Monday, June 25, 2007

Rumah Arab

Kami Tinggal di Rumah Arab
 
Sejak awal Juni 2007 ini, aku bersama rekan-rekan mahasiswa Indonesia, tinggal di sebuah rumah bercorak khas Arab Magribi. Yakni rumah tembok permanen, berbentuk persegi, di tengahnya terdapat pelataran terbuka yang dikelilingi ruangan-ruangan kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Warna cat temboknya putih, sedangkan jendela dan pintu berwarna biru.

Melewatkan malam-malam musim panas dalam suasana rumah seperti ini, dilengkapi iringan dangdut Arab, terasa semakin mendekatkanku pada kebudayaan dan tradisi masyarakat sekitar tempat tinggalku ; Tunisia.

Kota Tua, Biru dan Putih
Rumah bertipe seperti ini, memang telah menjadi ciri khas rumah tradisi orang Arab di kawasan al Maghrib al Arabi – terutama Tunisia, Aljazair dan Maroko.

Coba saja Anda telusuri Medina - kota tua Tunis - terutama di kawasan Halfaouine, Bab Souika, atau Sidi Basyir. Komplek perumahan warga, didominasi warna putih dan biru. Rumah-rumah tua yang umumnya berlantai dua, memiliki pelataran terbuka, sementara bagian atapnya biasa dijadikan lokasi pesta atau resepsi keluarga.

Medina adalah kawasan kota tua dengan komplek pemukiman yang padat. Hanya dibelah lorong-lorong gang atau jalanan yang sempit. Kita bisa berjalan dan meloncat diantara atap-atap rumah itu. Seperti kebiasaan seorang anak bengal yang kusaksikan dalam film produksi Tunisia, berjudul Halfaouine.

Tetapi di Sidi Bou Said, kawasan bebukitan hijau di tepian barat kota Tunis, rumah-rumah bercorak biru putih itu dirawat lebih bersih dan rapi. Maklum, Sidi Bou Said adalah salah satu lokasi wisata utama Tunis. Setiap harinya –terutama pada musim panas –ribuan turis asing berjalan menelusuri kawasan biru-putih ini, mengunjungi pasar souvenirnya, serta duduk di kafe yang menghadap laut.

Bandul Pintu Tangan Fatimah
Seperti halnya rumah-rumah lainnya, bandul pintu rumah kami pun berupa tangan Fatimah. Yakni telapak tangan buatan dari besi, yang digantungkan dekat kunci pintu. Fungsinya, membantu tamu saat mengetuk pintu. Tamu tak usah mengetuk pintu dengan tangannya, tetapi cukup dengan mengetuk-ngetukkan telapak tangan buatan itu pada pintu.

Fatimah yang dimaksud adalah Fatimah az Zahra, puteri Rasulullah saw yang menikah dengan Sayidina Ali ra. Tak jelas asal-usulnya, mengapa dalam kepercayaan tradisional orang Tunis, telapak besi itu dinamai dengan tangan Fatimah.

Yang jelas, pintu biru plus telapaknya itu kini telah menjadi salah satu ciri khas, bahkan identik dengan Tunisia. Banyak sekali souvenir khas Tunis yang menggunakan simbol tangan Fatimah. Diantaranya gantungan kunci, jam dinding, lukisan atau bros jilbab. Bahkan ada juga liontin emas dan perhiasan lain yang berbentuk tangan Fatimah ini.

Rumah Polisi di Sarang Preman
Rumah kami tergolong tua. Bangunannya lama, serta berada di tengah-tengah komplek pemukiman padat kaum miskin kota. Tak banyak tetangga yang punya mobil. Satu hal lagi, daerah tempat tinggal kami dikenal sebagai lokasi persembunyian para preman.

Tetapi kami selalu merasa aman. Alhamdulillah. Salah satu faktornya, karena bapak kost kami adalah seorang yang dihormati di sana. Maklum, beliau adalah seorang purnawirawan polisi. Dari sekian orang anaknya, empat diantaranya juga berprofesi sebagai polisi. Ada polisi lalu lintas, polisi buru sergap serta intel. Dan mereka semua tinggal di sekitar rumah kami.

Harga sewa rumah kami adalah 250 USD per bulan. Rumah besar berkamar 3, dapur, kamar mandi, serta pelataran seluas kira-kira 40 meter persegi. Terhitung murah untuk ukuran Tunis. Berkah dari kebaikan bapak kost yang mencintai pendidikan, serta kebaikan hubungan yang kami bina selama ini. “Sejak tahun 2000, harga sewa rumah kita tetap”, tutur seorang rekan senior.

Rumah Suka, Rumah Duka
Banyak suka duka yang khas, dari pengalaman tinggal di rumah dengan pelataran terbuka seperti ini. Hari-hari ini, ketika suhu siang di atas 40 derajat Celcius, udara sangat terasa panas. Hingga di dalam kamar sekalipun. Kipas angin nyaris tak henti berputar.

Saat malam tiba, udara mulai adem. Kami biasa duduk-duduk santai, lesehan di pelataran. Makan malam bersama, sambil ngobrol ngalor ngidul, bertukar pengalaman masing-masing, usai seharian berinteraksi dengan orang Tunisia. Atau sesekali kami menggelar rapat, diskusi rutin atau salat magrib berjamaah di pelataran terbuka ini.

Aku belum bisa membayangkan, bagaimana suasana pada musim dingin nanti, kala suhu udara mencapai 0 derajat, atau lebih rendah. Tentu malam-malam akan menjadi sepi, karena semua orang berada di dalam kamar. Atau saat hujan turun dengan lebat, tentu untuk pergi ke dapur atau kamar mandi saja, kami harus memakai payung. Salam Manis dari Tunis.

Tunis, 24 Juni 2007