Tuesday, December 19, 2006

Amman Transit

Kesepian di Kota Amman

Dalam perjalanan haji ini, sengaja aku memilih pesawat Royal Jordan agar bisa transit beberapa saat di Amman, ibukota Yordania. Setidaknya aku bisa tahu bandaranya, begitu pikirku. Secara kebetulan, harga tiket Royal Jordan jurusan Tunis – Jedah juga ternyata lebih murah dibanding maskapai lainnya, baik Tunis Air, Saudia Airlines, Qatar atau Emirat.

Jumat (17/11) sore, Royal Jordan yang kutumpangi meninggalkan bandara Tunis. Saat roda-roda pesawat mulai terasa bergerak, aku menggumamkan do’a safar, juga doa-doa lain, seraya berpasrah kepada Allah Yang Kuasa. ‘..Allahummaj’al hajjana hajjan mabrura, wa sa’yana sa’yan masykura, wa dzanbana dzanban maghfura...’ begitu diantaranya.

Dari balik jendela, aku menengok ke bawah sana. Nampak kota Tunis yang terhampar, di tepian Laut Tengah yang berair tenang. Bandara Tunis juga masih kelihatan. Kutajamkan pandanganku, barangkali masih bisa melihat 30-an orang Indonesia yang tadi mengantarku ke bandara. Mereka, para mahasiswa, staf KBRI beserta keluarganya. Mereka, orang-orang baik yang telah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Dalam setahun perjalanan studiku ini, dukungan, bantuan dan sumbangsih mereka sangat terasa. Tak mungkin kulupakan. Semoga Allah mencurahkan cinta-Nya kepada mereka.

Terlunta di Bandara
Perjalanan dari Tunis ke Amman hanya ditempuh selama 2 jam 50 menit. Sungguh tak terasa lama. Menjelang pukul 23.00 waktu Yordania, aku telah tiba di Queen Alia International Airport, Amman. Sebuah bandara yang tak terlalu besar, juga nampak kurang terawat. Entah karena saat itu malam hari, sehingga suasana nampak kurang jelas.

Di halte khusus penumpang transit, kursi-kursinya dibiarkan kosong. Kuamati, ternyata semuanya dipenuhi kotoran burung yang biasa bertengger di dinding pelapon atas gedung itu.

Aku berdiri bersama dua rekan seperjalanan serta beberapa orang Arab. Kami menanti bis jemputan menuju hotel. Menurut jadwal, aku transit di Amman selama 24 jam.

Cukup lama kami berdiri. Tetapi bis tak kunjung tiba. Beberapa kali aku mengubah posisi tubuh ; berdiri, jongkok, lalu duduk lesehan. Sambil mengobrol bersama dua rekan, ditemani kepulan asap Mars, rokok filter produksi Tunis yang kami bawa. Lumayan, beberapa batang Mars ternyata mampu menjadi pengusir dingin yang kami rasakan.

Sambil mengobrol, pandangan mataku terus mengitari suasana yang ada. Di bandara ini, kembali aku menemukan plang petunjuk jalan berbahasa Inggeris. Seperti welcome, exit, dan entrance. Sesuatu yang tak kutemukan di bandara Tunis atau Casablanca, Maroko. Karena di kedua negeri itu, semua istilah menggunakan bahasa Perancis.

Sesekali pria Arab Yordan berbaju jalabiah, berlalu di depan kami. Sebuah pemandangan yang mengingatkanku pada suasana Mesir sana. Pola berpakaian kaum pria yang sangat menyiratkan nuansa kearaban. Tak seperti di Tunis, kota dimana masyarakatnya lebih suka memakai stelan celana panjang dan kemeja biasa. Hanya satu-dua yang memakai jalabiah alias jubah.

Wisata Hanya Cerita
Menjelang pukul 01.00 dinihari, bis jemputan baru muncul. Bis yang membawaku ke hotel Alia, lokasi penginapanku selama 24 jam masa transit. Hotel yang berlokasi sekitar 2 km dari bandara. Atau masih terpaut jarak 20an km ke kota Amman.

Di hotel ini aku beristirahat. Melepas penat dan pegal tubuh akibat kelamaan nongkrong di bandara Amman.

Sabtu pagi usai sarapan, pihak hotel menawarkan beberapa paket wisata di Yordania. Berupa program kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di negeri kerajaan ini. Misalnya Paket Islamic Tour ke Laut Mati, Gua Ashabul Kahfi, Kota Tua Amman dan Makam Sahabat Nabi. Juga ada paket kunjungan ke Petra, kota peninggalan Romawi Kuno.

Jujur, aku merasa tergiur. Aku sangat ingin masuk ke gua Ashabul Kahfi, gua tempat tujuh pemuda tertidur selama lebih 300 tahun, sebagaimana kisah yang dituturkan Alquran dalam surat Al Kahfi. Aku juga ingin membuktikan aneka cerita orang tentang Laut Mati. Bahwa berenang di laut berkadar garam tinggi itu, tubuh akan tetap mengapung, takkan tenggelam.

Sayang sekali, persoalan klasik kembali menjadi ganjalan. Aku tak punya uang untuk jalan-jalan. Meski sebenarnya tiket wisata itu tak terlalu mahal. Paket Islamic Tour misalnya, yang hanya bertarif 40 Dolar AS.

Aku berunding dengan dua rekan. Uang pun dikumpulkan. Dihitung-hitung, ternyata hanya pas-pasan untuk tiket bertiga. Serta sisa beberapa dolar untuk sekedar jajan. Sebuah pertanyaan mencuat ke permukaan ; apakah kami akan nekad ikut program ini? Dengan konsekuensi di Tanah Suci nanti, kami tak memegang uang?!

Cukup lama kami berdiskusi. Hitung-hitungan untung rugi. Hingga akhirnya, kami sepakat untuk tidak nekad ; tidak memaksakan pergi piknik. Keinginan untuk melihat beberapa pesona yang dimiliki negeri Yordania harus ditahan untuk sementara. Untuk kepentingan yang lebih besar. Insya Allah, dalam perjalanan pulang ke Tunis nanti, kami akan mengagendakan transit ke Amman lagi, begitu kesepakatan akhir kami. Itupun dengan satu syarat ; ada bekal uang yang cukup, hehe...

Aduh, sedih banget ternyata, ketika sebuah keinginan tak terpenuhi hanya karena persoalan tak ada uang.

Maka, kami harus menerima kenyataan. Sabtu siang hingga menjelang senja, kami lewatkan di dalam hotel Alia. Sesekali duduk di ruang lobi, melihat tamu-tamu hotel yang berlalu lalang. Lalu berjalan-jalan ke toko souvenir di dekat kolam renang. Atau sesekali kami kembali ke kamar, menonton film di TV. Karena itulah satu-satunya hiburan pengusir sepi yang gratisan.

Dalam kesepian tanpa uang, ternyata laju sang waktu terasa pelan. Detik-detik jam serasa tersendat. Sebuah siang di Hotel Alia, tepian kota Amman.

Madinah al Munawwarah, 12 Desember 2006

Thursday, November 16, 2006

Tunis Haji

Ke Saudi Kita Berhaji


Jemaah haji tahun 1427 H, di Masjidil Haram, Makkah

Jika tak ada aral melintang, insya Allah Jumat (17/11) besok aku akan berangkat haji. Meninggalkan Tunis, menuju Tanah Suci. Rencananya, aku berangkat pukul 15.00 waktu Tunis (21.00 WIB), naik pesawat Royal Jordan. Di Amman, ibukota Jordania, pesawat akan transit selama 24 jam. Sabtu senja waktu setempat, perjalanan baru dilanjutkan menuju kota Jedah, di negeri Saudi sana.

Inilah perjalanan haji keduaku. Haji pertama, pada tahun 2003 lalu, saat aku masih belajar di Kairo. Perjalanan haji yang sangat mengesankan, dan tak mungkin terlupakan dalam hidupku. Perjalanan haji yang jauh berbeda, dengan hajiku yang sekarang. Setidaknya dalam beberapa hal.

Pertama, haji 2003 adalah haji preman bin nekad. Artinya, hanya bermodal semangat untuk ibadah semata, melepas kerinduan kepada Allah, juga untuk berziarah ke makam kekasih-Nya, Baginda Rasulullah saw. Tanpa mempertimbangkan fasilitas teknis selama di Tanah Suci, seperti tempat tinggal, bekal makanan dan transportasi. Itu semua urusan di sana. Yang penting adalah, punya uang untuk biaya administrasi - sekitar $ 500 - plus keyakinan, bahwa di sana akan mendapat pekerjaan sebagai guide jemaah.

Motivasi yang kuat untuk berziarah ke Rumah Allah, mengalahkan segala bayangan kesulitan. Seperti yang kualami sendiri. Meski modal pas-pasan, kutancapkan niat untuk mengunjungi Tanah Suci. Sederet proses administratif yang cukup melelahkan, kuikuti seikhlas mungkin. Kusebut cukup melelahkan, karena memang begitu ; serba antri, visa lambat yang kadang bikin dag dig dug, serta rasa dongkol kala berurusan dengan petugas Mesir yang kadang mau menang sendiri.

Sedangkan haji tahun 2006 ini, insya Allah tak seperti itu. Segala urusan mudah, biaya ringan, tanpa harus berlama-lama mengajukan visa. Karena aku berangkat melalui rekrutmen petugas haji Departemen Agama RI.

Kedua, perjalanan haji 2003 lalu ditempuh dengan kapal laut, dari Pelabuhan Suez di Mesir, menuju Pelabuhan Jedah di Saudi Arabia. Perjalanan ditempuh selama tiga hari dua malam. Untuk itu, aku menyiapkan bekal makanan selama perjalanan ; berupa nasi, lauk pauk dan buah-buahan. Pokoknya bekal konsumsi di kapal. Di kapal memang ada kantin makanan. Akan tetapi, aku lebih suka berhemat, karena memang tak ada uang, hehe..

Angin laut yang kadang terasa kencang, membuat pusing atau tak enak badan. Maka, bekal obat-obatan pun menjadi hal yang sangat penting. Untunglah, aku berangkat bersama puluhan kawan mahasiswa lainnya. Jadi, bisa saling membantu kala ada kesulitan atau persoalan.

Kesulitan-kesulitan dalam perjalanan seperti itu, insya Allah takkan kutemui dalam perjalanan haji kali ini. Karena aku tak lagi naik kapal laut, melewatkan tiga hari di Laut Merah. Perjalanan kali ini, cukup beberapa jam penerbangan di udara. Meski jujur, kenangan berhaji naik kapal laut seperti dulu, tetap kurindukan. Dengan warna keindahan, suka duka dan aneka romantikanya, yang tak mungkin lepas dari ingatan.


* * *
Masih banyak pesona lain dari pengalaman berhaji pertamaku dulu. Insya Allah, dalam kesempatan lain yang lebih luas, aku akan menuturkannya. Saat ini, aku masih sedang menyiapkan diri, lahir bathin, fisik dan mental, untuk perjalanan Jumat esok. Karena aku ingin, perjalanan ini tak berlalu sia-sia, tanpa curahan dan balutan ridha-Nya.

Tunis al Khadra, Senja Kamis, 16 Nopember 2006

Sunday, October 22, 2006

Buka Puasa

Berbuka Puasa Sampai Bodoh

Hari Jumat (13/10) lalu, aku diundang berbuka puasa di rumah dosen pembimbing tesis, Prof. Abdullatif Bou Azizi. “Kehormatan bagi saya, jika kamu berbuka di rumah saya", tutur Guru Besar Ushul Fiqh berusia 50 tahun ini. Wah, tentu ini kesempatan emas yang tak boleh kusia-siakan, pikirku. Kesempatan untuk mencicipi menu berbuka khas Tunis. Lebih dari itu, aku juga ingin tahu, bagaimana tradisi berbuka puasa mereka. Benarkah orang Arab itu makannya banyak ?!

Rumah Mewah Pak Dosen
Rumah Pak Dosen berada di Boumhal, sebuah kawasan elit, berjarak 12 km selatan kota. Untuk menuju ke sana, aku naik kereta api. Aku pergi bersama Arwani, seorang rekan mahasiswa S2.

Satu jam sebelum adzan magrib, kami sudah berada di stasiun Tunis. Suasana nampak sepi. Kereta juga tak penuh penumpang. Banyak kursi tak bertuan. Adalah tradisi di Tunis, satu jam menjelang berbuka, orang-orang sudah masuk rumah, lalu bersiap-siap duduk mengelilingi meja makan. Ramadan benar-benar menjadi momen kumpul keluarga.

Kereta melaju pelan. Aku segera menelpon Pak Dosen. Di stasiun az Zahra, kami turun. Rupanya Pak Dosen telah siaga di sana, menjemputku. Ia ditemani Anas, putera ketiganya yang berusia 12 tahun. "Ahlan wa sahlan", tutur pak Dosen seraya menyalami kami, erat. Lalu kami naik ke Sedan VW Seri Passat, milik Pak Dosen.

Tak sampai 10 menitan kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah mewah. Villa dua lantai, halamannya luas dengan rumput hijau dan pepohonan bunga. Seperti rumah-rumah elit di kawasan Pondok Indah. Rumah Pak Dosen ini boleh juga, pikirku. Tunisia memang mampu memberikan kesejahteraan yang layak bagi para Umar Bakri-nya. Maklum, anggaran pendidikannya saja mencapai 26,2 persen. Gaji tunjangan dosen bergelar profesor –menurut cerita seroang rekan- mencapai 2000 Dinar.

Makanan Pembuka
Rupanya, hidangan berbuka telah disiapkan oleh Pak Dosen. Sewaktu aku tiba senja itu, meja besar di ruang tamu, telah penuh dengan aneka makanan dan minuman. Ada Syurbah, Brick, kurma Tunis, Salatah/salad, Roti Tawar, Zaitun, Susu Murni dan Air Putih. Itulah menu standar untuk pembuka (takjil) berbuka puasa yang menjadi tradisi umum di Tunis. Selain menu utama, yang bisa berupa nasi kebuli atau kuskus plus daging.

Syurbah artinya kuah. Yakni makanan berkuah alias sup, isinya butiran gandum, potongan ayam serta bumbu penyedap. Bahan utama syurbah – yakni gandum butiran kecil itu – banyak dijual di toko-toko Tunis. Syurbah dinikmati bersama roti tawar Tunis yang panjang-panjang, hampir satu meter.

Brick adalah makanan khas berbuka ala Tunis. Bentuknya mirip martabak telor. Hanya saja, brick berukuran kecil-kecil. Bahannya terdiri dari telur, kentang rebus, ikan tuna, makdonis (daun penyedap mirip saledri) dan bumbu. Semua bahan itu diaduk rata dan dibungkus dengan adonan khusus terbuat dari gandum. Lalu, digoreng hingga kering.

Brick telah menjadi identitas khas Ramadhan di Tunis. Seperti halnya bubur Assida pada hari maulid Nabi atau ketupat di hari lebaran di Indonesia.

Kami duduk mengelilingi meja. Aku, Arwani, dua putera Pak Dosen, serta seorang bapak-bapak, famili Pak Dosen. Sambil menanti adzan magrib, Pak Dosen menuangkan air putih dan susu ke gelas. Sambil sesekali berbicara. Saat adzan magrib terdengar berkumandang, ia langsung mempersilahkan kami menyantap hidangan itu.

Mula-mula aku minum air putih, lalu kurma Tunis. Kurma yang terkenal di pasaran karena memiliki cici khas ; masih menempel pada tangkainya dan rasanya yang legit. Aku menikmati kurma sambil sesekali minum air putih dan susu. Air susu (halib) yang dihidangkan sore itu ada dua macam ; ada susu murni, dan ada susu kemasan dari toko. Orang Arab memang punya tradisi yang kuat dalam hal minum susu. Pantas tubuh mereka subur-subur.

"Makanlah, jangan ragu-ragu", tutur pak Dosen sambil menyodorkan mangkuk syurbah kepadaku. Juga beberapa potong roti tawar. Aku mengangguk-angguk, seraya menyambut tawaran Pak Dosen. Brick, Salatah dan Zaitun juga tak kulewatkan. Ketiga makanan ini memang kusuka. Brick rasanya gurih. Salatah yang terdiri dari irisan aneka sayuran hijau, cocok dengan selera lidahku yang orang Sunda, hehe..(dimana-mana sama urang Sunda mah euy..) . Dan zaitun, buah pahit itu, sangat baik untuk kesehatan.

Di Tunis, hampir semua hidangan makanan disertai buah zaitun. Harganya murah meriah. Maklum, Tunisia adalah penghasil zaitun terbesar ketiga setelah Spanyol dan Italia.

"Makannya sedikit-sedikit saja, karena ini baru pemanasan", bisik Arwani yang duduk di sebelahku. Insya Allah, jawabku sambil mengangguk-angguk.

Makan Non Stop
Aku pun makan sedikit-sedikit, karena ini hanya makanan pembuka. Hanya warming up, alias pemanasan. Jangan sampai terlena, kemudian perut tak berdaya pada episode utama nanti. Orang Arab akan merasa tersinggung, jika tamunya tidak bergairah saat makan. Dikira makanannya tidak enak.

Sekitar sepuluh menitan kami menikmati takjil. Hingga kemudian kami rehat sejenak, untuk salat magrib berjamaah. Pak Dosen menjadi imam. Dalam tradisi Tunis, biasanya, tamu dipersilahkan menjadi imam salat. Tetapi kali ini, mungkin Pak Dosen berfikir, ah, tamuku hanya seorang mahasiswa, dan bukan orang Arab.

Usai salat, adalah saat menikmati makanan utama. Pak Dosen datang membawa wadah besar berisi nasi kebuli bercampur daging. Anas dan Amin – dua puteranya – membawa piring dan gelas. "Sore ini, saya suruh isteri memasak nasi, khusus untuk kalian, tamu saya", tutur Pak Dosen. Aku tersenyum. Orang Tunis memang terbilang jarang makan nasi. Belum tentu seminggu sekali. Menu hidangan utama mereka biasanya kuskus, makaruna, spageti atau roti. Tentu semua itu dihidangkan bersama daging atau ikan.

Pak Dosen mengisi piring-piring itu dengan nasi dan daging. Nasi kebuli berwarna kuning, dan potongan-potongan besar daging kambing. Sewaktu ia mengisi piring untukku, aku berkata, "jangan banyak-banyak dulu, Pak. Saya makan sedikit". "Oke,oke", kata Pak Dosen. Ah, tetapi ternyata, piring itu tetap saja penuh. Rupanya, orang Arab dan orang Asia, tak seragam dalam memaknai kata ‘sedikit’.

Akhirnya, aku mulai makan nasi. Salatah dan zaitun tetap kusertakan. Aku makan pelan-pelan, seperti halnya etika seorang tamu dalam tradisi kita yang orang Timur. Sambil sesekali memperhatikan cara makan Pak Dosen dan keluarganya. Mereka makan cepat sekali. Seperti yang tak dikunyah dahulu. Nasi di piringku masih separo, mereka rata-rata sudah nambah.

"Dede, ayo makan yang banyak. Dan kamu juga", kata Pak Dosen sambil memandang ke arah Arwani. Kebetulan piringnya sudah hampir kosong. Tanpa disuruh, Pak Dosen langsung menuangkan sesendok besar nasi ke piring Arwani. Arwani menolak. "Saya sudah kenyang Pak". "Ah, tidak, mazal tataharrak", kata Pak Dosen. Artinya, kamu masih bisa bergerak, kok. Ayo makan terus... ! Muka sang kawan nampak pucat. Aku menahan tawa.

Fatah, putera Pak Dosen yang kecil, datang membawa piring besar. Isinya tojin, serupa perkedel daging bercampur bumbu dan kentang. Potongannya besar-besar. Juga tanpa komando, Pak Dosen menyimpan tojin pada piring-piring kami yang belum kosong. Tojin memang lezat, tapi, mampukah aku menghabiskannya ?!

Aku segera mengendorkan ikat pinggang. Biar ruang dalam perutku lebih terbuka.

Kue, Buah dan Jilbab
Strategiku berhasil. Memperlambat habisnya nasi, hingga Pak Dosen tak menuangkan nasi dan daging tambahan ke piringku.

Cukup lama kami makan, hingga kemudian, meja segera dibersihkan oleh Amin, putera sulung Pak Dosen. Piring kotornya dibawa ke belakang. Saat kembali, Amin membawa wadah besar berisi mangkuk-mangkuk kecil berisi bubur krim ditaburi kacang. Serupa Asida, bubur khas Maulid itu.

Mangkuk-mangkuk itu langsung disebar ; dibagikan ke setiap orang. "Ayo Dede, makan. Ini kue manis, rasanya enak. Ayo rasakan.. !" kata Pak Dosen. Aku pun mengangguk, seraya mencicipi bubur itu. Memang enak, tetapi manisnya minta ampun. Hingga aku pun tak yakin bisa menghabiskannya.

Untunglah aku masih menyisakan ruang dalam perutku untuk kue dan buah-buahan. Jadi, aku bisa menikmati bubur itu sedikit-sedikit. Sambil sesekali berbicara dengan Pak Dosen. Tentang Islam di Tunis, Islam di Indonesia, tentang kampus, juga tentang kesulitan-kesulitanku dalam menggarap tesis. "Nanti kamu lanjut S3 di sini, khan ?!", tanya Pak Dosen. Aku terdiam. "Pengennya begitu, Pak. Tapi saya ingin pulang dulu", tuturku apa adanya...

Untuk apa kamu pulang ?! "Ih, ari si Bapak", jawabku spontan. "Khan saya punya orang tua, saya rindu pada mereka. Mereka juga ingin segera punya cucu", tambahku sambil tersenyum. Pak Dosen mengangguk-angguk, kemudian ikut tersenyum. "Ya sudah, kamu daftar S3, terus pulang dulu, lalu kembali ke Tunis bersama isterimu", kata dosenku, yang ayah enam anak ini.

Aku termenung sejenak. Sambil mengunyah krim. "Itu sudah saya fikirkan Pak. Tetapi saya masih ragu soal jilbab. Jika isteri saya nanti memakai jilbab, tidakkah nanti saya bakal banyak menghadapi persoalan di Tunis ?!", aku berterus terang kepadanya. Di Tunis, pemakai jilbab memang masih sering merasa tidak nyaman, karena diawasi oleh pemerintah. Beberapa hari lalu, Menteri Agama Tunis menyatakan bahwa jilbab merupakan romzun min rumuzil fitnah. Salah satu sumber fitnah. Subhanallah.
Pak Dosen termenung sejenak. Sebagai orang Tunis, tentu ia sangat memahami persoalan ini. Dan aku, orang asing di negeri ini, cukup memahami, bagaimana dilema para ulama dan dosen agama di Tunis, kala dihadapkan pada pilihan ; mengusung idealisme dan kebenaran, ataukah ikut suara penguasa...

Pembicaraan kami terus berlanjut. Pembicaraan yang seru. Tapi isinya tak perlu dipaparkan di sini, hehehe.. Karena aku mau segera bercerita tentang Anas yang tiba-tiba datang lagi membawa wadah berisi buah-buahan. Ada pisang, apel, jambu dan anggur. Semua itu diletakkan di atas meja. "Oya, Dede, ini apel baladi. Rasanya lebih enak dari yang biasa. Ayo coba.. !" , tutur Pak Dosen sambil menyodorkan sebuah apel plus pisaunya. "Oh, iya Pak. Nanti saya makan", tuturku sambil menikmati krim. Tapi Pak Dosen nampaknya keukeuh, tangannya masih saja menyodorkan apel. Terpaksa kuambil, kupotong dan kucicipi sedikit-sedikit.

Kupegang perutku. Oh, rupanya sudah penuh lagi. Terpaksa kukendorkan lagi ikat pinggang, hingga satu tahap lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 20 seperempat. Tak lama lagi adzan isya. Kepalaku terasa puyeng, nafas agak tersengal-sengal. Aku kekenyangan, hingga seperti orang bodoh ; bingung, tak tahu harus berbuat apa lagi. Arwani yang duduk di sebelahku, sejak tadi sudah menyandarkan tubuhnya ke kursi. Teler juga. Barangkali ia juga kekenyangan. Akibat makan sampai bodoh. Di suatu senja Ramadhan, di rumah profesor pembimbing tesisku.

Tunis al Khadra, 29 Ramadhan 1427 H

Monday, October 09, 2006

Tunis Tarawih

Imam Tarawih itu Berusia Senja


Para jemaah tarawih di pelataran dalam Mesjid Agung Zaituna, Tunis

Salat isya dan tarawih di Mesjid Agung Zaituna, selalu dipimpin oleh Syekh Muhammad al Khatwi, seorang ulama Tunis berusia 100 tahun.

Meski berusia senja, semangatnya tak kalah dengan anak muda. Bacaannya cepat, tetapi lancar, dengan lagu qiraat yang khas. Juz demi juz Alquran ia lewati hampir tanpa kesalahan atau lupa. Kecuali sesekali diselingi batuk. Maklum orang tua. Setiap usai salam , ia langsung bangkit berdiri seraya teriak ‘Ya Muin’, sebagai komando kepada para makmum untuk terus semangat. Tak sampai tiga detik kemudian, sang Syekh sudah bertakbir lagi untuk salat rakaat berikutnya.

Jujur, aku kagum pada sang syekh. Subhanallah, di usianya yang senja, ia begitu semangat berdiri memimpin salat tarawih 20 rakaat, seraya melantunkan lebih satu juz Alquran secara cepat, hampir tanpa kesalahan.

Syekh al Khatwi adalah imam besar di mesjid kebanggan muslim Tunis ini. Mesjid berarsitektur klasik, didirikan pada tahun 732 M. Mesjid yang berada di tengah-tengah kawasan kota tua, dikelilingi pertokoan pasar tradisional dan bangunan-bangunan antik bergaya Andalusia. Salat tarawih di mesjid tua nan bersejarah seperti Zaituna, serasa menyiratkan nuansa yang khas, berbeda dari biasa.

Seperti halnya di Zaituna, tarawih di mesjid-mesjid lain di kota Tunis, umumnya dilaksanakan dengan 20 rakaat. Jarang sekali mesjid yang mengadakan tarawih 8 rakaat. Semua imam membaca ayat Alquran dengan qiraat Qalun, yakni model bacaan Alquran yang diriwayatkan oleh Qalun (wafat tahun 220 H), dari Nafi (wafat 169 H). Nafi adalah salah seorang ulama ahli qiraat yang diakui sebagai salah satu dari 7 imam qiraat sab’ah – tujuh model qiraat yang diterima dunia Islam sebagai qiraat Alquran. Model bacaan qiraat Qalun memiliki beberapa perbedaan dengan qiraat Hafs, qiraat yang populer di Indonesia. Albaqarah ayat 184 misalnya, dibaca dalam qiraat Hafs : wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin..Sedangkan dalam qiraat Qalun dibaca tha’amu masakin... Perbedaan logat atau tanda baca, tanpa mengubah substansi makna.

Jemaah Bercelana Pendek
Setiap malamnya, sekitar seribu jemaah hadir di Mesjid Zaituna. Pria wanita, tua muda. Aku senang menyaksikan mereka begitu antusias salat. Mereka datang berbondong-bondong, kaum wanitanya menggunakan hijab.

Sayang sekali, kebanyakan jemaah pria tidak menggunakan busana sembahyang yang khas. Misalnya jubah atau peci. Atau setidaknya pakaian sopan biasa. Muslim Tunis biasa masuk mesjid dengan baju ala kadarnya. Tak ubahnya seperti mereka hendak masuk pasar atau kafe. Hanya berkemeja biasa, celana jeans, kaos oblong, bahkan celana pendek. Kadang lutut kelihatan. Dari jumlah jemaah yang sekitar 1000 orang itu, hanya beberapa saja yang memakai jubah.

Aku sempat bertanya-tanya, mengapa mereka tak mau berdandan ketika masuk mesjid. Tidakkah mereka memahami ayat khudzu zinatakum ‘inda kulli masjid. Sebuah perintah Allah agar umat beriman selalu memakai pakain yang bagus dan berhias, ketika memasuki mesjid.

Belakangan aku memahami, bahwa bukan tak mau mereka menggunakan segala atribut itu. Bukan mereka tak punya sorban, peci atau jubah. Juga bukan karena mereka tidak memahami makna ayat di atas. Kaum muslim Tunis masih takut dengan identitas-identitas formal keagamaan, seperti jubah, jenggot, jilbab, atau membawa Alquran ke ruang publik. Hingga hari ini, detik ini, umat Islam yang rajin menampakkan syiar-syiar keislaman, masih sering diawasi – bahkan diinterogasi pemerintah.

Kamis dan Jumat –5 dan 6 Oktober 2006- kemaren, siaran televisi Aljazeera memberitakan bahwa partai penguasa di Tunisia, melakukan penertiban – untuk tidak mengatakan pengekangan – atas jilbab. Mungkin diantara pembaca ada yang sempat menyaksikan berita itu. Itulah memang yang terjadi di negeri muslim yang kutinggali saat ini ; Tunisia.

Maka, aku selalu husnudhan kepada mereka, umat Islam Tunisia yang memakai celana pendek atau celana jeans butut di mesjid. Tanpa jenggot lebat. Alhamdulillah, mereka masih bisa konsisten untuk salat. Mereka rela mengabaikan perhiasan-perhiasan lahir, semata-mata agar tetap bisa salat berjamaah. Mereka sadar betul bahwa menjaga keimanan (hifdzu ad din) harus diutamakan melebihi segalanya. Meski itu dengan cara berpura-pura, mirip konsep taqiyyah dalam tradisi Syiah. Semoga mereka termasuk kategori orang yang dimaksud dalam hadis Nabi, sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh atau pakaian lahir kamu. Tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kamu.

Tarawih Tanpa Kultum
Di seantero Tunisia ini, tak ada cerita, usai tarawih ada kultum. Berbeda dengan di Mesir, atau di Tanah Air. Ramadan adalah momen emas bagi para da’i atau khatib, untuk bisa berceramah di mana-mana. Baik dalam acara pengajian ramadan, ataupun kuliah tujuh menit (kultum) usai tarawih yang populer di mesjid-mesjid.

Ceramah ramadan merupakan saat para jemaah menyegarkan ingatan mereka tentang ajaran-ajaran agamanya. Saat tebaik untuk berdiskusi, merenung, memikirkan kualitas beragama selama ini. Aku ingat kisah lama di Kairo. Betapa malam-malam Ramadan menjadi momen bagi para ulama Al Azhar untuk men-charge pemahaman dan kesadaran beragama masyarakat. Ceramah-ceramah para ulama dengan segala gaya dan daya tariknya, menjadi salah satu penyemarak kegiatan tarawih. Hingga kemudian, Syekh Yusuf Al Qardhawi mengatakan bahwa Ramadan adalah salah satu diantara empat faktor penyebab gagalnya program kristenisasi di Mesir. Tiga faktor lainnya adalah Universitas Al Azhar, Salat Jumat, serta Alquran.

Entah kenapa di Tunisia ini tak ada kultum tarawih. Padahal ulamanya banyak. Seperti halnya Mesir yang memiliki Al Azhar. Di Tunisia pun ada Zaituna, lembaga pendidikan Islam yang telah ada sejak abad ke-8 Masehi, yang hingga kini tetap eksis dan melahirkan banyak ulama. Bisa jadi, tak adanya kultum juga karena alasan politis. Aku hanya berfikir, sayang banget momen Ramadan suci ini dilewatkan begitu saja.

Tarawih Terakhir
Aku menikmati malam-malam tarawih yang kulalui di Mesjid Zaituna. Di sana, ada keharuan yang mendalam, tatkala firman Tuhan disenandungkan dengan qiraat Qalun, oleh sang imam yang berusia senja. Jika sang imam terbatuk-batuk, aku kadang ingat syair lagu Iwan Fals, "...Pak Tua sudahlah, engkau sudah terlihat lelah..." Astagfirullah...

Tarawih di Zaituna juga menyiratkan harapan ketika menyaksikan antusiasme muslim Tunis untuk salat berjamaah ke mesjid yang berusia lebih dari 12 abad ini. Meski para jemaah itu hanya berbusana biasa. Tetapi aku kagum pada mereka, karena tentu mereka adalah hamba-hamba yang tetap setia kepada Tuhannya. Aku menaruh harapan besar kepada mereka ; muslim yang tetap setia menjaga tradisi agamanya, di tengah godaan kebebasan dan kegersangan spiritualitas, buah dari sekulerisasi dan globalisasi yang melanda Tunisia, negeri berpenduduk 11 juta dengan kompisisi hampir 100 persen muslim ini.

Aku berdoa kepada Allah Yang Kuasa. Semoga mereka yang salat di Zaituna ini, tergolong dalam umat yang melakukan qiyamullail, menghidupkan malam-malam Ramadan dengan ikhlas. Sebagimana kandungan hadis Nabi. Barang siapa beribadah pada malam-malam Ramadan karena dasar iman dan ikhlas, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni..

Dari lubuk hati terdalam, aku juga memohon kepada Tuhan Yang Esa, agar tarawih indah ini, adalah tarawih terakhirku di tanah rantau. Karena aku ingin segera bertarawih bersama ayah bunda yang selalu kurindukan, nun jauh di sana...

Tunis al Khadra, 16 Ramadan 1427 H

Wednesday, October 04, 2006

Tunis Ramadhan

Tunis, Ramadankum Mabrouk

Ramadan tiba, seluruh umat Islam di seantero jagat ini menyambut dengan suka cita. Tak terkecuali kaum muslimin di negeri yang kutinggal saat ini ; Tunisia.

“Biar saya tak menjalankan salat, tetapi kalo untuk urusan puasa, saya tak pernah lewat”, tutur Ahmad, seorang pemuda Tunis, penuh semangat. Ahmad, pemuda berusia 25 tahun, bekerja sebagai penjual kaset dan VCD di kawasan Medina, Old Tunis.

Aku manggut-manggut mendengar penuturan Ahmad. Telingaku sudah tak kaget mendengar ungkapan orang Tunis ; saya tidak salat.

Tetapi aku merasa kaget dengan semangat Ahmad. Tetap puasa, meski tak salat. Kalo begitu, apa makna puasa bagi kamu, ya akhi?! “Saya rajin puasa, karena bagi saya, puasa adalah sarana pembersihan diri, penyucian jiwa”, tutur Ahmad lagi. Tanpa ragu sedikit pun, alias penuh percaya diri. Kren, kren, aku bergumam. “Semoga Allah menerima ibadah puasa Anda”, timpalku berbasa-basi, seraya berlalu, meninggalkan Ahmad. “Ramadankum Mabrouk”, jawab Ahmad.

Ramadankum Mabrouk, secara harfiah berarti ‘semoga Ramadanmu penuh berkah’. Dalam arti luas, bisa disepadankan dengan kalimat ‘selamat menjalankan ibadah puasa’. Ramadankum Mabrouk, kalimat yang sangat sering kudengar pada hari-hari Ramadan di kota Tunis.

Dan Ahmad adalah contoh muslim Tunis yang rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’ pada setiap akhir pembicaraan. Ahmad adalah muslim Tunis yang bersuka cita kala Ramadan tiba. Selain Ahmad, ada sepuluh juta orang muslim lainnya, yang juga antusias menyongsong Ramadan dan rajin mengucapkan ‘Ramadankum Mabrouk’.

* * *
Kota Tunis memasuki Ramadan. Suasana berubah serentak, karena berkah Ramadan. Jumlah wanita berbaju ketat pengumbar aurat, tak sebanyak hari-hari sebelum Ramadan. Pasangan dua sejoli yang biasa bermesraan di Hadiqah Huquq al Insan juga tak ada. Berbeda dengan hari-hari kemaren.
Tak ada rumah makan dan kafe yang buka siang hari. Selama 10 hari pertama Ramadan, aku tak melihat satu pun orang Tunis yang terang-terangan tidak puasa di muka umum. Juga tak ada warung makan ditutupi kain, sehingga yang kelihatan hanya kaki para konsumen, seperti di terminal-terminal di tanah air. Di Tunis, yang nampak adalah wajah-wajah lelah, mereka yang menahan lapar, demi meraih ridha Tuhannya.

Meski Ramadan jatuh pada musim panas dengan terik diatas 4O derajat dan waktu siang yang panjang, muslim Tunis tetap saum. Bahkan ajakan Presiden Borguiba untuk tidak berpuasa pun tak digubris oleh muslim Tunis. Saat itu, Ramadan tahun 1961, Presiden Habib Borguiba berpidato di atas podium, disiarkan oleh televisi. Tanpa ragu, sang presiden minum air putih seraya mengajak muslim Tunis untuk tidak berpuasa. “Karena puasa bisa menurunkan stamina kerja”, demikian alasan Borguiba.

Kampanye anti puasa itu merupakan salah satu bentuk praktis dari program sekulerisasi - pendangkalan nilai-nilai agama dari kehidupan- yang dicanangkan oleh presiden Arab berfikiran Barat dan pengagum Kemal at Taturk ini. Hanya saja, ajakan sang presiden ini ternyata tak laku. Dalam soal puasa, masyarakat muslim Tunis rupanya tak bisa dikasih omong-omong, iming-iming, bahkan amang-amang.

* * *
Kota Tunis di hari-hari Ramadan. Pasar-pasar selalu penuh, meski harga-harga sembako nampak lebih mahal.

Menurut cerita kawan-kawan senior, orang Tunis memang punya tradisi banyak berbelanja makanan di bulan Ramadan. Untuk bekal berbuka. Saat magrib tiba, semua makanan itu disantap. Non stop hingga tengah malam. Kecuali diselingi rehat salat tarawih - tentu bagi mereka yang salat.

Kukatakan ‘bagi mereka yang salat’, karena memang figur seperti Ahmad- puasa tanpa salat – itu fenomena biasa. Seorang kawan mahasiswi Indonesia yang tinggal serumah bersama 3 orang gadis mahasiswi Tunis bertutur, bahwa di rumah itu, hanya ia sendiri yang salat. Jika kebetulan sedang malas ke mesjid, sang kawan salat tarawih sendiri di kamar, disaksikan tiga rekan serumah, yang juga sama-sama mengaku muslim dan beriman kepada Allah.

Aku berandai-andai, jika aku menjadi dia, salat sendirian disaksikan kawan-kawan terdekat yang tidak salat, sanggupkah aku istiqamah ?! Ah, semoga Allah memberikan kekuatan..

* * *
Ramadan tiba, mesjid-mesjid di kota Tunis mendadak semarak. Orang berduyun-duyun salat tarawih. Lorong-lorong sempit di kawasan Old Tunis, dipadati para jemaah yang membawa sajadah, menuju Mesjid Agung Zaituna yang dibanggakan. Mereka, orang-orang tua dan anak-anak muda. Membuatku sempat bergumam, Ya Allah, andai setiap malam kota Tunis seperti ini ; mesjid-mesjidnya dipenuhi manusia yang salat.

Mesjid-mesjid penuh, tetapi kafe-kafe juga semakin ramai. Kafe-kafe antik di kawasan Old Tunis, sekitar Mesjid Zaituna, pada malam-malam Ramadan ini malah semakin semarak. Orang-orang duduk bersantai, menikmati kopi, kadang sambil bermain kartu. Dalam iringan lagu-lagu Arab Klasik yang mendayu-dayu. Kucermati lagu-lagunya, ternyata syair-syair keagamaan. Biar di kafe, tetapi lagu-lagunya berupa syair-syair kaum sufi, salawat, atau sanjungan atas keagungan Ramadan.

Rupanya orang-orang yang duduk di kafe pun tak mau kalah dengan saudara-saudaranya yang tengah tarawih di mesjid. Mungkin mereka berfikir, berkah Ramadan bisa dinikmati dari mana saja. Meski dari kafe sekalipun. Ada-ada saja. Tunis, Ramadankum Mabrouk.

Tunis, 10 Ramadan 1427 H

Thursday, September 21, 2006

Mesjid Aceh di Tunis

Mereka Bilang, Tsunami Adalah Azab Tuhan



Aku diantara beberapa lukisan Mesjid Aceh Saat Tsunami

Gaung cerita tragedi Tsunami yang melanda Aceh beberapa waktu lalu terdengar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Tunisia. Dukungan solidaritas dan bantuan sosial pun mengalir ke Tanah Air, tak terkecuali juga dari Tunisia.

Akan tetapi, di sela-sela derasnya perhatian dan bantuan asing untuk bencana tsunami di Aceh, aku menemukan cerita miring tentang Aceh. Sebuah cerita yang berkembang kuat di sebagian kalangan masyarakat Arab Tunis, bahwa Tsunami adalah azab dari Tuhan, karena masyarakat di lokasi Tsunami sudah terlanjur ‘jauh’ dari Tuhan. Kata mereka, Aceh adalah masyarakat yang jauh dari agama. Perbuatan dosa dan maksiat telah jadi trend harian warganya.

* * *
”Tuhan murka terhadap warga Indonesia di Aceh”, tutur Imen, 30 tahun, seorang wanita berprofesi guru bahasa Inggeris di Tunis.
“Mengapa Anda berkesimpulan begitu?”, tanyaku kaget plus penasaran. Kala itu, aku bertemu Imen di tengah acara pameran lukisan bertema “Mesjid-Mesjid Aceh Saat Tsunami” yang digelar di Galeri Yahia, kota Tunis. Aku kebetulan sedang bertugas sebagai penjaga stand di pameran selama sebulan penuh –September 2006- dan menampilkan 49 lukisan karya Dr Dipo Alam ini.
“Saya punya klip CD, tentang liputan yang secara khusus mengungkap kehidupan di lokasi Tsunami. Jelas sekali terungkap, bahwa masyarakat di sana, adalah mereka yang sudah lupa akan Tuhannya. Di sana adalah lokasi orang menenggak minuman keras, tempat prostitusinya marak, dan lain-lain”, tutur Imen lagi, penuh semangat. Membuatku semakin terkaget-kaget.
“Hah?! Anda yakin itu di Aceh?! Di Indonesia?!” tanyaku penuh selidik.
“Ya, saya yakin”, kata Imen.
“Wah, Anda salah kaprah dalam memahami Aceh”, tuturku spontan. “Saya yakin, film yang Anda tonton itu salah. Itu mungkin lokasi tsunami di Thailand Selatan, lokasi wisata dan banyak prostitusi. Bukan Aceh. Karena sebagai orang Indonesia, saya tahu betul, bahwa masyarakat Aceh justru dikenal sangat religius. Aceh adalah wilayah pertama di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal”, paparku lagi. Panjang lebar, biar ia tahu info yang benar.
“Itu di Indonesia..! Tertulis kok, di keterangan film itu, bahwa ini terjadi di Indonesia”, kata dia lagi. Agak ngotot. Maklum, orang Arab umumnya punya PD yang tinggi. Agak sulit untuk mengaku salah.
“Oya?!”, keningku terasa berkerut. Aku curiga, sepertinya ada yang salah dalam film itu. Ataukah ada penyimpangan info?! Penggiringan opini publik misalnya, untuk mendiskreditkan Indonesia?! Bukan tidak mungkin.
“Begini Bu Imen”, tuturku lagi. “Anda ingat ngga, siapa pembuat film itu. Apa bahasa pengantar film itu”.
Imen merenung sebentar, lalu berbicara lagi. “Film itu berbahasa Arab. Pembuat dan pengedarnya orang Saudi”.
“Orang Saudi?! Rumah produksinya juga di Saudi?!” tanyaku.
“Ya, Saudi. Aku ingat betul, itu semuanya Saudi”, kata Imen. Aku kemudian mengangguk-angguk. Jika benar pengakuan Imen –bahwa film itu produksi Saudi yang menuduh Aceh sebagai lokasi maksiat dan karena itu pantas diazab oleh Tuhan- tentu orang Saudi pengedar film itu punya maksud yang tidak baik terhadap Indonesia.

* * *
Imen ternyata tak sendiri. Banyak sekali orang Tunisia yang menuturkan hal serupa. Bahwa tsunami Aceh adalah azab Tuhan, balasan bagi masyarakat yang durhaka kepada Tuhannya. Beberapa rekan mahasiswa lain yang bertugas menjaga stand, mengaku sering mendengar komentar miring tentang Aceh dari para pengunjung pameran. Dan rata-rata orang Tunis itu mengaku, sumber infonya sama ; pemberitaan di CD itu.

Tentu saja, aku dan para rekan selalu berusaha menepis semua info itu. Bahwa yang dimaksud lokasi maksiat dalam CD itu tentu bukan Aceh, melainkan Thailad Selatan, kawasan wisata yang juga kena tsunami.

Seorang kawan mahasiswa senior malah menanggapi isi CD itu secara lebih tegas. Ia berkata begini kepada beberapa warga Tunis. “CD itu dibuat oleh Saudi. Asal Anda tau, Saudi sekarang sedang dihadapkan pada persoalan penyakit AIDS. Terutama di kota Mekah dan Jedah. Hanya saja, data itu tidak dipublikasikan oleh pemerintah”, tutur sang kawan, seraya memaparkan beberapa cerita ‘miring’ lain tentang Saudi. Kontan saja, orang-orang Tunis yang mendengar paparannya mengangguk-angguk. Bahkan beberapa diantaranya ikut menuturkan perilaku sebagian saudagar Saudi ketika berlibur di Tunis...

* * *
Terlepas dari benar tidaknya isi pemberitaan film tsunami itu, aku menemukan beberapa catatan menarik. Betapa opini publik itu sangat penting dalam rangka membentuk image orang luar. Seperti dalam kasus beredarnya film tentang konflik antara muslim dan non muslim di Poso, Sulawesi, beberapa tahun lalu. Film dokumenternya ternyata beredar luas di kalangan orang Mesir. Aku juga pernah menyaksikannya saat masih di Kairo. Film buatan orang Arab, yang menyajikan gambar-gambar mayat orang Islam, korban pembantaian kaum non muslim. Data-data yang ditampilkan serta isi kalimat pengantarnya diatur sedemikian rupa, agar para penonton film itu sampai pada kesimpulan, betapa muslim Indonesia adalah muslim yang lemah; jumlahnya besar, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Terlebih dalam film itu, kalimat “aina antum ayyuhal muslimun” dimanakah kalian wahai umat Islam, sangat sering diulang-ulang.

Aku semakin yakin dengan ucapan orang bahwa siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai opini dunia. Dan jika opini itu sudah berkembang kuat, akan sulit menepisnya. Seperti yang kualami kala menghadapi image negatif sebagian orang Tunis tentang Aceh, di arena pameran lukisan ini.

Tragedi bencana merupakan salah satu bentuk teguran dari Tuhan. Seperti yang dituturkan Ebiet G Ade dalam salah satu syair lagunya. “Mungkin Tuhan mulai bosan, meihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga, dengan dosa-dosa”. Bencana diturunkan Tuhan kepada kaum pendosa, agar mereka sadar – juga sebagaimana kata Ebiet - adalah Dia di atas segalanya.

Ketika tragedi itu ditimpakan kepada masyarakat yang beriman, itu juga tetap harus kita fahami sebagai teguran, atau setidaknya ujian. Karena bisa jadi ia menjadi teguran atas kelalaian kita dalam menasehati saudara kita yang terus asyik dengan kenikmatan dosa. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Surat Al Anfal ayat 25, bahwa bencana (fitnah) takkan hanya ditimpakan kepada orang-orang yang dzalim saja, tetapi juga kepada kaum beriman... Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 20 September 2006

Tunis Salat

Betapa Nikmatnya Salat di Tunis



Di belakangku, ada mesjid Tunis, dengan menaranya yang khas

“Sudah enam tahun saya menyewakan rumah kepada para mahasiswa Indonesia. Selama itu pula saya menyaksikan betapa mereka adalah muslim yang baik. Mereka salat, mereka puasa, mereka tidak suka minum, dan sering saya dengar ada bacaan Alquran dari rumah mereka. Jauh berbeda dengan kita-kita, muslim Tunisia”, tutur Salim al Jalasi, lelaki gendut berusia 70 tahun. Lima orang lelaki separuh baya yang duduk di depannya melongo. Tatapan mereka menyiratkan kekagetan. Sedangkan seorang anak muda bertubuh krempeng yang duduk di sebelah Salim nampak tersipu-sipu.

Oya?! Benarkah?! Kok bisa?! Kau tak berbohong?! Betulkah demikian?! Rentetan pertanyaan terdengar dari mulut kelima lelaki itu. Pandangan mereka mengarah ke anak muda krempeng yang saat itu semakin tersipu-sipu. Mukanya memerah. Salim semakin semangat berbicara.

“Kamu lihat, orang-orang Arab Teluk yang datang ke Tunis. Di Tunis, mereka menanggalkan sorbannya. Bahkan menanggalkan agamanya. Mereka datang ke sini untuk bersenang-senang, mencari kebebasan. Mereka ke sini mencari perempuan. Mereka ikut orang-orang Tunis ; malas untuk salat. Tetapi anak-anak Indonesia ini tidak begitu. Mereka rajin belajar, dan juga tetap konsis dengan agamanya”, tutur Salim lagi. Membuat kelima pendengarnya semakin berdecak kagum.

Bahkan salah seorang dari kelima lelaki itu beranjak dari tempat duduknya. Menggeser kursinya hingga bersebelahan dengan si anak muda.

“Benarkah kamu salat?!”tanya dia. Tatapannya tajam, penasaran.
“Insya Allah, Pak”, jawab anak muda itu. Entah mantap, entah juga so’ mantap. Membuat si penanya tertegun. Lalu ia kembali bertanya,“terus, di Tunis, kamu belajar dimana?!”
“Saya belajar di Fakultas Syariah, Pak..”
“Fakultas Syariah?! Jadi, kamu belajar Syariah..?! Kamu belajar saja, atau juga mempraktekkannya?!”
“Saya belajar, lalu mempraktekkan sebisa saya. Saya salat, saya puasa dan seterusnya”, tutur anak muda itu tenang. Si penanya mengernyitkan dahinya.
“Bagaimana dengan orang-orang di negerimu?! Apakah mereka belajar syariat juga?!”
“Ya, Pak, mereka belajar syariat juga”.
“Syariat yang mana?! Syariat Nabi Muhammadkah?! Atau ada syariat lain yang berkembang di negerimu?!”
“Tentu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Pak. Berdasarkan Alquran dan hadis”
“Subhanallah”, tutur lelaki itu, sambil menepuk-nepuk bahu si anak muda. “Robbi Ma’ak”, lanjutnya. Kalimat basa-basi orang Tunis, untuk mendoakan lawan bicara. Makna harfiahnya, semoga Tuhan selalu bersamamu.


* * *
Itulah sepotong pembicaraan yang terjadi di Ben Arus, tepian kota Tunis, awal bulan lalu. Salim al Jalasi adalah warga Tunisia yang menjadi bapak kost para mahasiswa Indonesia di kota Tunis. Kelima lelaki separuh baya itu adalah warga Ben Arus. Sedangkan anak muda krempeng itu adalah aku sendiri.

Di Tunis, isi pembicaraan seperti tadi bukanlah hal aneh. Orang Tunisia kebanyakan, sering kaget atau terkagum-kagum jika bertemu orang asing non Tunis yang mengaku rajin menjalankan perintah agama.

Jika ada warga asing yang mengaku muslim di depan orang Tunis, si orang asing itu biasanya akan ditanya, “apakah kamu salat?!”. Sebuah pertanyaan yang terdengar ganjil di telinga. Muslim kok ditanya begitu. Seolah ada pengklasifikasian ; muslim salat dan muslim yang tak salat.

Jika pertanyaan itu dijawab “iya”, orang Tunis sering terkagum-kagum. Menggeleng-gelengkan kepala. Seolah salat itu benar-benar hal yang istimewa banget, hingga bisa dijadikan standar kesalehan tingkat tinggi.


* * *
Selama September ini ada pameran lukisan Indonesia di kota Tunis. Setiap hari, para mahasiswa Indonesia – termasuk aku - bertugas menjaga stand secara bergiliran. Lokasinya di Palmarium Mall, di jantung kota Tunis. Saat dzuhur tiba, kami biasa salat di sudut ruangan itu secara bergiliran. Beralaskan koran sebagai sajadah.

Mall itu tak memiliki mushalla. Di Tunis memang begitu. Jangankan mall, terminal bis atau stasiun kereta, kampus-kampus atau sekolahan pun tak memiliki mushalla.

Beberapa orang Tunis para panitia pameran, terkaget-kaget ketika para petugas dari Indonesia selalu salat ketika waktu dzuhur tiba. Mereka menanyaiku, juga rekan-rekan lain, mengapa kalian salat. “Karena salat adalah perintah Allah”, jawab kami lurus.

Sewaktu aku balik bertanya, “apakah kalian salat?!” Orang-orang itu menjawab, ”Kami muslim, tapi kami tidak salat”. Jawaban yang jujur, apa adanya, dan tanpa rasa ragu atau malu sedikit pun. Jawaban yang akan kita dengar dari kebanyakan orang Tunis, kala ditanya, apakah kamu salat?!

Diantara orang Tunis panitia pameran, ada seorang yang mengaku terharu kala melihat muslim Indonesia salat di atas hamparan koran. Di salah satu sudut mall yang tak memiliki mushalla. “Selama saya bekerja di sini, saya baru lihat ada orang salat di mall ini. Itupun orang asing”, tutur lelaki berusia 50 tahun itu.
“Oya?! Lalu, kenapa kamu tak salat seperti kami?!”, tanya seorang rekan.
“Mmm...Insya Allah, Insya Allah. Saya akan salat. Tahun ini. Ya, tahun ini saya akan salat”, tutur dia sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah hatinya, apakah ikut mengangguk-anggu juga?! Semoga Allah mencurahklan hidayah kepadanya.


* * *
Sebenarnya, muslim Tunis sangat bangga dengan agamanya. Fanatisme beragamanya tinggi. Jika diajak bicara soal Islam, semangatnya bukan main. Dalam obrolan-obrolan ringan, tak segan-segan mereka mencaci maki Israel dan Amerika, sebagai negeri yang selalu memusuhi Islam. Ketika ada turis-turis bule melenggang di kota, tak jarang orang-orang Tunis itu mencibir, “mereka bukan muslim”, katanya. Ketika bertemu dengan orang Indonesia, kerap mereka mengaku bangga dengan Indonesia ; sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.

Akan tetapi, dalam hal praktik beragama, banyak sekali orang Tunisia yang secara sadar mengaku tidak taat. Misalnya, tidak salat atas kesadaran sendiri. Bukan karena pemahaman yang tak lazim, sebagaimana konsep orang-orang NII di Tanah Air. Bahwa saat ini kita tengah dalam fase Mekah, belum fase Medinah. Maka salat pun belum wajib.

Juga bukan karena sebuah keyakinan primitif, bahwa salat itu intinya “ingat”, atau “eling”. Maka, jika sudah bisa ingat kepada Dia Yang di Atas, maka salat tak perlu lagi. Tidak juga karena itu. Orang Tunisia yang mengaku tidak salat, semata-mata karena menganggap bahwa salat itu tidak penting.

Pemahaman ini, salah satunya karena buah dari gerakan sekulerisasi Islam yang pernah dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Borguiba, seorang sarjana hukum lulusan Perancis dan pengagum berat Kemal At Taturk, konon bersemangat menjadikan Tunisia sebagai negara sekuler, seperti Turki. Peran agama hanya dibatasi di dalam rumah ibadah. Kajian agama hanya boleh dilakukan di lembaga-lembaga Islam saja, yang jumlahnya pun tidak banyak.

Penyebab lainnya adalah faktor politik. Pemerintah sangat trauma dengan kasus pemberontakan kaum oposisi muslim militan (FIS) di Aljazair, negeri tetangga sebelah. Agar hal serupa tak terjadi di Tunisia, maka semua aktifitas umat Islam diawasi oleh pemerintah. Dalam skala sekecil apapun, termasuk soal salat itu tadi. Hingga di negeri berpenduduk hampir 100 persen muslim ini, simbol-simbol formal agama tak bisa melenggang begitu saja di ruang publik. Pemakai jilbab tak bebas bergerak. Razia jilbab masih saja terjadi, hingga hari-hari ini. Lelaki berjenggot yang rajin ke mesjid pun kerap diawasi.

Maka, iklim kehidupan keseharian seolah dibikin sedemikian rupa, agar simbol formal keagamaan sulit bergerak di muka umum. Acara-acara resmi, tak mengagendakan waktu khusus untuk salat. Acara seminar atau perkuliahan, tak segan-segan digelar antara pukul 11 hingga 16 misalnya. Nanggung banget, karena tanpa agenda istirahat untuk salat dzuhur. Akhirnya, inisiatif untuk salat, benar-benar kembali pada pribadi masing-masing.

Dalam suasana seperti ini, aku selalu berusaha memetik hikmahnya, mengambil indahnya. Saat di tanah air atau di Mesir, aku salat karena dukungan lingkungan keluarga yang agamis, iklim pesantren serta masyarakat Kairo yang religius. Kini di Tunis, salat benar-benar muncul dari kesadaran sendiri. Mula-mula aku merasa berat dengan keadaan ini. Lama-lama, aku mulai terbiasa. Bahkan pada tahapan tertentu aku menemukan hikmah ; bahwa bermunajat kepada Tuhan di tengah lingkungan yang tidak kondusif untuk salat, ternyata membuahkan kenikmatan yang tak terlukiskan.

Meski demikian, aku selalu husnudhan kepada muslim Tunisia. Bahwa sempitnya ruang gerak untuk salat, semata-mata karena kepentingan politik penguasa yang rendah. Cueknya remaja Tunis terhadap salat, merupakan buah dari pendangkalan nilai-nilai kegamaan secara sistematik, yang terjadi selama puluhan tahun lalu.


* * *
Sebagai penutup, aku hendak menuturkan sebuah kisah yang dialami seorang kawan kala salat Subuh di mesjid. Ketika dingin pagi yang menusuk pori-pori tak pernah ia pedulikan.

Usai salat, ia dicegat oleh seorang lelaki separuh baya. Lalu lelaki itu bertanya, “Mengapa kamu rajin datang ke mesjid ini?!”
“Saya salat, Pak, perintah Tuhan”
“Oke, itu perintah Tuhan. Tetapi kalau di dalam mesjid, kamu suka ngobrol sama siapa?!”
“Tidak, Pa, saya tidak suka banyak bicara dengan orang lain. Saya hanya salat, baca wirid, lalu pulang”, tutur sang kawan. Cari aman.

Mendengar ceritanya, aku terharu. Aku memang lebih sering salat Subuh di rumah, jarang di mesjid. Tetapi rasanya aku tak rela, jika seorang kawan lain yang rajin Subuh di mesjid, dihujani pertanyaan seperti itu, dengan nada kurang bersahabat, yang nanti bisa menyurutkan niatnya untuk rajin ke mesjid.

Betapa berat ujian salat di Tunisia. Wahai Allah, betapa sulitnya Engkau ditemui di negeri mayoritas muslim ini.

“Sesungguhnya salat itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yakni, orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”; Al Baqarah 45- 46

Tunis al Khadra, 20 September 2006

Monday, September 04, 2006

Marakesh Eksotik (PM 9)

Terlena di Jami el Fina

Aku pura-pura tersenyum, padahal jantungku berdetak lebih cepat

Hari beranjak gelap. Dalam keremangan senja yang temaram, aku berdiri terpaku, diantara puluhan – bahkan mungkin – ratusan ribu manusia yang kebanyakan berbaju putih. Di tengah ragam suara teriakan, hingar bingar musik, serta terompet yang ditiup lelaki-lelaki tua berjubah lebar.

Seorang lelaki separuh baya berbadan tegap, berambut gondrong sepinggang, berdiri di tengah kerumunan ratusan manusia. Lelaki itu telanjang dada, hanya memakai celana panjang hitam sebetis. Mulutnya tak henti bicara, sesekali tertawa terbahak. Tiba-tiba salah seorang asistennya membawa kompor kecil yang menyala, menghampiri lelaki tegap itu. Rambut panjangnya disentuhkan ke api. Juga kemudian telapak tangannya. Tapi tak mempan dibakar, bahkan tak ada tanda-tanda kepanasan atau tangannya terbakar. Tawanya malah semakin kencang, seolah tak ada apa-apa. Spontan, para penonton pun bersorak.

Tak jauh dari kerumunan si tukang akrobat itu, ratusan orang lainnya membentuk lingkaran baru. Rupanya, ada permainan monyet menari-nari, diiringi musik sederhana. Serupa doger monyet di tanah air. Di sebelah rombongan doger monyet, ada tujuh lelaki yang berdiri berbaris. Diatas pundak mereka, ada lima orang lain yang berdiri. Diatas pundak lima orang itu, ada tiga orang lainnya yang juga berdiri. Kren juga Cheers Leader kampung ini, tuturku. Ratusan penonton juga berdiri di seputar mereka.

Sorak sorai dan teriakan pujian penonton, terdengar hingar bingar. Bersahutan dengan terompet para pemain musik rebana tradisional, yang juga ikut beratraksi senja itu. Grup musik yang dimainkan oleh sekitar 7 pemain, menggunakan tamtam (kendang kecil), kecrek serta terompet. Seorang vokalis asyik menyanyi, berdampingan dengan sang penari yang berjingkrak-jingkrak. Orang setempat menyebutnya dengan musik Isyawa, atau kadang juga musik Gnewa.

Pelataran luas Sahah Jami el Fina di jantung kota Marakesh seolah tak pernah sepi dari ragam atraksi budaya tradisi. Selain aneka akrobat dan musik seperti tadi, juga ada pertunjukan bela diri tradisional, permainan memancing botol, tukang obat yang membawa ular cobra besar, stand-stand tukang ramal, juga ibu-ibu tua pemasang hena, tato khas Arab. Di tepian lapangan, ratusan warung tenda penjual aneka makanan dan minuman berderet rapi. Kepulan asap tukang daging bakar, mewarnai pemandangan senja itu, beserta kerlap kerlip lampu hias dan kembang api.

Tak terasa, emosiku terhanyut bersama keindahan dan eksotisme senja itu. Senja yang indah di pelataran Jami el Fina, alun-alun sebuah kota di negeri penghujung barat Afrika. Di pedalaman Maroko, pada jarak 321 km selatan Rabat.

Menara Tua
Tak lengkap rasanya, pergi ke Maroko tanpa singgah di Marakesh, kota yang masih dikenal karena ilmu hitamnya. Tukang sihir, tukang sulap, tukang ular, tukang ramal dan aneka perdukunan lain, konon masih marak di kawasan ini. Marakesh juga populer karena kekayaan budaya tradisinya. Kesenian suku Barbar dan aneka atraksi kaum primitif di Gurun Sahara. Dan di pelataran el Fina inilah, semua warisan kuno itu beraksi. Bahkan dilestarikan oleh pemerintah, sebagai salah satu daya tarik wisata.

Sahah Jami el Fina berlokasi tak jauh dari stasiun Marakesh. Hanya terpaut jarak 1,5 km. Jika hendak jalan kaki dari stasiun, kita hanya menelusuri Jalan Raya Hassan II yang lebar, dirindangi pepohonan tinggi serta deretan gedung-gedung megah, pusat belanja dan hotel. Tentu, semua gedung itu hanya memiliki satu warna ; merah....!

Sebuah menara berwarna usang menjulang tinggi, di tengah alun-alun ramai, menandai lokasi Sahah Jami el Fina. Dari kejauhan, menara mesjid tua ini nampak kelihatan tegar dan angkuh. Seangkuh peradaban yang mewariskannya. Itulah menara Kutubia, mesjid tua yang menjadi landmark Marakesh. Dan pelataran el Fina, terletak berseberangan jalan dengan menara ini.

Sahabat Ular Cobra
Senin (31/7) sekitar pukul 13.15, aku tiba di Sahah Jami el Fina. Pelataran seluas kira-kira dua kali lapangan bola itu, sudah ramai pengunjung. Meski belum padat. Kios-kios makanannya pun belum dibuka. Ribuan orang hilir mudik, banyak diantaranya turis-turis bule. Di sebelah kanan gerbang masuk, ada taman yang rindang karena pepohonan yang tinggi. Cocok untuk lokasi duduk santai melepas lelah.

Aku berjalan pelan bersama Ikbal, seorang rekan dari Tunis. Menuju tengah lapangan berlandaskan aspal itu. Aku menghampiri sebuah tenda yang dikerumuni ratusan orang. Tiba-tiba, seorang pria muda Arab berjubah lusuh menghampiriku. Di tangannya, tiga ekor ular cobra bergelantungan. Melingkari tubuh lelaki itu. Aku kaget. Astaga, ini beneran ular nich?! Aku agak menjauh. Tetapi lelaki itu memanggilku. “Kamu mau foto dengan ular?! Ayo kesini, tak usah takut”.

Darahku terkesiap. Aku takut dan ngeri jika melihat ular. Aku mau mendekat, tetapi ragu. “Tak usah takut. Ular ini jinak kok”, tutur lelaki Arab itu lagi. Akhirnya, rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Kuhampiri lelaki itu. Sang kawan yang memegang kamera telah siap-siap memotret.

Lelaki itu langsung mengalungkan ular-ularnya ke leherku. Kepala ular yang besar, dengan santai menelusuri lenganku. Kulitnya yang licin terasa menyisir leherku. Ih, terasa gimanaaaa..gitu. Licin-licin geli, hehe.. Mataku terus memelototi ular-ular itu, khawatir tiba-tiba berlaku nakal. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sang kawan yang memegang kamera, malah nyengir sambil tertawa-tawa. Jepret, jepret, tiga kali kamera mengarah ke wajahku.

“Tuh, khan, ularnya jinak”, kata si lelaki tukang ular. Aku mengangguk-angguk. Tangan kananku mengelus-elus punggung ular terbesar. Pura-pura tak takut, sekaligus untuk melatih nyaliku.

Ketika urusan foto memoto selesai, aku beranjak pergi. Tetapi si tukang ular itu spontan memegang tanganku. “Hey, bayar dulu”. Aku pura-pura tak tahu. “Kok bayar?! Khan tadi kamu yang ajak?!”, tuturku sok serius, padahal sambil menahan senyum. “Kamu harus bayar, dua ratus dirham”, kata dia tegas. (200 dirham = 25 Dolar AS).

Aku ngotot, pura-pura tak mau bayar. Aku bicara dengan bahasa Arab Tunis, yang insya Allah tak terlalu beda dengan bahasa Maroko. Aku tahu bahwa memang harus bayar. Tetapi aku tak menyangka bayarannya sebesar itu.

Dua orang kawan si tukang ular datang mendekat. Tampangnya tidak bersahabat. Mereka bertiga mengelilingiku. Ular-ular cobra itu kembali dikalungkan ke leherku. “Jika kamu tak mau bayar, ular-ular ini akan mematokmu”, bisik si lelaki tadi. Ia berlagak mengancam, tetapi tak mau ketahuan oleh para penonton lain.

Lama-lama, aku merasa kaget juga. Gimana jadinya jika lenganku kena patuk ular-ular itu. Lalu aku merasa sakit, dan tak bisa pulang ke Rabat....

“Oke aku bayar, tapi tak sampai 200 dirham. Itu kemahalan”, rayuku. “Tak bisa, kamu harus tetap bayar 200 dirham. Kalo tidak, awas saja, ini ular akan kusuruh mematukmu”, timpal si lelaki itu sambil melotot.

Aduh, aku semakin bingung. Kawanku yang pegang kamera, malah nyengir dari kejauhan. “Ya khuya, saya ini muslim, sekarang sedang belajar agama di Rabat. Saya tak punya uang”, pintaku memelas. Hatiku berdoa, semoga ular itu tak mematukku.

Si lelaki itu bicara dengan dua rekannya. Entah ngomong apa. Tiba-tiba, salah seorang diantara mereka menjerit kaget. Rupanya, salah satu ekor ular itu, mematuk jemarinya. “Nah, rasain lu. Itu balasan bagi para teroris, tukang teror orang...”, gumam hatiku. Sambil hatiku merasa kaget plus bersyukur kepada Allah, kok malahan dia yang kena patuk ular. Kulihat darah bercucuran dari jemari lelaki berkumis itu. Rekannya yang satu lagi, membantunya memijit jemari yang kena gigitan ular.

Tetapi rupanya, patukan ular itu dijadikan alasan oleh si tukang ular sialan itu. “Hey, ayo bayar. Itu kawanku sudah kena gigitan ular. Kamu harus bayar”.

Aku terus menawar. “Oke aku bayar, tapi tak 200 dirham”
“Berapa kamu punya?!”

Aku merogoh saku celana. Ya Allah, semoga uang yang ketarik keatas bukan yang seratusan dirham, tetapi yang dua puluhan. Dan alhamdulillah, dua lembar dua puluhan dirham bisa kutarik keluar. Kuserahkan langsung pada lelaki itu.

“Ini tak cukup...! Masa Cuma 40...!”
“Tak ada lagi, kawan. Saya mahasiswa, bukan turis beneran. Tak punya uang banyak”.
“Saya tak percaya kamu tak punya uang. Buktinya kamu bisa jalan-jalan ke Marakesh..!”
“Jika aku punya uang, aku takkan piknik ke sini..!”, timpalku tak mau kalah. Kali ini kuberanikan bicara dengan nada agak tinggi. Biar orang-orang pada dengar. Mata juga kupelototkan. Siapa tahu si tukang ular itu menyangka aku tetangganya Jacky Chan. Siapa tahu si tukang ular ini seperti orang Tunisia sana ; pengagum berat Jacky Chan, lalu menyangka setiap orang Asia pantas ditakuti karena pandai ilmu bela diri seperti Jacky Chan.

Si tukang ular itu terdiam. Rekanku yang berdiri di sana masih saja menahan tawa. “Ini ada juga receh, lumayan buat tambahan”, tuturku dengan nada agak pelan. “Ya sudah, tak apa receh juga. Terserah dech, adanya berapa” si tukang ular itu akhirnya mengalah.

Aku keluarkan beberapa koin dirham. Ada sekitar 8 hingga 10 dirham. Lalu, setelah uang itu berpindah tangan, ular pun terlepas dari pundakku. Alhamdulillah. Aku lepas dari gigitan ular, selamat dari pemerasan preman kampung di kota Marakesh. Tetapi, licinnya kulit ular yang melingkar-lingkar di leher dan lenganku, masih terasa hingga saat ini.

Pasar Tua
Di belakang pelataran el Fina itu, ada komplek pasar tua dan mesjid-mesjid kuno yang memiliki nilai sejarah. Pasar tua yang sangat luas. Melebihi luasnya Pasar Tua Oudaya di kota Rabat, Khan Khalili di Old Cairo, bahkan Pasar Tua Medina, Tunis.

Tetapi barang jualannya sama saja. Ada pakaian, perhiasan, aneka kerajinan tangan, sabuk dan tas kulit, serta rumah makan. Lokasinya berupa pertokoan diantara jalan-jalan sempit yang berkelok-kelok. Yang menarik, seluruh bangunan tua di dalam komplek pasar itu berwarna merah. Merah-merah usang dan agak kumuh. Lebih usang dari bangunan pasar-pasar tua di kota yang kusebutkan tadi.

Selama menelusuri pasar tua itu, aku menemukan beberapa pengalaman menarik. Kisah yang sangat mengesankan, ketika aku mampir di sebuah madrasah Alquran yang sangat tradisional, lalu bertemu orang Maroko yang fanatik madzhab. Satu lagi, di mesjid tua itu ternyata ada televisi. Disediakan pemerintah, agar para kyainya gaul dan tak ketinggalan zaman. Kisah selengkapnya bisa Anda ikuti dalam tulisan Marakesh Alquran. Klik saja itu di Menu Utama.

Warung Tenda
Usai berjalan-jalan menelusuri pasar tradisional itu, aku kembali ke pelataran el Fina. Beberapa saat sebelum maghrib. Aku melihat keramaian orang beratraksi di tengah lautan manusia. Seperti yang kututurkan pada pembuka tulisan.

Sebuah pesta rakyat harian yang sulit dicari bandingannya. Sejak meninggalkan tanah air di penghujung 2001, rasanya baru sekarang aku menyaksikan lautan manusia sebanyak ini. Kecuali saat berhaji di Tanah Suci, pada tahun 2003 lalu.

Menjelang senja, warung-warung tenda di tepian lapangan itu mulai dibuka. Warung penyedia makanan khas Arab Maroko. Posisi tendanya berbaris, bentuk tendanya seragam, serta para pelayannya yang berbaju putih. Setiap warung ada nomornya, juga menu makanan yang dipampang. Hitungan kasarku, ada sekitar 100 warung. Belum termasuk deretan tenda penjual ashir (jus) jeruk di pojok kiri lapangan.

Aku duduk di salah satu bangku di sebuah warung yang masih lengang. Hanya ada satu-dua orang turis bule. Aku duduk santai melepas lelah, melenturkan tubuh yang terasa pegal.

Seorang pelayan menghampiriku. Anak muda dari tepian Marakesh, yang mengaku bernama Ibrahim. Ia menawarkan menu makanan yang beragam. Ada kebab (daging bakar), ikan bakar, daging kambing, kepala sapi, juga beragam macam sandwich. Semuanya disajikan dengan khas Arab Maroko. Setiap menu disertai sepiring buah zaitun dan salad. Harganya juga murah. Dua porsi menu kepala sapi, plus minuman bergas hanya dihargai 30 Dirham. Sekitar 30 ribu rupiah, atau 4 Dinar Tunis. Menurut Ibrahim, harga-harga makanan dan minuman di kawaan wisata Jami el Fina ini memang diseragamkan oleh pemerintah.

Ibrahim juga bertutur bahwa keramaian pelataran el Fina tak pernah berhenti sepanjang waktu. “Kecuali pada hari raya”, tuturnya. Pada musim panas begini, orang-orang begadang hingga menjelang Subuh.


Warung-warung makanan Marakesh, solusi bagi para pemanja perut..

Selamat Tinggal MarakeshAku menikmati sajian di warung tenda itu dengan lahap. Maklum, lapar banget, usai kecapean. Iringan musik tradisi, derai tawa, tepuk tangan dan sorak sorai manusia yang tengah terlena, menjadi pengiring makan malamku. Pengiring makan malam yang sangat mengesankan, melenakan dan tak mungkin terlupakan. Di Sahah Jami el Fina, di jantung kota Marakesh.

Pukul 20.30, aku beranjak meninggalkan warung Ibrahim. Berjalan pelan, menembus lautan manusia, menuju jalan raya di seberang sana. Aku harus segera ke stasiun, agar tak ketinggalan kereta. Pukul 21.00 kereta malam menuju Rabat akan segera berangkat.

Aku berjalan melewati kerumunan orang-orang, menembus lingkaran-lingkaran si tukang akrobat, tukang sulap, para penari dan rombongan pemusik. Tak peduli suasana bising dan suara-suara yang memekakkan telinga. Karena aku malah menikmati semua itu. Karena di sanalah aku menemukan sekeping keindahan.

Terasa agak berat kaki ini melangkah. Bukan karena cape, pegal atau lelah. Bukan, bukan itu. Keterpesonaanku yang mendalam membuatku merasa enggan beranjak dari tempat ini. Serasa ada sesal dalam sanubari ; mengapa begitu cepat waktu berlalu?! Mengapa..., mengapa?! Mengapa aku bersusah-susah menemui Marakesh, menempuh perjalanan kereta 4 jam, jika kemudian secepat ini aku pergi meninggalkannya, berpisah dengannya.

Setibanya di jalan raya, sesaat sebelum membuka pintu taksi, aku menengokkan kepalaku ke belakang. Ke arah lapangan Jami el Fina yang eksotik. Dalam keremangan, hingar bingar dan kerlap kerlip lampu, menara Kutubia itu masih saja nampak tegar... “Aku akan menemuimu kembali, suatu hari nanti, insya Allah..” Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006












Marakesh Alquran (PM8)

Anak-Anak Marakesh Membaca Alquran


Salah satu sudut kota Marakesh, dekat Pasar Tua

Senin (31/7) sore, aku berjalan menelusuri jalanan sempit di dalam komplek Pasar Tua, di belakang Sahah Jami el Fina, di kota Marakesh. Jalanan kecil yang berkelok-kelok, di tepi kiri kanannya berderet pertokoan souvenir.

Di depan sebuah mesjid tua aku menghentikan langkah, karena telingaku menangkap suara-suara lucu ; bacaan Alquran – surat ad Dhuha - yang diteriakkan secara serempak oleh anak-anak kecil dari dalam mesjid.

Aku jadi ingat pengalaman silamku, kala mengajar TPA di Ciputat, selama rentang 1999-2001. Mengasuh anak-anak manis membaca Alquran.

Terdorong rasa penasaran, aku melangkahkan kaki, belok kanan memasuki gerbang mesjid. Mesjid tua, kokoh, dan bagian dalamnya nampak sedang dipugar. Di sebelah kiri pintu mesjid, ada pintu lain menuju ruangan kecil. Ternyata, dari ruangan itulah suara anak-anak mengaji itu berasal.

Dari pintu itu, aku mengintip ke dalam. Nampak belasan anak usia SD sedang duduk melingkar. Tangan-tangan mungil mereka memegang papan kayu persegi seukuran kira-kira 20x10 cm. Di papan itu, ada tulisan huruf Arab. “Ya Allah, sederhana sekali alat tulis mereka”, gumam hatiku. Serupa sabak, papan tulis kayu yang sering diceritakan kakekku dulu saat sekolah, di masa penjajahan Belanda.

Di Tanah Sunda, sabak hanya tinggal cerita. Tetapi di kota pedalaman Maroko ini, sabak ternyata masih ada. Digunakan oleh anak-anak kecil yang belajar agama di Madrasah Quran di kota pada jarak 321 km selatan Rabat ini. Mereka belajar di ruangan kecil di pojok kiri mesjid. Ruangan khusus belajar, yang biasa dinamakan ruwwaq. Mesjid-mesjid tua di Tanah Arab, rata-rata memiliki ruwaq, sebagai lokasi pengajian agama. Pengajian itu masih berlanjut hingga saat ini. Seperti yang kusaksikan – bahkan kuikuti - di ruwaq-ruwaq Mesjid Al Azhar Kairo dan di Mesjid Zitouna Tunis.

Kini, aku menyaksikan anak-anak lucu itu belajar Alquran di ruwwaq sebuah mesjid tua di Marakesh. Seorang lelaki tua duduk diantara anak-anak itu. Barangkali ia ustadnya, pikirku. Lelaki tua itu menatapiku dengan pandangan curiga. Aku ucapkan salam seraya melambaikan tangan. Assalamu alaikum. Anak-anak itu semua menjawab serempak , wa’alaikum salam.

“Apakah anda muslim?!” Tiba-tiba suara sapaan terdengar dari arah kananku. Ternyata, ada seorang bapak yang menghampiriku, dari dalam mesjid. “Oh, iya Tuan, saya muslim dari Indonesia”, jawabku. “Saya sedang belajar agama di kota Rabat. Saya tertarik dengan suasana madrasah Quran ini”, tuturku lagi, dengan bahasa Arab. Membuat raut muka bapak itu berubah sumringah. Lalu ia menyalamiku ramah. “Ahlan wa sahlan”, katanya. “Jika anda mau melihat ke dalam, silahkan”, kata dia lagi.

“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya di sini saja”, tuturku tanpa mengubah posisi berdiri. Aku masih asyik menatapi santri-santri cilik itu. Pakaiannya beragam, beberapa diantaranya lusuh tak rapi. Aku juga ingat anak-anak Kampung Semanggi II di Ciputat sana, yang dulu pernah kuajari baca Alquran, juga sedikit dasar-dasar pengetahuan agama. Anak-anak yang nakal, tetapi kadang lucu menggemaskan. Anak-anak yang hampir tiap hari meminta aku mendongeng usai mengaji, atau bermain sulap korek api. Tentu saat ini mereka sudah besar.

Agak lama aku berdiri, mengamati anak-anak madrasah itu. Tubuhku kusandarkan pada pintu ruwaq. Mataku menatapi mereka tak henti. Seperti tak hentinya anganku yang melayang, mengikuti emosi dan haru. Melayang-layang ke masa silamku, kala melewatkan masa kecil mengaji di surau, usai maghrib hingga isya. Lalu tidur di surau, bersama anak-anak santri lain. Agar subuh tak kesiangan ; bisa salat berjamaah, lalu kembali mengaji bersama-sama.

Pikiranku mendadak bertanya-tanya. Apakah di surauku itu masih ada anak-anak desa yang mengaji?! Apakah Mang Guru Ali – ustadku – masih tetap setia mengajar ?!

Ah, semoga saja semua itu masih ada, dan akan terus ada di negeriku tercinta. Alquran dibaca, dipelajari, oleh anak-anak usia dini. Seperti yang saat ini kusaksikan di Marakesh, kota propinsi di negeri muslim barat Afrika sana. Negeri dengan waktu tempuh 23 jam penerbangan pesawat dari Jakarta.

Madzhabku Syafii, Tuan..!
Andai rekanku tak mengingatkanku untuk segera melanjutkan perjalanan, mungkin aku masih saja berdiri depan mesjid itu. Menyaksikan anak-anak Arab itu belajar mengaji. “Perjalanan kita masih panjang. Kita belum salat dzuhur. Kita juga belum makan siang”, tutur sang kawan.

Oh, iya, pikirku, sambil kemudian beranjak pergi, kembali menelusuri pasar tua Marakesh, dalam komplek pemukiman padat dan kumuh, di sela-sela gang sempit yang berkelok-kelok. Jalanan yang sepi, kecuali sesekali nampak tuis-turis bule berjalan bergerombol.

Tak sampai 10 menitan, aku tiba di mesjid lain. Mesjid putih dengan atap biru. Temboknya tebal dan nampak kokoh. “Ini adalah mesjid Ben Yusuf”, tutur seorang wanita tua yang kutanya.

Aku berniat salat di sini. Dengan Bismillah, aku melangkahkan kaki ke mesjid. Seorang lelaki penjaga mesjid menghampiriku serta menanyaiku, “Anda muslim?!” “Ya, Pak, saya muslim. Saya mau salat di sini”, tuturku. Mendengar jawaban itu, ia pun berlalu.

Usai melewati pintu, aku tiba di pelataran dalam mesjid yang luas. Inilah gaya mesjid-mesjid tua di Tanah Arab ; di dalamnya ada pelataran luas di ruangan tanpa atap, dengan kolam kecil tempat wudlu di tengah-tengahnya. Aku pun segera bergabung dengan orang-orang Marakesh yang duduk melingkari klam kecil itu ; berwudlu bersama-sama.

Aku duduk di tepi kolam berdiameter kira-kira 3 meter itu. Aku langsung membasuh telapak tangan, membasuh muka dan seterusnya. Saat aku memercikkan air pada kedua lengan lalu kuusap-usap tiga kali, terdengar suara seseorang yang menegurku. Seorang bapak tua yang berbicara dengan bahasa Arab Maroko. Nadanya cepat.

Aku cuek saja. Wudlu kulanjutkan. Tetapi seorang lelaki lain yang lebih muda ikut bicara. Agak jelas nadanya. Bahwa wudluku salah. “Wudlu kamu tidak sah. Kok basuh lengannya begitu?!”

Oh, aku segera faham. Mereka kaget dengan gaya wudluku, yang hanya membasuh lengan tiga kali, dengan basuhan seperlunya, sekedar memercikkan air. Sebagaimana makna kalimat “mashul yadain ilal mirfaqain”, yang populer dalam kitab-kitab fikih Syafii. Tetapi, bagi orang Maroko yang bermadzhab Maliki, membasuh tangan tak cukup dengan memercikkan air saja. Melainkan harus menggosok-gosoknya tiga kali.

“Ini titik persoalannya”, pikirku. Tetapi aku tak mau berbicara panjang soal ini. Perjalananku masih panjang. Daripada buang-buang waktu, mendingan potong kompas saja. “Aku orang Indonesia. Aku ikut pendapat Syafii, Tuan”, tuturku. Mereka terdiam seraya mengangguk-angguk. Ada satu orang yang bicara kepada rekannya. Entah bicara apa, aku tak faham. Diam-diam hatiku bergumam. Ternyata mereka sangat fanatik dalam bermadzhab fikih. Hal-hal yang tidak prinsip (furu’) sekalipun, masih dipersoalkan. Sesuatu yang sebenarnya sudah sangat tak menarik dan tidak kren untuk diperdebatkan di era teknologi ini.

Ada TV dalam MesjidAku salat dzuhur berjamaah, bersama orang-orang Maroko. Para lelaki tua yang berjubah lusuh. Tetapi wajah mereka menyiratkan kesahajaan dan keramahan. Seperti orang-orang Mesir pinggiran yang pernah jadi tetanggaku dulu di desa Katamea.

Di mesjid itu, alas sembahyangnya tikar biasa. Tetapi bersih. Bukan karpet tebal dan berbulu. Ternyata, Maroko serupa dengan Tunisia. Meski mesjidnya megah, kokoh dan terkenal, tetapi alas sembahyang tetap tikar. Mungkinkah untuk menjaga orsinilitasnya?!

Usai salat, orang-orang Maroko itu berdzikir dengan suara nyaring. Bacaan tasbih, tahmid dan talil. Aku ikut menggumamkan dzikir, sambil menengok ke setiap penjuru ruangan mesjid. Nampak tertata rapi dan bersih. Tiang-tiang kokoh berderet.

Ketika pandanganku tertumpu pada dinding sebelah kanan mimbar, aku kaget bukan kepalang. Sebuah televisi seukuran kira-kira 36 inci bertengger santai di sana. Hey, TV..! Ngapain kamu ada di dalam mesjid begini?!

Sesaat aku termenung. Oh, aku ingat cerita Dedi Wahyudin, rekan mahasiswa S3 di Rabat. Bahwa Maroko sekarang ini sedang gencar melakukan konsep tajdid khitab dini. Semacam gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan yang belakangan gencar terdengar di sejumlah negara muslim. Dalam rangka menampilkan wajah Islam yang damai, toleran dan tidak kaku. Maka para kyai harus mendapat wawasan baru dari pemerintah. Agar mereka tak menyebarkan ajaran yang dinilai anarkis.

Bahwa adanya reformasi kurikulum pendidikan Islam, pengawasan dan pembinaan terhadap para kyai, itu sering kudengar ceritanya di negara-negara muslim seperti Saudi, Mesir, Tunisia dan bahkan di tanah air. Tetapi, bahwa proyek tajdid khitab dini salah satunya dilakukan dengan cara menyimpan TV dalam mesjid, itu baru kusaksikan di Maroko.

“Pemerintah memang punya program menyimpan TV di semua mesjid Maroko”, tutur Dedi. Tujuannya, agar para imam dan khatib, bisa menambah wawasan lewat acara-acara berita di TV. Agar tidak berpikiran sempit alias kuper. Agar bisa melihat ‘dunia luar’.

Oke, pikirku, itu bagus. Agar tak ada lagi kyai yang tak percaya bahwa bumi itu bulat, hehehe.. Khan kesannya ngga kren gitu lho...! Tetapi, jika ada TV dalam mesjid, bagaimana jika pada malam minggu, usai tahajud, para imam itu iseng, memutar saluran TV ke stasiun-stasiun Eropa?! Memutar film-film hot?! Atau menyetel acara musik MTV dan menyaksikan klip-klip para penari yang bergoyang ngebor?! Wah, bisa jadi berita seru, hehehe...
Tetapi, rasanya prasangkaku terlalu berlebihan. Sebuah prasangka yang tidak sopan, untuk al mukarramin para kyai di negeri para wali ini. Insya Allah, pemerintah Maroko memiliki niat yang baik di balik program penyimpanan TV di mesjid-mesjid ini. Setidaknya agar para pemuka agama itu berwawasan, agar para kyai itu bisa memperkaya pengetahuan dengan pengalaman dunia luar, kendati hanya lewat layar kaca. Sehingga dalam berkomunikasi dengan umat, mereka bisa menyampaikan pesan-pesan luhur Islam sesuai dengan proporsi dan tuntutan zamannya.

Rupanya, lewat program pengadaan TV di mesjid, pemerintah Maroko ingin membantu mewujudkan Islam rahmatan lil alamin... Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006

Friday, August 25, 2006

Tunis Agustusan

Merdeka dengan Angklung

Aku memakai baju adat Melayu, saat penampilan Angklung.

Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya kala aku melangkahkan kakiku, naik ke atas panggung. Hati berdebar-debar. Beberapa kali aku menarik nafas panjang. Aku berusaha setenang mungkin, sambil menatapi ke-16 orang rekanku yang tengah mengatur barisan.

Aku ragu bukan karena demam panggung. Selama rentang 2002-2005, lebih 30 panggung gamelan kuikuti di Mesir. Dari acara pernikahan mahasiswa hingga festival internasional. Malam ini, aku merasa keki di atas panggung, karena belum yakin timku bisa tampil oke. Nada-nada angklung yang dimainkan rekan-rekan masih sering tak kena dengan ketukan bas dari gitar pengiring.

Hingga saat gladi resik tadi siang pun, kesalahan masih terjadi. Dan jika itu terulang sekarang, aduh, betapa malunya aku. Malam ini, penampilan kami membawa nama baik negeri pertiwi. Dua ratusan penonton, adalah para pejabat diplomatik dari negara-negara sahabat. Juga para petinggi Tunisia, termasuk Menteri Agama, DR Abu Bakar al Akhzouri. Karena malam ini adalah acara resepsi diplomatik HUT RI di KBRI Tunis.

Akhirnya, aku hanya bisa berpasrah kepada Tuhan. Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada kami. Kami ingin menunjukkan salah satu sisi baik negeri kami di depan orang lain, gumam hatiku kala itu.

* * *
Aku berdiri tegak membelakangi para pemain, menghadap arah penonton. “Tiga, Empat”, ucapku pelan seraya membungkukkan badan. Diikuti oleh para pemain. Begitulah kami memberi penghormatan awal kepada para hadirin.

Lalu aku balik kanan, berhadapan dengan para pemain. Mereka, 16 orang, terdiri dari pelajar, mahasiswa dan ibu-ibu Dharma Wanita di KBRI Tunis. rekan-rekan senegeriku di perantauan.

Aku memberi kode, kedua tangan kuangkat hingga sepinggang. Dan serentak, angklung-angklung di tangan para rekan itu pun terangkat. Siap main.

Lalu aku bergeser ke pojok kanan panggung, untuk memulai lagu. “Kita bisa, jika kita yakin bisa”, ucapku setengah berbisik kepada para rekan. Untuk memberi support kepada mereka yang belum percaya diri.

Mulutku mendendangkan intro. “Mi, Re Do Mi, Sol Sol La Do Mi Do Re....”. Stick yang kupegang kuangkat tinggi. Dan ketika stick itu bergoyang, ruas-ruas bambu itu pun ikut bergoyang. Buahnya, alunan lagu Rek Ayo Rek bergema malam itu. Dari atas panggung kecil, di lapangan hijau Wisma Duta Besar RI di Tunis yang menghadap Laut Tengah. Dalam keremangan dan kerlap kerlip lampu malam.

Stick kecil di tangan, kugerakkan secara teratur. Mengikuti tempo lagu. Mulutku mendendangkan nada-nada lagu. Telinga kupasang untuk mencermati setiap nada, untuk kusesuaikan dengan irama bas yang kudengar dari belakang panggung. Agar harmoni antara bas dan melodi tetap terjaga. Sementara pandangan mataku bergerak kiri kanan, menatapi setiap pemain pemegang nada yang sedang berbunyi.

Bait demi bait berlalu. Hingga aku terlarut dalam irama lagu. Badanku bergoyang-goyang, mengikuti gerak tangan yang zig zag. Sesekali aku tersenyum, atau mengerdipkan mata. Kadang juga aku melotot, atau berbisik kepada para pemain “ senyum donk...”

Dan Alhamdulillah, lagu pertama berlalu dengan lancar. Tanpa kesalahan satu pun. Tepuk tangan penonton menggema.



Aku membaca Teks Proklamasi pada upacara HUT RI 2006, di Tunis

Aku bersiap-siap dengan lagu kedua, Ya Mustafa. Sebuah lagu Arab yang sangat populer. Lagu ini berirama cepat. Lebih cepat dari lagu Jawa Timur, Rek Ayo Rek itu.

“Lagu pertama tadi, bagus sekali. Lebih bagus dari yang dibayangkan sebelumnya. Kita bisa mengukir sukses di lagu kedua, asal tetap konsen, dan o p t i m i s..”, tuturku depan para pemain. Mereka tersenyum. Aku pun segera bersiap.

“Sol Mi Mi Mi Mi, Fa Sol Fa mi Re....”, aku mendendangkan intro awal lagu Ya Mustafa. Stick kuangkat tinggi, seperti tadi. Dan ketika stick bergoyang, irama lagu Ya Mustafa pun bergema.

Aku kembali bergoyang, terlarut dalam irama lagu. Tempo lagu yang cepat, membuat goyangan tubuhku juga terasa lebih cepat. Sementara tanganku bergerak mengatur nada, bibirku terus mendendangkan tangga nadanya. “Re Re Re Re Re, Fa Sol Fa Mi Re...” Sesuai irama teks lagunya : Ya Mustafa Ya Mustafa, Ana Bahibbak Ya Mustafa.

Dalam asyik, di tengah semilir angin laut dan jepretan kamera para penonton, hatiku juga tak diam. Ia ikut mendendangkan lagu.

“Ya Indonesia Ya Indonesia, Ana Bahibbak Ya Indonesia...”

Dirgahayu Republik Indonesia ke-61. Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 25 Agustus 2006

Filosof Maroko (PM7)

Maroko, Negeri Para Ulama

Salah satu sudut kampus Universitas Darul Hadits, Rabat

Hanya 6 hari aku berada di Maroko. Di sela-sela kesibukan acara dan jadwal perjalanan, aku berusaha untuk mengetahui banyak hal tentang Maroko, termasuk yang berkaitan dengan studi Islam.

Diantara hal terpenting yang kucatat, Maroko adalah negeri gudangnya ulama, tempat munculnya para kyai dan intelektual muslim. Sejak dulu hingga sekarang. Tradisi ilmiahnya tetap terpelihara. Karena itu, negeri kerajaan berpenduduk 35 juta jiwa ini sangat cocok untuk menjadi lokasi belajar Islam.

Negeri Para WaliMaroko kaya dengan ulama sejak zaman awal Islam. Dan karya-karya mereka tetap bisa dibaca hingga saat ini. Anda yang pernah belajar di pesantren, tentu mengenal kitab Jurumiyyah dan Dalail al Khairat. Jurumiyah, kitab ilmu tata bahasa Arab (Nahwu) ditulis oleh Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin Muhammad bin Daud as-Shonhaji, atau yang dikenal dengan Ibnu al Jurrumy. Beliau adalah orang Maroko, wafat tahun 723 H. Makamnya di kota Fes, saat ini menjadi salah satu lokasi wisata ziarah yang sangat terkenal. Sedangkan Dalail al Khairat, yang juga sangat terkenal di kalangan pesantren di Tanah Air karena sering dijadikan aurod oleh para kyai dan santri kita, juga ditulis oleh orang Maroko. Yakni Syeh Aby Abdulloh Muhammad Bin Sulaeman al- Jazuly, yang wafat tahun 870 H dan dimakamkan di Marakesh, 321 km selatan Rabat.

Anda yang menekuni tarekat sufi, mungkin pernah mendengar tarekat Tijaniyah. Ulama pendiri tarekat ini adalah Syeh Abal Abbas Ahmad at-Tijani, ulama Maroko yang wafat dan dimakamkan juga di kota Fes.

Dalam bidang ilmu Fiqh, Maroko pernah memiliki ulama besar bernama Ibnu al Arabi. Nama lengkapnya Qodi Abu Bakar Muhammad bin Abdulloh bin Muhammad al-Ma'afiri, yang wafat tahun 544. Beliau adalah ahli fiqih terkemuka pada zamannya, yang terkenal dengan kitabnya Ahkam al Quran. Saat ini, kitab Ahkam al Quran menjadi salah satu rujukan terpenting para mahasiswa pengkaji Ulumul Quran dan Fiqh.

Juga ada Imam as-Sholih Abu Zaid bin Abdurrahman bin Ali bin Sholih al-Makudy atau yang dikenal dengan Imam al-Makudy, pengarang kitab al-Makudy, syarah dari Khasiyah Ibnu Hamdun. Beliaulah ulama pertama yang menulis syarah kitab Alfiyah-nya Ibnu Malik.

Masih banyak ulama lain yang pernah lahir dan dibesarkan di Maroko. Diantaranya ada Qodi ‘Iyadh , wafat tahun 544 H, juga Ibnu Batutah, pengembara terkenal itu. Mereka semua orang Maroko.

Negeri Para Filosof
Di era modern sekarang, Maroko terkenal dalam pentas pemikiran Islam karena memiliki sederet ahli filsafat, juga pemikir modern lainnya. Anda mungkin pernah mendengar nama Abed al Jabiri, Abdullah al Urwi, Thaha Abdurahman dan tokoh feminisme, Fatima Mernisi. Mereka semua adalah para ilmuwan Maroko terkemuka yang buku-bukunya menjadi rujukan penting saat ini. Keberadaan mereka membuat posisi Maroko tak bisa diabaikan dalam kancah dinamika pemikiran Islam modern.

Dedi Wahyudin, seorang rekan akrab, kandidat doktor jurusan Sejarah dan Peradaban Timur di Universitas Abdel Malek Sakdi, Tetouan, menuturkan bahwa dinamika pemikiran filsafat Maroko dimulai pada dekade 50an. Ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V, Rabat. Adalah Dr. Muhammad Aziz al Habbabi, yang menjabat sebagai Dekan fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Muhammad V saat itu, dinilai sebagai tokoh penting yang menanam benih pemikiran filsafat di Maroko.

Buah pemikiran para filosof Maroko, terutama yang berkaitan pola hubungan ideal antara umat Islam saat ini dengan tradisi (turats), merupakan salah satu bahan polemik menarik di kalangan para pemikir muslim. Untuk menggapai kemajuan yang diidamkan, apakah umat Islam harus berpegang pada turats, ataukah harus mengabaikan turats sama sekali ?!

Abdullah al Urwi, seorang pemikir terkemuka Maroko mengatakan bahwa Dunia Arab terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu. Hingga menghalanginya melompat ke masa depan. Maka, jika Dunia Arab dan Islam mau maju, al Urwi meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi. Lalu, modernitas menjadi keniscayaan. Dan modernitas tidak bisa dicapai kecuali dengan melakukan revolusi kebudayaan. Maka al Urwi mengusulkan konsep nalar (mafhum al aql), konsep kemerdekaan (mafhum al hurriya), konsep ideologi, konsep negara (mafhum ad daulah), dan konsep sejarah (mafhum at tarikh).

Sementara itu, Abid al Jabiri melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ unsur-unsur tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Konsepnya ini tertuang dalam proyek pemikiran yang terkenal dengan sebutan Kritik Nalar Arab.

Al Jabiri adalah sosok yang sudah tak asing di kalangan intelektual Islam di Indonesia. Di kalangan NU, ada seorang pemikir muda yang secara serius menekuni pemikiran Al Jabiri. Dialah Ahmad Baso. Sewaktu masih di Ciputat, aku sering melihat Baso berbicara tentang pemikiran Al Jabiri. Baik dalam sesi-sesi diskusi mingguan di Piramida Circle, atau di acara-acara seminar biasa.

Saat ini, Al Jabiri dianggap sebagai guru filsafat Maroko kontemporer. Buah pemikirannya dapat dibaca melalui buku-bukunya : Madkhal li Falsafat al Ulum (1976), Nahnu Wa Turats (1980), al Khitab al Arabi al Muashir (1982), Isykaliyat al Fikr al Arabi al Muashir (1989), Qadlaya fi al Fikr al Arabi al Muashir (1997), al Mas’alah ats Tsaqafiyah (1994), ad Dimuqrathiyyah wa Huquq al Insan (1994), Mas’alat al Huwiyyah (1995), ad Din wa ad Daulah (1996), serta Ruba’iyat Naqd al Aql al Arabi (Takwin al Aql al Arabi, Bunyah al Aql al Arabi, al Aql as Siyasi al Arabi dan al Aql al Akhlaqi al Arabi).
Masih dalam polemik seputar tradisi (turats), Ali Omlel, pemikir filsafat Maroko lainnya yang terkenal karena bukunya as Sultah as Siyasiyah wa as Sultah ats Tsaqafiyah (1996) mengusulkan keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya, dalam rangka menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda.

Satu lagi pemikir Maroko yang bicara soal turats, yakni Thaha Abdurahman. Sikapnya berbeda dengan Omlel dan al Urwi. Thaha mengkritik modernitas dan membela dua displin keilmuan Islam yang sering dikambinghitamkan sebagai biang kemunduran umat, yakni Ilmu Kalam dan Tasawuf. Thaha melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam Ilmu Kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Menurut Thaha, umat Islam bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan dari filsafat hingga teknologi), dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama. Menurut Dedi, Thaha Abdurahman sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para filosof Maroko saat ini.

Belajar S3 ke Maroko
Masih banyak intelektual Maroko lainnya yang belum kusebut. Dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Aku sendiri, yang selama ini sedang berusaha menekuni ilmu Ushul Fiqh, mengenal beberapa nama ilmuwan Maroko seperti Alal al Fasi, yang terkenal karena bukunya Maqasid as Syariah al Islamiyyah wa Makarimuha. Juga nama Ahmed Raisuni, Guru Besar Ushul Fiqh di Universitas Muhammad V, Rabat, yang karya-karnya banyak kubaca di Tunis, dan bahkan dulu di Mesir.

Dalam beberapa kali pembicaraan dengan rekan-rekan di Maroko, aku sempat menjajaki kemungkinan melanjutkan S3 ke sana. Aku sempat mencatat beberapa nama profesor bidang ilmu Syariah dan Ushul Fiqh di Maroko yang mungkin bisa diminta untuk menjadi promotor disertasi. "Coba saja dulu. Insya Allah profesor-profesor di Maroko selalu ramah dan kooperatif terhadap mahasiswa asing", tutur Dedi meyakinkanku. “Insya Allah, ustad”, tuturku pelan. Tetapi menyiratkan keinginan yang tinggi, untuk belajar Islam di negeri muslim tetangga Spanyol ini. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 25 Agustus 2006

Wednesday, August 23, 2006

Tunis Tunangan

Bergoyang di Malam Rajaban


Para penari cilik tak lelah bergoyang, di Malam Rajaban

Ahad (20/8) siang, selepas adzan zuhur, tiba-tiba musik Arab terdengar mengelegar di dalam rumah Babeh, alias rumah Bapak Kost kami. Tepat di depan pintu rumah yang kutinggali. Sesekali terdengar zagrudah, lengkingan khas seorang wanita Arab, sebagai tanda suka ria. Suasana berubah bising, tak nyaman lagi untuk baca buku atau tidur siang. Kaca-kaca jendela sesekali bergetar. “Wah, tentu ada pesta di rumah Babeh”, gumamku.

Dan ternyata benar. Beberapa saat kemudian, Babeh – nama aslinya Salim al Jallasi - mengetuk pintu rumah kami. “Nanti malam kalian aku undang hadir di acara tunangan si Zuher”, tuturnya. Zuher adalah putera bungsu Babeh.

Wah, kesempatan yang tak boleh disia-siakan, pikirku. Aku ingin tahu bagaimana prosesi tunangan orang Tunisia. Samakah dengan orang Mesir?! Apa bedanya dengan orang Indonesia?!

Klakson Mobil
Rumah calon besan Babeh berada di Ben Arous, sebuah kota kecil, 20 km arah selatan dari pusat kota Tunis. Kawasan yang tenang, hijau dan tentu saja indah

Aku bersama seorang rekan, memenuhi undangan Babeh, mewakili keluarga mahasiswa Indonesia. Pukul 21.00, tiga buah mobil yang membawa rombongan keluarga Babeh bergerak perlahan, beriringan, sambil tak henti membunyikan klakson. Juga lampu yang dikerlap-kerlipkan. Inilah kebiasaan orang Arab kala mengarak pengantin atau mereka yang sekedar tunangan.

Selama perjalanan, sesekali kami berpapasan dengan parade mobil-mobil yang berprilaku sama ; membunyikan klakson dan menyalakan lampu. Diantara mobil-mobil itu ada yang dipasangi bunga. Itu tandanya pengantin kawin, bukan pengantin tunangan. Selama musim panas, memang hampir tiap hari ada orang Tunis yang menggelar pesta kawin. Sama dengan di Mesir. Hari Sabtu dan Ahad, irama pesta terdengar menggema dari hampir setiap arah.

Laksana Pengantin Kawin.Tak sampai setengah jam, kami tiba di depan rumah mempelai wanita. Sebuah rumah berlantai dua, berlokasi di komplek pemukiman padat penduduk.

Rombongan pihak lelaki berjalan berbaris. Beberapa orang membawa parcel yang dihias bunga-bunga. Zuher berjalan paling depan, diiringi Babeh dan Mama. Babeh yang malam itu juga memaki jas hitam plus dasi, nampak gagah, kendati ia sudah berusia hampir 70 tahun. Maklum, Babeh adalah purnawirawan polisi. Tiga puteranya, juga berprofesi sebagai polisi. Rido, putera sulungnya, adalah polisi Buru Sergap, tukang bekuk penjahat. Adiknya, Munsif, seorang intel. Dan Zuher, si bungsu yang berusia 30 tahun itu, adalah seorang polisi lalu lintas. Karena profesi polisi itulah, keluarga Babeh sangat dihormati – bahkan ditakuti - di lingkungan tinggal kami. Berkahnya dirasakan oleh kami, para mahasiswa Indonesia yang tinggal di apartemen milik Babeh ; kami selalu merasa aman, bebas dari gangguan anak-anak nakal atau preman mabuk yang banyak berkeliaran di sekitar kampung kami.


Aku hadir di acara tunangan putera bungsu Babeh

Keluarga pihak wanita menyambut kedatangan kami di beranda. Zuher, yang malam itu mengenakan jas hitam dan dasi, langsung dipersilahkan masuk rumah, lalu berdiri berdampingan dengan mempelai wanita. Mempelai wanita mengenakan gaun putih, seperti halnya pengantin kawinan.

Hanya beberapa menit Zuher dan tunangannya berdiri di dalam rumah. Sekedar untuk foto-foto. Lalu, keduanya naik tangga, menuju sutuh, pelataran atap rumah. Area di alam terbuka seluas kira-kira 100 meter persegi itu, menjadi lokasi pesta. Puluhan kursi berderet, juga kursi pelaminan dengan background hiasan layar kapal laut yang romantis.

Orang Arab ternyata biasa menggunakan pelataran atap rumahnya untuk lokasi pesta-pesta. Murah meriah, tak usah sewa gedung, juga tak mengganggu kelancaran lalu lintas jalanan.

Goyang Perut
Zuher dan tunangannya langsung duduk di pelaminan. Tanpa ada prosesi apapun. Puluhan tamu – kebanyakan wanita - duduk menempati kursi-kursi di depan mempelai. Aku bersama keluarga Babeh, duduk di deretan kursi belakang.

Belum satu menit kami duduk, musik Arab tiba-tiba terdengar menggelegar. Memekakkan telinga. Rupanya, di sudut depan kanan area ini, satu set sound system telah tersedia, plus para teknisi dan penyanyi.

Suasana mendadak bising dengan lagu-lagu dangdut Arab. Diselingi zagrudah itu. Tanda orang bersuka ria. Dan, tanpa komando, serentak kaum wanita yang mulanya duduk-duduk itu, tiba-tiba berdiri dan berjoged. Bergoyang pinggul, meliuk-liukkan tubuh. Tua muda, sama saja. Ada anak-anak gadis ABG yang berbaju ketat dan dengan lincah meliku-likukan perutnya yang terbuka. Juga anak-anak kecil yang menari genit. Pun ibu-ibu tua yang bergoyang-goyang.

Bibirku menggumamkan beberapa syair Arab yang kudengar. Beberapa diantaranya memang kuhafal. Seperti lagu-lagu George Wossef, penyanyi terkenal asal Lebanon, yang sangat cocok dinikmati dalam pesta tradisi orang Arab. Aku pun terlarut dalam suasana malam itu. Tapi tiba-tiba, aku ingat, bahwa malam ini adalah malam 27 Rajab. Malam Isra Mikraj.

Tidak ingatkah orang-orang Tunis yang ada di arena pesta ini akan Isra Mikraj ?!

Kaum lelaki yang berada di arena pesta, nampak terlarut dengan musik. Kulihat, beberapa orang tua berjubah –nampaknya pemuka agama- juga tetap asyik ngobrol dengan rekannya.

Para penari terus beraksi. Joged erotik, baju ketat dengan pusar terbuka, rupanya tak dianggap sebagai hal tabu, apalagi dinilai sebagai pornografi. Tak peduli syair-syair yang didendangkan, yang kadang ternyata syair-syair pujian kepada Nabi. Syair-syair kaum sufi Arab dalam mengekspresikan cintanya kepada Rasulullah.

Sama dengan yang dulu sempat kuamati di Mesir. Goyangan tari perut, terus seiring sejalan dengan ramainya aneka tradisi Islam yang dipraktikkan masyarakat. Maraknya tari perut di diskotik-diskotik terapung di sungai Nil, atau di hotel-hotel berbintang, bahkan di acara-acara kawinan orang kampung, tak pernah jadi bahan polemik kaum santri. Kecuali pada sekitar akhir 2002, ketika muncul para penari gadungan, yang dinilai telah menodai citra penari perut. Beberapa oknum penari, dikhabarkan bisa dibawa ke ranjang. Hingga kemudian, Vivi Abduh, ketua ikatan para penari Mesir, angkat bicara. Lalu pemerintah mengadakan penertiban. Para penari ‘nakal’ itu ditangkapi. Lalu, para penari perut wajib memiliki lisensi. Tak sembarangan orang bisa menari perut. Serta tak sembarang tempat bisa menggelar tari perut. Semuanya diatur tertib.

Qiraatul FatihahKira-kira setengah jam kemudian, Zuher dan tunangannya turun dari kursi pesta. Diikuti beberapa lelaki tua. Termasuk Babeh. "Ayo kita turun", tutur Babeh mngajakku pergi. Aku pun ikut turun, bersama mereka menuju ruangan dalam rumah.

Di dalam rumah, kami duduk di kursi yang melingkar. Sekitar 10 orang lelaki. Ada seorang kakek renta berjubah putih, duduk diapit oleh Babeh dan Zuher. Ternyata kakek tua itu adalah seorang kyai. Lelaki lainnya adalah aku, Munsif, Rido dan beberapa dari keluarga perempuan.

Kakek tua itu membuka pembicaraan. Mula-mula ia berceramah, temanya tentang pernikahan. Ia mengutip beberapa ayat di awal Surat An Nisa, yang khusus berbicara tentang pernikahan dalam Islam. Juga beberapa hadis tentang pernikahan. Setelah sepuluh menitan, lalu ia membaca wirid-wirid, solawat, dan diakhiri dengan bacaan surat Al Fatihah. Pada saat bacaan Al Fatihah ini, semua orang yang ada di ruangan itu ikut baca, dengan suara agak nyaring.

Dalam tradisi Arab, bacaan al Fatihah ini merupakan salah satu ritual penting, dan merupakan tahapan awal dari prosesi tunangan. Ritual ini biasa dinamakan Qiraatul Fatihah, yang dihadiri oleh orang tua lelaki dari dua belah pihak.


Kyai Sepuh, diapit Babeh dan Zuher dalam acara Qiraatul Fatihah

Duet MautUsai acara Qiraatul Fatihah, kami semua kembali ke atas, menuju ruangan terbuka lokasi pesta. Aku melanjutkan acara yang tadi tertunda ; menyaksikan goyangan para penari amatiran itu.

Lagu-lagu yang diputar oleh operator pun berganti-ganti. Ada lagu berirama Rai, remix Arab khas Aljazair itu. Juga ada beberapa lagu Barat ceria, baik yang berbahasa Petrancis maupun Inggeris. Salah satunya, lagu Shakira yang sedang nge-trend itu.

Wael, salah seorang cucu Babeh yang berusia ABG, nampak asyik berjoged. Matanya terpejam, kepalanya bergoyang-goyang, seperti orang tripping. Ia berpegangan tangan dengan seorang ibu yang rambutnya memutih. Kuamati lebih dekat. Wah, rupanya dengan Mama, isteri Babeh, alias nenek Wael sendiri. Malam itu, Mama berduet maut dengan cucunya sendiri, bergoyang tak mau kalah. Mama berjingkrak lincah. Di malam Rajaban.

Pasang Cincin dan TatoTak lama kemudian, musik terhenti. Serombongan ibu-ibu menghampiri kursi pelaminan. Mereka membawa sebuah kotak kecil dan parcel. Ternyata kotak kecil itu berisi sepasang cincin tunangan. Sedangkan parcel berhias itu berisi halawah, kue-kue manis.

Perhatian hadirin tertuju para Zuher dan tunangannya. Mereka saling mengenakan cincin. Sementara, seorang wanita sibuk berkeliling, membagi-bagikan halawah itu kepada para hadirin.

Sambil menyaksikan prosesi tukaran cincin, aku bertanya kepada Munsif , putera Babeh. “Kalo tunangan begini, dari pihak lelaki bawa duit berapa?!”. Munsif menggelengkan kepala. “Sekarang tak ada uang tunai. Hanya cincin dan kue-kue itu. Juga ada sedikit pakaian”, tutur Munsif.

Oh, pantas, pikirku. Menurut cerita beberapa kawan, tunangan dan prosesi Qiraatul Fatihah di Tunis, masih belum jadi ikatan yang cukup kuat menuju perkawinan. "Hubungan putus usai Qiraatul Fatihah, masih sering terjadi", tutur seorang kawan Tunis beberapa waktu lalu.

Usai pasang cincin, kedua mempelai kembali duduk di kursi. Musik kembali menggelegar. Para penari kembali beraksi. Semakin malam, semakin bising, gerakannya semakin tak karuan.

Aku berjalan bolak-balik, mencari-cari fokus bagus untuk foto. Selain memotret Zuher, keluarga Babeh, aku juga mengambil gambar para penari itu. Dari berbagai sisi. Dan para penari itu, baik yang gadis ABG, anak-anak kecil atau mereka yang manula, nampak semakin semangat menari, kala tahu bakal diphoto.

Menjelang pukul 00.00, musik dihentikan lagi. Rupanya ada prosesi pemasangan tato Arab, pada telapak tangan mempelai perempuan. Tato Arab yang terbuat dari ramuan daun-daunan. Namanya Tato Hena. Tato kebanggaan kaum wanita Arab, bahkan sebagai identitas sosial tertentu.

Kawin Tahun Depan
Di tengah meriah pesta, aku bertanya pada Babeh. “Beh, kalo tunangannya sekarang, pesta kawinnya kapan?!” Babeh spontan menjawab, “Musim panas tahun depan, insya Allah”, tuturnya. “Nanti ada juga pesta di atap rumah kita itu.”, tutur Babeh lagi.

Wah, tahun depan?! Lama sekali, pikirku. Tapi, ini memang tradisi di sini. Jarak waktu antara tunangan ke nikahan, sekitar 6 hingga 12 bulan. Karena untuk pesta pernikahan, mempelai lelaki harus menyediakan biaya yang tidak sedikit. Pesta enam hari, plus bekal rumah tinggal, mas kawin dan biaya teknis lainnya.

Selama di Mesir dulu, aku mendengar banyak cerita tentang tinginya biaya nikah yang harus diemban pihak lelaki. Kadang aku merasa kasihan kepada mereka, kaum lelaki di Tanah Arab ini. Semoga Allah memudahkan jalan bahagia mereka.

“Pada acara pesta kawin si Zuher nanti, mungkin kalian akan kami rekrut sebagai panitianya”, tiba-tiba Babeh ngomong lagi. Matanya tetap menuju ke depan, ke arah penari-penari perut itu. Aku kaget. Apa Beh?! Panitia?! Tidak ah, Beh. Tahun depan aku sudah di Tanah Air, insya Allah. Mau bikin acara sendiri, hehehe...Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 23 Agustus 2006