Larangan
Poligami Digugat Kembali
Para jilbaber muda di kota Tunis, tahun 2013
Terbukanya kran kebebasan sebagai akibat dari Revolusi
Yasmin (Arab Spring) yang terjadi di Tunisia tahun 2011 lalu, berimbas luas ke
hampir seluruh sector kehidupan. Tak terkecuali ranah hukum. Larangan poligami
yang ditetapkan dalam Hukum Keluarga tahun 1956 kini mulai digugat. Usulan dibolehkannya
poligami terus menguat.
“Larangan poligami selama ini di negeri kita, tidak
menjadikan nasib kaum wanita kita menjadi lebih baik dari kaum wanita di negeri
Arab yang lain”, tutur Nyonya Delnada Subhi berapi-api. Puluhan wanita yang
duduk di sekitarnya spontan terkaget-kaget. Suasana riuh rendah dan tepuk
tangan tak terbendung. Forum seminar ilmiah yang berlangsung awal Maret 2013 itu
pun berubah menjadi pro kontra yang seru.
Nyonya Delnada – wanita separuh baya - hanyalah
satu di antara sekian orang yang belakangan ini gencar mengusulkan amandemen
hukum keluarga Tunisia (Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah) yang di
dalamnya terdapat larangan poligami. Hukum keluarga yang ditetapkan pada
tanggal 13 Agustus 1956 oleh Presiden Habib Borguiba yang berhaluan sekuler. Hukum
keluarga yang dinilai paling progresif di dunia Islam kala itu.
Selain Delnada, terdapat sejumlah kelompok ormas
dan juga partai politik yang mengusulkan hal yang sama : batalkan pasal pelarangan
poligami. Mereka adalah partai-partai dan ormas-ormas Islam militant, termasuk
kelompok Salafi.
* * *
Pasal 18 dari Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah
menyebutkan bahwa “Poligami itu dilarang. Barangsiapa menikah lagi padahal ia
masih memiliki ikatan perkawinan dengan pasangan yang lain, maka ia dapat dikenai
sanksi penjara selama 1 tahun dan wajib membayar denda sebesar 240 ribu milim…”
Larangan poligami ini merupakan salah satu usaha
Presiden Habib Borguiba dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita di Tunisia.
Selain melarang poligami, Borguiba mendorong kaum wanita untuk bekerja dan
berkarir. Kaum wanita juga harus melepas jilbab, karena jilbab diidentikkan
dengan keterbelakangan dan keterkungkungan. Kaum wanita – masih dalam pandangan
Borguiba - memiliki kebebasan penuh atas dirinya, seperti dalam menentukan
jodoh sendiri – tanpa campur tangan orang tua, serta turut berperan dalam menentukan
jatuhnya talak atau tidak. Artinya,
suami bukan satu-satunya pihak pemegang otoritas talak.
Di gerbang makam Borguiba di kota Monastir,
tertulis kalimat “Borguiba Muharrir al Mar’ah at Tunisiyyah”. Borguiba, sang pembebas wanita Tunisia.
Menurut beberapa buku yang kubaca, gagasan para tokoh pembaharuan pemikiran keislaman
juga turut andil dalam pelarangan poligami di Tunisia kala itu. Seperti yang
disampaikan oleh pejuang emansipasi wanita di Tunisia, Tahir al Hadad (1899-1935),
dalam bukunya yang sangat popular di Tunis Imroatuna fis Syariah wal Mujtama.
Tahir Hadad mengatakan bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab
Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al Jahiliyah al ula). Hadad
menggambarkan fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri
beberapa orang wanita, bahkan tanpa batas. Para isteri itu diperlakukan secara
tidak adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas
perilaku ini dengan menurunkan aturan secara bertahap (tadarruj fit
tasyri’) ; mula-mula membatasi jumlah maksimal wanita yang
dijadikan isteri hingga 4 orang. Kemudian Islam mensyaratkan sikap adil di
antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan oleh seorang suami.
Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami tidak memiliki dasar dalam
Islam, bahkan –sebenarnya - Islam bermaksud memberantas perilaku poligami
ini.
Hadad juga memandang bahwa
poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu
sendiri, yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan
suami isteri. Ketiga hal itu akan terwujud jika seorang
suami hanya mencurahkan kasih sayangnya pada satu orang isteri.
* * *
Era kebebasan kini tengah melanda Tunisia.
Kesempatan emas untuk mengamandemen semua aturan bikinan rezim lama yang
dianggap tidak pas.
Beberapa partai Islam dan ormas keagamaan, adalah
mereka yang paling getol mengusulkan amandemen ini. Menurut mereka, pelarangan
poligami tidaklah membawa kemaslahatan bagi umat Islam di Tunisia. Yang terjadi
justru sebaliknya ; berbagai persoalan social bermunculan. Misalnya trend
perselingkuhan, nikah bawah tangan
(zawaj ‘urfi), perceraian dan fenomena meningkatnya jumlah perawan
tua.
Mereka mengutip hasil survai yang dilansir baru-baru
ini oleh sebuah koran nasional yang menyebutkan bahwa 80 persen suami dan 68
persen isteri di kota Tunis mengaku pernah melakukan selingkuh, dalam segala
bentuknya. Mereka juga menunjuk data bahwa pada tahun 2010, terdapat 16 ribu
pernikahan serta 9100 kasus perceraian. Penyebab utama perceraian ini adalah
karena KDRT, sakit, isteri yang
tidak perawan pada malam pertama, serta karena
factor pihak ketiga dalam perkawinan.
Secara lebih ekstrim mereka mengatakan, mengapa alkohol
(khamar) yang jelas-jelas keharamannya diperbolehkan beredar bebas di
Tunisia, sedangkan poligami yang dibolehkan Tuhan malah dilarang? Dan
seterusnya, dan seterusnya. Masih
banyak argumentasi lain yang mereka sampaikan guna mendukung lolosnya pasal
dibolehkannya poligami di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.
Berhasilkan usaha mereka nanti? Kita tunggu perkembangan berikutnya. Apakah dibolehkannya
poligami akan menjadi solusi atas sejumlah persoalan sosial di Tunisia
sebagaimana disebutkan di atas? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab dan
rumit. Serumit poligami itu sendiri. Bagaimana menurut Anda? Salam Manis dari Tunis
Tunis al Khadra, 25 Maret 2013
bagaimana dengan hukum poligami sebelum reformaasi uu kelurga tunisia?
ReplyDeleteapakah poligami masih diperbolehkan?
bagaimana dengan hukum poligami sebelum reformaasi uu kelurga tunisia?
ReplyDeleteapakah poligami masih diperbolehkan?