Monday, May 23, 2005

SSM 16 : Qari Bersuara Merdu

Laki-Laki Bersuara Merdu

Pukul setengah satu tepat, kala aku memasuki gerbang mesjid Husein, Kairo, Jumat (13/5) pekan lalu. “..Lumayan, masih setengah jam lagi ke adzan..”, pikirku. Ruangan dalam mesjid nampak sudah padat jemaah. Mereka yang duduk dekat mihrab, rata-rata tunduk terpekur. Sebagian lagi kayaknya ngantuk. Tetapi, lantunan merdu ayat Al Quran yang dikumandangkan secara live oleh seorang qari berjubah hitam di dekat mihrab itu, tak mungkin lolos dari pendengaran. Kecuali mereka yang tuli, hehe...

Siang itu aku sengaja cari tempat duduk agak dekat ke imam. Biar bisa menikmati lantunan ayat suci itu lebih jelas lagi. Biar bisa meresapi makna ayat-ayat yang dikumandangkan. Karena memang sebenarnya ini yang kucari dari Jumat siang ini. Aku ingin menikmati indahnya tilawah, beberapa saat sebelum Jumat. Aku rindu bacaan Al Quran secara langsung dari seorang qari bersuara merdu.

Lantunan ayat suci sebelum shalat Jumat, bagiku, menjadi salah satu daya tarik shalat Jumat di mesjid-mesjid kota Kairo. Terutama di mesjid-mesjid tua peninggalan dinasti Fathimiyah, penguasa Mesir abad 10 Masehi. Seperti mesjid Husein, Al Azhar, Sayedah Zenab, Sayeda Nafisah, Amr bin Ash atau yang lainnya. Jika jumatan di sana, aku selalu berusaha datang lebih awal, agar bisa duduk terpekur selama kira-kira 30 menitan, menikmati lantunan ayat suci Al Quran itu. Dalam diam, aku terlena dengan lengking indah lagu qiraat yang terdengar menggema, menembus setiap relung sanubari para pendengarnya. Serasa menonton acara MTQ atau haflah tilawah. Hingga aku terlena, terhanyut dalam nikmatnya bacaan ayat.

Sang qari, biasanya duduk di kursi menghadap jemaah. Seperti yang kusaksikan siang itu. Seorang lelaki setengah baya, berjubah hitam, berpeci khas Al Azhar. Yang atapnya merah itu, tanda yang bersangkutan seorang hafidz. Wajahnya kalem, tetapi menyiratkan rasa PD tinggi. Ya, watak orang Mesir kebanyakan memang begitu. Senyum sumringahnya selalu tersungging, sambil sesekali menyeka keringat dan ludahnya dengan tisu yang kayaknya tak ganti-ganti. Sebuah botol air mineral tergeletak di samping kursi, penawar haus dahaganya. Maklum, ia bertugas sebagai pembaca ayat-ayat Al Quran sambil menanti waktu adzan Jumat tiba.


Sebagai bentuk pujian, biasanya, para jemaah, menimpali sela-sela bacaannya dengan ucapan "Ällah yiftah álaik.." "Allahu yuzid umrak.." “Allah yunawwir qalbak..” atau sekedar “..Állah.." saja. Tergantung ayat yang dibaca juga. Jika ayatnya tentang keindahan syurga, atau pahala, maka para jemaah berkomentar “Ya Rabb..” “Subhanallah..” dan seterusnya. Jika ayatnya tentang neraka, mereka terdiam. Atau malah berdesah. Ada juga yang histeris Allahu Akbar. Atau bacaan shalawat. Semakin rame komentar, suara sang qari pun semakin mantap menggema.


Sayang sekali, aku bukan seorang qari. Suaraku tidak mengizinkan, hehe. Untuk bidang yang satu ini, kurasakan, bakatku terpendam terus, hehehe...Kebanyakan nyanyi dangdut kali. Dulu di Ciputat aku pernah belajar lagu-lagu qiraat. Secara singkat, karena tujuannya untuk bekal pertandingan Musabaqah Fahmil Quran (MFQ). Bukan untuk jangka panjang, hehe.. Tak heran, jika sekarang semuanya itu sudah terlupakan. Aku hanya masih ingat, lagu bayati, karena biasanya dilantunkan di awal. Atau lagu hijaz yang berirama sedih itu, hingga kerap menghanyutkan perasaan.


Ah, andai aku seorang lelaki bersuara merdu, tentu aku mendapat lebih banyak pelajaran dari Jumat macam begini. Aku bisa menambah koleksi lagu-lagu qiraat yang terkini, melalui qari-qari Jumat itu. Karena konon, lagu tilawah itu selalu terus berkembang. Dosen tahfidz di IAIN-ku dulu, Ibu Maria Ulfa, pernah absen mengajar selama beberapa minggu, karena berangkat ke Mesir guna mempelajari trend-trend baru lagu qiraat. Dua bulan lalu, aku juga pernah ketemu seorang ustad muda dari tanah air di Mesjid Indonesia Kairo, yang katanya sedang tinggal 3 bulanan di Kairo, sekedar untuk menambah koleksi lagu qiraat terkini dari para qari Mesir. Subhanallah.


Untuk urusan lagu qiraat, Mesir memang nomor wahid. Di negeri ini, dikenal banyak syekh bersuara merdu. Kasetnya beredar luas, bacaannya diputar dimana-mana. Tetapi yang unik, di negeri ini tak ada pembaca Al Quran perempuan alias qariah, yang tampil ke publik. Peserta musabaqah cabang tilawah (MTQ) pun, semuanya kaum Adam. Entah kenapa. Apakah karena ada fatwa suara perempuan adalah aurat..?! Ah, aku tak tahu.. Beda dengan di tanah air. Kita mengenal ibu Maria Ulfa, yang kusebut tadi. Juga ibu Nur Asiah Jamil dan lainnya. Sebaliknya, di negeri ratu kleopatra ini, penyanyi perempuan bersuara emas malah yang bejibun dan populer di publik. Dengan gaya tariannya yang menggetar-getarkan tubuh. Cantik-cantik, lagi. Andai mereka mau banting stir, menggunakan suara emasnya untuk baca Al Quran dengan lagu qiraat –kayak penyanyi kita Mel Shandy itu – tentu akan sangat mengagumkan.


Dan qari Jumat di Mesjid Husein siang itu, juga mengumandangkan lagu qiraat yang beragam. Saking banyaknya, hingga aku bingung, mana yang Hijaz, mana Ras, mana Jiharkah, dan mana yang selain ketiganya, hehehe.. Kuperhatikan dalam beberapa Jumat, qari-qari Mesjid Husein ini memang bersuara merdu dan sering bawa lagu-lagu syahdu. Mesjid yang lain juga begitu. Hanya qari di mesjid Syafii yang suaranya kurang merdu. Beberapa kali aku Jumat di sana, qarinya ngga ganti-ganti. Tajwid dan lagunya sih barangkali ok, tetapi suara sang qari yang berusia tua itu, kadang kurang stabil, hingga kerap menunda tetesan air mataku yang nyaris tertumpah. Ya, tetesan air mata. Karena aku sangat menikmati bacaan Al Quran di mesjid-mesjid itu. Terlebih jika ayatnya pas dengan suasana hati..Ah, aku kerap dibikin terbuai. Keindahannya, la tarsumuha al alfadz. Tak terlukiskan oleh kata-kata...Seperti halnya orang Mesir, aku hanya bisa menimpali bacaan sang qari dengan teriakan kagum “Allah Yunawwir Qalbak..” Sedangkan dalam hati, aku hanya merasa iri, dengan mereka, para lelaki bersuara merdu. Untung saja, rasa iri-ku biasanya tak lama. Karena aku sadar, bahwa iri adalah tanda tak mampu....hehehe..

Pinggiran Nil, dinihari 20 Mei 2005

Wednesday, May 11, 2005

SSM 15 : Terawat Lewat Tarekat

TERAWAT LEWAT TAREKAT 

Di tengah kerumuman peziarah makam Syekh Badawi "..Aku yang mana yach...?!.."

Hormat pada ahlul bait terpelihara melalui jaringan organisasi sufi. Keturunan jauh pun bergelimang sanjung

BUKAN hanya keturunan dekat Nabi Muhammad yang mendapat hormat. Anak-cucu ahlul bait yang cukup jauh pun disanjung kaum muslim Mesir. Tengoklah masjid dan makam Syekh Ahmad al-Badawi (1199-1276 M) di Thanta, 94 kilometer barat laut Kairo. Syekh Badawi kesohor seantero Mesir sebagai tokoh sufi, pendiri tarekat Ahmadiyah, dan keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Di Mesir, ekspresi cinta pada ahlul bait menyatu dalam tradisi tarekat (organisasi sufi). Dari 17-an kelompok tarekat di Mesir, hampir semua syekhnya punya garis keturunan ke Imam Husein, cucu Nabi. Zikir rutin berbagai tarekat banyak yang berisi pujian pada Nabi dan ahlul baitnya. Maka, makam sejumlah tokoh yangdiyakini keturunan Nabi selalu ramai diziarahi pengikut berbagai tarekat. Termasuk makam Syekh Badawi.

Usai salat Jumat, awal Maret lalu, saya menyaksikan aneka ritual tarekat berlangsung di Masjid Badawi. Mulai baca salawat bersama sambil duduk melingkar hingga tarian meliuk-liukkan badan. Di masjid ini, peziarah wanita berbaur dengan pria, duduk melingkar, membaca salawat, bertepuk tangan dan menari sambil berteriak histeris. Beberapa lainnya melakukan zagrudah, jeritan khas wanita Arab tanda suka-ria.

Setiap hari Jumat, masjid itu dipadati ribuan peziarah. Selain pengikut tarekat, juga para petani sekitar delta Nil. Thanta adalah kawasan subur, pusat pertanian kaya di delta Nil. "Saya selalu salat Jumat di sini," tutur Gabir Hussein Thantawi, petani asal Mahalla Kubra, kota kecil 24 kilometer dari Thanta. "Salat di masjid sini memang tamam (mantap)," kata Gabir seraya mengacungkan jempol.

Masjid Badawi terletak di tengah kota Thanta, tak jauh dari Stasiun Thanta. Makamnya berada di pojok kanan belakang masjid. Tak ada pembatas antara peziarah laki-laki dan perempuan seperti makam sufi lain di Mesir. Keruan saja, desak-desakan peziarah lelaki dan perempuan menjadi hal lumrah. Tanpa pembatas, para peziarah justru asyik tawaf, mengelilingi makam, mirip jamaah haji mengelilingi Ka'bah.

Di pojok ruang makam terdapat kotak kaca berukuran 0,5 x 0,75 meter, tempat menyimpan batu hitam persegi. Di atas batu terlihat dua jejak kaki yang diyakini sebagai kaki Nabi Muhammad. Asal-usul telapak ini memiliki ragam versi. Satu kisah menyebutkan, ia dibawa dari Madinah. Versi lain mengatakan, Rasulullah pernah berkunjung ke Mesir.

Banyak peziarah, terutama petani delta Nil, berupaya keras menyentuh dan menciumi kotak kaca itu, seperti jamaah haji yang berebut mencium hajar aswad. Ada juga yang menggosokkan kain ke kaca. Mahmud, 40 tahun, pegawai masjid yang setia berdiri di sebelah kotak, selalu sigap menegur jamaah yang kelamaan mencium kotak kaca. Tapi bisa kompromi bila Mahmud dikasih "sedekah".

Masjid itu mengalami puncak keramaian pada hari maulid sang wali pada paruh kedua Oktober, saat para petani delta Nil tidak sibuk di ladang. Maulid digelar sepekan. "Kalau sedang ada haflah maulid, sekitar masjid ini menjadi lautan manusia selama delapan hari," kata Sayed Ibrahim, 50 tahun, pemilik toko kue di depan masjid.

Maulid diramaikan atraksi berbagai tarekat. Mereka berkumpul di masjid, membentuk barisan, lalu berjalan mengelilingi kota dan desa sambil berzikir. Pemerintah Mesir pernah menjadikan momentum ini untuk menggalang dana pengusiran Israel dari Sinai, 1973, karena pemerintah kesulitan mengumpulkan rakyat dalam jumlah besar.

Makam Syekh Badawi ramai peziarah karena ia dipercaya sebagai ahlul bait. Perlakuan serupa diterima Masjid Abu Abbas al-Mursi di Iskandariah. Di belakang masjid ini ada belasan makam yang dipercaya sebagai keturunan Nabi, meski bukan tokoh terkenal. Berbeda dengan makam dan masjid Imam Syafi'i di Kairo. Sepi dan kurang terawat. Padahal, ia imam mazhab fikih yang banyak dianut di Mesir dan Indonesia.

Pun makam Imam Lais, tak jauh dari makam Syafi'i. Ia ahli fikih kesohor yang disebut-sebut telah menyerap semua wawasan fikih generasi Tabiin. Begitu pula makam sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari, 300-an meter dari makam Syafi'i. Daerah sekitarnya kotor dan jadi kawasan lalu lalang anjing liar. Padahal, Abu Dzar dikenal sebagai teladan pelaku gaya hidup sufi pada zaman Nabi. Namun, karena mereka bukan keturunan Nabi, semarak peziarahnya berbeda dengan di makam anak-cucu ahlul bait, meskipun keturunan jauh.

Rubrik JEJAK, Gatra Nomor 20/XI, 02 April 2005