Saturday, March 31, 2007

Sfax dan Tataouine

Antara Sfax dan Tataouine
 

Aku di Sfax, kota yang memiliki dua sisi ; wajah kota tua dan modern

Selama rentang 20-24 Maret 2007 lalu, saya mengunjungi dua kota di bagian selatanTunisia, yakni Sfax dan Tataouine. Sfax, kota pesisir pantai berjarak 270 km dari Tunis. Sedangkan Tataouine, kota kecil di tepian Sahara, berjarak 530 km dari Tunis.

Saya datang ke dua kota itu bersama 8 rekan untuk mengenalkan kesenian tradisional Indonesia seperti Angklung, Pencak Silat, Kecapi-Suling, Tari Indang dan Joged Poco-Poco. Di Sfax, kami diundang Pemda setempat untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan Tunisia ke 51. Sedangkan di Tataouine, kami mewakili Indonesia dalam Festival Istana Gurun (al Mahrajan ad Dauliyah lil Qusur as Sahrawiyyah) ke -29, yang diikuti oleh 6 negara.

Tulisan ini bukan untuk menuturkan konser itu, melainkan hanya seputar pesona dua kota, serta beberapa kisah menarik yang saya temukan di perjalanan yang melelahkan tetapi mengesankan itu. Kisah-kisah seputar konser akan saya tuturkan secara khusus dalam tulisan lain, insya Allah.

Sfax, Surabaya-nya IndonesiaSebagian pejabat di KBRI Tunis biasa menyebut Sfax sebagai Surabaya-nya Indonesia, karena beberapa kesamaan diantara keduanya.

Seperti halnya Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, begitu pula Sfax. Dengan jumlah penduduk 832 ribu jiwa, Sfax menempati posisi kota terbesar kedua di Tunisia setelah kota Tunis. Tentu angka ini masih jauh dibawah jumlah penduduk Surabaya yang mungkin mencapai tiga kali lipatnya.

Sfax juga dianggap seperti Surabaya karena sama-sama berlokasi di tepi pantai serta menjadi salah satu kota industri utama. Satu lagi, dua kota itu memiliki nilai sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaan negerinya. Jika Surabaya terkenal dengan peristiwa 10 Nopember-nya, maka Sfax dikenang karena pernah menjadi lokasi muktamar Partai Destour pada tahun 1956. Muktamar partai milik pemerintah itu dinilai sebagai titik tolak utama menuju kemerdekaan Tunisia pada tahun berikutnya.

Wartawan senior kita, Rosihan Anwar, menghadiri muktamar Sfax itu sebagai undangan. Di Harian Kompas edisi 5 April 2004, ia mengenang peristiwa itu dengan ungkapan, "...Di sana saya saksikan kehebatan Habib Borguiba sebagai tukang pidato yang mampu menyihir peserta muktamar. Berulang kali mereka menyerukan Borguiba Yahya (Hidup Borguiba). Di sana Borguiba menyingkirkan orang dari dewan pimpinan partai oposan, yaitu Saleh ben Youssef, yang menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Saleh ben Youssef berseberangan strategi politik dengan Borguiba dalam perjuangan melawan Perancis. Di Sfax, saya lihat kecenderungan sifat otoritarian Borguiba yang kelak diperlihatkannya saat menjabat sebagai Presiden Tunisia".

Asbak Made in Indonesia
Dari Tunis, Sfax ditempuh selama 4 jam perjalanan darat. Selain dengan kendaraan biasa, dari Tunis kita juga bisa naik kereta api atau pesawat. Sebagai kota utama bisnis, saat ini Sfax telah punya bandara internasional.

Jalur jalan raya menuju Sfax terbilang mulus, menyusuri pesisir pantai Mediterania yang berair tenang. Pemandangan hijau di kiri kanan jalan kerap membuat saya lupa bahwa saya sedang berada di sebuah negeri Arab.

Tunisia memang termasuk negeri Arab yang alamnya hijau. Meski hijaunya bukan karena pepohonan lebat atau rimba belantara. Melainkan karena perkebunan zaitun, gandum, rerumputan serta beberapa jenis pohon, seperti pohon kurma dan pinus. Gurun pasir hanya ada di kawasan selatan, dekat perbatasan Libya dan Aljazair.

Di sebuah kafe di dekat kota Sousse, kami beristirahat sejenak untuk sekedar minum kopi dan makan shawarma. Saat itu, saya sempat kaget karena asbak di meja kami bertuliskan 'Indonesia'. Segera kuperlihatkan ke beberapa rekan. Mereka juga sempat kaget. Iseng-iseng saya intip beberapa asbak di meja-meja lain. Rupanya semua produk Indonesia.

Saya bertanya-tanya, siapakah penyalur asbak dari Indonesia ke Tanah Arab ini? Mungkinkah Ammu Rido? Ya, mungkin saja dia, pikirku. Ammu Rido adalah seorang pengusaha Tunisia yang biasa melakukan bisnis ekspor impor antara Tunisia-Indonesia. Ia memiliki toko besar di kawasan wisata al Kantaoui, Sousse, yang menjual aneka souvenir Asia, termasuk dari Indonesia. Untuk bisnisnya itu, dalam setahun, ia bisa 5 kali pulang pergi Jakarta-Tunis.

Sfax Kota Tua
Selasa sore, kami tiba di Sfax. Dalam sekilas pandang pertama, Sfax nampaknya kota yang sibuk, perumahannya juga padat.

Hotel tempat kami menginap, kebetulan dekat alun-alun dan kantor Gubernur. Sfax adalah perpaduan dua wajah kota ; kota tua dan modern. Wajah kota tua ditandai dengan adanya benteng besar bertembok usang. Benteng itu mengelilingi sebuah kawasan perkampungan yang berisi bangunan-bangunan antik, serta mesjid bersejarah. Beberapa sudut kota tua itu menjadi kawasan pasar tradisional yang menjual aneka souvenir lokal. Sementara, gedung-gedung megah serta hotel-hotel mewah mewakili wajah kota modernnya.

Saya tertarik dengan salah satu pasar tua yang bernama Suq al Arwiqah. Tata letak dan arsitektur bangunan berlantai dua itu sangat khas. Berbentuk persegi, di tengah-tengahnya ada pelataran. Dindingnya usang, menyiratkan usia yang tak muda. Tetapi nampak bersih dan terawat.

Di pelataran depan gerbang besar tepi jalan raya, ada kerumunan anak-anak muda. Irama musik terdengar brang breng brong. Rupanya, itu adalah panggung musik terbuka dalam rangka HUT kemerdekaan.

Menjelang magrib, saya kembali ke hotel. Tak usah lama-lama melihat Sfax. Selain harus segera beristirahat, wajah kota yang memadukan dua sisi khas seperti Sfax, bukanlah hal baru bagi saya. Ada Kairo, Rabat, Cassablanca, Marrakesh, dan juga Tunis, yang telah kusinggahi, kutelusuri dan beberapa keindahannya kurekam dalam memori.

Ke Tataouine Lewat Gabes
Rabu sore, usai manggung di kota Sfax, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Tataouine. Sementara kawan-kawan bertukar cerita tentang kesan-kesan panggung Sfax, di mobil, saya duduk santai sambil mengamati suasana sepanjang jalan.

Dari Sfax, kami meluncur terus ke arah selatan. Suasananya masih seperti perjalanan Tunis-Sfax ; Laut Mediterania di sebelah kiri, serta kebun zaitun di sebelah kanan.

Irama Mizwad Tunisi yang diputar sopir terdengar mengalun. Mizwad Tunisi adalah sejenis musik tradisi orang Tunis hasil permainan orkestra khas Arab yang lagunya biasa diputar pada pesta-pesta kawinan di musim panas. Kadang lagu-lagunya itu berupa salawat atau syair-syair sufi yang menyiratkan tradisi keagamaan yang kental. Dan mendengarkan lagu-lagu seperti itu di Tunisia - bagi saya – menyiratkan sekerat wajah kehidupan yang paradoks. Tunisia saat ini, bukanlah Tunisia saat syair-syair indah itu diciptakan. Hantaman modernisasi dan sekulerisasi yang pernah menimpa negeri berpenduduk 99 persen muslim ini seolah telah 'melemparkan' nilai-nilai yang dikandung syair-syair agama itu, jauh dari kehidupan.

Ups, sory jadi kemana-mana ceritanya. Mobil terus meluncur. Hingga tak terasa, kami tiba di kota Gabes. Hamparan kotanya kelihatan di sebelah kiri, karena kebetulan jalur jalan raya yang kami lewati berposisi lebih tinggi. Gabes, kota berjarak 400 km dari Tunis, yang terkenal karena kurma dan legmi-nya. Legmi adalah minuman sejenis tuak yang terbuat dari perasan buah kurma. Legmi mudah dijumpai di Gabes, karena tersedia di kios-kios tepian jalan raya. Berdampingan dengan kios-kios souvenir khas Tunis seperti aneka tembikar, tas, kursi, sandal serta hasil kerajinan tangan lainnya.

Gabes dikenal dengan julukan “Gateway to the South”, karena semua jalur lalu lintas darat yang menghubungkan bagian utara dan selatan Tunisia harus melewati kota ini. Dan siapapun yang lewat ke Gabes, biasanya mampir sejenak, sekedar menikmati manisnya legmi. Seperti juga kami sore itu. Beberapa gelas legmi membasahi kerongkongan yang dahaga. Nikmat sekali.

Bagi saya, Gabes tak hanya identik dengan legmi, tetapi juga akan selalu mengingatkan saya pada kampus tempat saya belajar, Universitas Zaituna. Karena dari Gabes, banyak sekali mahasiswa yang belajar agama di kampus tua ini.

Aku beristirahat sejenak di dekat kota Gabes..
Bensin Lebih Murah dari Air
Pada jarak 76 km selatan Gabes, ada kota kecil bernama Mednin, yang menjadi jalur persimpangan tiga kota ; Gabes, Tataouine dan Ben Garden. Dari Mednin, kami belok kanan menuju Tataouine. Jalanan lurus adalah menuju Ben Garden, kota di perbatasan Tunisia-Libya. Dari Mednin, Tripoli hanya 270 km lagi.

Salah satu pemandangan khas sebelum memasuki kota Mednin adalah banyaknya penjual bensin eceran di sepanjang jalan raya. Jerigen-jerigennya memenuhi kios-kios kecil yang berjajar. Beberapa diantara kios-kios itu dijaga oleh anak-anak kecil.

Kabarnya, itu adalah bahan bakar yang disuplai dari negeri tetangga sebelah yang kaya minyak ; Libya. Di Mednin, semua itu dijual dengan harga yang lebih murah. Bahkan hingga setengah dari harga jual di SPBU resmi. Di negeri asalnya, Libya, jauh lebih murah lagi. Celotehan seorang rekan, di negeri Muammar Khadafi itu, harga bensin dan solar masih lebih murah dari harga air. Benarkah?!

Dan ternyata, bahan bakar bukanlah satu-satunya produk Libya yang marak dijual di kawasan selatan Tunisia. Sepanjang jalur Gabes dan Mednin, beberapa kali saya menjumpai pasar Libya, yakni kawasan pasar yang khabarnya menjualbelikan benda-benda seperti aneka pakaian, boneka, sepatu, selimut dan benda elektronik. Benarkah semua itu dari barang loakan dari Libya?! Wallau a’lamu.

Tataouine di Tepi Sahara
Saat Mednin telah berada di belakang kami, senja mulai menyapa. Pemandangan kanan kiri jalan mulai redup. Pepohonan juga mulai jarang, berganti kawasan gurun pasir.

Tataouine memang berada di tengah gurun, bahkan terselang jarak 20an km lagi ke Gurun Sahara yang terkenal itu. Jika mengacu ke peta, Tataouine adalah salah satu propinsi di ujung selatan Tunisia yang berbatasan langsung dengan Aljazair.

Menjelang pukul 19.00, kami tiba di Tataouine. Kota kecil yang lengang, dengan komplek pemukiman yang tak padat. Jalanannya rapi, bersih dan nampak terawat. Di sebelah kanan jalan utama, ada tulisan Arab yang menempel di lereng bebukitan, “Tataouine Turahhibu Bikum”, artinya Tataouine Mengucapkan Selamat Datang.

Dari 24 propinsi di Tunisia, Tataouine berada di urutan ketiga dari bawah, dalam hal jumlah penduduk. Yakni hanya 160 ribu jiwa. Masih dibawah jumlah penduduk kota tempatku melewatkan masa-masa SMA dulu ; Sukabumi.

Tapi, biar sedikit penduduk serta berada di tepian Sahara, selama 29 tahun terakhir ini Tataouine mampu menggelar sebuah festival kebudayaan internasional. Sebuah momen resmi untuk mempertahankan dan menjaga unsur-unsur budaya lokal gurun, di tengah amukan globalisasi yang kerap tanpa kompromi ini..

Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, Senja 30 Maret 2007

Tuesday, March 13, 2007

Tunis Studi

Tinggal di Tunisia, Belajar di Zaituna


Suasana sidang tesis Arwani di Universitas Zaituna, Tunis

Raut sumringah terus memancar dari wajah Arwani Syaerozi, lajang asal Cirebon berusia 27 tahun, ketika 80an orang bergiliran menyalami dan mengucapkan selamat kepadanya. “Syukron, syukron….ya’isyak..Barakallahu Fiik…”, hanya itu kata-kata yang sesekali terucap ketika membalas ucapan selamat. Ya’isyak dan Barakallahu Fiik adalah bahasa orang Tunis kala membalas aneka basa-basi, pujian atau ucapan terima kasih.

Senin (12/3) siang itu, pantas Arwani merasa gembira. Ia yang mengenakan stelan jas hitam dan peci hitam, baru saja mempertahankan tesis bertema Konsep Maqasid Syariah dalam Pemikiran Ibnu Hazm adz Dzahiri di depan sidang munaqasyah Fakultas Pascasarjana Universitas Zaituna, Tunis. Tiga dosen penguji yang terdiri dari Hisyam Krisha, Abdullatif Bouazizi dan Nuruddin al Khadmi– ketiganya profesor Ushul Fiqh - baru saja menghujaninya dengan aneka pertanyaan dan kritik seputar tesisnya selama hampir tiga jam.

Dan Arwani yang menyelesaikan S1-nya di Yaman itu menjawab setiap pertanyaan dengan penuh semangat serta bahasa Arab yang fasih. Sesekali ia mengutip ayat Alquran, Hadis Nabi atau pendapat ulama populer. Maklum, ia adalah seorang hafidz, penghafal Alquran. Dan ternyata, semua itu tak sia-sia ; Arwani dinyatakan lulus dengan yudisium hasan, sebuah standar nilai yang terhitung istimewa di kampus-kampus Tunisia.

Maka, Arwani layak bersukacita atas perjuangan yang telah dilewatinya. Ia juga layak menerima ucapan selamat dari orang-orang, termasuk dari Duta Besar RI di Tunis, Hertomo Reksodiputro SH beserta beberapa staf dan keluarganya, yang juga hadir di acara siang itu.

Laksana Keluarga BesarArwani adalah satu diantara lima belas mahasiswa Indonesia yang saat ini tengah belajar di Universitas Zaituna, Tunis. Keempat belas orang lainnya terdiri dari lima mahasiswa S1, tujuh mahasiswa S2 serta dua mahasiswa S3. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia di Mesir (5000 orang), Yaman (700 orang), atau Iran (sekitar 200 orang).

Sejak awal dekade 1990, jumlah mahasiswa Indonesia di Tunis setiap tahunnya memang sekitar lima belas orang. Pemerintah Tunisia hanya memberikan jatah tiga hingga lima mahasiswa baru bagi Indonesia setiap tahun. Kemudian, sistem belajar memungkinkan mahasiswa untuk selesai tepat waktu, sehingga jumlah mahasiswa baru selalu sama dengan jumlah yang selesai kuliah. Penumpukan jumlah mahasiswa kita seperti di Mesir, tak terjadi di Tunis.

Tinggal dalam komunitas mahasiswa satu negeri yang berjumlah sedikit– sejauh yang saya rasakan – memang lebih banyak enaknya. Konsentrasi belajar lebih maksimal. Tak banyak acara ini itu sehingga target studi bisa segera tercapai. Setiap hari saya bisa berangkat ke kampus, baik untuk membaca buku di perpustaan atau bertemu profesor pembimbing tesis. Saya juga punya banyak waktu senggang untuk mengunjungi Perpustakaan Nasional guna melengkapi referensi. Hal lainnya, jumlah mahasiswa yang sedikit membuat perhatian KBRI juga sangat baik. Aneka bantuan dan kemudahan – baik yang sifatnya resmi atau kekeluargaan – kerap kami dapatkan. Keakraban terjalin baik, sehingga kami merasa berada dalam sebuah keluarga besar ; keluarga WNI di Tunisia.

Dan salah satu bentuk perhatian baik dari KBRI itu adalah kehadiran Duta Besar, para staf KBRI serta keluarga di acara sidang tesis Arwani itu. Mereka hadir untuk memberi semangat kepada seorang anak ibu pertiwi, agar sukses meraih prestasi di depan publik orang asing. Mereka juga hadir dengan membawa oleh-oleh ; aneka kue khas Indonesia, untuk disuguhkan kepada para audiens yang multietnis ; ada orang Arab Tunis, Aljazair, Libya, Sudan, Turki, juga negara-negara Teluk dan Afrika. Kampanye keragaman budaya dan pesona Indonesia, meski dalam skala kecil...

Kampus Tertua
Kami semua belajar di Universitas Zaituna. Menurut catatan sejarah, kampus kami termasuk lembaga pendidikan Islam tertua. Cikal bakalnya adalah pengajian-pengajian halaqah ala pesantren yang digelar di Mesjid Agung Zaituna.

Pengajian-pengajian ini telah berlangsung sejak awal didirikannya Mesjid Agung Zaituna pada tahun 732 Masehi. Saat itu, Tunis diperintah oleh seorang gubernur bernama `Ubaidillah al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah. Materi yang diajarkan dalam halaqah-halaqah itu meliputi Alquran dan ilmu-ilmu keislaman secara umum. Waktu belajarnya adalah setiap usai salat fadhu.

Kegiatan pengajian yang menggunakan kitab kuning ini terus berlangsung selama berabad-abad. Hingga pada paruh kedua abad 19, mulai terjadi reformasi sistem pengajaran. Diantara bentuknya adalah penerapan sistem absensi, pengaturan jenjang dan jadwal belajar, pengajaran bahasa asing dan ilmu-ilmu umum, standarisasi ujian, serta pengembangan metode dialog.

Dalam buku Alaisa as Subh bi Qarib, Syekh Thahir ibn Asyur –seorang ulama terkemuka Tunisia yang wafat pada tahun 1973 - menuturkan bahwa pada reformasi pendidikan yang mendasar itu terjadi pada tahun 1292 H (sekitar tahun 1890 M) dan banyak diilhami oleh Muhammad Abduh dan Khairuddin at Tunisi. Nama yang disebutkan terakhir adalah seorang negawaran yang memiliki pengalaman melanglang buana ke negara-negara Eropa. Kekaguman Khairudin pada kemajuan Eropa serta beberapa gagasan pembaharuannya ia tuliskan dalam sebuah buku yang saat ini sangat dikenal di Tunis ; Aqwamul Masalik fi Ma’rifati Ahwal al Mamalik.
Perbaikan sistem pengajaran terus berlangsung di Tunis. Pada tahun 1894, didirikan pula Madrasah Khalduniyah, sebagai salah satu lokasi belajar bagi para santri. Sepuluh tahun kemudian, al Jam’iyyah az Zaituniyyah (Lembaga Zaituna) secara resmi didirikan. Pembentukan lembaga ini sekaligus menjadi momen berdirinya Universitas Zaituna hingga yang dikenal saat ini.

Dalam Genggam Sekulerisasi
Derap sang waktu terus berlalu, dengan warna-warni dinamika khasnya. Orang bilang, dunia laksana roda yang berputar. Dan putaran roda dunia itu juga nampaknya dirasakan oleh Universitas Zaituna, selama rentang panjang keberadaannya.

Dari beberapa pengamatan historis, saya melihat bahwa beragam warna lembaran kehidupan pernah dijalani oleh kampus agama satu-satunya di Tunis ini. Para ilmuwan di Zaituna kerap dihadapkan pada dilema dan pilihan-pilihan sulit, kebimbangan memilih antara idealisme dan pragmatisme; antara suara umat dan suara penguasa. Sesuatu yang juga sering dialami oleh banyak lembaga pendidikan di mana pun di muka dunia ini.

Selama rentang 2002-2005 saya tinggal di Kairo. Dalam beberapa kesempatan, saya mengamati dialektika hubungan ulama dan umara di sana. Bagaimana al mukarramin para ulama Al Azhar harus mengalami dilema-dilema idealisme kala berfatwa. Sekedar menyebut contoh adalah kasus fatwa kehalalan bunga bank yang dikeluarkan oleh Majma Buhus al Islamiyah (MBI) pada akhir 2002 serta kritik publik atas keberpihakan Grand Syekh kepada Husni Mubarak saat pemilihan presiden pada pertengahan 2005. (Sekelumit cerita tentang hubungan ulama Al Azhar dan politik di Mesir bisa dibaca di tulisan ‘Dilema Sang Kyai’, edisi September 2005 di blog ini).
Di Tunis, hal yang sama juga terjadi. Dominasi politik penguasa kerap mengebiri kebebasan dan kenyamanan para ulama dalam menyampaikan kebenaran kepada umat. Independensi dan idealisme jadi tergadai. Selama masa pemerintahan Presiden Habib Borguiba, seorang muslim Tunis penganut sekulerisasi yang memerintah selama rentang 1957-1987, Universitas Zaituna ‘dikebiri’ hanya menjadi fakultas (Kulliyyah Zaituniyyah lis Syariah wa Ushuluddin) yang menginduk ke Universitas Tunis. Jumlah mahasiswanya dibatasi. Padahal, menurut Abdurrahman Heila –seorang praktisi hukum kawakan Tunis dan mantan aktifis mahasiswa tahun 1955- jumlah mahasiswa Aljazair saja di Universitas Zaituna pada tahun 1950 mencapai seribu orang. Belum lagi mahasiswa dari negara-negara lain. Selama era Borguiba, jumlah mahasiswa asing hanya puluhan orang.

Kebijakan Borguiba ‘mengebiri’ Universitas Zaituna ini hanyalah satu diantara sederet bentuk propaganda modernisasi dan sekulerisasi yang ia terapkan di Tunisia. Selain itu, ia juga ‘mengharamkan’ poligami tanpa kompromi, mengajak kaum muslimah untuk melepas jilbab, mewajibkan penggunaan bahasa Perancis serta melarang penampakan syiar-syiar keagamaan di ruang publik.

Era Modern, Era Baru
Borguiba lengser dari kursi presiden pada tahun 1987, era sekulerisasi pun berlalu. Presiden pengganti Borguiba, Zainal Abidin ben Ali, mengembalikan Zaituna kepada ‘khittah’nya. Zaituna kembali jadi universitas, dan kemudian terus berbenah diri. Saat ini, selain fakultas Ushuludin, Syariah dan Peradaban Islam, kampus kami juga memiliki Fakultas Multimedia. Gedung megahnya berdampingan dengan gedung Fakultas Humaniora Universitas Tunis. Fasilitas pendukung seperti perpustakaan, laboratorium bahasa, komputer dan akses internet juga tersedia serta bisa dinikmati oleh mahasiswa secara mudah.

Kegiatan perkuliahan menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS). Standar penilaian terukur jelas. Pada program S2, jumlah mahasiswa per kelas berkisar antara 15 hingga 20 orang. Dosen-dosennya kompeten di bidangnya, juga umumnya sangat kooperatif. Sistem administrasinya juga rapi dan teratur. Sejak tahun 2006 lalu, registrasi ulang mahasiswa lama menggunakan sistem internet. Jika dijalani dengan tekun, program S2 bisa selesai selama 24-30 bulan. Oya satu lagi ; kuliahnya juga gratis, berkah dari porsi 26,2 % APBN Tunisia untuk pendidikan.

Lingkungan di luar kampus juga cukup kondusif untuk pendukung kelancaran studi. Masyarakat umumnya ramah dan menghormati mahasiswa asing. Alam kota Tunis yang hijau serta tenang, tanpa hingar bingar kepadatan lalu lintas, serta eksotisme kota tuanya sangat pas untuk jadi lokasi bersantai sekedar melepas kejenuhan belajar yang kadang terasa.

Semua faktor itu terasa sangat membantu dalam menciptakan kenyamanan dan kesuksesan belajar. Target akademis bisa tercapai secara tepat waktu dengan hasil yang layak, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Arwani hari Senin kemaren. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 13 Maret 2007