aku tiba di sekretariat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, di kawaan Hay el Quwas, kota Rabat. Sebuah komplek pemukiman kelas menengah ke bawah, berupa apartemen-apartemen pendek – dua atau tiga lantai – dengan jalanan sempit yang berkelok-kelok.

Sekretariat PPI Maroko menempati lantai pertama sebuah apartemen yang terdiri dari 3 lantai. Lantai dasar digunakan sebagai sasana taekwondo milik orang Maroko. Sedangkan lantai kedua adalah rumah keluarga seorang mahasiswa Indonesia.

Seorang pria muda berperawakan sedang menyambut kedatanganku di pintu rumah. “Ahlan wa sahlan”, tuturnya seraya tersenyum. Dialah Dedi Wahyudin, ketua PPI Maroko. Kami bersalaman erat.

Dedi, kawan akrabku, sesama peserta program S2 Departemen Agama tahun 2001. Cuma beda nasib. Ia bersama 10 rekannya pergi ke Maroko, lalu belajar S2 dan umumnya selesai pada tahun 2003. Kini, sebagian besar mereka telah kembali ke tanah air, beberapa diantaranya diterima sebagai PNS. Dedi beserta 3 rekan, memilih melanjutkan S3 di Maroko.

Sedangkan aku, bersama 16 orang lainnya, dikirim ke Mesir, untuk belajar S2 di Al Azhar. Hingga hari ini, belum satu pun diantara kami yang selesai S2. Subhanallah. Aku masih saja berkutat dengan tesis, yang insya Allah akan selesai awal tahun depan.

Kampus Tertua
Dedi yang asal NTB ini kini sedang merampungkan disertasi bidang filsafat Islam di Universitas Malik Sa’di, Tetouan. Selain Dedi, ada sekitar 25 mahasiswa Indonesia lainnya yang tengah belajar di 8 perguruan tinggi Maroko dan tersebar di 6 kota. Baik pada program S1, S2 maupun S3.

Aku senang bisa bersilaturahmi dengan para mahasiswa Indonesia di Maroko. Mereka, para mahasiswa yang memiliki semangat belajar tinggi. Mereka, anak-anak muda yang sedang mengasah potensi, menempa diri dengan ilmu agama, di negeri ujung barat Afrika. Meski harus berjauhan satu sama lain, tanpa banyak rekan satu negeri. Meski harus tinggal di kota pelosok, jauh dari keluarga besar KBRI.

Kota Tetouan misalnya, lokasi Dedi belajar, berjarak 294 km utara Rabat. Tetouan - kota kelahiran Ibnu Batuta, seorang petualang abad pertengahan yang telah melakukan perjalanan fantastis sepanjang 120.000km – terletak di tepi selat Gibriltar, perbatasan Maroko dan Spanyol. Di kota ini, terdapat 8 mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di dua kampus ; Universitas Malik Sa’di dan Universitas Qurawiyyin.

Universitas Qurawiyyin adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia. Didirikan pada tahun 245 / 857 M, oleh Fatimah Fihriyah, seorang wanita dari kota Kairouan, Tunisia. (Tentang Kairouan, bisa Anda baca dalam tulisan : Berziarah ke Kota Sejarah). Maka, nama Qurawiyyin pun diambil dari kata Kairouan ini.

Universitas Qurawiyyin memiliki empat kampus, di empat kota. Kampus utama berada di kota Fes, kota ulama dan kota pelajar Maroko, 198 km timur Rabat. Kampus Fes berdekatan dengan makam Syekh ash-Shonhaji, pengarang kitab nahwu, Al Jurumiyah.

Di kota Fes, saat ini hanya ada satu orang mahasiswa Indonesia. Namanya Suhartono. Pun juga di kota Meknes -60 km dari Fes- hanya ada satu mahasiswa, yakni Fauzan, yang kini tengah belajar S2 bidang Tafsir.

Kampus II Universitas Qurawiyyin berlokasi di kota Tetouan. Tahun ini, ada 3 mahasiswa Indonesia yang selesai S1 dari Tetouan. Yakni Firman, Sabiq dan Nasrullah. Beberapa orang lainnya masih dalam tahap studi, baik S1, S2 maupun S3.

Kampus III terletak di kota Aqadir, 602 km selatan Rabat. Aqadir adalah sebuah wilayah Maroko yang dikenal memiliki lahan pertanian subur dan lokasi ternak unta. Di Aqadir, tak ada mahasiswa Indonesia. Barangkali karena terlalu jauh.

Sedangkan kampus IV berada di kota Marakesh, salah satu kota tujuan wisata di Maroko, terletak pada posisi 321 km selatan Rabat. Kampus Marakesh berdekatan dengan makam Syeh Jazuly, pengarang kitab Dala’ilul Choirot. Seperti halnya di Fes dan Meknes, di kota ini juga hanya ada satu orang mahasiswa kita, yakni Suprapto.

Aku kagum pada ketiga sosok ini. Suhartono, Fauzan dan Suprapto. Mereka berani hidup menjadi WNI sendirian di tengah-tengah orang asing, di penghujung barat Afrika, nun jauh di sana. Hanya untuk belajar, dalam rangka menghiasi diri dengan ilmu. Semoga Allah memudahkan jalan mereka.

Kampus Ilmuwan
Sebagian mahasiswa Indonesia juga belajar di Rabat, ibukota Maroko. Di kota ini, terdapat dua kampus bergengsi ; Universitas Muhammad V dan Universitas Darul Hadits al Hasaniyyah. Sedangkan pada jarak 40 km utara Rabat, ada kota kecil bernama Kenitra. Di kota ini, terdapat empat orang mahasiswa kita pada jenjang S1. Mereka adalah Asep, Indra, Muhlas dan Imam. Nama kampus lokasi mereka belajar adalah Universitas Ibnu Thufail.

Bagi mereka yang akrab dengan dunia pemikiran Islam modern, tentu takkan asing dengan nama Universitas Muhammad V. Karena di kampus ini, terdapat banyak pemikir Islam terkemuka. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, Abed al Jabiri dan Ahmed Raisuni.

Gedung kampus Universitas Muhammad V bertebaran di kota Rabat. Salah satunya di kawasan Agdal, dekat asrama penginapanku selama di Rabat. Gedung kampusnya berdiri megah, halaman depannya dihiasi taman dan pepohonan hijau. Di kalangan orang Maroko, kawasan Agdal di kota Rabat ini kerap disebut juga dengan madinatul irfan, kota ilmu pengetahuan.

Sedangkan kampus Darul Hadits terletak di sebuah kawasan pemukiman yang padat. Meski demikian, gedung kampus ini sangat terkenal di Maroko. Karena didirikan oleh Raja Maroko, Hassan II, pada tahun 1964.

Senja Jumat (28/7) lalu, aku berkesempatan mengunjungi Darul Hadits. Gedungnya dua lantai diatas lahan yang tak terlalu luas. Akan tetapi, arsitektur gedung ini sangat menarik. Gaya bangunan lama yang antik, serta dinding yang dilapisi marmer dan hiasan warna-warni. Kental nuansa Andalusia.

Di pelataran depan, ada kotak kaca berukuran besar. Didalamnya tersimpan ratusan disertasi doktor, buah karya para alumninya. Di halaman dalam, terdapat taman bunga dan pepohonan rindang serta air mancur. Membuat suasana terasa nyaman dan resik. Beberapa kali aku berdecak kagum. “Andai kampus-kampus Mesir seperti ini… “, tutur Rio, delegasi PPMI Mesir yang juga berkunjung ke Darul Hadits senja itu.

Di kampus ini, ada mushalla kecil, kira-kira seluas 30 meter persegi. Berdampingan dengan ruangan perpustakaan. Percikan air mancur, taman-taman yang hijau, serta keheningan, sempat membuatku terbuai, seolah lupa bahwa aku kini tengah berada dalam sebuah kampus di negeri Arab.

Amal, seorang mahasiswa S2 Darul Hadits yang menemaniku sore itu, tak henti bertutur tentang kampusnya. Amal, yang juga sahabat lamaku di Kairo, kini tengah menuis tesis bidang ilmu hadits. Selain Amal, mahasiswa kita yang belajar di Darul Hadis adalah Abdus Somad dan Nur Kholidin.

Dukungan Raja
Belajar di Maroko - sejauh cerita kawan- sangat menyenangkan. Sistem studinya modern dan mudah. Jenjang S1, S2 dan S3 dapat ditempuh dengan masa studi masing-masing empat, dua dan tiga tahun. Semua mahasiswa juga mendapat beasiswa dari AMCI (L’Agence Marocaine de la Coperatione Intrnationale).

Kebebasan berpendapat dan tradisi berpikir sangat terbuka di negeri kerajaan ini. Pemerintah tidak memaksa rakyat untuk berpola pikir secara kaku atau seragam. Barangkali salah satunya adalah karena faktor penguasa Maroko saat ini, Raja Muhammad VI, seorang lulusan Eropa yang berpikiran maju.

Sang raja bertekad untuk memodernkan Maroko, namun tetap melandaskannya kepada agama Islam. Raja yang berusia 43 tahun ini tengah berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang berusia ribuan tahun dengan arus globalisasi. Maka tak heran jika di negeri bekas jajahan Perancis ini, simbol-simbol formal keagamaan dan tradisi Islam tetap kentara. Aktifitas religius selalu semarak. Aneka ritual tarekat sufi bebas berekspresi. Di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang berhembus dari Barat.

Belajar Islam di Maroko memang sangat menarik. Ada beberapa kelebihan yang barangkali takkan dijumpai di negeri lain. Semoga semua itu menjadi jalan kemudahan bagi para tunas bangsa yang tengah menuntut ilmu di sana.

Rabat, 30 Juli 2006