Wednesday, November 27, 2013

Tunis ARFI 2013

KAMI BELAJAR ISLAM DI TUNIS

Aku bersama para peserta ARFI Tunis 2013, di Ampitheatre el Jem, Tunisia Selatan

Hatiku terasa plong bukan main. Kalimat syukur tak henti kugumamkan, tatkala melambaikan tangan tanda perpisahan dan selamat jalan kepada 15 orang dosen UIN/IAIN di Carthage International Airport Tunis, Minggu (24/11) lalu.

Mereka hendak kembali ke tanah air, setelah sebulan lamanya berada di Tunis, dalam rangka riset ilmiah Academic Recharging for Islamic Higher Education (ARFI), kerjasama Diktis Kemenag RI dengan Universitas Zitouna, Tunis. 

Selama sebulan di Tunis, mereka mengikuti beragam kegiatan ilmiah. Diantaranya workshop di kampus Universitas Zitouna Tunis dan kampus Fak Adab Universitas Sousse, seminar-seminar internasional, bimbingan akademik dari para guru besar, kunjungan ke sejumlah perpustakaan terkemuka, pameran buku internasional, dan  sejumlah obyek wisata sejarah terkemuka. Selain itu, mereka juga berbaur dengan masyarakat dalam rangka cross culture. Benar-benar program yang sejatinya dapat men-charge kualitas akademik mereka.

***
Menurut info dari sejumlah senior, baru kali ini Tunis menjadi lokasi sebuah program akademik dalam waktu yang relative lama. Biasanya, kegiatan sejenis lebih serimg digelar di Mesir atau Maroko, yang lebih dulu dikenal sebagai pusat kajian Islam.

Belajar Islam di Tunis memang belum diminati – atau diketahui - banyak kalangan di tanah air. Sebagian malah masih menilai Tunisia sebagai sekuler dan kebarat-baratan, lingkungan masyarakatnya tidak ‘nyantri’ sehingga kurang cocok untuk jadi lokasi studi Islam.

Tentu itu adalah ‘lagu lama’. Karena pasca revolusi 2011, kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam menemukan geliat baru di negeri termakmur ketiga di Afrika ini. Sebuah iklim yang semakin melengkapi sederet potensi yang telah dimiliki Tunis sebelumnya : murahnya biaya kuliah, system pendidikan yang modern, kuatnya tradisi ilmiah, keramahan masyarakat,  juga lingkungan kota yang rapi.

Ya, di Tunis ini bea kuliah sangat murah meriah. Mahasiswa jenjang S1 hanya dikenai bea materai dan administrasi sebesar 35 Dinar (setara Rp 200 ribu) per tahun. Mahasiswa S2 dan S3 sebesar 108 Dinar (Rp 600 ribu). Ini berlaku untuk semua kalangan, baik mahasiswa asing maupun pribumi, pada semua universitas dan program studi.

Tentang tradisi ilmiah, banyak kemajuan yang terjadi pasca revolusi ini. Pengajian-pengajian talaqqi dan tahfidz kini mudah dijumpai di berbagai masjid. Lembaga-lembaga pendidikan Islam – semacam pesantren – bermunculan di mana-mana. Sejumlah mahasiswa kita aktif mengikuti pengajian-pengajian ini.

Dalam bidang pemikiran modern saat ini, ada sejumlah nama besar yang dikenal dalam kancah pemikiran Islam modern. Misalnya saja Mohamed Talbi dan Abdul Majid Syarafi dari kalangan ‘sepuh’. Sedangkan dari kalangan muda, muncul sejumlah nama baru dengan karya-karya mereka yang popular. Misalnya Hammadi Dzuaib, Muhamed Hamzah, dan Ulfah Yusuf.
Masih banyak daya dukung lain, seperti keramahan masyarakat lokal, sikap kooperatif para dosen dan pegawai kampus, juga lingkungan kota yang tertib.

Hanya ada satu hal yang memang memberatkan para mahasiswa di sini. Yakni tingginya biaya hidup (living cost), sementara beasiswa pemerintah Tunisia untuk mahasiswa Indonesia telah terhenti, sejak beberapa tahun belakangan ini. Sekedar contoh, bea sewa flat 2 kamar di sekitar kampus, mencapai angka 300 USD. Itu rumah kosong, tanpa perkakas apapun.

Para mahasiswa dari negara lain umumnya masih memperoleh beasiswa bulaan dan jatah tinggal di asrama kampus. Mengapa mahasiswa Indonesia tidak? Karena rupanya, MoU antara pemerintah kita dengan pemerintah Tunisia, telah lama kedaluwarsa. Seharusnya, MoU beasiswa itu diperbaharui per 4-5 tahun.

Hello Diktis Kemenag?! How are you? Mudah-mudahan ada pejabat berdasi di Jakarta yang membaca tulisan ini, hehe..

***
Pada malam terakhir tim ARFI di Tunis, aku mendapat kesempatan menyampaikan sepatah kata perpisahan kepada mereka. Kapasitasku adalah sebagai panitia local, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya semua program selama mereka berada di Tunis.

Malam itu, aku mengulangi kembali pesan yang sebenarnya sering kuungkapkan sebelumnya, baik dalam diskusi resmi, maupun dalam obrolan-obrolan santai bersama mereka.

“Bapak dan Ibu sekalian. Saya termasuk orang yang secara gigih mengusulkan agar program ARFI 2013 ini dilaksanakan di Tunis. Sebagaimana halnya tahun lalu, saat saya secara gigih pula ingin kembali ke Tunis dalam rangka studi S3. Mengapa? Karena saya melihat, Tunisia pasca revolusi 2011, berbeda dengan Tunisia pada masa lalu, yakni ketika dilanda proyek sekulerisasi selama 1956 hingga 1987, ketika Islam dipinggirkan dari ruang public, dan pendidikan Islam dimarginalkan. Tetapi kini, geliat baru benar-benar terjadi. Islam dan pendidikan Islam kini sedang naik daun di negeri ini.

Beberapa potret itu telah Bapak Ibu saksikan, meski secara sekilas. Dan mungkin dari yang sekilas itu, Bapak Ibu telah memiliki kesan-kesan tersendiri.

Selama sebulan ini, Bapak Ibu sekalian juga telah mengetahui potensi-potensi kerjasama bidang pendidikan yang bisa dijajaki pada masa yang akan datang, secara lebih luas lagi, antara pemerintah Tunisia dengan pemerintah Indonesia.

Bapak dan Ibu telah melihat dari dekat, apa dan bagaimana Masjid dan Universitas Zitouna, suasana kampusnya, bagaimana kualitas para dosen dan guru besarnya, serta kiprahnya dalam sejarah pendidikan Islam. Bapak Ibu juga telah berkunjung ke Fakultas Adab Univ Sousse, mengunjungi perpustakaannya, serta berdialog dengan para dosen dan mahasiswanya.

Silahkan ceritakan semua itu kepada masyarakat kita di tanah air, baik itu para mahasiswa, juga para pemegang kebijakan. Silahkan ceritakan apa adanya, plus minusnya, baik buruknya, kelebihan dan kekurangannya. Sesuai sudut pandang masing-masing.

Saya bersama 50 orang mahasiswa Indonesia yang saat ini ada di Tunis, mengucapkan selamat jalan, selamat kembali ke tanah air. Tugas kami sebagai duta-duta Zitouna dan Tunis, sangat terbantu dengan kehadiran Bapak dan Ibu di sini. Karena kini, Bapak dan Ibu juga mengemban peran itu”.

***
Senin siang, aku mendapat khabar, mereka telah tiba di tanah air dengan selamat. Alhamdulillah.

Selamat berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Selamat menjalani kembali hari-hari yang lebih indah dan lebih segar, di kampus masing-masing. Salam dari kami yang masih berjihad ilmu di negeri mungil yang baru saja Anda kunjungi.

Tunis al Khadra, 26 Nopember 2013