Sunday, February 06, 2005

SSM 14 : Nikah Itu Mahal

CERAIKANLAH AKU SUAMIKU....


Pada saatnya nanti, mereka juga akan menikah

Hari ini, muridku berkurang satu orang. Mahmoud el Kanani, menyatakan berhenti kursus bahasa Indonesia karena harus berkonsentrasi mencari uang untuk persiapan nikah. "Kursus disini khan hanya seminggu dua kali..itupun sebentar...",aku mencoba membujuk. Mahmud hanya tersenyum simpul,"saya harus bekerja siang dan malam, Pak”, tuturnya.

Minggu lalu, pria lajang berusia 29 tahun ini melakukan khitbah atas gadis pilihan hatinya. Dalam tradisi orang Mesir, lelaki yang telah berani khitbah, berarti ia sudah mapan secara ekonomi, yang dibuktikan dengan kemampuannya menyediakan berbagai persyaratan meminang.

Seperti halnya Mahmud, yang pada saat khitbah kemaren, menyerahkan cincin dan emas perhiasan senilai 6400 Pound Mesir ($ 1100 atau 10 juta rupiah) kepada calon isterinya. Selain tentunya, pakaian, makanan, serta pernyataan kesanggupan menyediakan sebuah apartemen kosong, untuk tempat tinggal setelah menikah nanti. Dan persyaratan yang disebut terakhir inilah yang paling memberatkan para bujangan Mesir. Memang boleh berupa apartemen sewaan, bukan milik pribadi, tetapi apartemen itu harus lengkap dengan segala fasilitasnya, seperti ranjang, lemari, kulkas, mesin cuci hingga peralatan dapur. "Dalam setahun kedepan, saya harus melengkapi isi apartemen itu Pak",tutur Mahmud lagi. Tatapan matanya menerawang jauh, menembus rindangnya pepohonan di halaman sekolah kami.

Di negeri piramid ini, usia pernikahan bagi lelaki rata-rata menjelang 30 tahun. Beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Adha, seorang kawan Mesir menikah di desanya, dalam usia 32 tahun. Persyaratan menyediakan apartemen dengan segala isinya, emas perhiasan, tingginya mahar, serta keharusan memiliki pekerjaan tetap - atau tidak tetap asal gaji besar, kerap memperlambat mereka dalam melaksanakan sunnah Rasul yang satu ini.

Dalam tradisi Mesir, sebelum meminang, ada tradisi yang dinamakan qiraatul fatihah. Yakni kunjungan resmi keluarga lelaki ke rumah keluarga perempuan, untuk bersilaturahmi. Di acara ini, mereka bersama-sama membaca surat alfatihah. Lalu, orang tua sang calon isteri akan menanyai calon suami tentang beberapa hal menyangkut kehidupan ekonominya. "Biasanya, kita ditanya soal pendidikan, besar penghasilan, dan kapan siap menikah", tutur Mahmud. Tingkat pendidikan suami, harus lebih tinggi dari isteri, atau setidaknya sama. Jika tidak begitu, maka pihak isteri harus menolaknya. Di acara qiraatul fatihah itu juga, sang calon suami harus mampu menentukan waktu kapan siap menikah.

Dua atau tiga bulan setelah qiraatul fatihah, baru terjadi prosesi khitbah. Selama masa dua bulan inilah, sang calon suami memiliki kesempatan mengenal calon isterinya. Tentu tidak seperti dalam tradisi pacaran bebas sebagaimana kebanyakan anak muda kita. Jika kedua pihak menemukan ketidakcocokan yang tidak bias dikompromikan, maka keduanya masih bisa berpisah. Dan menurut mereka, jika perpisahan usai qiraatul fatihah ini terpaksa terjadi -kendati telah mempertemukan kedua keluarga - maka tak dianggap sebagai aib, serta tidak perlu merusak hubungan baik kedua keluarga besar. Berbeda dengan perpisahan pasca khitbah, yang biasanya akan menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat luas. Bisa jadi, perpisahan setelah khitbah, adalah bukti bahwa sang isteri memilki cela yang teramat sangat. Karena itu, perpisahan usai khitbah, sangat dihindari oleh pihak isteri.

Tenggang waktu antara khtbah ke nikah, biasanya 6 hingga 12 bulan. Pada masa itu, sang calon suami bekerja keras mencari duit, melengkapi peralatan rumah tinggal itu. Seperti yang dialami oleh muridku itu. Dengan bermodalkan ijasah sastra Inggeris dari Universitas Kairo, kini Mahmud mengandalkan gaji sebagai penerjemah di sebuah lembaga penerbitan Mesir. Setiap hari, ia bekerja 8 jam. "Saya sedang berfikir ikut kawan saya bekerja di Saudi, selama setahun kedepan", katanya. Keharusan menyediakan uang yang besar itu, kerap memaksa para pemuda Mesir yang sudah tunangan, untuk hijrah ke luar negeri –biasanya negara-negara teluk- untuk bekerja mencari uang.

Mahar yang dikenakan kepada suami biasanya berupa uang, dan nilainya juga tinggi. Kadang ditinggi-tinggikan, hingga bisa jauh lebih tinggi dari biaya emas perhiasan tadi. Meski kadang mahar itu boleh tidak dibayar kontan alias menjadi utang suami kepada isteri. (Dan mahar yang pembayarannya tidak kontan seperti ini, sangat lazim terjadi di negeri ini). Konon, tingginya mahar ini bertujuan agar suami tidak main-main dengan perceraian. Lelaki Mesir akan berfikir seribu kali kalo mau menjatuhkan talak, karena jika terjadi perceraian, ia berkewajiban membayar mahar saat itu juga. Lalu, jika ia menikah lagi, tentu ia harus mengulang dari proses qiraatul fatihah, khitbah lalu nikah, dengan segala konsekuensi biaya.

Lain halnya dengan kasus perceraian yang terjadi atas permintaan isteri, maka suami gugur kewajiban dari membayar sisa mahar itu. Nah, dari sini saya bisa memahami, mengapa banyak lelaki Mesir yang semena-mena terhadap isteri, seperti yang saya ceritakan di SSM Pria Mesir Nan Perkasa

Mungkin si suami itu sudah bosan dengan isteri, lalu ingin menceraikannya, tetapi tidak punya uang untuk melunasi mahar. Yang bisa dilakukan hanyalah mengkasari isteri, agar isteri merasa jera hingga keluarlah ucapan "ceraikanlah aku, suamiku..", hehehe....

Pinggiran Nil, pagi Jumat 4 Februari 2005