Thursday, September 21, 2006

Mesjid Aceh di Tunis

Mereka Bilang, Tsunami Adalah Azab Tuhan



Aku diantara beberapa lukisan Mesjid Aceh Saat Tsunami

Gaung cerita tragedi Tsunami yang melanda Aceh beberapa waktu lalu terdengar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Tunisia. Dukungan solidaritas dan bantuan sosial pun mengalir ke Tanah Air, tak terkecuali juga dari Tunisia.

Akan tetapi, di sela-sela derasnya perhatian dan bantuan asing untuk bencana tsunami di Aceh, aku menemukan cerita miring tentang Aceh. Sebuah cerita yang berkembang kuat di sebagian kalangan masyarakat Arab Tunis, bahwa Tsunami adalah azab dari Tuhan, karena masyarakat di lokasi Tsunami sudah terlanjur ‘jauh’ dari Tuhan. Kata mereka, Aceh adalah masyarakat yang jauh dari agama. Perbuatan dosa dan maksiat telah jadi trend harian warganya.

* * *
”Tuhan murka terhadap warga Indonesia di Aceh”, tutur Imen, 30 tahun, seorang wanita berprofesi guru bahasa Inggeris di Tunis.
“Mengapa Anda berkesimpulan begitu?”, tanyaku kaget plus penasaran. Kala itu, aku bertemu Imen di tengah acara pameran lukisan bertema “Mesjid-Mesjid Aceh Saat Tsunami” yang digelar di Galeri Yahia, kota Tunis. Aku kebetulan sedang bertugas sebagai penjaga stand di pameran selama sebulan penuh –September 2006- dan menampilkan 49 lukisan karya Dr Dipo Alam ini.
“Saya punya klip CD, tentang liputan yang secara khusus mengungkap kehidupan di lokasi Tsunami. Jelas sekali terungkap, bahwa masyarakat di sana, adalah mereka yang sudah lupa akan Tuhannya. Di sana adalah lokasi orang menenggak minuman keras, tempat prostitusinya marak, dan lain-lain”, tutur Imen lagi, penuh semangat. Membuatku semakin terkaget-kaget.
“Hah?! Anda yakin itu di Aceh?! Di Indonesia?!” tanyaku penuh selidik.
“Ya, saya yakin”, kata Imen.
“Wah, Anda salah kaprah dalam memahami Aceh”, tuturku spontan. “Saya yakin, film yang Anda tonton itu salah. Itu mungkin lokasi tsunami di Thailand Selatan, lokasi wisata dan banyak prostitusi. Bukan Aceh. Karena sebagai orang Indonesia, saya tahu betul, bahwa masyarakat Aceh justru dikenal sangat religius. Aceh adalah wilayah pertama di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal”, paparku lagi. Panjang lebar, biar ia tahu info yang benar.
“Itu di Indonesia..! Tertulis kok, di keterangan film itu, bahwa ini terjadi di Indonesia”, kata dia lagi. Agak ngotot. Maklum, orang Arab umumnya punya PD yang tinggi. Agak sulit untuk mengaku salah.
“Oya?!”, keningku terasa berkerut. Aku curiga, sepertinya ada yang salah dalam film itu. Ataukah ada penyimpangan info?! Penggiringan opini publik misalnya, untuk mendiskreditkan Indonesia?! Bukan tidak mungkin.
“Begini Bu Imen”, tuturku lagi. “Anda ingat ngga, siapa pembuat film itu. Apa bahasa pengantar film itu”.
Imen merenung sebentar, lalu berbicara lagi. “Film itu berbahasa Arab. Pembuat dan pengedarnya orang Saudi”.
“Orang Saudi?! Rumah produksinya juga di Saudi?!” tanyaku.
“Ya, Saudi. Aku ingat betul, itu semuanya Saudi”, kata Imen. Aku kemudian mengangguk-angguk. Jika benar pengakuan Imen –bahwa film itu produksi Saudi yang menuduh Aceh sebagai lokasi maksiat dan karena itu pantas diazab oleh Tuhan- tentu orang Saudi pengedar film itu punya maksud yang tidak baik terhadap Indonesia.

* * *
Imen ternyata tak sendiri. Banyak sekali orang Tunisia yang menuturkan hal serupa. Bahwa tsunami Aceh adalah azab Tuhan, balasan bagi masyarakat yang durhaka kepada Tuhannya. Beberapa rekan mahasiswa lain yang bertugas menjaga stand, mengaku sering mendengar komentar miring tentang Aceh dari para pengunjung pameran. Dan rata-rata orang Tunis itu mengaku, sumber infonya sama ; pemberitaan di CD itu.

Tentu saja, aku dan para rekan selalu berusaha menepis semua info itu. Bahwa yang dimaksud lokasi maksiat dalam CD itu tentu bukan Aceh, melainkan Thailad Selatan, kawasan wisata yang juga kena tsunami.

Seorang kawan mahasiswa senior malah menanggapi isi CD itu secara lebih tegas. Ia berkata begini kepada beberapa warga Tunis. “CD itu dibuat oleh Saudi. Asal Anda tau, Saudi sekarang sedang dihadapkan pada persoalan penyakit AIDS. Terutama di kota Mekah dan Jedah. Hanya saja, data itu tidak dipublikasikan oleh pemerintah”, tutur sang kawan, seraya memaparkan beberapa cerita ‘miring’ lain tentang Saudi. Kontan saja, orang-orang Tunis yang mendengar paparannya mengangguk-angguk. Bahkan beberapa diantaranya ikut menuturkan perilaku sebagian saudagar Saudi ketika berlibur di Tunis...

* * *
Terlepas dari benar tidaknya isi pemberitaan film tsunami itu, aku menemukan beberapa catatan menarik. Betapa opini publik itu sangat penting dalam rangka membentuk image orang luar. Seperti dalam kasus beredarnya film tentang konflik antara muslim dan non muslim di Poso, Sulawesi, beberapa tahun lalu. Film dokumenternya ternyata beredar luas di kalangan orang Mesir. Aku juga pernah menyaksikannya saat masih di Kairo. Film buatan orang Arab, yang menyajikan gambar-gambar mayat orang Islam, korban pembantaian kaum non muslim. Data-data yang ditampilkan serta isi kalimat pengantarnya diatur sedemikian rupa, agar para penonton film itu sampai pada kesimpulan, betapa muslim Indonesia adalah muslim yang lemah; jumlahnya besar, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Terlebih dalam film itu, kalimat “aina antum ayyuhal muslimun” dimanakah kalian wahai umat Islam, sangat sering diulang-ulang.

Aku semakin yakin dengan ucapan orang bahwa siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai opini dunia. Dan jika opini itu sudah berkembang kuat, akan sulit menepisnya. Seperti yang kualami kala menghadapi image negatif sebagian orang Tunis tentang Aceh, di arena pameran lukisan ini.

Tragedi bencana merupakan salah satu bentuk teguran dari Tuhan. Seperti yang dituturkan Ebiet G Ade dalam salah satu syair lagunya. “Mungkin Tuhan mulai bosan, meihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga, dengan dosa-dosa”. Bencana diturunkan Tuhan kepada kaum pendosa, agar mereka sadar – juga sebagaimana kata Ebiet - adalah Dia di atas segalanya.

Ketika tragedi itu ditimpakan kepada masyarakat yang beriman, itu juga tetap harus kita fahami sebagai teguran, atau setidaknya ujian. Karena bisa jadi ia menjadi teguran atas kelalaian kita dalam menasehati saudara kita yang terus asyik dengan kenikmatan dosa. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Surat Al Anfal ayat 25, bahwa bencana (fitnah) takkan hanya ditimpakan kepada orang-orang yang dzalim saja, tetapi juga kepada kaum beriman... Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 20 September 2006

6 comments:

  1. Kalo saya yg berhadapan langsung dg Ibu Imen itu pasti saya udah ngga sesabar Kang Dede dlm menerangkan ttg kebenaran Aceh. Kalo dilihat2 lg emang org Indonesia lebih dalam dalam menganalisa suatu kejadian thd keinginan Allaah. Saya jg pernah berantem di chatting krn muslim dr negara lain masih berpikir kalo ada kesulitan hidup itu adalah azab. Padahal nabi muhammad jg byk mengalami kesulitan hidup, apa beliau kena azab jg? khan TIDAK.

    Ah emang salut deh buat Kang Dede dg kesabarannya...:D Ayo maju terus kang Dede ya :)

    ReplyDelete
  2. kang, geuning rada kasep katingalina...

    asa ningal dede permana tahun 98-an basa di semanggi...

    kitu atuh...

    ReplyDelete
  3. de' al hamdulillah gening silaing ekksis kneneh. sayngnya nt nagdongenng tapi can ka Aceh jadinya garing gitu lho> tapi salutlah nt masih kiat nahan arus bawah hahaha demi Idealisme juga Allah tangtuna.
    sayng nt ngilang taya kabar.... ieu ge saya tahu tipmajikan aya tulisan nt rada genah dibacana cenah. bravo alaik
    Deni Eros Zarot

    ReplyDelete
  4. Kang Dede, cerita ttg Ramadhan di Tunis dong ya... :)

    ReplyDelete
  5. Kang Dede, saya mau tau gimana caranya bisa belajar di marokko

    ReplyDelete
  6. Kang Dede, walaupun posting ini sudah lama, tapi bacanya masih sangat senang eui. Terima kasih ya, semoga bermanfaat & rajin posting ya.

    ReplyDelete