Wednesday, October 02, 2013

Partai Nahda

Ketika Nahda Harus Memilih

Pekan ini, sebuah langkah terpuji diambil oleh Harakah Nahda, partai Islam yang saat ini sedang menjadi penguasa di Tunis. Nahda menerima tanpa syarat (al qabul ghair al masyrut) usulan kaum oposisi sekuler untuk melakukan dialog nasional (al hiwar al wathani) pada bulan Oktober ini. Lebih dari itu, Nahda juga menyatakan kesiapannya untuk mundur (al istiqalah) dari kursi pemerintahan, serta menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan independen yang akan dirumuskan di arena dialog nasional itu.

Pemerintahan independen yang akan dinamai Hukumah Kafa’ah Wathaniyah itu rencananya terdiri dari para tokoh non partisan, yang berkomitmen untuk tidak akan nyalon lagi pada Pemilu yang akan digelar beberapa bulan ke depan.

Sebuah pilihan yang tidak mudah, antara hasrat kekuasaan di satu sisi, dan kemaslahatan umat di sisi lain. Antara empuknya kursi kekuasaan, dan kuatnya desakan mundur yang diwarnai aksi protes, ancaman mogok nasional dan baying-bayang perang saudara.

Tentu Nahda punya kalkulasi politik tersendiri sebelum mengambil sikap yang berani ini. Tetapi dari pemberitaan yang muncul di sejumlah media lokal, mereka berkali-kali meyakinkan public bahwa sikap ini diambil semata-mata untuk kemaslahatan bangsa yang lebih luas. Supaya tidak terjadi konflik politik yang berkepanjangan, supaya masa transisi dari revolusi menuju demokrasi berlangsung mulus, tanpa dinodai pertumpahan darah.  

Subhanallah. Sebuah sikap yang menyiratkan kebesaran jiwa. Bukti bahwa mereka memahami ajaran Islam secara bijak.

Islam telah mengajarkan akan kehormatan darah seorang Muslim. Memelihara nyawa (Hifdz al Nafs), harus diutamakan atas segalanya. Dalam konteks tertentu, identitas keagamaan malah boleh disembunyikan demi menjaga keselamatan jiwa. Seperti dalam kasus seseorang yang dipaksa harus mengaku kafir dengan ancaman maut (ditodong senjata misalnya), maka orang tersebut boleh mengaku kafir demi menyelamatkan nyawanya. Yang penting hatinya mengingkari ucapannya (wa qalbuhu munkir). Demikian yang saya baca dari beberapa literature fiqh klasik.

Jika identitas keagamaan saja bisa dikalahkan demi kehormatan nyawa dan pertumpahan darah, apalah artinya kekuasaan duniawi?! Benar kata almarhum Gus Dur, “Di dunia ini, tidak ada jabatan yang pantas diperjuangkan secara mati-matian”.  

Sepertinya konsep ini difahami dengan sangat baik oleh para politisi partai saudara kandung Ikhwanul Muslimin ini.

Tunis al Khadra, 02 Oktober 2013