Sunday, October 22, 2006

Buka Puasa

Berbuka Puasa Sampai Bodoh

Hari Jumat (13/10) lalu, aku diundang berbuka puasa di rumah dosen pembimbing tesis, Prof. Abdullatif Bou Azizi. “Kehormatan bagi saya, jika kamu berbuka di rumah saya", tutur Guru Besar Ushul Fiqh berusia 50 tahun ini. Wah, tentu ini kesempatan emas yang tak boleh kusia-siakan, pikirku. Kesempatan untuk mencicipi menu berbuka khas Tunis. Lebih dari itu, aku juga ingin tahu, bagaimana tradisi berbuka puasa mereka. Benarkah orang Arab itu makannya banyak ?!

Rumah Mewah Pak Dosen
Rumah Pak Dosen berada di Boumhal, sebuah kawasan elit, berjarak 12 km selatan kota. Untuk menuju ke sana, aku naik kereta api. Aku pergi bersama Arwani, seorang rekan mahasiswa S2.

Satu jam sebelum adzan magrib, kami sudah berada di stasiun Tunis. Suasana nampak sepi. Kereta juga tak penuh penumpang. Banyak kursi tak bertuan. Adalah tradisi di Tunis, satu jam menjelang berbuka, orang-orang sudah masuk rumah, lalu bersiap-siap duduk mengelilingi meja makan. Ramadan benar-benar menjadi momen kumpul keluarga.

Kereta melaju pelan. Aku segera menelpon Pak Dosen. Di stasiun az Zahra, kami turun. Rupanya Pak Dosen telah siaga di sana, menjemputku. Ia ditemani Anas, putera ketiganya yang berusia 12 tahun. "Ahlan wa sahlan", tutur pak Dosen seraya menyalami kami, erat. Lalu kami naik ke Sedan VW Seri Passat, milik Pak Dosen.

Tak sampai 10 menitan kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah mewah. Villa dua lantai, halamannya luas dengan rumput hijau dan pepohonan bunga. Seperti rumah-rumah elit di kawasan Pondok Indah. Rumah Pak Dosen ini boleh juga, pikirku. Tunisia memang mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi para Umar Bakri-nya. Maklum, anggaran pendidikannya saja mencapai 26,2 persen. Gaji tunjangan dosen bergelar profesor –menurut cerita seroang rekan- mencapai 2000 Dinar.

Makanan Pembuka
Rupanya, hidangan berbuka telah disiapkan oleh Pak Dosen. Sewaktu aku tiba senja itu, meja besar di ruang tamu, telah penuh dengan aneka makanan dan minuman. Ada Syurbah, Brick, kurma Tunis, Salatah/salad, Roti Tawar, Zaitun, Susu Murni dan Air Putih. Itulah menu standar untuk pembuka (takjil) berbuka puasa yang menjadi tradisi umum di Tunis. Selain menu utama, yang bisa berupa nasi kebuli atau kuskus plus daging.

Syurbah artinya kuah. Yakni makanan berkuah alias sup, isinya butiran gandum, potongan ayam serta bumbu penyedap. Bahan utama syurbah – yakni gandum butiran kecil itu – banyak dijual di toko-toko Tunis. Syurbah dinikmati bersama roti tawar Tunis yang panjang-panjang, hampir satu meter.

Brick adalah makanan khas berbuka ala Tunis. Bentuknya mirip martabak telor. Hanya saja, brick berukuran kecil-kecil. Bahannya terdiri dari telur, kentang rebus, ikan tuna, makdonis (daun penyedap mirip saledri) dan bumbu. Semua bahan itu diaduk rata dan dibungkus dengan adonan khusus terbuat dari gandum. Lalu, digoreng hingga kering.

Brick telah menjadi identitas khas Ramadhan di Tunis. Seperti halnya bubur Assida pada hari maulid Nabi atau ketupat di hari lebaran di Indonesia.

Kami duduk mengelilingi meja. Aku, Arwani, dua putera Pak Dosen, serta seorang bapak-bapak, famili Pak Dosen. Sambil menanti adzan magrib, Pak Dosen menuangkan air putih dan susu ke gelas. Sambil sesekali berbicara. Saat adzan magrib terdengar berkumandang, ia langsung mempersilahkan kami menyantap hidangan itu.

Mula-mula aku minum air putih, lalu kurma Tunis. Kurma yang terkenal di pasaran karena memiliki cici khas ; masih menempel pada tangkainya dan rasanya yang legit. Aku menikmati kurma sambil sesekali minum air putih dan susu. Air susu (halib) yang dihidangkan sore itu ada dua macam ; ada susu murni, dan ada susu kemasan dari toko. Orang Arab memang punya tradisi yang kuat dalam hal minum susu. Pantas tubuh mereka subur-subur.

"Makanlah, jangan ragu-ragu", tutur pak Dosen sambil menyodorkan mangkuk syurbah kepadaku. Juga beberapa potong roti tawar. Aku mengangguk-angguk, seraya menyambut tawaran Pak Dosen. Brick, Salatah dan Zaitun juga tak kulewatkan. Ketiga makanan ini memang kusuka. Brick rasanya gurih. Salatah yang terdiri dari irisan aneka sayuran hijau, cocok dengan selera lidahku yang orang Sunda, hehe..(dimana-mana sama urang Sunda mah euy..) . Dan zaitun, buah pahit itu, sangat baik untuk kesehatan.

Di Tunis, hampir semua hidangan makanan disertai buah zaitun. Harganya murah meriah. Maklum, Tunisia adalah penghasil zaitun terbesar ketiga setelah Spanyol dan Italia.

"Makannya sedikit-sedikit saja, karena ini baru pemanasan", bisik Arwani yang duduk di sebelahku. Insya Allah, jawabku sambil mengangguk-angguk.

Makan Non Stop
Aku pun makan sedikit-sedikit, karena ini hanya makanan pembuka. Hanya warming up, alias pemanasan. Jangan sampai terlena, kemudian perut tak berdaya pada episode utama nanti. Orang Arab akan merasa tersinggung, jika tamunya tidak bergairah saat makan. Dikira makanannya tidak enak.

Sekitar sepuluh menitan kami menikmati takjil. Hingga kemudian kami rehat sejenak, untuk salat magrib berjamaah. Pak Dosen menjadi imam. Dalam tradisi Tunis, biasanya, tamu dipersilahkan menjadi imam salat. Tetapi kali ini, mungkin Pak Dosen berfikir, ah, tamuku hanya seorang mahasiswa, dan bukan orang Arab.

Usai salat, adalah saat menikmati makanan utama. Pak Dosen datang membawa wadah besar berisi nasi kebuli bercampur daging. Anas dan Amin – dua puteranya – membawa piring dan gelas. "Sore ini, saya suruh isteri memasak nasi, khusus untuk kalian, tamu saya", tutur Pak Dosen. Aku tersenyum. Orang Tunis memang terbilang jarang makan nasi. Belum tentu seminggu sekali. Menu hidangan utama mereka biasanya kuskus, makaruna, spageti atau roti. Tentu semua itu dihidangkan bersama daging atau ikan.

Pak Dosen mengisi piring-piring itu dengan nasi dan daging. Nasi kebuli berwarna kuning, dan potongan-potongan besar daging kambing. Sewaktu ia mengisi piring untukku, aku berkata, "jangan banyak-banyak dulu, Pak. Saya makan sedikit". "Oke,oke", kata Pak Dosen. Ah, tetapi ternyata, piring itu tetap saja penuh. Rupanya, orang Arab dan orang Asia, tak seragam dalam memaknai kata ‘sedikit’.

Akhirnya, aku mulai makan nasi. Salatah dan zaitun tetap kusertakan. Aku makan pelan-pelan, seperti halnya etika seorang tamu dalam tradisi kita yang orang Timur. Sambil sesekali memperhatikan cara makan Pak Dosen dan keluarganya. Mereka makan cepat sekali. Seperti yang tak dikunyah dahulu. Nasi di piringku masih separo, mereka rata-rata sudah nambah.

"Dede, ayo makan yang banyak. Dan kamu juga", kata Pak Dosen sambil memandang ke arah Arwani. Kebetulan piringnya sudah hampir kosong. Tanpa disuruh, Pak Dosen langsung menuangkan sesendok besar nasi ke piring Arwani. Arwani menolak. "Saya sudah kenyang Pak". "Ah, tidak, mazal tataharrak", kata Pak Dosen. Artinya, kamu masih bisa bergerak, kok. Ayo makan terus... ! Muka sang kawan nampak pucat. Aku menahan tawa.

Fatah, putera Pak Dosen yang kecil, datang membawa piring besar. Isinya tojin, serupa perkedel daging bercampur bumbu dan kentang. Potongannya besar-besar. Juga tanpa komando, Pak Dosen menyimpan tojin pada piring-piring kami yang belum kosong. Tojin memang lezat, tapi, mampukah aku menghabiskannya ?!

Aku segera mengendorkan ikat pinggang. Biar ruang dalam perutku lebih terbuka.

Kue, Buah dan Jilbab
Strategiku berhasil. Memperlambat habisnya nasi, hingga Pak Dosen tak menuangkan nasi dan daging tambahan ke piringku.

Cukup lama kami makan, hingga kemudian, meja segera dibersihkan oleh Amin, putera sulung Pak Dosen. Piring kotornya dibawa ke belakang. Saat kembali, Amin membawa wadah besar berisi mangkuk-mangkuk kecil berisi bubur krim ditaburi kacang. Serupa Asida, bubur khas Maulid itu.

Mangkuk-mangkuk itu langsung disebar ; dibagikan ke setiap orang. "Ayo Dede, makan. Ini kue manis, rasanya enak. Ayo rasakan.. !" kata Pak Dosen. Aku pun mengangguk, seraya mencicipi bubur itu. Memang enak, tetapi manisnya minta ampun. Hingga aku pun tak yakin bisa menghabiskannya.

Untunglah aku masih menyisakan ruang dalam perutku untuk kue dan buah-buahan. Jadi, aku bisa menikmati bubur itu sedikit-sedikit. Sambil sesekali berbicara dengan Pak Dosen. Tentang Islam di Tunis, Islam di Indonesia, tentang kampus, juga tentang kesulitan-kesulitanku dalam menggarap tesis. "Nanti kamu lanjut S3 di sini, khan ?!", tanya Pak Dosen. Aku terdiam. "Pengennya begitu, Pak. Tapi saya ingin pulang dulu", tuturku apa adanya...

Untuk apa kamu pulang ?! "Ih, ari si Bapak", jawabku spontan. "Khan saya punya orang tua, saya rindu pada mereka. Mereka juga ingin segera punya cucu", tambahku sambil tersenyum. Pak Dosen mengangguk-angguk, kemudian ikut tersenyum. "Ya sudah, kamu daftar S3, terus pulang dulu, lalu kembali ke Tunis bersama isterimu", kata dosenku, yang ayah enam anak ini.

Aku termenung sejenak. Sambil mengunyah krim. "Itu sudah saya fikirkan Pak. Tetapi saya masih ragu soal jilbab. Jika isteri saya nanti memakai jilbab, tidakkah nanti saya bakal banyak menghadapi persoalan di Tunis ?!", aku berterus terang kepadanya. Di Tunis, pemakai jilbab memang masih sering merasa tidak nyaman, karena diawasi oleh pemerintah. Beberapa hari lalu, Menteri Agama Tunis menyatakan bahwa jilbab merupakan romzun min rumuzil fitnah. Salah satu sumber fitnah. Subhanallah.
Pak Dosen termenung sejenak. Sebagai orang Tunis, tentu ia sangat memahami persoalan ini. Dan aku, orang asing di negeri ini, cukup memahami, bagaimana dilema para ulama dan dosen agama di Tunis, kala dihadapkan pada pilihan ; mengusung idealisme dan kebenaran, ataukah ikut suara penguasa...

Pembicaraan kami terus berlanjut. Pembicaraan yang seru. Tapi isinya tak perlu dipaparkan di sini, hehehe.. Karena aku mau segera bercerita tentang Anas yang tiba-tiba datang lagi membawa wadah berisi buah-buahan. Ada pisang, apel, jambu dan anggur. Semua itu diletakkan di atas meja. "Oya, Dede, ini apel baladi. Rasanya lebih enak dari yang biasa. Ayo coba.. !" , tutur Pak Dosen sambil menyodorkan sebuah apel plus pisaunya. "Oh, iya Pak. Nanti saya makan", tuturku sambil menikmati krim. Tapi Pak Dosen nampaknya keukeuh, tangannya masih saja menyodorkan apel. Terpaksa kuambil, kupotong dan kucicipi sedikit-sedikit.

Kupegang perutku. Oh, rupanya sudah penuh lagi. Terpaksa kukendorkan lagi ikat pinggang, hingga satu tahap lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 20 seperempat. Tak lama lagi adzan isya. Kepalaku terasa puyeng, nafas agak tersengal-sengal. Aku kekenyangan, hingga seperti orang bodoh ; bingung, tak tahu harus berbuat apa lagi. Arwani yang duduk di sebelahku, sejak tadi sudah menyandarkan tubuhnya ke kursi. Teler juga. Barangkali ia juga kekenyangan. Akibat makan sampai bodoh. Di suatu senja Ramadhan, di rumah profesor pembimbing tesisku.

Tunis al Khadra, 29 Ramadhan 1427 H

Monday, October 09, 2006

Tunis Tarawih

Imam Tarawih itu Berusia Senja


Para jemaah tarawih di pelataran dalam Mesjid Agung Zaituna, Tunis

Salat isya dan tarawih di Mesjid Agung Zaituna, selalu dipimpin oleh Syekh Muhammad al Khatwi, seorang ulama Tunis berusia 100 tahun.

Meski berusia senja, semangatnya tak kalah dengan anak muda. Bacaannya cepat, tetapi lancar, dengan lagu qiraat yang khas. Juz demi juz Alquran ia lewati hampir tanpa kesalahan atau lupa. Kecuali sesekali diselingi batuk. Maklum orang tua. Setiap usai salam , ia langsung bangkit berdiri seraya teriak ‘Ya Muin’, sebagai komando kepada para makmum untuk terus semangat. Tak sampai tiga detik kemudian, sang Syekh sudah bertakbir lagi untuk salat rakaat berikutnya.

Jujur, aku kagum pada sang syekh. Subhanallah, di usianya yang senja, ia begitu semangat berdiri memimpin salat tarawih 20 rakaat, seraya melantunkan lebih satu juz Alquran secara cepat, hampir tanpa kesalahan.

Syekh al Khatwi adalah imam besar di mesjid kebanggan muslim Tunis ini. Mesjid berarsitektur klasik, didirikan pada tahun 732 M. Mesjid yang berada di tengah-tengah kawasan kota tua, dikelilingi pertokoan pasar tradisional dan bangunan-bangunan antik bergaya Andalusia. Salat tarawih di mesjid tua nan bersejarah seperti Zaituna, serasa menyiratkan nuansa yang khas, berbeda dari biasa.

Seperti halnya di Zaituna, tarawih di mesjid-mesjid lain di kota Tunis, umumnya dilaksanakan dengan 20 rakaat. Jarang sekali mesjid yang mengadakan tarawih 8 rakaat. Semua imam membaca ayat Alquran dengan qiraat Qalun, yakni model bacaan Alquran yang diriwayatkan oleh Qalun (wafat tahun 220 H), dari Nafi (wafat 169 H). Nafi adalah salah seorang ulama ahli qiraat yang diakui sebagai salah satu dari 7 imam qiraat sab’ah – tujuh model qiraat yang diterima dunia Islam sebagai qiraat Alquran. Model bacaan qiraat Qalun memiliki beberapa perbedaan dengan qiraat Hafs, qiraat yang populer di Indonesia. Albaqarah ayat 184 misalnya, dibaca dalam qiraat Hafs : wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin..Sedangkan dalam qiraat Qalun dibaca tha’amu masakin... Perbedaan logat atau tanda baca, tanpa mengubah substansi makna.

Jemaah Bercelana Pendek
Setiap malamnya, sekitar seribu jemaah hadir di Mesjid Zaituna. Pria wanita, tua muda. Aku senang menyaksikan mereka begitu antusias salat. Mereka datang berbondong-bondong, kaum wanitanya menggunakan hijab.

Sayang sekali, kebanyakan jemaah pria tidak menggunakan busana sembahyang yang khas. Misalnya jubah atau peci. Atau setidaknya pakaian sopan biasa. Muslim Tunis biasa masuk mesjid dengan baju ala kadarnya. Tak ubahnya seperti mereka hendak masuk pasar atau kafe. Hanya berkemeja biasa, celana jeans, kaos oblong, bahkan celana pendek. Kadang lutut kelihatan. Dari jumlah jemaah yang sekitar 1000 orang itu, hanya beberapa saja yang memakai jubah.

Aku sempat bertanya-tanya, mengapa mereka tak mau berdandan ketika masuk mesjid. Tidakkah mereka memahami ayat khudzu zinatakum ‘inda kulli masjid. Sebuah perintah Allah agar umat beriman selalu memakai pakain yang bagus dan berhias, ketika memasuki mesjid.

Belakangan aku memahami, bahwa bukan tak mau mereka menggunakan segala atribut itu. Bukan mereka tak punya sorban, peci atau jubah. Juga bukan karena mereka tidak memahami makna ayat di atas. Kaum muslim Tunis masih takut dengan identitas-identitas formal keagamaan, seperti jubah, jenggot, jilbab, atau membawa Alquran ke ruang publik. Hingga hari ini, detik ini, umat Islam yang rajin menampakkan syiar-syiar keislaman, masih sering diawasi – bahkan diinterogasi pemerintah.

Kamis dan Jumat –5 dan 6 Oktober 2006- kemaren, siaran televisi Aljazeera memberitakan bahwa partai penguasa di Tunisia, melakukan penertiban – untuk tidak mengatakan pengekangan – atas jilbab. Mungkin diantara pembaca ada yang sempat menyaksikan berita itu. Itulah memang yang terjadi di negeri muslim yang kutinggali saat ini ; Tunisia.

Maka, aku selalu husnudhan kepada mereka, umat Islam Tunisia yang memakai celana pendek atau celana jeans butut di mesjid. Tanpa jenggot lebat. Alhamdulillah, mereka masih bisa konsisten untuk salat. Mereka rela mengabaikan perhiasan-perhiasan lahir, semata-mata agar tetap bisa salat berjamaah. Mereka sadar betul bahwa menjaga keimanan (hifdzu ad din) harus diutamakan melebihi segalanya. Meski itu dengan cara berpura-pura, mirip konsep taqiyyah dalam tradisi Syiah. Semoga mereka termasuk kategori orang yang dimaksud dalam hadis Nabi, sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh atau pakaian lahir kamu. Tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.

Tarawih Tanpa Kultum
Di seantero Tunisia ini, tak ada cerita, usai tarawih ada kultum. Berbeda dengan di Mesir, atau di Tanah Air. Ramadan adalah momen emas bagi para da’i atau khatib, untuk bisa berceramah di mana-mana. Baik dalam acara pengajian ramadan, ataupun kuliah tujuh menit (kultum) usai tarawih yang populer di mesjid-mesjid.

Ceramah ramadan merupakan saat para jemaah menyegarkan ingatan mereka tentang ajaran-ajaran agamanya. Saat tebaik untuk berdiskusi, merenung, memikirkan kualitas beragama selama ini. Aku ingat kisah lama di Kairo. Betapa malam-malam Ramadan menjadi momen bagi para ulama Al Azhar untuk men-charge pemahaman dan kesadaran beragama masyarakat. Ceramah-ceramah para ulama dengan segala gaya dan daya tariknya, menjadi salah satu penyemarak kegiatan tarawih. Hingga kemudian, Syekh Yusuf Al Qardhawi mengatakan bahwa Ramadan adalah salah satu diantara empat faktor penyebab gagalnya program kristenisasi di Mesir. Tiga faktor lainnya adalah Universitas Al Azhar, Salat Jumat, serta Alquran.

Entah kenapa di Tunisia ini tak ada kultum tarawih. Padahal ulamanya banyak. Seperti halnya Mesir yang memiliki Al Azhar. Di Tunisia pun ada Zaituna, lembaga pendidikan Islam yang telah ada sejak abad ke-8 Masehi, yang hingga kini tetap eksis dan melahirkan banyak ulama. Bisa jadi, tak adanya kultum juga karena alasan politis. Aku hanya berfikir, sayang banget momen Ramadan suci ini dilewatkan begitu saja.

Tarawih Terakhir
Aku menikmati malam-malam tarawih yang kulalui di Mesjid Zaituna. Di sana, ada keharuan yang mendalam, tatkala firman Tuhan disenandungkan dengan qiraat Qalun, oleh sang imam yang berusia senja. Jika sang imam terbatuk-batuk, aku kadang ingat syair lagu Iwan Fals, "...Pak Tua sudahlah, engkau sudah terlihat lelah..." Astagfirullah...

Tarawih di Zaituna juga menyiratkan harapan ketika menyaksikan antusiasme muslim Tunis untuk salat berjamaah ke mesjid yang berusia lebih dari 12 abad ini. Meski para jemaah itu hanya berbusana biasa. Tetapi aku kagum pada mereka, karena tentu mereka adalah hamba-hamba yang tetap setia kepada Tuhannya. Aku menaruh harapan besar kepada mereka ; muslim yang tetap setia menjaga tradisi agamanya, di tengah godaan kebebasan dan kegersangan spiritualitas, buah dari sekulerisasi dan globalisasi yang melanda Tunisia, negeri berpenduduk 11 juta dengan kompisisi hampir 100 persen muslim ini.

Aku berdoa kepada Allah Yang Kuasa. Semoga mereka yang salat di Zaituna ini, tergolong dalam umat yang melakukan qiyamullail, menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ikhlas. Sebagimana kandungan hadis Nabi. Barang siapa beribadah pada malam-malam Ramadan karena dasar iman dan ikhlas, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni..

Dari lubuk hati terdalam, aku juga memohon kepada Tuhan Yang Esa, agar tarawih indah ini, adalah tarawih terakhirku di tanah rantau. Karena aku ingin segera bertarawih bersama ayah bunda yang selalu kurindukan, nun jauh di sana...

Tunis al Khadra, 16 Ramadan 1427 H

Wednesday, October 04, 2006

Tunis Ramadhan

Tunis, Ramadankum Mabrouk

Ramadan tiba, seluruh umat Islam di seantero jagat ini menyambut dengan suka cita. Tak terkecuali kaum muslimin di negeri yang kutinggal saat ini ; Tunisia.

“Biar saya tak menjalankan salat, tetapi kalo untuk urusan puasa, saya tak pernah lewat”, tutur Ahmad, seorang pemuda Tunis, penuh semangat. Ahmad, pemuda berusia 25 tahun, bekerja sebagai penjual kaset dan VCD di kawasan Medina, Old Tunis.

Aku manggut-manggut mendengar penuturan Ahmad. Telingaku sudah tak kaget mendengar ungkapan orang Tunis ; saya tidak salat.

Tetapi aku merasa kaget dengan semangat Ahmad. Tetap puasa, meski tak salat. Kalo begitu, apa makna puasa bagi kamu, ya akhi?! “Saya rajin puasa, karena bagi saya, puasa adalah sarana pembersihan diri, penyucian jiwa”, tutur Ahmad lagi. Tanpa ragu sedikit pun, alias penuh percaya diri. Kren, kren, aku bergumam. “Semoga Allah menerima ibadah puasa Anda”, timpalku berbasa-basi, seraya berlalu, meninggalkan Ahmad. “Ramadankum Mabrouk”, jawab Ahmad.

Ramadankum Mabrouk, secara harfiah berarti ‘semoga Ramadanmu penuh berkah’. Dalam arti luas, bisa disepadankan dengan kalimat ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Ramadankum Mabrouk, kalimat yang sangat sering kudengar pada hari-hari Ramadan di kota Tunis.

Dan Ahmad adalah contoh muslim Tunis yang rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’ pada setiap akhir pembicaraan. Ahmad adalah muslim Tunis yang bersuka cita kala Ramadan tiba. Selain Ahmad, ada sepuluh juta orang muslim lainnya, yang juga antusias menyongsong Ramadan dan rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’.

* * *
Kota Tunis memasuki Ramadan. Suasana berubah serentak, karena berkah Ramadan. Jumlah wanita berbaju ketat pengumbar aurat, tak sebanyak hari-hari sebelum Ramadan. Pasangan dua sejoli yang biasa bermesraan di Hadiqah Huquq al Insan juga tak ada. Berbeda dengan hari-hari kemaren.
Tak ada rumah makan dan kafe yang buka siang hari. Selama 10 hari pertama Ramadan, aku tak melihat satu pun orang Tunis yang terang-terangan tidak puasa di muka umum. Juga tak ada warung makan ditutupi kain, sehingga yang kelihatan hanya kaki para konsumen, seperti di terminal-terminal di tanah air. Di Tunis, yang nampak adalah wajah-wajah lelah, mereka yang menahan lapar, demi meraih ridha Tuhannya.

Meski Ramadan jatuh pada musim panas dengan terik diatas 4O derajat dan waktu siang yang panjang, muslim Tunis tetap saum. Bahkan ajakan Presiden Borguiba untuk tidak berpuasa pun tak digubris oleh muslim Tunis. Saat itu, Ramadan tahun 1961, Presiden Habib Borguiba berpidato di atas podium, disiarkan oleh televisi. Tanpa ragu, sang presiden minum air putih seraya mengajak muslim Tunis untuk tidak berpuasa. “Karena puasa bisa menurunkan stamina kerja”, demikian alasan Borguiba.

Kampanye anti puasa itu merupakan salah satu bentuk praktis dari program sekulerisasi - pendangkalan nilai-nilai agama dari kehidupan- yang dicanangkan oleh presiden Arab berfikiran Barat dan pengagum Kemal at Taturk ini. Hanya saja, ajakan sang presiden ini ternyata tak laku. Dalam soal puasa, masyarakat muslim Tunis rupanya tak bisa dikasih omong-omong, iming-iming, bahkan amang-amang.

* * *
Kota Tunis di hari-hari Ramadan. Pasar-pasar selalu penuh, meski harga-harga sembako nampak lebih mahal.

Menurut cerita kawan-kawan senior, orang Tunis memang punya tradisi banyak berbelanja makanan di bulan Ramadan. Untuk bekal berbuka. Saat magrib tiba, semua makanan itu disantap. Non stop hingga tengah malam. Kecuali diselingi rehat salat tarawih - tentu bagi mereka yang salat.

Kukatakan ‘bagi mereka yang salat’, karena memang figur seperti Ahmad- puasa tanpa salat – itu fenomena biasa. Seorang kawan mahasiswi Indonesia yang tinggal serumah bersama 3 orang gadis mahasiswi Tunis bertutur, bahwa di rumah itu, hanya ia sendiri yang salat. Jika kebetulan sedang malas ke mesjid, sang kawan salat tarawih sendiri di kamar, disaksikan tiga rekan serumah, yang juga sama-sama mengaku muslim dan beriman kepada Allah.

Aku berandai-andai, jika aku menjadi dia, salat sendirian disaksikan kawan-kawan terdekat yang tidak salat, sanggupkah aku istiqamah ?! Ah, semoga Allah memberikan kekuatan..

* * *
Ramadan tiba, mesjid-mesjid di kota Tunis mendadak semarak. Orang berduyun-duyun salat tarawih. Lorong-lorong sempit di kawasan Old Tunis, dipadati para jemaah yang membawa sajadah, menuju Mesjid Agung Zaituna yang dibanggakan. Mereka, orang-orang tua dan anak-anak muda. Membuatku sempat bergumam, Ya Allah, andai setiap malam kota Tunis seperti ini ; mesjid-mesjidnya dipenuhi manusia yang salat.

Mesjid-mesjid penuh, tetapi kafe-kafe juga semakin ramai. Kafe-kafe antik di kawasan Old Tunis, sekitar Mesjid Zaituna, pada malam-malam Ramadan ini malah semakin semarak. Orang-orang duduk bersantai, menikmati kopi, kadang sambil bermain kartu. Dalam iringan lagu-lagu Arab Klasik yang mendayu-dayu. Kucermati lagu-lagunya, ternyata syair-syair keagamaan. Biar di kafe, tetapi lagu-lagunya berupa syair-syair kaum sufi, salawat, atau sanjungan atas keagungan Ramadan.

Rupanya orang-orang yang duduk di kafe pun tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang tengah tarawih di mesjid. Mungkin mereka berfikir, berkah Ramadan bisa dinikmati dari mana saja. Meski dari kafe sekalipun. Ada-ada saja. Tunis, Ramadankum Mabrouk.

Tunis, 10 Ramadan 1427 H