Monday, March 27, 2006

Old Tunis

Eksotisme Kota Tua ;
Dari Kairo ke Tunis


Katedral St. Vincent de Paul di Borguiba Avenue, Tunis

Sewaktu di Kairo, aku paling senang duduk santai di tepian sungai Nil. Melewatkan senja hingga malam hari. Atau naik perahu, menelusuri Nil selama dua jam, dari Tahrir hingga Taman Kanatir. Bagiku, memandangi riak-riak air Nil adalah obat penawar lara.

Aku juga senang duduk berlama-lama di depan makam Imam Syafii atau di mesjid-mesjid keluarga Nabi (ahlul bait) seperti mesjid Imam Husen, Sayeda Zenab dan Sayeda Nafisa. Kadang aku ikut baca Yasin bareng orang Mesir, lalu berdzikir sambil bergoyang-goyang di mesjid pusat gerakan tarekat. Di tempat-tempat itu, bermunajat kepada Tuhan terasa lebih nikmat.

Kini aku tinggal di Tunis. Kota pantai di tepi Laut Tengah, berseberangan dengan Italia di daratan Eropa sana. Di kota Tunis memang tak ada sungai besar yang berair tenang seperti Nil. Gairah spiritualitas masyarakatnya pun tak sehangat Kairo. Tetapi, dibandingkan Kairo, kota Tunis jauh lebih hijau, bersih, tenang dan rapi. Untuk lokasi jalan-jalan santai (JJS), Tunis adalah pilihan yang tepat.

Seperti halnya Kairo, Tunis juga sarat dengan nilai sejarah. Menurut sebuah buku yang kubaca, Tunis adalah kota dengan struktur three in one. Dalam satu ‘Tunis’, terdapat tiga wajah kota yang memiliki karakter dan nilai sejarah yang berbeda. Ketiga wajah itu adalah Tunis Modern, Tunis Arab Islam dan Tunis Romawi

Wajah Tunis modern, terwujud di Borguiba Avenue. Sebuah jalan raya dengan 7 November Square-nya yang gemerlap. Di sepanjang jalan ini, bangunan-bangunan antik berdampingan dengan kemilau gedung-gedung modern serta pepohonan yang rindang

Gereja Katedral St. Vincent de Paul –peninggalan penjajah Perancis, didirikan tahun 1892- berdiri tegar di depan gedung kedutaan Perancis. Hotel Afrika dan Hotel el Hana menjulang tinggi, berdekatan dengan Gedung al Masrah al Baladi (Teater Nasional) yang berarsitek klasik. Di pelataran luas tepian jalan, terdapat kafe-kafe gaul dengan kursi-kursinya yang berderet rapi. Tempat duduk santai melepas lelah sambil cuci mata. Maklum, gadis-gadis manis lalu lalang diantara kelengangan jalan raya serta trem yang sesekali melintas. Sebuah iklan kartu kredit di stasiun TV swasta tanah air, menampilkan salah satu sudut eksotik Borguiba Avenue ini.

Sedangkan wajah Arab Islam abad pertengahan ditampilkan oleh Medina, sebuah kawasan kota tua peninggalan Islam. Luasnya sekitar 1 km persegi, yang dikelilingi oleh enam pintu gerbang di setiap sudut kota. Yakni Bab el Bahr, Bab Bnet, Bab Souika, Bab Sa’doun, Bab el Jedid dan Bab Manara. Dari Borguiba Avenue, kawasan Medina hanya terhalang Avenue de France sepanjang 200an meter.

Medina adalah kawasan pertokoan tradisional penyedia aneka souvenir khas Arab, menempati ruko-ruko yang memanjang, diantara lorong yang berkelok-kelok. Di tengah-tengah komplek Medina, terdapat Mesjid Agung Zaytuna, yang dibangun pada tahun 732 M oleh seorang gubernur Afrika, `Ubaidillah bin al-Habhab, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik dari dinasti Umayah .

Kawasan Medina kini menjadi obyek wisata sejarah yang terkenal di Tunis. Lokasi para turis berbelanja, membeli aneka oleh-oleh Tunis. Di pasar ini, ada toko pakaian, perhiasan, toko souvenir khas Arab Tunis, toko buku, rumah makan, kafe, hingga penginapan. Bangunan toko-toko itu menyatu satu sama lain. Atap tembok berbentuk lengkung menaungi jalanan di seluruh komplek Medina. Melindungi pejalan kaki dari terik mentari dan hujan. Nuansa Timur Tengah sangat kentara di pasar ini.

Pasar ini memiliki bagian-bagian sesuai jenis barang jualannya. Ada Souk el Kuafi, Souk Et Trouk, Souk de la Laine dan Souk At Tarine. At Tarine adalah pasar parfum, Souk de la Laine adalah tempatnya pakaian dan tenunan Arab. Begitu seterusnya.

Warga Indonesia di Tunisia biasa mencari souvenir di Medina untuk dibawa pulang. Bagi kaum wanita, ada kerudung cantik khas Arab Tunis yang dinamakan Fasmina. Juga aneka kalung, gelang, serta gantungan kunci berbentuk telapak tangan yang dalam tradisi orang Tunis, diyakini sebagai telapak Fatimah az Zahra puteri Rasulullah. Beragam tembikar kerajinan tangan bercorak khas Arab juga tersedia. Kertas papyrus yang khas Mesir pun ada di sini.

Medina kerap mengingatkanku pada Khan Khalili, pasar tradisional di Kairo – dibangun pada abad 14 M - penyedia aneka souvenir khas Mesir, yang berlokasi di samping Mesjid Husen, tak jauh dari mesjid dan Universitas Al Azhar. Tapi, Medina jauh lebih luas ketimbang Khan Khalili. Menurut survei terkini sebuah majalah wisata, Medina adalah pusat perbelanjaan tradisional Arab yang paling bersih serta paling aman di kawasan Timur Tengah dan al Maghrib al Arabi.

Di Khan Khalili, ada kafe Al Fishawi, sebuah kafe bersejarah yang berlokasi di tengah-tengah komplek pasar. Beberapa kali aku duduk di sana, sekedar menyedot syisya dan mereguk kehangatan syahlab – minuman campuran santan, kacang, gula dan susu - bersama beberapa kawan. Aku senang duduk di sana. Meski suasana sumpek, pekat asap rokok, di tengah hiruk pikuk para turis yang lalu lalang dan syair lagu Ummi Kulsum yang terdengar mendayu-dayu. Serta bising suara obrolan orang-orang Mesir yang kadang diselingi teriakan polos itu. Semakin menegaskan warna Arab. Menurut cerita, sastrawan besar Naguib Mahfoudz sering melewatkan waktunya di sini, sekedar mencari inspirasi.

Di Medina, ada kafe Zaytuna yang tak kalah antik. Ruangannya jauh lebih luas dan bersih. Kursi-kursinya teratur, para pegawainya juga berbaju rapi. Selama musim panas, kafe Zaytuna dan kafe-kafe lain di kawasan Medina, buka hingga menjelang dini hari. Malam-malam Ramadan juga selalu ramai. Seorang kawan senior bertutur bahwa pada malam 17 Ramadan lalu, kafe ini menyediakan suguhan tarian eksotik kaum sufi dengan iringan musik Arab live yang menyalak-nyalak. “Pengunjungnya malam itu banyak banget”, tutur sang kawan. Kegiatan qiyamulail dan mencari lailatul qadar yang tak kalah seru dari Mesjid Agung Zaytuna yang berlokasi tak jauh di sebelahnya.

Itulah sisi eksotisme Old Tunis yang bisa kita jumpai di kawasan centre ville atau pusat kota. Gemerlapnya Borguiba Avenue yang modern, berdampingan dengan eksotisme Medina yang menyiratkan warna Arab Islam abad pertengahan.

Di tepian utara kota, ada Chartage, kawasan reruntuhan gedung-gedung tua peninggalan peradaban Romawi. Sekaligus menampilkan wajah ketiga Tunis ; wajah Romawi Kuno yang aku sebutkan tadi.

Chartage yang bermakna “kota baru” ini, mulanya dibangun pada tahun 814 SM. Kini, Chartage merupakan musium terbuka, terdiri dari puing-puing Roman Villas (perkampungan Romawi), istana dan gedung teater. Reruntuhan Baths of Antonious Pius dan katedral Acropolium juga masih nampak. Gedung Roman Theatre-nya kini kerap digunakan untuk acara-acara festival kesenian.


Tembok putih lengkung menaungi seluruh kawasan Medina, Old Tunis

Tunis adalah kota yang tak lebar. Penduduknya hanya satu juta jiwa. Tetapi menelusuri lekuk-lekuk jalanan kota Tunis serasa mengembara ke masa silam, menyusuri pernik-pernik pesona sejarah yang antik tanpa kehilangan sentuhan modern. Salam Manis dari Tunis.

Ahad 26 Maret 2006

Tuesday, March 14, 2006

Tunis Liberal

Kebebasan di Tunisia Begitu Menggoda

Berpose di tepi jalanan, di pinggiran kota Tunis..

Jumat menjelang tengah hari, aku bersiap-siap menuju mesjid. Adzan terdengar berkumandang. Kawan- kawan serumah masih bersantai. Ada yang asyik duduk depan komputer, menonton film di TV, ada juga yang sibuk di dapur. “Akang duluan saja, saya lagi tanggung nich, filmnya rame...!” tutur kawan yang sedang nonton TV. Ya sudah, aku pun pergi.

Ini enaknya beribadah di Tunis, gumam hatiku saat berjalan menyusuri trotoar. Sembahyang Jumat saja ada 3 gelombang ; Jumat pertama di awal waktu, Jumat kedua jam 14, dan Jumat ketiga, setengah jam sebelum ashar. Semua bisa disesuaikan dengan kesibukan atau kemauan kita. Asal tahu jadwal Jumat di tiap mesjid saja.

Dan siang itu aku berniat Jumat di Mesjid Kasbah, sebuah mesjid besar dekat kantor Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Tunisia. Jumatnya awal waktu, ceramah khutbahnya biasanya berbobot. Maklum, banyak jemaah pejabat berdasi dan berpakaian rapi.

Di trotoar dekat halte, bahuku tiba-ditepuk seseorang dari belakang. Cukup mengagetkan. “Ya Dede, le bes..?!” Suara lembut seorang perempuan. Aku menoleh. Ternyata benar, Sonia, seorang mahasiswi Tunis kawan sekelas dan tak berjilbab. Belum sirna kekagetanku, ia meraih tangan kananku, mengajak bersalaman. “Lebes ‘alaik ya Sonia ?!” apakah kamu baik-baik saja Sonia ?! tanyaku spontan. Maklum, agak salah tingkah. “Alhamdulillah”, tuturnya. Lalu kami ngobrol sebentar, basa basi. Batinku menggerutu, kamu ini maen pegang tangan saja, apa ngga tau saya ini punya wudlu dan mau ke mesjid ?! Ah, dasar gadis Tunis, terlalu ramah.

Usai Jumat, aku pergi ke kampus. Ada jam tambahan mata kuliah Ulumul Quran. Suasana pelataran dalam kampus sangat ramai siang itu. Puluhan mahasiswa dan mahasiswi mondar mandir, juga ada yang duduk-duduk santai. Para mahasiswi berpakaian trendi, jeans serba ketat dan kebanyakan tanpa jilbab. Kalaupun ada, jilbab itu terkesan asal tempel, dengan aneka macam mode terkini. Sedikit sekali mahasiswi yang berjilbab lebar. Melewati kerumunan mereka, serasa berjalan di tengah para peragawati dengan busananya yang modis.

Pintu kelas yang kutuju terbuka. Ternyata kuliah telah dimulai. Dosennya seorang wanita berusia kira-kira 40 tahun dan tak berjilbab. Roknya sebatas lutut. Tak kalah modis dari para mahasiswinya. Tapi beliau seorang dosen terkemuka bidang tafsir dan sangat dihormati di Tunisia.

Lagi-lagi hatiku berbisik, inilah enaknya sekolah di Tunis. Banyak pemandangan segar obat cuci mata, hehe... Mahasiswinya ramah-ramah, pria Tunisnya juga cuek, tak peduli gadis-gadis senegerinya bercengkerama manja dengan pria asing.

Meski kampus agama di negeri berpenduduk 99 persen muslim, Universitas Zaituna tak nampak sebagai kampus islami. Jabat tangan pria-wanita adalah hal biasa. Pojok-pojok ruang baca perpustakaan kampus biasa dipadati pasangan muda-mudi yang berbisik-bisik mesra. Mungkin sedang berdiskusi atau mengerjakan PR bersama.

Awal-awal di Tunis, aku kerap mengalami dilema bathin. Kok negeri muslim begini yach?! Mengapa wanita berjilbab jarang sekali ? Mengapa lelaki berjenggot lalu memegang tasbih kemana-mana juga hampir tak ada ?! Mengapa jam buka mesjid terjadwal ketat?! Mengapa kawula mudanya begitu bebas bergaul?! Mengapa muslim Tunis tak mau menampakkan identitasnya?! Malu mengaku Islam ?! Ataukah takut dianggap teroris oleh pemerintah?!

Ah, aku tak tahu apa jawabnya. Aku memang mengagumi pola hidup orang Tunis yang disiplin. Lalu lintasnya teratur, kotanya tertib, kebersihannya juga terjaga. Sangat jauh berbeda dengan suasana yang kusaksikan di Mesir dulu. Budaya kerja mereka juga tinggi. Tetapi, aku penasaran dengan pola interaksi orang Tunis dengan agama. Mengapa mereka seperti cuek terhadap agamanya.

Di kala senggang, aku membaca buku-buku sejarah Tunisia, lalu bertanya pada beberapa kawan senior. Hingga secara perlahan aku mengetahui bahwa Tunisia adalah negeri yang sangat menjunjung tinggi kebebasan. Kebebasan dalam hampir semua sisi kehidupan. Mungkin sama dengan paham kebebasan yang dianut Barat. Kebebasan atas dalih Hak Asasi Manusia (HAM).

Atas nama kebebasan dan HAM ini, Tunisia menganut prinsip toleransi beragama yang sangat tinggi. Setiap orang bebas memilih agama, serta bebas memilih untuk menjalankan ibadahnya atau tidak. Seorang muslim melakukan salat atau tidak, orang lain tidak perlu peduli.

Aku berfikir, seharusnya prinsip ini bisa menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan syiar agama yang dianutnya. Termasuk menampakkan segala sesuatu yang diyakini - sebagian orang - sebagai identitas keislaman seperti jilbab dan jenggot, mengucapkan ‘assalamu’alaikum’, atau ritual-ritual lain seperti pengajian dan bacaan Alquran. Tetapi nyatanya tidak. Kegiatan keagamaan diawasi, wanita berjilbab dan lelaki berjenggot sering diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah. Bacaan Alquran jarang sekali terdengar. Assalamu’alaikum diganti ‘salam’ atau ‘aslama’ saja. Minat masyarakat untuk sekolah agama juga rendah.

Prinsip kebebasan ini merupakan salah satu buah dari proyek sekulerisasi Islam yang dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden pertama Tunisia yang memerintah selama 30 tahun (1957-1987). Islam disisihkan dari gelanggang politik, bahkan dari ruang publik. Imbasnya, syiar keagamaan nyaris tak nampak dalam kehidupan keseharian. Kecuali dalam ritual-ritual resmi seperti salat Jumat atau peringatan hari-hari besar agama. Poligami dilarang, kran kebebasan wanita dibuka lebar-lebar. Gadis-gadis manis Tunis begitu leluasa bekerja sebagai sopir bis, kondektur, pegawai PLN, pom bensin atau sopir taksi. Atas dalih peningkatan etos kerja, Borguiba menyeru warga Tunisia untuk tidak berpuasa Ramadan. Sang presiden mengutarakan seruan ini sambil minum saat berpidato di bulan Ramadan.

Sebaliknya, tradisi Barat dijadikan model yang bisa diikuti. Kawula mudanya ‘gaul’, budaya permissif masyarakatnya juga tinggi. Atas nama HAM dan kebebasan, potret Islam yang liberal, humanis serta penuh kompromi, kini menjadi trend pemikiran keislaman yang dikembangkan di negeri bekas jajahan Perancis ini. Materi HAM menjadi salah satu bahan pelajaran utama di semua lembaga pendidikan.

Jelas, bagi seorang muslim yang terbiasa dengan lingkungan 'santri' dengan segala kesalehan ritualnya, iklim keberagamaan di Tunisia seperti ini merupakan tantangan berat. Bagaimana ia harus konsisten dengan jadwal salat misalnya, di tengah suasana yang cuek terhadap salat. Pun muslimah yang berjilbab, harus tahan mental dengan lingkungan yang tidak kooperatif terhadap jilbab. Seolah jilbab adalah simbol fundamentalisme agama yang membahayakan. Di kampus-kampus, mahasiswi berjilbab kadang masih saja mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan – seperti diusir dari kelas, disindir dosen, atau susah lulus. Padahal ia berada dalam komunitas saudara seiman. Sungguh sangat ironis.

Mula-mula aku juga sering merasa canggung dengan lingkungan seperti ini. Aduh, kumaha ieu teh?! Hingga kadang aku rindu Mesir dengan segala kehangatan spiritualitas yang dihadirkannya. Rindu mesjid Al Azhar dengan pengajian-pengajian talaqqi-nya. Rindu menyaksikan polisi-polisi yang memegang mushaf Alquran, serta sapaan assalamu’alaikum yang diucapkan oleh semua kalangan.

Seorang kawan mahasiswa alumni S1 Yaman juga mengaku kaget ketika tiba di Tunis. Semacam cultural shock kira-kira. Maklum, di Yaman ia hidup dalam suasana agamis yang bahkan masih berpola tradisional. Sedangkan di Tunis, ia menemukan kebebasan yang nyaris tanpa batas. Padahal negeri muslim juga. Karena di taman-taman bunga kota Tunis, dua sejoli yang duduk sambil berpelukan, bukanlah hal yang aneh. Seperti yang sering kusaksikan suatu sore, beberapa pekan lalu di Hadiqah Huquq al Insan (Taman Hak Asasi Manusia), tak jauh dari alun-alun Tunis. “Lihat tuh Pak, kok mereka cuek banget ?!” tanyaku pada seorang kawan senior yang menemaniku kala itu. Sang kawan hanya mesem. "Nanti musim panas lebih rame lagi, De... ", katanya. Oyah ?! Aku semakin kaget. Batinku berbisik, musim panas tiga bulan lagi lho.....hehehe..


Di kota yang bersih dan tenang ini, kebebasan individu sangat dijunjung tinggi

Inilah salah satu potret kehidupan di Tunisia yang kutemukan sementara ini. Wajah Islam yang terpinggirkan, tersisih oleh arus modernisasi dan kepentingan politik yang rendah. Potret keagamaan yang menarik, kadang bikin miris, tetapi juga sangat menantang. Merangsang pikirku untuk kembali mengkaji, bagaimana seharusnya sikap umat Islam dalam menghadapi tantangan modernitas yang takkan mungkin terbendung ini.

Sebagai mahasiswa baru, bisa jadi aku tergesa-gesa dalam memandang pola beragama orang Tunis ini. Karena waktu 4 bulan belakangan ini lebih banyak kulewatkan di kampus. Belum banyak bergaul ke luar. Atau bisa juga aku terlalu sempit dalam ‘memahami’ Islam di Tunis ; terlalu ‘mengukur’ Tunis dengan standar Mesir. Bahwa ukuran kesalehan atau keislaman suatu bangsa, hanya ditentukan oleh banyak-tidaknya pemakai jilbab, lelaki berjenggot, sapaan assalamu’alaikum, atau bacaan Alquran yang berkumandang. Padahal, tentu tak sesederhana itu. Seiring berjalannya sang waktu, bisa jadi nanti pola pandangku juga akan berubah.

Hanya saja, untuk sementara ini, aku merasakan hal –yang sepertinya - positif. Di negeri muslim yang serba bebas ini, tiba-tiba aku merasa sedang belajar menemukan ilmu ikhlas, hehe... Ikhlas dalam menjadi seorang muslim yang sesungguhnya. Selama ini aku menyembah Tuhan –diantaranya - karena dukungan iklim religius ; keluarga, pesantren, kampus IAIN, juga lingkungan Kairo yang lekat dengan spiritualitasnya itu. Di Tunis, aku salat bukan karena ajakan kawan-kawan, melainkan karena inisiatif sendiri. Salat pun terasa lebih nikmat dan berkesan. Dulu aku berusaha selalu menjaga pandangan karena malu oleh lingkungan. Kini, di tengah kerumunan gadis cantik Tunis nan ramah dengan aurat tersingkap, seharusnya aku bisa merasa ‘bebas’ melirik sana-sini. Toh suasananya serba mungkin kok.. Tetapi nyatanya malah tidak. Dalam dilema dan kegoncangan jiwa, justru aku merasa pengawasan Tuhan yang semakin tajam.

Ternyata, menyembah Tuhan di tengah godaan kebebasan, akan membuahkan kenikmatan yang tak terlukiskan. Salam Manis dari Tunis.

Selasa 14 Maret 2006

Thursday, March 09, 2006

Seni Sunda di Tunis

Di Perantauan Aku Menari Jaipongan

Bermain angklung bersama anak-anak Indonesia di Tunis

Ada suasana lain yang terjadi pada Sabtu (4/3) sore di ruang Serba Guna KBRI Tunis. Instrumen lagu Sunda populer ”Es Lilin” terdengar lembut. Sepuluh orang berdiri melingkar di depan white board kecil. Mereka terdiri dari ibu-ibu, remaja puteri dan mahasiswa. Masing-masing memegang sebuah benda berukuran sedang yang terbuat dari bambu. Seorang lelaki muda bercelana jeans lusuh berdiri di antara mereka, mulutnya menyanyi-nyanyi kecil, sementara tangannya menunjuk-nunjuk deretan angka yang tertera di white board itu. Sesekali kepalanya bergoyang-goyang, menyanyi, atau berbicara sembari mengetuk-ngetuk white board seperti yang sedang memberi pengarahan. Tetapi senyum manisnya selalu tersungging.

Ternyata, angka-angka di atas white board itu adalah susunan not angka lagu Es Lilin. Dan kesepuluh orang itu memegang angklung, alat kesenian tradisional Jawa Barat. Sedangkan lelaki muda yang selalu tersenyum itu tak lain dari aku sendiri, hehehe...

Tim kesenian Dharma Wanita KBRI Tunis mulai menggeliat. Sabtu kemaren itu adalah latihan perdana kesenian angklung. Aku kebetulan diminta untuk memandu latihan ini. Tentu permintaan ini kusambut dengan suka cita. Karena bagiku, kesenian tradisional Sunda seolah telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jiwaku. Lembar perjalanan hidupku –sejak masa kecil di desa, masa remaja di kota Sukabumi, masa kuliah di Jakarta dan Kairo – sarat dengan cerita keakrabanku dengan aneka kesenian Sunda. Baik itu angklung, calung, kecapi-suling, wayang golek, gamelan, hingga tari jaipongan.
* * *
Semuanya bermula dari ibuku yang piawai menari jaipongan. Ibu yang asli Karawang, kini dikenal luas di desa kami sekarang, pinggiran selatan Sukabumi. Ya karena jaipongan itu.

Di rumah kami yang mungil, jaipongan adalah musik penyambut pagi serta pengantar tidur. Tiada hari berlalu tanpa irama jaipong. Menjelang Agustusan, kenaikan kelas atau pesta pernikahan orang desa, rumahku dipadati anak-anak desa yang belajar tari. Selama masa SD, beberapa kali aku menari di panggung.

Di rumah, kerap aku menari bersama ibu. Karena darinya aku belajar. Jika ada panggung wayang golek atau acara jaipongan, ibu mengajakku pergi menonton seraya bertutur tentang teori-teori jaipongan, tentang para seniman Sunda beserta karya-karyanya.

Lemari besar di rumah, penuh dengan koleksi kaset jaipongan dan lagu-lagu Sunda lainnya. Beberapa diantara kaset itu kubawa ke kota kala aku sekolah di Madrasah Aliyah. Kala santai atau hari libur, kerap aku menari di kamar, ditonton kawan-kawan kost serta keluarga ibu kost. Saat kuliah di IAIN Jakarta, aku biasa mendengarkan acara gentra parahyangan di radio Kayumanis setiap Ahad malam. Lagu-lagu favoritku, seperti Daun Pulus Keser Bojong, Serat Salira dan Banda Urang, kerap diputar di acara ini. Hingga tak jarang aku menari, ditonton kawan-kawan mahasiswa sekamar. Bagiku, menikmati jaipongan di perantauan seolah mengangankan kehadiran ibu.

Di Kairo, seni Sunda kembali kusapa. Padahal tak kuduga sebelumnya. Pertemuanku dengan Endang Rustiawan Burhanudin, seorang seniman Sunda yang juga guru Sekolah Indonesia Cairo (SIC), mengawali deretan panjang kisah pergumulanku dengan seni tradisi di negeri piramid. Pertengahan tahun 2002, aku mengkoordinir kegiatan latihan seni gamelan mahasiswa Jawa Barat. Atas dukungan KBRI, Pak Endang ditunjuk sebagai pelatih. Selama rentang Mei 2002- Oktober 2005, tim kami mengikuti 33 panggung kesenian Sunda. Aku terlibat didalamnya, baik sebagai pemetik kecapi, pemain angklung, calung, hingga penabuh gamelan. Di berbagai acara, baik panggung kemahasiswaan, pesta pernikahan, promosi kebudayaan KBRI, festival internasional, hingga acara di hotel berbintang.

Beberapa rekaman panggung gamelan selama di Mesir, kubawa kini ke Tunis. Juga aneka klip lagu Doel Sumbang, Nining Meida atau pop Sunda lainnya. Kala santai, kaset-kaset itu kunikmati. Sekedar nostalgia perekat kenangan. Sekaligus obat rinduku pada ibunda nun jauh di sana.

Sejak Maret 2006 ini, aku mendapat kepercayaan membantu KBRI menghidupkan seni tradisional di Tunis. Sebulan dua kali, aku mengenalkan seni angklung, kecapi dan kolintang pada masyarakat Indonesia di sini. Juga pada putera-puteri keluarga besar KBRI Tunis. Agar mereka tetap menjadi anak bangsa yang tak terserabut dari akar kebudayaan bangsanya sendiri. Jika semuanya memungkinkan, insya Allah tim kesenian kami akan ditampilkan dalam acara-acara promosi kebudayaan Indonesia di Tunisia.
Tentu aku sangat menikmati aktifitas ini. Terlebih di era sekarang, angklung pun bisa memainkan irama modern. Setelah seorang seniman angklung dari Bandung, Daeng Soetigna, pada tahun 1938, berhasil mengubah nada yang dihasilkan angklung, dari semula pentatonis menjadi diatonis. Maka angklung pun tak hanya bisa memainkan lagu Sunda, tetapi juga aneka lagu lainnya, hingga lagu klasik. Menurut Ensiklopedi Indonesia, Daeng Soetigna berhasil memainkan karya Johan Strauss, an der schonen blauen donau, dengan angklung.

Angklung juga punya nilai sejarah penting. Presiden Sukarno termasuk yang kesengsem dengan angklung. Daeng sering diundang ke istana untuk memainkan angklung. Pada tanggal 11 November 1946, Daeng memainkan angklung modern di hadapan para peserta Perundingan Linggarjati yang bersejarah itu. Kren khan angklung...!

* * *


Tim Gamelan Sunda dalam sebuah acara di Kairo, pertengahan 2005..(aku yg mana yach?!)
Keindahan seni tak hanya memperhalus budi dan memperelok dunia. Tetapi juga membangkitkan rinduku pada keindahan silam. Pada masa laluku yang indah, pada ibuku nun jauh di sana. Maka kala angklung itu kumainkan, kala kaset lagu-lagu Sunda itu kudengarkan, semangatku pulih, untuk segera merampungkan tugas akademisku yang tinggal beberapa tahap lagi. Agar aku bisa segera kembali ke desa, bertemu keluarga tercinta. Lalu menari jaipongan bersama ibu, seperti yang dulu-dulu itu...

Salam Manis dari TunisSenin 6 Maret 2006