Monday, April 21, 2014

Tunis Feminis

Tahir Haddad, Sang Feminis dari Tunis

Cover buku Imroatuna cetakan Beirut, 220 halaman

Tahir Hadad (1899-1935) mengusulkan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Ia menentang poligami, menilai jilbab sebagai pengekang ruang gerak perempuan, serta mendorong wanita sekolah dan bekerja. Reaksi keras muncul dari para ulama Zitouna. Haddad diasingkan, ijazahnya dicabut, kemudian meninggal – konon dibunuh- pada usia 36 tahun.  

TUNISIA dikenal sebagai negeri Arab yang memiliki Undang-undang Hukum Keluarga yang paling progressive di dunia Islam, hingga saat ini. Di antara pasalnya : (1) poligami dilarang, pelakunya diancam denda plus penjara. (2) Gadis di atas 18 tahun tidak dapat dipaksa untuk menikah, meskipun oleh ayah kandungnya sendiri. Artinya, sang gadis boleh menolak pilihan ayah. Padahal dalam fikih Islam, ayah kandung memiliki hak ijbar, artinya boleh memaksa puterinya menikah. (3) Suami yang menceraikan isteri wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isteri, tak hanya pada masa iddah, tetapi selama isteri itu menjanda. Dan masih banyak pasal lainnya.

Mengapa UU yang diberlakukan sejak tahun 1956 itu sangat progressive? Mengapa begitu semangat mendukung hak-hak kaum perempuan meskipun –nampak- menyalahi ketentuan-ketentuan dalam fikih?

Banyak factor yang melandasinya. Selain karena factor ideology sekuler yang diterapkan oleh Presiden Habib Borguiba, UU Keluarga ini juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran sejumlah tokoh modernis di Tunis. Satu di antara mereka adalah Tahir Haddad yang terkenal karena bukunya yang kontroversial : Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Sang Pahlawan
Nama Tahir Haddad bukanlah nama asing di Tunis. Sejak tingkat Sekolah Dasar, nama ini sudah dikenalkan ke para murid sebagai ‘udzama biladi’, salah satu orang besar di negeriku. Fotonya terpampang di sejumlah tempat : lembaga pendidikan, kantor pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir Haddad”. Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia.

Apa dan siapa Tahir Haddad? Ia adalah pahlawan nasional, sastrawan, sekaligus ulama yang menyuarakan kebebasan perempuan. Gagasan-gagasannya yang menentang penjajah Perancis, juga aktifitasnya sebagai pendiri partai al Hizb al Hurr ad Dusturi pada tahun 1920-an bersama aktifis terkenal Abdul Aziz Tsa’albi, menjadikannya masuk dalam kategori pahlawan nasional. Syair-syairnya yang terkenal, membuat namanya juga dikenang sebagai salah satu sastrawan Tunis, bersanding dengan nama besar Ali as Syabi. Dan terakhir, ia dikenal juga sebagai feminis, karena keberaniannya mengusung kebebasan perempuan dalam bukunya, Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Tahir Haddad lahir di kota Tunis, pada tahun 1899. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan.

Mula-mula, Haddad belajar agama di kuttab, menghafal Al Quran, kemudian belajar agama di Ta’lim Zitouni, hingga meraih syahadah tathwi’, setingkat SMA sekarang. Kemudian ia melanjutkan belajar di fakultas hukum Universitas Tunis. 

Haddad seorang yang cerdas serta peduli akan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya di koran local pada tahun 1920-an, ia menyuarakan semangat perjuangan kepada para pemuda Tunisia.

Pada tahun 1927 ia menulis buku “al ‘Ummal at Tunisiyun wa Dzuhur al Harakah an Naqabiyah”. Melalui buku ini, ia menyuarakan pentingnya gerakan social menuju perjuangan merebut kemerdekaan. Bukunya ini dilarang beredar oleh penjajah Perancis.  Dalam bidang pendidikan, ia juga menulis buku at Ta’lim al Islami wa Harakat al Ishlah fi Jami’ az Zaituna. Melalui buku ini, ia menyampaikan sejumlah gagasan reformasi pendidikan pada lembaga tempat ia belajar : Ta’lim Zitouni.

Tahun 1930, bukunya Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’ terbit, setebal 140 halaman. Penerbitnya adalahal Mathba’ah al Fanniah, yang berlokasi tak jauh dari Masjid Zitouna. Melalui buku ini, ia mengusulkan kesetaraan antara pria dan wanita. Tentu saja buku ini memicu reaksi keras para ulama, hingga sempat hilang dari peredaran. Ia terbit lagi tahun 1972 pada era kemerdekaan Tunisia, di bawah kepemimpinan Presiden Habib Borguiba yang sekuler. Pada masa sekarang, buku Haddad ini dicetak berulang-ulang oleh Dar Tunisiyah lin Nasyr, juga oleh Dar al Intisyar al Arabi, Beirut.

Sang Feminis
Gagasan-gagasan Haddad dalam buku Imroatuna sebenarnya terinspirasi oleh para feminis Muslim pada era terdahulu, seperti Qassim Amin atau Rif’at Tahtawi. Isu-isu yang diangkatnya, tak jauh dari seputar jilbab, waris, hak-hak isteri dalam perkawinan, serta pendidikan kaum perempuan.

Ide-ide pembaharuan yang dikemukakan Haddad selalu berangkat dari fenomena kaum wanita Muslimah di Tunisia pada masanya, yang ia nilai sangat terbelakang. Keterbelakangan nasib kaum wanita di negerinya, sangat berimbas besar bagi keterbelakangan negerinya secara umum. Karena itu, kata Haddad, jika masyarakat Tunisia ingin  maju, maka majukanlah kaum perempuannya.

Salah satu penghalang kemajuan kaum perempuan, menurut Haddad, adalah jilbab. Haddad yang menilai jilbab sebagai tradisi bangsa Arab, bukan merupakan murni ajaran Islam (laisa hukman min ahkamid din), melihat jilbab sebagai symbol keterkungkungan wanita. Jilbab telah menghalangi kaum perempuan dari kesempatan belajar, bekerja, dan melakukan aktifitas lain di luar rumah.

Perzinaan, tidak muncul karena banyaknya wanita yang  tidak berjilbab. Melainkan karena akhlak yang buruk, atau karena kefakiran. Perzinaan, kata Haddad, bisa dihilangkan melalui pendidikan yang baik.

Tentang pendidikan. Seorang ibu tidak akan bisa mengasuh dan mendidik anaknya secara baik, jika si ibu itu sendiri tidak berpendidikan baik. Ia juga tidak bisa menjadi mitra kaum pria dalam membangun negeri, jika ia tidak berpendidikan. Membatasi kesempatan sekolah hanya untuk kaum pria, semakin membuka jurang kesenjangan antara kaum pria dan wanita. Pada gilirannya, akan mendorong kaum pria untuk lebih memilih wanita Eropa yang berpendidikan sebagai isterinya.

Karena itu, Hadad menyeru untuk dibangun sekolah bagi kaum perempuan, yang di dalamnya juga diajarkan berbagai macam ilmu, termasuk matematika, IPA, dasar-dasar ilmu kesehatan, ilmu kerajinan tangan, bahkan olahraga dan seni.

Tentang perkawinan. Hadad mengusulkan agar ada batasan minimal usia pernikahan bagi kedua mempelai. Ia memprotes tradisi Arab yang biasa meninggi-ninggikan mahar, atau royal dalam melaksanakan pesta perkawinan. Haddad mengkritik fenomena orang Arab Tunis yang biasa memiliki utang setelah menggelar pesta kawin. Selain itu, Hadad  juga mengkritik keluarga yang memperbanyak anak, tetapi tidak mampu mensejahterakan dan member mereka pendidikan yang baik. Artinya, Hadad mengusulkan program keluarga berencana, meski secara tersirat.

Poligami (ta’addud az zaujat) dalam pandangan Hadad adalah salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al Jahiliyah al ula). Hadad menggambarkan fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri beberapa orang wanita, bahkan tanpa batas. Kemudian para isteri itu diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas perilaku ini dengan menurunkan ketentuan secara bertahap (tadarruj) ; mula-mula membatasi jumlah maksimal wanita yang dijadikan isteri hingga 4 orang, dan kemudian mensyaratkan berlaku adil di antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan oleh seorang suami. Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami sebenarnya tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam sebenarnya bermaksud memberantas perilaku poligami ini. 

Hadad juga memandang bahwa poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu sendiri, yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan suami isteri. Ketiga hal itu aka terwujud jika seorang suami hanya mencurahkan kasih sayangnya pada seorang isteri.

Tentang perceraian. Hadad mengusulkan agar perceraian terjadi di depan hakim. Kemudian, jika perceraian dijatuhkan secara sepihak oleh suami, Hadad mengusulkan agar ada uang tebusan atau denda dari pihak suami.

Masih banyak ide-ide Haddad yang tidak aku tulis di sini. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih detail, silahkan baca bukunya langsung. Pada cetakan Beirut, buku ini hanya 220 halaman saja.

Menurut sejumlah analis, gagasan-gagasan Hadad lebih berani dari pada gagasan-gagasan pendahulunya seperti Qassim Amin. Jika Qassim Amin mengusulkan kesetaraan hak kaum pria dan kaum wanita dalam pendidikan minimal tingkat sekolag dasar, maka Haddad menyebutkan kesetaraan itu hingga dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu olah raga dan kesenian.

Sang Kontroversial
Ragam reaksi publik terhadap buku Hadad ini. Kalangan nasionalis yang didukung oleh penjajah Perancis, menyambut buku ini dengan sukacita. Mereka menggelar perayaan khusus (haflah) yang digelar secara mewah. Haddad diundang hadir dalam acara ini. Kisah tentang haflah ini diceritakan secara detail oleh penulis bernama Muhammad al May dalam buku berjudul Haflah Takrim Kitab Tahir al Haddad.

Sedangkan kalangan ulama Zitouna, menentang keras buku ini.  Setelah bukunya beredar Haddad mengalami kritikan dan kecaman. Ia sempat diusir dari ruang ujian di kampus fakultas hukum, kemudian dilarang mendapatkan ijazah.

Sejumlah ulama menulis buku sanggahan, di antaranya Syekh Muhammad Shalih bin Murad yang menulis buku al Hadad ‘ala Imroati al Hadad. Sedangkan Syekh Umar al Madani menulis buku Saeful Haq ‘ala Man La Yara al Haq.

Kecaman public juga disuarakan melalui koran-koran local, di antaranya adalah artikel Haula Zindiqat al HadadMauqif as Shahafah al ‘Arabiyah haula Nazilat al Hadad, Khurafat as Sufur, dan Aina Yashilu Ghurur a Mulhidin. Dewan Ulama Zitouna juga mengeluarkan vonis kafir kepada Hadad atas gagasan-gagasannya yang dianggap controversial dan melenceng dari ajaran yang benar.

***
Pemerintahan Tunisia pada era sekuler (1956-2011), sangat menjunjung tinggi nama Tahir al Haddad. Ia disanjung-sanjung sebagai pahlawan pembebasan perempuan di Tunis.

Di kota asalnya, Hammah, patung kepala Haddad berdiri tegar di sebuah perempatan. Aku kebetulan berkesempatan mengunjungi kota Hammah, beberapa bulan lalu, dan sempat lewat ke depan patung Haddad.
“Ini dia patung Tahir Haddad”, tutur Butsainah, seorang mahasiswi S2 asal Hammah.
Siapa dia? Pahlawankah? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
 “Oh, ia itu seorang ulama Zitouna. Tapi ia dipecat dari keualamaannya karena bukunya yang dianggap melenceng oleh para ulama”, kata dia.
Kalo sikap masyarakat kota ini bagaimana?
“Warga kota ini tidak menyukainya”, jawab dia lagi.

Aku sudah menduga jawabannya bakal seperti itu. Dan ketidaksukaan masyarakat Tunisia kepada Hadad, baru bisa diungkapkan sekarang, ketika rezim sekuler yang mengapresiasi pemikiran-pemikiran Haddad sudah tak lagi berkuasa di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.

Akankah pemikiran-pemikiran Haddad dilestarikan oleh pemerintah Tunisia sekarang? Dan tetap menginspirasi proyek hukum-hukum keluarga yang pro perempuan di Tunisia? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, semudah membalikkan telapak tangan.

Selamat Hari Kartini, Salam Manis dari Tunis


Tunis al Khadra, 21 April 2014 

No comments:

Post a Comment