Saturday, December 28, 2013

Masjid Diskotik

JAMI' SIDI ABDUL QODIR : 
MASJID ATAU GEDUNG KESENIAN ?!

 Masjid Sidi Abdul Qodir, dulu dan kini. Foto diambil dari situs media di Tunis

Spirit Revolusi 2011 mendorong umat Islam di Tunis untuk mengembalikan sejumlah identitas Islam yang pernah hilang diberangus oleh sistem yang sekuler. Salah satunya, Masjid Sidi Abdul Qodir di kawasan kota tua Tunis “dikembalikan’ perannya sebagai Masjid lagi, setelah sekian lama dijadikan sebagai gedung pertunjukan kesenian dan hiburan malam. Tetapi, persoalan hukum dan tentangan kaum sekuler masih menjadi hambatan.   

Waktu menunjukkan pukul 12.30. Kumandang adzan dzuhur terdengar bersahutan dari sejumlah Masjid di kawasan kota tua Tunis. Maklum, di kawasan pemukiman padat ini, jarak antara satu Masjid dengan Masjid lain sangat berdekatan.

Satu per satu jema’ah memasuki sebuah Masjid di Nahj Diwan, jalan sempit yang berlokasi tak jauh dari Masjid Zitouna. Aku salah satunya. Di pintu Masjid, aku sempat membaca plang Masjid yang terukir di dinding usang. Masjid Sidi Abdul Qodir, dibangun pada abad ke-12 Masehi.

Masjid Sidi Abdul Qodir?! Jantungku berdegup kencang. Langkahku terhenti sejenak. Aku kembali mengamati tulisan itu, khawatir salah baca. Ya, benar. Ini Masjid Sidi Abdul Qadir. Masjid berusia 8 abad yang di dalamnya ada zawiya (padepokan) dan makam Sidi Abdul Qadir, seorang ulama Tunis pada masa silam. Masjid ini pula menjadi salah satu lokasi para santri Zitouna dahulu belajar agama.

Tetapi ketika pemerintahan sekuler berkuasa di Tunis, Masjid ini ‘disulap’ menjadi gedung kesenian : tempat pertunjukan teater, tari-tarian dan hiburan malam…!  

***
“Baru sekitar 8 bulanan Masjid ini baru bisa dipake shalat lagi”, tutur seorang jema’ah warga Tunis yang kusapa usai shalat. “Orang-orang sekuler dulu, sering membuat acara kesenian di sini. Di tempat kita shalat tadi”, tutur pria setengah baya itu.

Wow, baru 8 bulan. Pantas karpet warna biru yang menghampar di ruangan shalat seluas kira-kira 120 meter persegi itu masih nampak baru dan harum. Karpet itu diperoleh dari iuran warga sekitar yang sejak lama menanti bisa shalat di Masjid yang mereka hormati itu.

Kemudian aku berjalan menuju pelataran terbuka yang berlokasi di samping Masjid. Gulungan tikar usang dan papan triplek menumpuk di salah satu pojok. Nampak kurang terawat. Di seberang pelataran, ada pintu ke arah ruangan zawiya dan makam. Sempat kepikir mau masuk ke sana, tapi tidak pede, hehe. Lain kali saja kalau ada teman, pikirku.

***
Kendati telah berfungsi kembali sebagai Masjid, status Masjid ini masih belum jelas hingga hari ini. Masih disengketakan oleh pihak pegiat kesenian dengan pihak Kementerian Agama Tunis. Para pegiat kesenian yang dipimpin oleh Abdul Ghani ben Toreh mengaku telah lama mengantongi izin dari Kementerian Budaya untuk menggunakan Masjid itu sebagai gedung kesenian. Pada bulan Ramadhan tahun  2011, ben Toreh dan kawan-kawannya masih menggelar acara music-musik dan tari di dalam Masjid ini.

Sejak beberapa tahun terakhir, Kementerian Agama Tunis berusaha ‘merebut’ Masjid ini guna dikembalikan perannya sebagai tempat ibadah. Hal ini sebagaimana surat resmi yang dilayangkan oleh Menteri Agama Dr. Bou Bakar Akhzury, pada tanggal 4 Januari 2008, kepada Menteri Kebudayaan. Tanggal 11 Mei 2011, atau 4 bulan setelah revolusi bergulir, Menteri Agama berikutnya, Dr Aroussi Meizuri, kembali menyurati Menteri Kebudayaan, terkait hal yang sama. Tanggal 24 Januari 2012, Menteri Agama Dr Nourdin Khadimi mengirim surat yang ketiga. Isinya tetap sama, bahkan lebih tegas. Bahwa pagelaran music dan pertunjukan teater di dalam Masjid, adalah bentuk penghinaan terhadap kehormatan Masjid itu sendiri. Inna iqamat al hafalat al musiqiyah wa al ansyitoh al masrahiyah fihi yu’addu intihakan lihurmat al masjid.

Mufti Negara, Syekh Usman Batikh pun turun tangan. Tanggal 22 Maret 2013, beliau menyatakan bahwa bangunan Masjid tidak boleh dialihfungsikan ke fungsi lain yang bertentangan dengan ajaran agama.

Masih belum ada respon, pada 26 April 2013, Menteri Agama Nurdin Khadimi kembali melayangkan surat. Dengan didukung oleh warga sekitar Masjid, pihak Kementerian Agama pun membuka Masjid itu seraya mempersilahkan masyarakat untuk menjadikannya kembali sebagai tempat shalat hingga hari ini.

***
Aku berdiri di depan pintu Masjid Sidi Abdul Qodir, pertengahan Desember 2013 

Apakah dengan demikian persoalan telah selesai? Oh, ternyata tidak. Pada tanggal 02 Agustus 2013, Pengadilan Tingkat Pertama (al Mahkamah al Ibtidaiyyah) Tunis memenangkan kubu para seniman pimpinan Abdul Ghani ben Toreh. Artinya, gugatan dan permohonan Kementerian Agama Tunis untuk mengembalikan Masjid Sidi Abdul Qodir sebagai tempat ibadah, tidak dikabulkan. Sebaliknya, ben Toreh dan kawan-kawan seprofesinya, masih berhak menggunakan Masjid ini sebagai tempat hiburan. Alasan pengadilan, benToreh memiliki dokumen-dokumen dan serfitikat yang sah.  

Harian ad Dhamir menulis, “Meski shalat lima waktu dan shalat Jumat telah terselenggara di Masjid ini, suatu saat nanti pengadilan akan mengeksekusi putusannya”.

Wah, Kementerian Agama dan umat Islam harus mengatur strategi baru. Jangan sampai nanti lagi shalat, tiba-tiba datang ben Toreh dan kawan-kawan, langsung masuk masjid dan menggelar pertunjukan tari perut..Na’udzubillah. salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 27 Desember 2013

Friday, December 20, 2013

Tunis Dialog Politik

Mau Mengalah, Kunci Kemulusan Revolusi Tunisia
"Menatap Tunisia" dari ketinggian

Demi amanah revolusi dan kemaslahatan umat, Harakah Nahda – partai penguasa di Tunisia - ‘rela’ mengikuti kemauan kaum oposisi : mengikuti dialog nasional (hiwar wathani), lalu menyerahkan kursi kepala pemerintahan (Perdana Menteri) ke pihak independen.

Dialog nasional yang diikuti 18 orang tokoh nasional dari berbagai latar belakang itu pun berlangsung alot dan penuh liku : berkali-kali mengalami skorsing dan dialog buntu.  Pekan ini, atau setelah hampir dua bulan berjalan – dimulai 25 Oktober 2013 - hiwar wathani itu berakhir. Mahdi Jumah, seorang insinyur IT berusia 51 tahun, terpilih sebagai Perdana Menteri, yang akan mengendalikan roda pemerintahan dengan kabinet ‘teknokrat nasional independen’. 

***
Seharusnya, pemerintahan Islam di Tunis hasil Pemilu bulan Oktober 2011 itu dibiarkan bekerja hingga terselenggaranya Pemilu pada akhir 2013 atau awal 2014, sebagaimana amanah revolusi. Tetapi, hasrat politik kaum oposisi sekuler yang sering tidak rasional, tak bisa ditawar.

Untungnya, Harakah Nahda – partai kembaran Ikhwanul Muslimin – yang sedang duduk di tampuk kekuasaan, selalu mau mengalah. Partai yang dipimpin Syekh Rashid Gannusyi ini nampak tidak suka ngotot-ngototan. Mereka rela dua Perdana Menterinya lengser dalam dua tahun ini. Apakah mereka terinspirasi ucapan almarhum Gus Dur, “Di dunia ini tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian”?! Hehe, Wallahu A’lam.

April 2013, Perdana Menteri Hammadi Jebali ‘dipaksa’ lengser, menyusul terjadinya konflik antarelit sebagai imbas terbunuhnya Syukri Bel’eid, seorang tokoh oposisi sekuler. Ali al Aridhi – juga dari Nahda - duduk menggantikan Jebali di kursi Perdana Menteri.

Desember 2013 ini, Aridhi pun bersiap lengser. Tepatnya Rabu 25 Desember 2013 pekan depan, ia akan menyerahkan kursi yang didudukinya kepada Mahdi Jumah. Kabinet Aridhi pun akan bubar, dan diganti dengan kabinet ‘teknokrat nasional independen’. Di kabinet ini, tak boleh ada satu pun menteri yang berasal dari unsur partai politik, dan tak boleh ada satu pun yang berhasrat untuk ‘nyalon’ pada Pemilu berikut. Begitu permintaan kaum oposisi yang lagi-lagi diamini oleh Nahda.

Intinya, pemerintahan yang dihasilkan dari hiwar wathani ini, harus benar-benar steril dari kepentingan politik manapun.

***
Mahdi Jumah terpilih setelah mengantongi 9 suara, dari 18 peserta pemilik hak suara di forum dialog nasional. Dua suara memilih Jalul Iyad, sedangkan 7 lainnya memilih abstain.

Mahdi adalah seorang insinyur IT, lahir di Mahdia, kota pesisir di selatan Tunisia, 51 tahun silam. Pada kabinet Aridhi, ia menjabat sebagai Menteri Perindustrian (Wazir as Shina’ah).

Nama Mahdi Jumah mulanya tidak begitu dikenal luas. Selama menjadi menteri di kabinet Nahdha, ia tidak ikut-ikutan bicara politik. Ia lebih fokus ke bidang kerjanya. Ia tokoh yang netral, meski publik tahu bahwa ia terpilih sebagai Perdana Menteri atas dukungan dan lobi Nahda.

Karena ia sebelumnya tidak berpengalaman di bidang politik, banyak pihak yang menyangsikan kemampuannya, terutama dalam menyelesaikan krisis politik, persoalan kemananan negara serta persoalan gerakan Islam radikal.

Akan tetapi sejumlah media menyebutkan, Mahdi adalah ‘pahlawan’ bagi kemulusan agenda revolusi Tunisia. Tugas utama Mahdi adalah menyiapkan Pemilu pada tahun 2014.

***
Nahda adalah partai Islam yang moderat, fleksibel dan tidak suka ngotot-ngotot, sebagaimana aku sebut di atas. Ia tidak otoriter, tetapi senantiasa membuka ruang untuk dialog. Bahkan jika pertimbangan kemaslahatan umat memaksa kursi empuk itu harus dilepas, mereka tidak segan melepasnya. Seperti yang terjadi pada dua Perdana Menterinya tadi.

Nahda juga pandai bermain cantik dalam politik. Mereka bisa menusuk tanpa melukai, memukul tanpa menyakiti. Buktinya ya terpilihnya Mahdi Jumah ini, yang jelas-jelas hasil dukungan dan lobi Nahda.

Mungkin ini salah satu rahasia mengapa perjalanan transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi yang diidamkan, sejauh ini masih tetap mulus. Di tengah rongrongan oposisi, intervensi asing, dan krisis internal yang multideminsi, pemerintah tetap dapat bekerja. Pembangunan terus berjalan, rakyat tetap bisa menikmati kehidupan.

Ideology dan garis perjuangan Nahda dalam berpolitik, sangat terlihat dalam sejumlah buku karya Syekh Rashid Ganushi, pemimpin Harakah Nahda, yang juga seorang ulama kharismatik. Di antara karya-karya Gannusyi yang terbit tahun 2012-2013 ini adalah : (1)Min Tajribah al Harakah al Islamiyah fi Tunis, (2) al Huriyah al Ammah fid Daulah al Islamiyah, (3) Muqarabat fi Almaniyah wal Mujtama al Madani, (4) al Wasatiyah inda Yusuf Qardawi, dan (5) al Harakah al Islamiyah wa Masalat Tagyir.

Sebagai mahasiswa asing yang sedang menimba ilmu di negeri kecil ini, aku berharap pemerintahan independen yang dikomandani oleh Mahdi Jumah ini bisa mulus membawa Tunisia ke era demokrasi yang diidamkan. Semoga iklim politik tetap stabil, agar aku dan 50an mahasiswa Indonesia di Tunis saat ini, tetap tenang belajar, tetap asyik mengaji, dan tentunya, tetap bisa menyajikan paket Surat dari Tunis secara rutin ke hadapan para pembaca sekalian yang terhormat. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 20 Desember 2013

Thursday, December 12, 2013

Tunis Peran Masjid

Bangkitnya Masjid Kami


Suasana dalam Masjid Zitouna, Tunis, pertengahan 2013 

Pemerintahan Islam di Tunisia mengajukan RUU Masjid ke parlemen, dengan poin utama mendorong masjid berperan lebih luas dalam kehidupan umat. Tak hanya sebagai tempat ibadah yang buka saat jam shalat saja, masjid juga bisa berperan dalam bidang pendidikan keagamaan, sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan ekonomi umat.

Detailnya, masjid dapat menyelenggarakan pengajian-pengajian umum, mendirikan lembaga zakat, perpustakaan, unit usaha dan pos kesehatan. Akad nikah pun boleh digelar di masjid – sebagaimana banyak terjadi di Indonesia tercinta.  

Tetapi kaum sekuler menentang keras RUU itu. Kata mereka, RUU ini disusupi kepentingan kaum Salafi Wahabi, sehingga jika RUU ini gol, gerakan Islam radikal akan semakin subur di Tunis. Kata sebagian yang lain, ini adalah bentuk kemunduran peradaban. Lainnya lagi menuding, masjid akan mengambil alih sejumlah peran yang selama ini menjadi kewenangan Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama. Bahasa mereka, RUU ini akan memunculkan istilah Negara dalam Negara (daulah dakhila daulah) !

***
Sebelum tahun 2011, Masjid di Tunisia adalah bangunan yang benar-benar ‘diam’. Masjid hanya dibuka setengah jam sebelum adzan dan setengah jam setelahnya. Masjid hanya buka agak lama pada bulan suci Ramadhan. Tak ada aktifitas selain shalat lima waktu. Kecuali Masjid besar seperti Masjid Zitouna di kota Tunis dan Masjid Uqbah di kota Kairouan, yang memiliki beberapa kegiatan pengajian.

Waktu itu, pemerintah masih menerapkan program penyatuan adzan (tauhid al adzan). Artinya, adzan shalat lima waktu dari seluruh masjid harus dilakukan secara serentak dan pake kaset ! Bukan lantunan para muadzin dengan beragam suara emasnya.

Aku ingat, kala itu 11 Nopember 2005, hari pertama aku di Tunis. Aku kaget mendengar adzan maghrib dari masjid sebelah rumah, kok sama persis dengan adzan TV Nasional yang sedang kuntonton?! Wah, berarti muadzin TV ini tinggal di kampung sini. Keren juga tetanggaku yang satu ini ! Begitu dugaanku. Seorang teman tertawa lebar, seraya menjelaskan bahwa di Tunis ada kebijakan penyatuan adzan. Marbot masuk masjid bukan untuk adzan, tetapi untuk memutar kaset adzan. Aku berseloroh, wah kalo gitu, nanti yang masuk surga hanya kasetnya dong?! Hehe…

***
Tahun 2011, revolusi bergulir. Tepatnya 14 Januari 2011, pemerintahan sekuler yang diktator runtuh, kemudian digantikan oleh pemerintahan Islam hingga hari ini.

Sejumlah upaya “Islamisasi” dilakukan oleh pemerintah, terutama melalui Kementerian Agama. Secara sistematis, nilai-nilai keislaman kembali dihadirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan diaktifkan lagi, tradisi-tradisi dan identitas keislaman dihidupkan. Kaum Muslimah kembali mendapat kebebasan memakai jilbab.

Tak terkecuali soal Masjid ini.  Pemerintah ingin agar Masjid dapat berperan besar dalam kehidupan umat. Masjid bukan hanya sebagai tempat shalat, tetapi juga berkiprah dalam upaya pemberdayaan umat, sebagaimana kusebut di atas.

Sejarah juga menunjukkan, bahwa Rasulullah saw beserta para sahabatnya menjadikan Masjid sebagai sentral kegiatan umat. Masjid adalah tempat belajar sekaligus tempat bermusyawarah. Bahkan beliau saw pernah memusyawarahkan strategi perang di dalam Masjid.

Generasi-generasi berikutnya juga demikian. Masjid selalu langsung dibangun di kawasan yang baru ditaklukkan oleh pasukan Islam. Dan dari situlah, penyebaran Islam dan pemberdayaan umat dirancang dan diorganisir.

Singkat kata, perjalanan dan kegemilangan peradaban Islam sepanjang sejarah, selalu bermula dari Masjid.  

***
Adalah Fadil ben Asyur, Sekjen Naqabah Wathaniyah li al Aimmah (Organisasi Para Imam Masjid), salah seorang yang menentang keras RUU di atas. Melalui sejumlah media cetak yang terbit hari Rabu (11/12/13) kemaren, ia menyebut RUU itu berbahaya bagi kemaslahatan umum dan mengancam eksistensi negara madani (yudhirru bil al mashlahah al ‘ammah wa yuhaddidu madaniyyatad daulah). Lebih jauh, Fadil mencurigai bahwa RUU ini disusupi kepentingan asing yang hendak menyuburkan faham Islam Radikal di Tunis, melalui kegiatan-kegiatan berkedok Masjid.

Weleh-weleh, pikirku. Kok bisa ya, pimpinan pusat organisasi imam Masjid berfikir seperti ini? Bukankah seharusnya ia gembira, karena jika RUU ini lolos menjadi UU, maka nanti ia selaku imam masjid akan memiliki ladang pahala yang berlimpah? Pahala “dunia” dan pahala akherat tentunya.

Kulsum Kano, seorang hakim perempuan, berkomentar lain lagi. Sebagaimana dikutip Koran as Shourouq, ia mengatakan bahwa RUU Masjid ini akan membuka peluang maraknya akad nikah sirri di dalam masjid, hehe..  

***
Ya inilah gambaran sederhana, betapa pola pikir ala sekulerisme masih mengakar kuat pada benak sebagian besar umat Islam di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini. Imbas dari gerakan sekulerisasi selama 30 tahun pemerintahan Presiden Habib Borguiba (1957-1987) yang dilanjutkan pada masa Presiden Ben Ali (1987-2011).

Dalam konsep sekuler, agama adalah urusan individu dengan Tuhan, tidak usah dibawa-bawa ke ruang publik. Agama tak perlu ikut campur mengurusi kewenangan-kewenangan lembaga politik. Dalam konteks RUU ini, Masjid biarkan saja hanya menjadi tempat shalat, tak perlu ikut-ikutan menyelenggarakan kegiatan pendidikan atau mendirikan pos kesehatan. Apalagi mau dijadikan lokasi akad nikah segala. Nanti tak ada lagi yang akad di kelurahan dong…Demikian kira-kira opini mereka, Wallahu A’lam. Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 12 Desember 2013 

Catatan Tambahan : Beberapa inti pasal dari RUU Masjid 2013

Pasal (7) : Setiap kawasan pemukiman yang baru dibangun, harus menyediakan lahan secukupnya untuk pembangunan Masjid
Pasal (18) : Masjid memiliki peran pemberdayaan umat, terutama dalam bidang keagamaan/spiritualitas, pendidikan, kebudayaan dan sosial-kemasyarakatan.
Pasal (22) : Masjid berperan dalam upaya amar makruf nahyi munkar, melalui penyelenggaran pengajian-pengajian keagamaan
Pasal (23) : Masjid dapat berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan, seperti mengorganisir penyelenggaran akad nikah dan khitanan masal, atas koordinasi dengan pihak terkait. Masjid juga dapat mengorganisir pemberian santunan bagi fakir miskin, anak yatim dan ibnu sabil, serta menyelenggarakan kegiatan khusus untuk kaum Muslimah.

Friday, December 06, 2013

Tunis Wakaf

Setelah Mati 57 Tahun, Wakaf Diminta Hidup Lagi



Kampus Univ Zitouna Tunis, berdiri di atas tanah wakaf

Mengapa sejak merdeka (1956) hingga tahun 2011 lalu lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam di Tunisia sulit berkembang? Banyak penyebab. Satu di antaranya adalah karena Habib Borguiba – presiden berideologi sekuler yang memerintah tahun 1956 hingga 1987 – membubarkan institusi wakaf, kemudian menyita semua harta wakaf dan menjadikannya sebagai inventaris negara. Padahal di dunia Islam, wakaf adalah penopang utama keberlangsungan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan.

Sejak revolusi 2011 hingga hari ini, umat Islam di Tunisia tengah gigih berjuang membangkitkan kembali wakaf dari ‘alam kuburnya’. Bagaimana prospeknya?

Kuliah Wakaf
Kamis (05/12) pagi, aku menghadiri acara kuliah umum (stadium general) tentang Wakaf di Tunisia yang digelar di Fakultas Peradaban Islam Universitas Zitouna. Dua orang guru besar bertindak selaku nara sumber, masing-masing Prof. Dr Hassan Manna’i  dan Prof Dr. Talili ‘Ajili.

Prof Manna’i adalah Guru Besar sekaligus Ketua Pusat Studi Sejarah di Univ Zitouna, sedangkan Prof ‘Ajili adalah sejawaran dari Univ Manouba, yang ternyata memiliki sejumlah buku dan penelitian terkait wakaf di Dunia Arab.

Aku penasaran, apa dan bagaimana wakaf di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini. Benarkah seperti yang kubaca dalam beberapa buku? Bahwa di Tunis hari ini, tidak ada yang namanya wakaf. Karena sudah dilarang keberadaannya oleh presiden Borguiba yang sekuler, dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Tunisia (tahun 1956).

Sejak lama aku mengoleksi beberapa buku tentang wakaf di Tunis. Di antaranya tiga buku yang ditulis oleh peneliti wakaf dari kota Sfax, Dr Syaibani ben Balgis, yaitu : Fushul min Tarikh Waqf fi Tunis (2003), al Awqaf fi Tunis (2008) dan Borguiba wa al Aqwaf (2009).

Beberapa kali aku juga berdiskusi langsung terkait wakaf dengan dosen supervisorku, Prof Dr Burhan Neffati, di sela-sela konsultasi akademik terkait disertasi. Prof Neffati adalah guru besar dalam ilmu fiqh, yang juga pengasuh pengajian talaqqi Ushul Fiqh di Masjid Zitouna. Jadi, beliau memiliki kapasitas ilmiah untuk berbicara soal wakaf.

Sekulerisasi Wakaf
Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar.  Mengapa waktu itu Borguiba ‘berani’ menghapus system wakaf di Tunisia? Padahal konsep wakaf memiliki sandaran yang jelas dalam agama, bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw dan juga khalifah Umar ra. Para ulama juga telah melakukan ijma (kesepakatan) tentang kebolehan wakaf. Maka, mengingkari wakaf, berarti mengingkari kesepakatan umat Islam.  

Menurut beberapa buku, juga hasil diskusi dan kuliah umum kemaren, bahwa penghapusan wakaf yang dilakukan oleh Borguiba harus dibaca dalam bingkai proyek sekulerisasi yang ia terapkan pada masyarakat Muslim di Tunisia. Artinya, ideology sekuler yang mengehendaki pemisahan agama dari kehidupan kenegaraan, meniscayakan penghilangan semua ritual dan identitas keagamaan dari ruang public. Pantas jika kemudian Borguiba melarang kegiatan-kegiatan keagamaan, memberangus pendidikan Islam (termasuk pengajian-pengajian di Masjid Agung Zitouna dan Universitas Zitouna), serta membubarkan lembaga-lembaga atau institusi keagamaan.  

Sebaliknya, Borguiba mengajak umat Islam Tunisia untuk meniru kebudayaan Barat (Perancis). Tradisi Arab dan pendidikan keagamaan dianggap sebagai – dalam bahasa Borguiba - ‘ihda madzahir at takahlluf’, salah satu ciri keterbelakangan.

Potensi Wakaf
Selain alasan idelologis di atas, ada sejumlah factor lain yang menginspirasi Borguiba menghapus wakaf di Tunisia. Di antaranya karena kala itu (1956), kas negara sedang minim, sehingga perlu suntikan dana segar untuk modal pembangunan. Maklum, baru dua bulan merdeka, negara belum bisa mengorganisir pos-pos pendapatan. Sementara, bantuan financial dari Perancis berkurang, karena Perancis kecewa melihat keberpihakan masyarakat Tunisia terhadap perjuangan warga tetangganya, Aljazair, dalam merebut kemerdekaan.

Prof ‘Ajili – nara sumber kuliah umum kemaren –memaparkan sejumlah dokumen dari arsip nasional yang menggambarkan peta potensi wakaf di Tunisia, pada awal-awal masa kemerdekaan. Tergambar jelas, betapa besar nilai harta wakaf yang disita oleh Borguiba dan dimasukkan sebagai inventaris negara. Di antaranya, sepertiga lahan perkebunan zaitun yang terhampar di seantero negeri, rupanya adalah wakaf umat untuk lembaga-lembaga keagamaan di bawah naungan Masjid Zitouna…

Belum lagi harta wakaf dalam bentuk yang lainnya, seperti pertokoan, pabrik/industry, alat transportasi, dan sebagainya. Lagi-lagi sekedar contoh, Madrasah Shadiqiyah – sebuah sekolah modern  di kota Tunis yang didirikan tahun 1875 oleh reformis Khairuddin at Tunisi – memiliki 260 toko yang tersebar di berbagai pasar di seluruh negeri.

Factor lainnya, Borguiba menemukan realitas bahwa potensi-potensi wakaf  di Tunisia kala itu tidak terkelola secara baik. Akibat buruknya system manajemen yang dimiliki umat. Beberapa kasus malah menunjukkan adanya lembaga pengelola wakaf yang mengalami kerugian financial, atau terlibat dalam konflik internal yang berlarut-larut, sehingga harta wakaf jadi terabaikan.

Politisasi Wakaf
Ada satu lagi factor lain yang sangat penting, yakni factor politik. Borguiba ingin membungkam lembaga-lembaga keagamaan agar tidak vocal atau kritis terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, agar tidak memiliki posisi tawar apa-apa di hadapan penguasa. Sementara, lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam kala itu, hidup dari institusi wakaf.

Maka bagi Borguiba, memberangus wakaf berarti juga memberangus keberlangsungan dan eksistensi lembaga-lembaga keagamaan, plus pamor para ulamanya. Sebut saja misalnya, Saleh ben Youssef, seorang ulama Zitouna yang sejak lama menjadi saingan ploitik Borguiba, bahkan sejak masa pra kemerdekaan.

Pada giliran berikutnya, penghapusan wakaf terbukti ampuh dalam upaya pelemahan lembaga-lembaga keagamaan, sekaligus pamor para ulama dan pemimpinnya. Reaksi dan perlawanan dari para ulama besar Tunisia kala itu, tidak berpengaruh banyak bagi kelancaran proyek-proyek sekulerisasi yang dijalankan Borguiba.

Syekh Muhamed Basyir Neifer, Mufti Madzhab Maliki di Tunisia saat itu, melayangkan surat protes terhadap Borguiba. Tapi respon Borguiba datar-datar saja. Pun juga Syekh Tahir ibn Asyur, al Imam al Akbar Masjid Zitouna kala itu. Beliau menulis sebuah buku berjudul ‘Al Waqf”, sebagai salah satu upaya penjelasan kepada Borguiba dan umat Islam di Tunis terkait hukum wakaf. Tetapi, menurut Dr. Syaibani, buku yang pernah diterbitkan oleh Matba’ah al Hidayah al Islamiyyah Beirut itu, berumur pendek. Alias hilang dari peredaran.    

Prospek Wakaf
Kini, pemerintahan Islam di Tunisia telah menggagas RUU Wakaf. Bulan Oktober 2013 lalu, RUU ini telah masuk dalam agenda rapat di parlemen.  

Bagaimana prospeknya? Hehe, aku mengulangi pertanyaan di atas, karena memang belum terjawab. Dan malah kini kutambah dengan pertanyaan lain. Akankah dipolitisasi lagi oleh para pejabat berdasi Tunisia saat ini ? Kapankah Tunisia seperti Indonesia : memiliki Direktorat khusus Wakaf di Kementerian Agama-nya? Atau, kapankah wakaf di Tunisia akan “bangkit dari kuburnya”? Hehe, serem..

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab, dan tidak perlu dijawab sekarang. Apalagi dijawab dalam tulisan ini. Ini juga sudah kepanjangan, hehe. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 06 Desember 2013