Tuesday, October 26, 2004

SSM 11 : Pelesir di Mesir

KE MESIR KITA PELESIR

Benteng Qaitbay, Iskandariah, dilihat dari jauh.

Khazanah peradaban masa lalu telah mengangkat Mesir ke pentas sejarah dunia. Kekayaan budaya dan warisan sejarah yang ada, membuat Mesir menjadi luar biasa.

Pyramid dan Firaun, dua kata yang nampaknya sudah lekat dengan Mesir. Setiap orang yang mendengar kata “Mesir” atau akan berkunjung ke Mesir, maka yang terlintas dalam pikiran mereka adalah pyramid atau Raja Firaun. Seolah tak lengkap rasanya, jika wisata ke Mesir kalau tidak mampir ke Pyramid, sekedar “napak tilas” jejak Firaun.

Nampaknya, popularitas Firaun dan pyramidnya benar-benar tak disia-siakan oleh pemerintah Mesir. Dua warisan sejarah ini ternyata menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para pelancong asing untuk mau datang ke Mesir. “Dalam tahun 2000, kami dikunjungi 5,5 juta wisatawan asing”, ujar Dr. Mamdouh Baltagi, Menteri Pariwisata Mesir. Kehadiran pelancong sebanyak itu, membuahkan devisa hingga 4,3 milyar USD, atau 11 persen dari keseluruhan pendapatan negara. Tak ayal lagi, kondisi ini menempatkan negara berpenduduk 68 juta jiwa (2000) itu dalam urutan atas negara-negara tujuan wisata dunia.

Sebagai negara tempat kelahiran peradaban pertama tertua di dunia, Mesir memang sangat mengandalkan sektor wisata budaya. Setiap jengkal tanah yang dipijak, seolah mengisahkan peristiwa sejarah tersendiri. Seakan-akan kita berjalan menelusuri sebuah museum raksasa yang menyimpan ribuan peninggalan sejarah berbagai peradaban, mulai dari Mesir Kuno (Koptik), Firaun (Pharaos), Yunani (Hellenisme), Romawi hingga peradaban Islam.

Terutama sejak tahun 1982, pemerintah Mesir nampak serius mengembangkan sektor wisatanya. Jumlah kamar hotel di Mesir ditingkatkan, dari 18.900 pada tahun 1982 menjadi 58.000 pada tahun 1983. Pada tahun 2001, menurut data resmi Departemen Pariwisata Mesir, jumlah itu meningkat lagi hingga 130.000 kamar. Hingga akhir 2002, pemerintah menargetkan penambahan 30 ribu kamar lagi. Sedikitnya 50 obyek wisata andalan, dari mulai kuil-kuil peninggalan zaman Mesir Kuno, hingga wisata pantai yang terbentang di negeri seluas 1.101.499 km2 ini dikelola secara maksimal oleh pemerintah.

Hasilnya, sejak 1992, perkembangan sektor wisata selalu mengalami peningkatan rata-rata hingga 12,5 persen pertahunnya. Selain melibatkan 2,5 juta tenaga kerja, sektor wisata Mesir juga menjadi sumber pendapatan terbesar kedua setelah Terusan Suez. Tragedi 11 September dan teror bom wisata yang marak belakangan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, nampaknya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor wisata negeri Al Azhar ini. Pemerintah Mesir telah mewaspadai hal ini sejak lama. Soalnya, tahun 1997, kawasan wisata utama Mesir, Luxor, pernah digoncang bom teror hingga menewaskan sedikitnya 80 wisatawan asing. Tragedi itu mendorong Mesir untuk memulihkan sektor wisatanya. Dana sebesar 33 juta Euro dikeluarkan dalam rangka pemulihan ini. Penerbangan mancanegara ke Mesir diperbanyak. Berbagai kerjasama luar negeri terutama dengan China dan negara-negara Eropa ditingkatkan. Jaminan keamanan bagi para turis pun diperbaiki. Jumlah polisi wisata juga ditingkatkan.

Pasca tragedi 11 September 2001, wisatawan asing seolah tak pernah sepi. “Paruh pertama tahun 2002, kami dikunjungi 2,5 juta wisatawan asing”, kata Baltagi lagi. Wisatawan terbanyak adalah dari China, yang konon berjumlah hingga 20 persen dari keseluruhan wisatawan.

* * *
Jalan-jalan ke Mesir, memang sangat menarik. Selain biayanya relatif murah, ketatnya aparat keamanan membuat nyaman para turis. Bisa dikatakan bahwa di setiap tikungan jalan, pasti ada aparat yang berjaga. Obyek wisata di Mesir, tidak hanya meliputi peninggalan peradaban kuno, tetapi juga meliputi wisata agama dimana kita dapat melihat peninggalan beberapa Nabi. Nabi Isa dan ibunya Maryam, konon, pernah pergi ke Mesir saat dikejar-kejar Herod. Tempat persinggahan pertama mereka adalah di bawah pohon di daerah Mattaria, pinggir kota Kairo. Pohon itu kini dikenal dengan Pohon Bunda. Mereka juga pernah singgah di gua Dirunka. Kini, biara Al Adhra berdiri di depannya. Sedangkan persinggahan terakhir mereka adalah Biara el Muharraq, di Asyut, kini kota propinsi 380 km timur Kairo. Pada bulan-bulan tertentu ribuan peziarah datang ke tempat-tempat ini. Di kawasan semenanjung Sinai, terdapat juga Biara Katrin dan Bukit Musa. Selain untuk melihat tempat Nabi Musa menerima 10 perintah Tuhan, kita juga dapat melihat matahari terbit dan pemandangan indah Gurun Sinai. Di daerah ini juga kita bisa mengunjungi mata air Nabi Musa, tempat beliau mengetukkan tongkanya untuk mendapatkan air, seperti yang diceritakan Al Quran dalam surat Al Baqarah ayat 60. Tempat itu kini populer dengan sebutan Uyun Musa.

Di Kairo, wisatawan muslim dapat berziarah ke mesjid-mesjid bersejarah. Diantara mesjid kota Kairo yang sering dikunjungi para wisatawan adalah Mesjid Hussein yang didalamnya ada makam kepala sayyidina Hussein, cucu Rasulullah saw. Juga mesjid Sayyidah Zainab, Mesjid Sayyidah Aisyah, serta mesjid Imam Syafei.

Untuk mengunjungi lokasi-lokasi wisata di Mesir, kita dapat menggunakan jasa travel-travel wisata yang jumlahnya sangat banyak. Di setiap ruas jalan sekitar kawasan Tahrir Square, pusat kota Kairo, kita akan menemukan deretan kantor-kantor biro perjalanan. Mereka menyediakan paket-paket perjalanan wisata untuk semua rute wisata di Mesir, dari sekedar paket wisata perahu sungai Nil (Nile Cruiser) di kota Kairo, hingga obyek wisata Luxor.

Untuk tujuan wisata sekitar kota Kairo, mereka menyediakan paket-paket wisata setiap hari. Harganya pun relatif murah. Di biro wisata Oscar Tours, paket tujuan wisata Pyramid, Spinx, Memphis dan Saqqara, hanya dikenakan biaya 14 USD. “Itu sudah termasuk tiket ke lokasi”, kata Ahmed Osman, Humas Oscar Tours . Keempat lokasi wisata ini berada di sekitar kota Kairo. Beberapa biro wisata yang memberikan fasilitas lebih seperti makan siang dan snack seperti Castro Tours, tarifnya lebih besar, hingga 20 USD.

Menjelang Natal dan Tahun Baru, jumlah wisatawan pengguna jasa biro-biro wisata itu membludak. “Hingga pertengahan Januari, semua paket wisata kami sudah penuh”, ujar Mushtafa, staf Castro Tours. Hal ini juga dialami oleh sebagian biro wisata lainnya. Abydos Tours, penyedia paket khusus Luxor-Aswan, malah tengah mempersiapkan paket wisata untuk bulan Februari.

Untuk tujuan Luxor-Aswan, Abydos Tours memasang tarif 175 USD. Luxor adalah kota obyek wisata utama Mesir, 676 timur Kairo. Kota ini amat kaya dengan peninggalan sejarah Mesir dan sarat berbagai bangunan kuno. Penyair Yunani terkenal, Homerus menyebut kota ini dengan nama “kota seratus pintu”, karena banyaknya pilar-pilar di seluruh penjuru kota. Selanjutnya, nama tersebut terus berkembang hingga orang Arab menyebutnya Al Aqshar (istana-istana). Di kota ini, terdapat Kuil Luxor, yang dibangun oleh Amenhotep III, sekitar tahun 1400 SM. Pintu gerbangnya dijaga oleh dua patung Ramses berukuran raksasa dalam posisi duduk. Ada pula dua obelisk (tugu lancip), salah satunya masih berdiri megah, namun satu lagi ada di Concord Square, Paris, yang dibawa para tentara Perancis kala mereka menduduki Mesir. Dalam kuil ini, ada taman Ramses II yang dikitari oleh 32 tiang raksasa. Selain Kuil Luxor, ada juga Thariq Kibasy, yaitu jalan setapak antara Kuil Luxor dengan Kuil Karnak sepanjang 3 km. Diantara kedua tepian jalan itu terdapat patung-patung saling berhadapan, dengan tubuh singa dan berkepala kibasy (domba), sebagai simbol Raja Amon.

Sedangkan Aswan, 904 km dari Kairo adalah kota tujuan wisata musim dingin yang memiliki panorama alam sangat indah. Di sini terdapat bendungan terbesar di dunia, Bendungan Tinggi Aswan, yang dibangun untuk menjaga Mesir dari banjir besar, dan menjadi simbol kehebatan arsitektur abad 20. Panjang bendungannya 360 meter, dengan ketinggian 111 meter dari dasar sungai. Lebarnya mencapai 40 meter. Ada juga danau Nasser, yang memanjang lebih kurang 500 km, dengan lebar rata-rata 10 km, terbentuk dari saluran Bendungan Aswan. Salah satu peninggalan Mesir Kuno di Aswan yang paling terkenal adalah Kuil Abu Simbel, di ujung wilayah Mesir, atau 1184 km dari Kairo. Kuil ini dibangun oleh Ramses II, tingginya 33 meter, lebar 38 meter dan dijaga oleh empat patung raksasa Ramses II denga ketinggian masin-masing 20 meter.

Dalam kuil ini terdapat sejumlah nisan dan tugu, diantaranya tugu perkawinan Ramses II dengan puteri Raja Haitsiyin. Seni arsitektur bernilai tinggi dan menakjubkan, dapat kita temukan di kuil ini. Didalamnya juga ada sebuah ruangan bernama Qaddsul Aqdas (tempat tersuci), berisikan patung-patung Ramses. Yang menakjubkan dari ruangan ini, sinar matahari tidak pernah masuk ruangan sepanjang tahun kecuali hanya dua hari, yaitu setiap tanggal 21 Februari (hari kelahiran Ramses) dan 22 Oktober (Hari penobatan Ramses sebagai raja Mesir). Ini adalah bukti keahlian arsitek Firaun yang berhasil menghubungkan posisi bangunan dengan ketepatan perhitungan perjalanan matahari.

Paket wisata Luxor-Aswan ini memakan waktu empat hari-tiga malam. Para wisatawan akan diajak berkunjung ke berbagai lokasi terkenal diatas semisal Bendungan Tinggi Aswan, Kom Ombo, Kuil Edfu, Kuil Karnak, Kuil Luxor, Valley of the Kings (kuburan keluarga kerajaan Mesir Kuno, diantaranya kuburan Tut Ankh Amun, Ramses VI, dan Amenhotep II), Valley of the Queens (komplek kuburan para ratu semisal Nefertiti, isteri Ramses II) dan Kuil Hatshepsut. “Selama 3 malam di sana, wisatawan akan menginap di Nile Cruiser”, ujar Omnia Abdel Rahman, manager wisata Abydos Tours. Nile Cruiser adalah kapal layar di atas sungai Nil penyedia tari perut. Tetapi, tarif 175 USD ini berlaku selama musim Idul Fitri hingga akhir Januari 2003. “Februari ke sana, hanya 145 USD”, kata Omnia lagi.

Paket wisata Luxor yang lebih singkat disediakan oleh Oscar Tours. Untuk paket wisata dua hari dengan tujuan Valley of the Kings, Valley of the Queens dan Kuil Hatshepsut, mereka memasang tarif 99 USD. Selain paket Luxor, Oscar Tours juga menyediakan paket wisata tujuan kota Iskandariah, 224 km barat Kairo. Di sana, para wisatawan diajak mengunjungi Roman Musium, Benteng Qait Bay, Roman Teater, Istana Raja Farouk, dan Perpustakaan Iskandariah. Selain itu, Iskandariah juga dikenal sebagai kota pantai bersejarah Mesir. “Paket ini hanya 57 USD”, ujar Ahmed Osman.

Sepulangnya dari lokasi wisata, para turis biasanya dibawa belanja ke Pasar Khan Khalili. “Ini sudah program kami”, ujar seorang staf Castro Tours. Pasar Khan Khalili yang terletak di dekat mesjid Hussein dan mesjid al Azhar, kota Kairo, adalah pusat perbelanjaan tradisional yang menjual barang-barang antik. Untuk pertama kalinya bazaar ini dibangun oleh Emir Djaharks el Khalili, pada tahun 1382 M, pada masa kekuasaan Turki Osmani. Nama Khan el Khalili berasal dari nama Khan yang berarti tempat penginapan (hotel) para pedagang, sedang kata Khalili adalah nama orang, yaitu nama pemilik penginapan tersebut.

Kawasan perbelanjaan ini sangat luas, terdiri dari gedung-gedung tua dan toko-toko kecil di sepanjang jalan, dan lorong-lorong yang berkelok-kelok. Di lokasi tersebut, dapat ditemui barang-barang antik, souvenir khas Mesir, hasil kerajinan tangan dan kulit, kuningan, tembaga, tenun, ukiran ala blaster, papyrus, kursi unta dan berbagai macam perhiasan seperti batu permata, batu cincin, emas dan perak. Papyrus adalah sebangsa kertas yang terbuat dari rumput-rumput Nil, berfungsi sebagai media komunikasi semenjak zaman Mesir Kuno. Hingga kini kertas papyrus masih digunakan sebagai dasar lukisan atau kaligrafi. Benda yang biasa dijadikan kenang-kenangan khas Mesir ini, harganya beragam, dari 2 Pound hingga 5 Pound Mesir.

Barang-barang souvenir lainnya pun, dijual dengan harga relatif murah. Ukiran-ukiran piring kuningan, bergambar Firaun misalnya, dijual dengan harga 40 hingga 60 Pound Mesir (80-120 ribu rupiah). Sedangkan kalung-kalung perak, dijual seharga 20 hingga 30 Pound. Jika kita pandai berbasa-basi, atau terkadang memuji sang pedagang, maka harga akan merendah. Hal ini tidak lepas dari watak umum orang Mesir yang suka dipuji.

Pasar Khan Khalili sangat kental dengan corak budaya Timur Tengah. Selain berisi komplek pertokoan, pasar Khan Khalili juga meyediakan kafe-kafe minuman. Para wisatawan dapat menikmati syisya (cara merokok khas mesir yang dihisap melalui pipa yang disambungkan ke dalam tabung kaca berisi air). Syisya biasa disewa dengan hitungan perjam antara 4 hingga 8 Pound Mesir (8 ribu – 16 ribu rupiah). Aroma rokoknya bermacam-macam, mulai dari rasa tawar, mint, atau rasa buah-buahan. Di pasar ini juga, para wisatawan dapat menimkmati berbagai makanan khas Timur Tengah.

Setiap hari, ribuan pengunjung, baik domestik maupun mancanegara, datang ke pasar ini sekedar berbelanja. “Jumlah turis membludak terutama pada bulan Juli-Agustus kemaren”,ujar Atef, seorang pelayan kafe.

Pinggiran Nil, 26 Desember 2002

SSM 10 : Mesir Sarat Sejarah

Berkah-Berkah Yang Terlupakan*


Salah satu puing peninggalan Mesir Kuno di Saqqara


Konon, dulu Gus Dur pernah berkata, “Sewaktu saya di Mesir, saya lebih banyak dicerdaskan oleh Mesir-nya, bukan hanya oleh Al Azhar saja..” Ketika masih di tanah air, saya bertanya-tanya, apa gerangan yang dimaksud oleh ucapan Gus Dur ini. Maklum, saat itu saya belum bisa membayangkan, seperti apakah Mesir itu. Tetapi, kini, setelah tiga tahun berlalu, saya sangat meyakini kebenaran ungkapan ini.

Khazanah peradaban masa lalu memang telah mengangkat Mesir ke pentas sejarah dunia. Kekayaan budaya dan warisan sejarah yang ada, membuat Mesir menjadi luar biasa. Tak heran jika orang Mesir amat membanggakan negerinya dengan julukan Ummu al Hadlarah, Ardu al Anbiya atau Ardu al Kinanah. Hampir tak ada sejengkal tanah-pun di negeri ini yang tidak mengandung nilai sejarah”, kata seorang sejarawan dalam koran yang pernah saya baca. Lagi-lagi, saya baru bisa menyadari kebenaran ucapannya belakangan ini saja. Betapa memang negeri ini sarat warisan purba beberapa peradaban besar yang pernah berjaya ; sejak dari era Mesir Kuno, Romawi, hingga Islam. Banyak bukti peninggalannya yang masih bisa kita saksikan sekarang. Tengok saja Musium Nasional Mesir di Tahrir itu ; beragam harta benda warisan Firaun tersimpan rapi. Raga sang Ramses II pun masih nampak wujudnya meski berbentuk mummi. Di Giza sana, tiga pyramid Giza masih berdiri tegar ; di kawasan Old Cairo, deretan mesjid-mesjid tua dan kuburan para ahlul bait selalu menarik perhatian para turis.

Bagi para mahasiswa di Mesir, upaya menelusuri situs-situs sejarah itu akan membuahkan manfaat yang tiada terkira. Seorang kawan dekat rajin mengunjungi mesjid-mesjid tua peninggalan Dinasti Fathimiyyah. Sejak dari mesjid Al Azhar, Husein, Sayida Zenab, Ahmad Thulun, Syafii, hingga Amr bin Ash. Makam-makam para ulama besar dan keluarga Nabi pun ia ziarahi. Termasuk kuburan belasan ahlul bait di belakang mesjid Abbas Al Mursi di Iskandariah itu. Sang kawan bukan hanya tahu lokasi-lokasinya, tetapi juga hafal sejarah setiap situs itu. Saking seringnya berziarah, ia dikenal baik oleh bawwab mesjid-mesjid itu. Jika kebetulan ada tamu pejabat atau turis dari Jakarta, sang kawan selalu sibuk menjadi guide. “Uang sakunya khan lumayan, bisa buat beli buku”, tuturnya sumringah.

Bagi para adventurer alias petualang, kunjungan ke lokasi-lokasi ini jelas membuahkan pengalaman amat berharga. Setidaknya untuk kepuasan intelektual, dan bahkan spiritual. Saya sendiri, hingga sekarang kadang menyempatkan waktu untuk shalat Jumat di mesjid-mesjid tua di kawasan Old Cairo itu. Dari satu aktifitas ini saja, saya sering menemukan pengalaman baru dan menarik seputar pola beragama orang Mesir yang lekat dengan nuansa mistik itu. Ya setidaknya untuk bahan cerita kepada kawan-kawan di tanah air kelak. Di mesjid Husen misalnya, saya selalu menyaksikan aktifitas dzikir beberapa kelompok tarekat setiap usai Jumat. Macam-macam gayanya ; ada kelompok yang berdzikir sambil berdiri melingkar, dengan tubuh bergoyang-goyang dan mata terpejam. Ada juga kelompok tarekat yang berdzikir sambil duduk. Masih di Husein, saya juga sering menyaksikan isak tangis para peziarah makam sang Imam. Mukanya menyiratkan gairah spiritual yang ekspresif. Di Mesjid Sayyida Zenab, setiap Jumat ada tempat khusus bagi jemaah yang tuna rungu dan tuna wicara. Seorang jemaah selalu setia menerjemahkan khutbah –dan bahkan adzan – ke dalam bahasa isyarat. Menyaksikan pemandangan ini, saya sering terkagum-kagum dibuatnya. Subhanallah.

Khusus tentang gerakan tarekat sufi, Mesir memang gudangnya. Setahu saya, ada hampir dua puluh gerakan tarekat bermarkas di negeri ini, semuanya memiliki mesjid sendiri-sendiri. Seminggu sekali mereka mengadakan kegiatan pengajian dan dzikir. Hari-hari besar keagamaan di Mesir, selalu dimeriahkan dengan aneka aktifitas yang melibatkan para darwisy ini. Setiap Dua Belas Rabiul Awwal, puluhan ribu jemaah tarekat seantero Mesir berkumpul di Husein untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.

Seorang kawan yang lain memiliki hobi berbeda. Ia tak suka jalan-jalan ; waktunya lebih sering dilewatkan di rumah. Tetapi ia rajin membaca koran dan majalah Mesir. Salah satu pojokan kamarnya yang sempit, dipenuhi kliping koran. “Dari sini saya bisa belajar tentang wacana-wacana keagamaan yang tidak ada dalam muqarrar”, tuturnya. Saya juga kagum dengan aktifitasnya. Ia hafal betul persoalan-persoalan keagamaan yang pernah menjadi polemik di kalangan ulama Al Azhar. Terlebih yang melibatkan pribadi Sayyed Thantawi, Grand Syekh Al Azhar. “Thantawi itu sosok yang menarik” komentarnya lagi. Thantawi, menurut sang kawan, adalah sosok yang sangat berani menentang arus. “Ia sering mengalami dilema”, tambahnya so’ mantap. Kesimpulannya ini mungkin didasari oleh beberapa fatwa terakhir Thantawi yang memang kontraversial, semisal fatwa bunga bank dan fatwa jilbab Perancis. Hingga lantaran fatwanya itu, Thantawi dikecam habis-habisan oleh publiknya sendiri ; sesama ulama Al Azhar.
Keaktifan sang kawan dalam mengikuti wacana kegamaan di sekitar Al Azhar lewat media massa, telah memperkaya wawasannya. Pengetahuannya tak hanya terbatas pada konsep-konsep teoritis yang ada dalam buku-buku pegangan kuliah, tetapi juga ditopang oleh data-data empirik lapangan yang tidak ditemui di bangku kuliah. Secara gradual, nalarnya akan tercerahkan akibat keakrabannya dengan polemik-polemik keagaman pada masyarakat modern.

Kawan sekamar saya di Kutomiyah dulu punya tradisi lain lagi. Ia juga tak suka jalan-jalan menyusuri situs-situs sejarah atau mesjid-mesjid tarekat, serta jarang beli koran Mesir. “Kertas koran itu cepet rusak”, tuturnya enteng. Tetapi kalo diajak bicara soal buku atau toko buku, dia-lah jagonya. Kamarnya dipadati koleksi buku-buku agama. “Toko buku mana di Kairo yang belum saya kunjungi”, tuturnya bangga. Saya sih percaya-percaya saja. Toh kalo saya perlu buku, saya biasa bertanya kepadanya, tentang alamat maktabah yang memiliki koleksi buku dimaksud. Dan sang kawan tak hanya hafal lokasi toko-toko buku, tetapi ia juga tahu lorong-lorong azbakiya di seantero Kairo. “Saya malah kenal baik dengan para pedagang azbakiya Ataba”, kata dia lagi.

Begitulah, sang kawan sekamar ini sangat menyadari betapa Kairo adalah surga buku. Bersahabat dengan buku, berarti juga bersahabat dengan ilmu. Sedangkan kawan yang rajin baca koran tadi, nampaknya faham betul bahwa wacana yang berkembang dalam polemik-polemik di kalangan para ulama Al Azhar tadi, laksana mutiara mutu manikam yang berserakan. Begitu juga dengan kawan yang gemar bertualang menelusuri lorong-lorong mesjid gerakan tarekat atau situs-situs warisan Firaun, ia merasakan banyak berkah dari aktifitasnya itu. Baik berkah intelektual, finansial juga berkah spiritual.

Mesir memang sarat dengan ‘berkah’. Pantas Gus Dur -lewat komentarnya tadi - merasa telah dicerdaskan oleh alam raya negeri pyramid ini. Hal yang sama seharusnya kita rasakan juga, agar hari-hari ini tak berlalu begitu saja, melainkan sarat dengan aktifitas-aktifitas positif. Jangan sebaliknya ; kita tidak menyadari adanya berkah-berkah yang berserakan di Mesir ini. Ya, Mesir, negeri yang kita tinggali sekarang.

* Tulisan ini pernah dimuat di salah satu media mahasiswa Kairo

Pinggiran Nil, 5 Ramadhan 1425

Saturday, October 23, 2004

berkah ramadhan

Berburu Hidangan Tuhan

Ramadhan benar-benar bulan penuh berkah, dan karena itu, ia selalu menyisakan kesan atau kenangan manis. Di Mesir, ada salah satu berkah Ramadhan yang selalu menjadi rebutan banyak orang, termasuk kami, para mahasiswa penuntut ilmu. Berkah menawan itu bernama maidaturahman.

Selama Ramadhan, kami tidak usah direpotkan dengan kegiatan masak buat berbuka. Hampir setiap mesjid di kota Kairo ini, selalu menyediakan makanan buat para shaimin. Berbeda dengan di tanah air, yang hanya tersedia di mesjid-mesjid tertentu saja. Di Mesir, jika kita bepergian kemanapun, jangan khawatir magrib ngga makan. Asal mau datang ke mesjid terdekat, pasti ada makannya. Nah, hidangan di Mesir ini dinamakan maidaturrahman (secara harfiah berarti hidangan dari Yang Maha Pemurah).

Menurut sebuah koran yang saya baca, pada Ramadhan tahun lalu, maidaturahman di mesjid-mesjid Mesir ini dinikmati oleh rata-rata 3 juta orang per hari. Jumlah penyumbangnya ada 10 ribu orang. Mereka adalah para dermawan Mesir, juga para hartawan pengelola yayasan sosial di negara-negara Arab lain semisal Saudi atau Kuwait. Total dana yang dikeluarkan untuk membiayai maidaturahman selama sebulan Ramadhan tahun lalu mencapai $ 100 juta. Atau hampir setengah dari jumlah dana pembangunan Maktabah Iskandariah yang megah dan menghabiskan biaya $ 220 juta itu.

Menurut catatan sejarah, maidaturahman ini telah ada sejak masa Ahmad Bin Tulun, khalifah Dinasti Fathimiyyah, yang berkuasa di Mesir pada abad 10 Masehi. Selama ratusan tahun, tradisi ini berjalan baik, tetapi pada dekade 1950-an pernah hilang, kala Mesir dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser. Entah kenapa sebabnya, saya kurang tahu. Lalu, tahun 1967 muncul lagi, di mesjid Khulafa ar Rasyidin, kawasan Mesir Jadidah, konsumennya 400 orang per hari. Seiring dengan berjalannya sang waktu, maidaturahman pun kembali menggeliat. Hingga pada akhir masa kepemimpinan Anwar Sadat, tahun 1980-an, trend maidaturahman kembali populer.

Belakangan ini, penyedia maidaturahman tak hanya mesjid-mesjid, tetapi juga toko-toko tepian jalan raya, dan bahkan warga Mesir secara perorangan. Tempat-tempat penyedia maidaturahman itu bisa dengan mudah kita kenali karena selalu ada spanduk iklan. Seolah mereka berlomba merekrut konsumen sebanyak-banyaknya. Subhanallah.

Menelusuri mesjid-mesjid penyedia maidaturahman di Mesir, membuahkan sensasi tersendiri. Ada pengalaman baru atau kenangan manis, yang terkadang menggelikan. Cara orang Mesir menyajikan makanan ternyata beragam. Di beberapa mesjid besar , biasanya makanan tersaji dengan rapi dan bersih. Setiap orang mendapat jatah satu wadah besar, tentunya dengan menu yang menarik. Biasanya, nasi (atau roti), sayur, sepotong daging atau ayam berukuran besar, serta buah-buahan.

Beberapa kawan biasanya telah mengetahui lokasi-lokasi masjid penyedia maidaturrahman dengan menu yang menarik. Tahun lalu, ada seorang kawan akrab yang menjadi pelanggan harian maidaturahman di sebuah mesjid yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal. Untuk itu, ia rela setiap hari pergi ke sana, dan pulang menjelang tengah malam, usai tarawih. “Yang penting khan, gizi seimbang”, tuturnya sumringah.

Ada juga mesjid-mesjid yang menyajikan makanan dalam wadah-wadah besar, untuk dinikmati rame-rame. Nasi, sayur, kentang bahkan juga ikan atau daging rebusnya, disimpan sekaligus disana. Satu wadahnya, cukup untuk 7 hingga 10 orang. Makan satu wadah dengan orang Mesir, terkadang tanpa sendok, atau gantian sendok. Roti khas Mesir “isy”, berbentuk bundar seukuran kerupuk, kadang diberikan dengan cara dilempar.

Kalo kebetulan makan dalam suasana seperti ini, saya selalu berusaha tidak satu grup dengan orang Mesir. Soalnya, selain bakal “kalah saing”, saya kapok dengan prilaku orang Mesir yang jorok-jorok. Saya lebih senang cari orang Asia lainnya. Kecuali kalo ngga ada kawan lagi, terpaksa harus rela menghadapi kenyataan.

Sewaktu tinggal di Katamea, sebuah pemukiman baru di luar kota Kairo, saya menjadi pelanggan maidaturahman di mesjid dekat rumah. Hampir setiap hari. Karena hidangan disajikan per kelompok, saya selalu membuat tim sesama mahasiswa Indonesia lagi. Kalo dengan orang Mesir, ya itu tadi ; selain bakal kalah saing, mereka juga jorok-jorok. Apalagi di mesjid ini saya lihat banyak sekali orang-orang Mesir yang berprofesi pekerja kasar atau penggali tanah. Baju mereka lusuh-lusuh, dan kayaknya masuk mesjid belum pada mandi.

Jatah nasi kami, para mahasiswa Asia, sering ngga habis. Apalagi isy-nya, masih berserakan. Menghadapi suasana begini, kami ngga usah khawatir nasi-nasi sisa itu akan mubazir atau terbuang sayang. Mereka, orang-orang Mesir, selalu siap menjadi tim Thoharoh, pembersih semua sisa makanan. Tak jarang kala kami masih sedang asyik makan, orang-orang Mesir pinggiran itu sudah pada berdiri, memutar-mutar di sekeliling kami, nunggu kesempatan kami selesai. Kalo kami sudah berdiri tanda mau bubar, mereka tiba-tiba menyerbu wadah bekas kami makan, sibuk memilah-memilih sisa-sisa nasi, potogan-potongan isy, bahkan tulang-tulang ayam.

Saat awal-awal di Mesir, saya sering merasa canggung makan bersama dalam satu wadah. Saya kerap merasa geli dan ingin muntah. Tetapi, kata hati dan idealisme, kalah oleh rasa lapar. Membenci tradisi itu, berarti membiarkan perut sendiri keroncongan. Kebiasaan makan satu wadah rame-rame, satu gelas bersama-sama, kini telah menjadi tuntutan budaya yang harus kami ikuti. Makna pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung saya rasakan kebenarannya sekarang, ya pada bulan Ramadhan ini.

Pinggiran Nil, 23 Oktober 2004

Friday, October 22, 2004

SSM 9 : Asyura ala Mesir

Getar Asmara Hari Asyura

Para peziarah di makam kepala Imam Husein


Ruangan yang lebarnya tak lebih dari 100 meter persegi itu penuh sesak. Suara orang baca doa, lantunan ayat Quran, jerit tangis, hingga hardikan bawwab, bercampur menjadi satu. Aku, yang tiba ke sana menjelang pukul 21, mencoba menerobos masuk. Kupaksakan tubuh kurus-ku menyelinap di sela-sela tubuh orang-orang Arab yang tinggi besar. Dan Alhamdulillah, tanganku bisa juga meraih pagar besi itu. Bangunan kecil tempat kepala Imam Husein disemayamkan, akhirnya bisa kupandangi dari jarak 1 meter saja. Masih terhalang pagar besi pembatas itu. Sementara, di balik pagar, puluhan pria dan wanita berpakaian serba putih, berdesakan menciumi dinding makam. Aroma wangi semerbak masuk ke hidung. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar bermuka bersih, berdiri di sampingku, seraya berteriak dengan bahasa yang tak kukenal. "Colo Jali, Colo Jali", kata dia. Matanya melotot, sementara tangannya nampak melambai-lambai pada orang-orang yang sedang menciumi dinding makam itu.

Makam Imam Husein pada malam 10 Muharram (Asyura), hampir mirip suasana Ka'bah depan hajar aswad kala musim haji. Atau mirip suasana di makam Rasulullah, di Medinah. Ruame sekali. Ribuan peziarah, rela antri berdesakan. Dari yang berkulit hitam ala Afrika, hingga yang bermata sipit kayak si China. Dari orang-orang bersih berminyak wangi, hingga orang-orang Mesir kampung yang berbaju lusuh tak rapi.

Malam itu, kusaksikan sekelompok besar peziarah berseragam putih bersih ; lelakinya berpeci –juga putih, berhiaskan gambar bunga-bunga- sedangkan para wanitanya memakai jilbab dengan corak khusus, juga putih, dengan aneka warna bunga pula. Si Bapak yang teriak-teriak tadi, berbaju serupa. Juga anak-anak kecilnya. Tampang mereka, blasteran Arab-Pakistan. Kayaknya, mereka orang-orang Syiah dari Iran. Aku yakin itu, karena putih wajah mereka mirip Khatami atau Imam Khumaeni. Anak-anak kecilnya juga mirip Amir Farrokh Hashemian, pemeran tokoh Ali, dalam felm The Children of Heaven, film Iran garapan sutradara Majid Majidi yang meraih 3 penghargaan dalam Montreal World Film Festival 1997 itu.

Tetapi ternyata, dugaanku meleset. Mereka bukanlah orang Iran, melainkan dari negeri sungai Gangga, India. Itu kutau setelah satu diantara mereka kusapa. Rata-rata memang keturunan Iran, dan tentu saja, orang-orang Syiah. Karena itulah, kulit mereka, putih bersih, wajah-wajahnya pun berbeda dengan tampang khas India yang kerap nongol di felm semisal Hirthik Roshan, Amitha Bachan, atau Sridevi. Setelah tau bahwa mereka itu orang India, aku pun sadar, berarti Colo Jali itu rupanya bahasa Urdu.

Perilaku mereka di depan makam, sangat khas, berbeda dengan peziarah kebanyakan. Mereka berputar-putar mengelilingi makam sang Imam, sebagian lagi diam terpekur depan pusara. Beberapa diantaranya menangis terisak, bahkan ada yang menjerit-jerit. Wajah-wajah mereka menyiratkan gairah spiritual yang ekspresif. Seorang Ibu muda memangku bayi mungilnya yang sedang tidur. Bayinya itu, didekatkan pada dinding makam, seolah disuruh menciumi dinding. Aneh-aneh saja.

Ruangan dalam mesjid, juga penuh. Tetapi, tidak terlalu sesak. "Tadi magrib, lebih rame lagi", ujar seorang pemuda Mesir yang sempat kusapa. Seorang qari nampak melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Beberapa orang ulama besar Al Azhar memakai peci merah, duduk berderet dekat mihrab. Sepertinya sedang ada acara seremonial tertentu.

Halaman luas depan Mesjid Husein juga dipadati ribuan orang. Macam-macam perilaku mereka. Ada yang hanya duduk-duduk, ngobrol-ngobrol, ada yang asyik baca Al Quran, hingga ada juga yang bergerombol membaca wirid-wirid tertentu secara bersama-sama.

Begitulah, mesjid Imam Husein, di hari Asyura. Sejak awal Muharam, lampu warna warni menghiasi dinding luar mesjid yang dibangun sekitar abad 9 Masehi itu. Para peziarah, mulai memadat. Dan puncaknya, malam 10 Muharram itu.
"Kami memperingati wafatnya Imam Husein", ujar seorang warga Mesir yang mengaku bernama Gamal. Lelaki setengah baya ini mengaku sengaja datang bersama keluarganya dari Zaqaziq, sebuah kota propinsi Mesir, sekedar untuk menghadiri acara haul Imam Husein, di hari Asyura.

'Asyura berasal dari kata 'asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharam yang diperingati umat Islam sebagai hari berkabung untuk memperingati wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 61 H / 680 M di Karbala, tepi sungai Eufrat, atau 95 km barat daya Baghdad, Irak. Kala itu, seluruh laki-laki dalam keluarga Husein dibunuh, kecuali putera terkecilnya, Zainal Abidin. Kaum perempuannya disuruh berjalan ke Damascus tanpa hijab.

Orang-orang Syiah memperingati acara ini dengan gaya yang khas, terkadang berlebihan. Dalam Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pada masa khalifah Muiz ad Dauli, seorang khalifah dinasti Buwaihiyyah (932 M-1055 M) yang berhaluan Syiah, bazaar-bazaar ditutup, orang-orang keliling kota sembari menangis, meratap, menutup kepala dan berbaju hitam. Sementara, para perempuannya berbaju kusut. Dengan cara itu, mereka mengenang perjuangan Husein bin Ali dalam menegakkan kebenaran. Mereka bershalawat atas Nabi SAW dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husein dan keluarganya itu, serta memperagakan berbagai atraksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husein bin Ali.

Ekspresi kecintaan umat Islam Mesir terhadap Imam Husein dan keluarga Nabi, sangat menarik untuk ditelusuri. Mesjid-mesjid ahlul bait, yang didalamnya ada makam keluarga Nabi, terawat rapi, dan setiap saat selalu ramai dikunjungi orang. Apalagi makam Imam Husein itu. Aktifitas ini bisa jadi, karena didasari oleh sebuah hadits Nabi saw : Inilah kedua cucuku! Siapa yang mencintai keduanya maka ia mencintaiku dan siapa membenci keduanya maka sesungguhnya ia membenciku.

Kini, di kawasan Old Cairo, sebutan bagi ibukota Mesir masa dinasti Fathimiyah (sekitar 1000 tahun lalu), terdapat beberapa makam keluarga Nabi yang tersimpan di mesjid. Misalnya saja, Sayyidah Aisyah, Sayyidah Zeinab, dan Sayyidah Nafisah. Tetapi, Mesjid Imam Husein merupakan yang paling terkenal. Di dalamnya, konon, ada makam kepala cucu kesayangan Rasulullah ini. Aku katakan konon, karena hingga detik ini, lokasi makam kepala sang Imam, masih kontraversi. Apakah benar kepala sang Imam itu berada di mesjid ini atau tidak, belum ada kepastian. Majalah budaya terbitan Kairo Al Qahirah edisi pertengahan 2003 lalu, pernah melaporkan adanya 8 lokasi yang diklaim sebagai makamnya kepala sang Imam. Tetapi nampaknya, kontraversi itu tak digubris oleh para peziarah. Isak tangis mereka malah semakin mengeras, seiring dengan malam yang melarut. Hingga tak ada kata yang paling pas untuk menjelaskan perasaan mereka kala itu, kecuali cinta..


Pinggiran Nil, 20 Maret 2004

Sunday, October 17, 2004

Cairo Book Fair

Ambek Nyedek Tanaga Midek *



Gerbang utama arena Book Fair 2004


Rasa kesel, sakit hati, pusing, ngiri, dan yang sejenisnya, muncul dalam hatiku secara tiba-tiba, di suatu sore beberapa hari lalu. Bagaimana tidak. Jalan-jalan di arena pameran buku internasional Kairo (Ma'radul Qahirah Ad Dauli As Sadis Wa Tsalatsin lil Kitab) yang terkenal dengan harganya yang murah-murah itu, sementara duit tak ada. Ibarat kata, maksud hati memeluk gajah, apa daya tangan tak sampai. Kalau kata orang Bandung, ambek nyedek tanaga midek.

Cairo International Book Fair tahun ini, adalah yang ke-36 kalinya, sejak pertama kali diadakan. Saya tidak tahu, kapan yang pertama kalinya itu. Entah memang 36 tahun lalu, 360, atau malah 3600 tahun lalu. Apakah pada masa Presiden Anwar Sadat, Gamal Abdel Nasser, King Hassan, Napoleon Bonaparte ataukah pada masa Presiden Fir'aun, saya juga belum tahu. Yang saya tahu, bahwa pameran buku ini adalah yang terbesar kedua di dunia. Konon, the biggest-nya adalah pameran di Frankfurt, Jerman.

Biasanya, ma'rad digelar selama 2 mingguan. Tahun ini singkat, hanya 9 hari, yakni dari tanggal 22 hingga 30 Januari 2004, karena keburu liburan Idul Adha. Di Mesir ini, sejauh yang saya ketahui, Idul Adha memang lebih terasa lebarannya daripada Idul Fitri. Harga-harga pada naik, orang-orang juga pada mudik. Kantor-kantor masih pada tutup hingga pekan depan. Kota Kairo nampak lengang. Suasana yang terbalik dengan tradisi kita di tanah air.

Kendati singkat, ma'rad tahun ini diikuti oleh 3150 stand penerbit, dari 97 negara. Dari angka 3150 itu, 650 diantaranya adalah stand non Arab, 900 penerbit Arab non Mesir, dan 1600 penerbit Mesir. Beberapa penerbit terkemuka mengandalkan buku-buku terbarunya, semisal Darul Fikr Al Arabi, yang tahun ini membawa 150 judul buku baru, selain 1500-an judul lamanya.

Saya telah mengalami 3 kali pameran serupa di Kairo ini. Pameran pertama, akhir Januari 2002, kala masih punya banyak uang, hahahahaha... Maklum, masih baru di Kairo. Tentu saja, saya borong-borong agak banyak. Buku-buku 'turats' keagamaan, menjadi incaran utama. Kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu-nya Wahbah Zuhaili yang 11 jilid, Fathul Bari yang 13 jilid, juga beragam kitab-kitab klasik mujalladat lainnya, tiba-tiba memenuhi kolong ranjang di kamar kost-ku, pada hari-hari ma'rad.

Pameran kedua, akhir Januari 2003, tak bisa kuikuti hingga tuntas. Kalo ngga salah, saya hanya kebagian hari pertama dan keduanya saja. Soalnya, keburu berangkat haji. Waktu itu, saya ngubek-ngubek ma'rad dalam dua hari, sekedar cari buku Iqtishaduna-nya Baqir Shadr yang Syiah itu. Alhamdulillah sih, ketemu. Buku rujukan utama para pengkaji ekonomi Islam yang tebalnya 712 halaman itu ternyata nyelap di salah satu pojokan azbakiya alias loakan. Sialan. Selain Iqtishaduna, beberapa buku agama yang murah-murah juga saya beli. Ngga bisa banyak-banyak, karena fulus-nya keburu kepake untuk persiapan hajian.

Nah, di ma'rad seminggu lalu itu, saya puas-puasin jalan-jalan. Ibarat pepatah, kelapa muda kupas-kupasin, kelapa tua tinggal batoknya. Masa ma'rad puas-puasin, masa tua tinggal bongkoknya, (...hahahahha...ngga nyambung..!). Ya, intinya di ma'rad kemaren itu, saya hanya jalan-jalan, itupun dalam 4 hari terakhir saja. Maklum, 5 hari pertama-nya saya sibuk ngurus ini itu.

Saya ngga begitu PD masuk hall-hall pameran yang jumlahnya ada 35 itu, baik yang besar, atau hall kecil. Luas keseluruhan tempatnya saja, 180.000 meter persegi. Belum lagi stand-stand penerbit yang berderet di setiap pinggiran jalan yang berliku-liku. Malas, dan itu tadi...hehehehe..fulusnya bermasalah..! Lagian, jalan-jalan keliling ma'rad, itu cukup menguras energi karena cape-nya. Bayangkan saja, satu hall besar kira-kira seukuran dengan stadion mini di padepokan pencak silat TMII itu.

Selama 4 hari kemaren itu, saya hanya bolak-balik di azbakiya, alias stand buku-buku bekas. Luasnya ngga sampai sepersepuluh dari total luas ma'rad. Tempatnya juga tidak rapi. Tetapi, buku-bukunya lumayan, banyak yang bagusnya, dengan harga yang mulah meliah.

Harga buku tahun ini, memang tidak terlalu murah jika dibandingkan dengan ma'rad tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu, diskonnya ada yang mencapai 60 - 70 persen. Ma'rad kemaren itu, diskonnya kecil-kecil, paling 30 hingga 40 persen dari harga asli. Apalagi buku-buku terbitan luar Mesir, semisal Lebanon atau Damascus. Kayaknya dimahal-mahalkan dulu, baru dikasih diskon. Tega nian memang para saudagar Arab itu. Meski memang saya tahu, bahwa semua ini disebabkan karena melemahnya kurs Pound Mesir terhadap Dolar AS, sehingga harga buku tetap mengacu pada standar Dolar. Seperti kitab Fathul Bary yang tahun lalu masih 105 Pound itu, kemaren naik menjadi 150. Memang angkanya masih yang itu ; satu, lima dan kosong, tapi khan, nilai pun berubah, akibat posisi yang beda. Ibarat tempat duduk kala ujian ; posisi menentukan prestasi, hehehehe...

Pelaksanaan ma'rad yang hanya 9 hari, juga berimbas pada mahalnya harga buku. Seperti yang dikatakan Om Ashraf Yusuf, dari penerbit Dar Alam al Kutub, yang pada tahun ini membawa 50-an judul buku baru, selain 600-an judul lama. "Terpaksa kami membebankan biaya operasional pada harga penjualan". Ah, pantesan saja Om, harga buku-bukumu itu mahal. Akibatnya, saya ngga bisa beli-beli banyak. Sebagai orang Sunda, saya hanya bisa kukulutus alias mengeluh, ambek nyedek tanaga midek.

Pinggiran Nil, 1 Februari 2004


Thursday, October 14, 2004

Nilai Seni Tari Perut

Tari Perut, dari Pornografi ke Seni


Nile City, salah satu kapal terapung di sungai Nil penyedia tari perut


Bagi orang Mesir, tarian erotis ala Si Ratu Ngebor Indonesia Inul Daratista, bukanlah barang baru. Sejak berabad-abad lamanya, tari perut, dengan segala muatan erotisme-nya, telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat.

Tari perut dianggap sebagai warisan budaya leluhur Mesir Kuno yang harus dilestarikan. Pemerintah Mesir menjadikannya sebagai salah satu komoditas wisata yang bernilai tinggi. Karena itu, penghargaan bagi para penari terbaik, selalu diberikan. Raja Farouk, penguasa Mesir tahun 1936-1952, sering memberikan penghargaan dan gelar istimewa bagi penari-penari terbaik Mesir di masanya. Begitu juga Napoleon Bonaparte, penguasa Mesir berkebangsaan Perancis akhir abad 18, selalu memberikan perlakuan khusus dalam melindungi para penari perut dari gangguan orang-orang iseng.

Mesir memang sudah lama menggeliat. Sebagai sebuah negara yang potensial, ia berada di jajaran depan negara-negara di benua Afrika. Kemajuan itu antara lain tercermin dari cara mereka mengelola pariwisatanya. Profesionalitas mereka dalam mengemas pariwisata dapat dilihat dari cara mereka mendatangkan turis untuk melihat pertunjukan tari perut di atas kapal terapung yang berjejer di sungai Nil.


Kini, tari perut sangat mudah kita temukan di Mesir, seperti mudahnya mencari Warteg di Jakarta. Dengan uang 100 hingga 130 Pound (sekitar 120 – 150 ribu rupiah), kita bisa duduk santai selama 2 jam, di atas kapal, diiringi lagu-lagu Arab dan Barat suguhan sekelompok pemusik. Di antara lagu yang dimainkan itu, tiba-tiba hadir tubuh semampai seorang penari yang menampilkan tari perut nan indah. Hampir 20 menit, tubuh indah itu meliuk-liuk. Sambil menikmati hidangan makan malam, kita dapat melihat temaramnya lampu-lampu kota Kairo

Sepanjang sungai Nil di kota Kairo, puluhan kapal pesiar (Nile Cruiser) berukuran besar penyedia hiburan tari perut berjejer menanti penumpang setiap malamnya. Sekitar kawasan Tahrir Square (pusat kota Kairo) saja, setidaknya ada 10-an kapal yang nongkrong. Rata-rata, setiap kapal menggelar acara hiburan itu 3 gelombang dalam seharinya ; siang, sore dan malam hari.

Tari Perut kini telah dijadikan salah satu komoditas utama wisata Mesir. Daya tariknya memang luar biasa. Pengamatan saya dalam beberapa kesempatan, acara hiburan penyedia tari perut dalam kapal-kapal pesiar Nil itu selalu penuh. Tentu saja bagi perekonomian Mesir, ini merupakan sumber pemasukan keuangan yang besar. Tahun 2001-2002 saja, tercatat sekira 5,8 juta turis mancanegara, hampir semuanya mampir ke kapal penyedia tari perut itu. Hotel-hotel didirikan di berbagai kota. Tercatat pada tahun 2000, 113.600 kamar hotel tersedia. Pantas jika 25 persen penghasilan negara datang dari sektor ini.


Tetapi, sebagai tari pengumbar aurat wanita, tari perut hanya boleh digelar di tempat-tempat tertutup yang ditunjuk. Para ulama Al Azhar, pada awal dekade 1980-an berfatwa tentang larangan ini. Apresiasi masyarakat juga beragam. Ada yang melihat tari perut sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, bagian dari inovasi dalam berkesenian, sehingga layak mendapat apresiasi. Ada juga yang mengecamnya sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan. Ada juga yang melihatnya sebagai bagian dari penyebaran sensualitas yang tak senonoh, tidak sesuai dengan norma kepantasan, dan semestinya ditertibkan.

Bagi para pekerja seni, tentu saja persoalan ini menjadi perhatian khusus. Adalah Vivi Abduh, sang grand master tari perut Mesir berkomentar tentang hal ini. “Tari perut adalah seni yang bernilai tinggi. Kami melakukannya dengan musik tertentu, dalam batas-batas artistik dan estetika”, kata dia, sebagaimana dikutip sebuah mingguan Kairo.

Untuk ‘menyelamatkan’ tari perut dari serangan kaum ekstrem, para artis kini sedang berusaha mendirikan sebuah naqabah raqishah (ikatan penari), tempat mereka bergabung. “Pembentukan organisasi ini, bertujuan untuk menempatkan tari perut pada posisi yang terhormat”, kata Vivi Abduh. Wadah itu akan membentuk tim penyeleksi penari, mana yang profesional, dan mana yang gadungan. Tim juga akan memberikan pelatihan singkat tentang aturan main tari perut yang benar, dengan menjunjung tinggi batas-batas seni dan etika, sehingga tari perut tidak lagi dipandang sebelah mata oleh publik. Bahkan, tim akan mengeluarkan semacam lisensi khusus, sebagai ‘surat izin’ operasi bagi para penarinya.

Selama ini, 3000-an penari perut di seluruh pelosok Mesir, beroperasi sendiri-sendiri. Berbagai kisah buruk kerap terjadi menimpa mereka. Seperti prilaku pengunjung yang tidak sopan, atau tindak kekerasan dan pelecehan lainnya. Kesan bahwa penari perut itu wanita murahan dan bisa diajak kencan, juga mengemuka di sebagian kalangan. “Padahal image seperti itu tidak akan ada, kalau kita bersatu”, ujar Vivi Abduh.

Upaya mengangkat citra tari perut dengan cara pembentukan organisasi ini, telah dimulai sejak 4 tahun terakhir. Tandatangan 200 penari telah terkumpul. Persyaratan administratif yang berkaitan dengan aturan kenotarisan, juga telah disiapkan. Hanya saja, para artis penari itu sendiri belum semuanya sepakat dalam rencana ini. Mereka keasyikan ngebor terus sih…

Pinggiran Nil, 2 September 2003

Pesona Ummi Kulsum

Puteri Panggung itu Bernama Ummi Kulsum

Sebuah pernyataan klasik, bahwa "Orang Arab akan berbeda pendapat dalam segala hal, tetapi tidak dalam satu soal ; Ummi Kuslum", nampaknya telah menjadi aksioma di Tanah Arab ini. Lihat saja sejarah, betapa orang-orang Arab beserta para pemimpinnya, tidak pernah kompak menghadapi Israel dan AS. Mereka tak satu suara menyikapi persoalan Palestina. Belum lagi perang dingin 'Sunni-Syiah', antara kaum agamawan Mesir dan Iran yang masih nampak hingga sekarang. Tetapi dalam soal Ummi Kulsum, semuanya mengatakan hal yang sama ; Ia adalah penyanyi kesohor asal Mesir, yang belum ada duanya hingga saat ini.

Mendiang Ummi Kulsum tidak akan pernah tahu bahwa banyak orang Indonesia sangat mengenal suaranya. Bahkan, di sebagian pesantren, lagu-lagunya acap dinyanyikan secara rutin. Ummi Kulsum adalah diva lagu-lagu Arab. Anda yang akrab dengan lagu-lagu Arab Padang Pasir, tentu akan tahu – atau setidaknya pernah mendengar – lengkingan suara khas Ummi Kulsum. Ibu saya saja nun jauh di Sukabumi sana, konon telah menyukai lagu-lagu Ummi Kulsum sejak masih single. Dalam penilaian orang Arab, suara emas Kulsum dianggap menyimpan alkamal wal jamal ; kesempurnaan dan kecantikan sekaligus. Ummi Kulsum sudah dianggap sebagai maskot kebanggaan warga Arab keseluruhan, yang tersebar di 20 negara Timur Tengah, tak lagi Mesir sendiri. Dengan kata lain, Ummi Kulsum telah menjadi legenda orang Arab yang tiada duanya. Hingga zaman ini

Tiga Februari 2004 lalu, sebagian orang Arab dan tentu juga Mesir, memperingati haul atau peristiwa kematian Ummi Kulsum yang ke-29. Beberapa koran Kairo yang terbit di sekitar hari itu, menyediakan ruangan khusus berisi ulasan tentang kehidupan dan perjalanan karir sang artis. Mingguan kesukaan saya, Rouz el Youssef, menyajikan tulisan dua halaman tentang Ummi Kulsum dalam rubrik Pembesar-Pembesar Mesir. Menurut koran-koran itu, ternyata peringatan kematian Ummi Kulsum, tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Mesir, tetapi juga orang-orang Arab di negara lain. Seperti dilakukan oleh Departemen Kebudayaan Tunisia, yang mengadakan acara peringatan haul Ummi Kulsum pada akhir dekade 1970-an. Dalam sebuah kesempatan haul, Pemerintah Mesir pernah mencetak 1,5 juta perangko bergambar Ummi Kulsum. Begitu juga di Uni Emirat Arab, yang pernah memasang gambar Kulsum di salah satu perangko resmi dan uang kertasnya.

Ummi Kulsum meninggal pada 3 Februari 1975. Hingga kini, makamnya di daerah Ismailiyyah, Mesir, selalu ramai dikunjungi orang. Konon, kala kematiannya 29 tahun lalu itu, ratusan ribu – atau mungkin jutaan - orang Mesir turun ke jalan. Bukan untuk demo, melainkan wujud duka cita yang tiada terkira. Sekedar ilustrasi, barangkali tak beda dengan respon publik Indonesia terhadap kematian Ibu Tien Suharto, di hari lebaran Idul Adha 7 tahun lalu. Bedanya, sebagian orang kita turun ke jalan, melakukan tahlil dan doa bersama, karena tak lepas dari iklim feodalistik ala rezim Orde Baru. Karena almarhumah adalah isteri orang terkuat kala itu, Soeharto. Sedangkan tangis orang Mesir atas kepergian Ummi Kulsum, benar-benar tangisan tulus, ekspresi kecintaan pada sang legendaris. Tidak karena prinsip ABS (asal bapak senang), atau karena motivasi politik lain.

Ummi Kulsum dilahirkan pada tanggal 4 Mei tahun 1904, di Thama Zuhairah, sebuah desa di daerah Ismailiyah, 140 km utara Kairo. Sejak kecil ia memang dibesarkan dalam lingkungan keluarga peminat seni suara. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang petani kapas dan juga qari yang terkenal di kampungnya.

Satu hari sebelum isterinya melahirkan - kala itu, hari-hari terakhir Ramadhan- Ibrahim bermimpi melihat seorang wanita berbaju putih menyalaminya. "Siapa Kamu?" tanya Ibrahim. "Saya Ummi Kulsum", jawab si wanita itu. Nah, atas dasar mimpinya itulah, Ibrahim dengan mantap, menamakan puterinya yang lahir keesokan harinya itu dengan nama Ummi Kulsum. Sejak hari itu pula Ibrahim begitu yakin dengan firasat bahwa puterinya akan memiliki keistimewaan khusus yang dikaruniakan Allah.

Bersama saudara kandungnya, Khalid, Kulsum kecil diajari seni tilawah Al Quran, langsung oleh ayahnya. Juga bagaimana mengembangkan bakat di bidang musik, pelajaran baca-tulis, hingga soal etika menyanyi di panggung. Teori-teori bagaimana sikap seorang artis kala penontonnya riuh bertepuk tangan, menyanyi pakai teks, hingga bagaimana mengatur pandangan mata ke penonton, rupanya telah membekas kuat dalam diri Kulsum kecil. Menurut catatan sejarah, pada masa-masa itu, belum banyak keluarga Mesir – apalagi di daerah pedesaan - yang secara serius bisa mengajarkan anak gadisnya dunia tilawah, baca tulis, syair-syair Arab, hingga etika menyanyi.

Bakat menyanyi rupanya telah melekat kuat pada pribadi Kulsum kecil. Saat usia belasan tahun, ia sudah terbiasa manggung di acara-acara panggung rakyat pedesaan, di sekitar kota Ismailiyah. Tahun 1918, ia diundang menyanyi di kota Zaqaziq, 81 km dari Ismailiyyah, dalam acara pesta di sebuah keluarga pembesar. Tahun 1920, Kulsum muda sudah mulai diundang menyanyi hingga ke Kairo.

Begitulah, selama rentang dekade 1920-an, Kulsum muda menjadi puteri panggung. Tetapi tentunya tidak sama dengan Inul Daratista atau Uut Permatasari yang memang punya lagu berjudul "Puteri Panggung". Nama Kulsum semakin dikenal orang, seiring dengan frekuensi manggungnya yang meninggi. Ia mulai sibuk melayani permintaan menyanyi di berbagai kota di Mesir. Diantara panggung bersejarah yang mengangkat namanya hingga terkenal seantero Mesir adalah pada saat menyanyi di acara pembukaan radio pemerintah Mesir pada tanggal 27 Januari 1935. Sejak saat itu pula, Ummi Kulsum menjadi artis penyanyi yang suaranya tidak hanya didengar orang Mesir, tetapi juga negara-negara Arab lain.

Ummi Kulsum juga kerap diundang menyanyi oleh para penguasa Mesir, sedari Raja Farouk, Presiden Gamal Abdul Nasser hingga Anwar Sadat. Bahkan, kala Mesir kalah perang atas Israel di tahun 1967, Ummi Kulsum diminta tampil ke publik secara khusus, untuk menghibur para prajurit. Ia mendendangkan lagu-lagu perjuangan, pendorong semangat juang dan percaya diri bangsa Mesir untuk mengusir Israel dari Semenanjung Sinai. Kulsum juga keliling dunia Arab, berangkat ke Libya, Tunisia, Maroko, Sudan, dan Lebanon ; hanya untuk menyanyi dan membawa misi kampanye dukungan bagi perjuangan Mesir. Hingga akhirnya, Mesir mampu mengusir Israel dari Sinai pada pertempuran 6 Oktober 1973 yang terkenal itu.

Kini, setelah 29 tahun kepergiannya, kaset-kaset lagu Ummi Kulsum tetap menjadi best seller di berbagai negara Arab, especially in Egypt. Hingga akhir hayatnya, 280 judul lagu ia lantunkan. Alf leila We Leila, Ana Fintezarak, Fakarouni, Leilet Hob, Enta Omri dan Lessa Faker, adalah diantara judul lagu-lagu kesohor sang diva. Di toko-toko kaset kota Kairo, lagu-lagu Ummi Kulsum – yang dijual rata-rata seharga LE 10 (sekitar 12 ribu rupiah)- masih mampu bersaing dengan artis-artis ngetop dan bahenol Arab era sekarang, semisal Nawwal Zoghby, Bascal Mash'alani, Diana Haddad, hingga Samira Said. Televisi-televisi Mesir, juga masih sering menayangkan rekaman-rekaman panggung Ummi Kulsum. Hard Disk komputerku juga menyimpan sebuah klip rekaman sang artis legendaris, berisi lagu-lagu terbaiknya, dengan masa durasi 78 menit. Tentu saja lagu-lagunya tidak berupa klip warna-warni seperti kebanyakan klip para artis sekarang. Klip Ummi Kulsum masih berupa rekaman diatas panggung, gaya menyanyi masih monoton, pakaian yang sopan, dengan gambar yang masih hitam putih agak-agak suram.

Begitu juga di radio-radio Mesir, baik AM maupun FM, hampir selalu ada – setidaknya satu gelombang - yang sedang memutar lagu-lagu kenangan Ummi Kulsum. Apalagi kalau malam hari, mencari saluran radio yang memutar lagu Ummi Kulsum sangatlah mudah. Maklum, lengkingan khas Kulsum, dengan segala lekuk-lekuk suaranya yang terkadang mirip tilawah lagu-lagu Al Quran, sangat pas dinikmati dalam keheningan malam, sebagai pengiring tidur. Musik pengiringnya pun, berupa kelompok permainan organik, grup atau ensemble semacam orkestra. (Ensemble, yang berasal dari bahasa Perancis, dalam terminologi musik, adalah sebuah permainan musik secara serempak atau bersama-sama). Meski dimainkan oleh kelompok besar, irama musik pengiring lagu Kulsum biasanya tetap 'santun', hangat, bergema, romanits, dan tentu saja tidak menyalak-nyalak sebagaimana kebanyakan lagu Arab hip-hop sekarang.

Beberapa tahun lalu, sinetron Ummi Kulsum juga sempat populer di Mesir. (Sayang sekali, saya tidak memiliki informasi tentang hal ini). Sejumlah buku juga ditulis orang, khusus membahas kehidupan sang ratu panggung kebanggaan orang Arab ini. Diantaranya yang saya miliki adalah karya Zakaria Hashim yang berjudul Ummi Kulsum, Tuhfatul Asr Wa Mu'jizatud Dahr.

Lagu-lagu Ummi Kulsum, sejauh yang saya rasakan, memang bercitarasa seni tinggi. Syair-syair yang dibawakannya juga bernilai sastra. Dari 280 judul lagu itu, sebagian besar diantaranya bertema seputar cinta, keagamaan dan nasionalisme. Dan yang jauh lebih penting dari itu, kemerduan suaranya mampu menembus tingkatan oktaf nada yang amat tinggi, dengan nada yang tetap stabil. Sangat pas dinikmati oleh seorang bujangan dalam perantauan. Hingga tidak jarang, saya betah berlama-lama duduk depan komputer sambil menulis, diiringi haleuang Ummi Kulsum, sebagaimana yang saya lakukan saat menulis catatan ini.

By the way, kapan Indonesia punya puteri panggung sehebat Ummi Kulsum?

Pinggiran Nil, 7 Februari 2004

Pria Mesir Perkasa

Pria Mesir nan Perkasa


Beberapa pria Mesir di pintu gua Firaun, tepian Laut Merah

Orang Mesir adalah masyarakat yang cinta damai, bukan pendendam, alias mudah memberi maaf. Frekuensi terjadinya tindakan kriminalitas semacam penodongan, pemerkosaan, apalagi pembunuhan, sangat-sangat jarang. Kalo mereka berantem, bukannya baku hantam atau bunuh-bunuhan kayak di Indonesia, tetapi cukup dengan adu pelotot mata, caci-maki yang nyaris susah dihentikan, atau sekedar pegang-pegangan kerah baju. Konon, orang yang mukul duluan, apapun kasusnya, akan disalahkan.

Tapi, dalam rumah tangga, kehidupan sebagian mereka, tidak seindah syurga. Semangat cinta damai tadi, hanya berlaku di luar rumah. Aksi kekerasan para suami terhadap perempuan (isteri), masih sering terjadi. Terutama yang paling populer adalah tindakan pemukulan terhadap isteri. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah LSM perempuan di kota Kairo akhir 2002 lalu, terungkap bahwa 70 persen responden (para ibu rumah tangga di kota Kairo), memiliki pengalaman ‘biasa dipukul’. Dari jumlah itu, 60 persennya biasa dipukul oleh suami, 25 persen kadang dipukul oleh saudara ipar, dan 15 persennya dipukul oleh famili suami lainnya.

Fatimah Daratista, bukan nama sebenarnya, seorang aktifis di LSM perempuan penyelenggara polling tadi, mengatakan bahwa pihaknya sering menerima keluhan dan pengaduan para isteri korban pemukulan suami. “Khan kasian, mereka itu, dipake juga, dipukulin juga”, kenang dia dengan mata berkaca-kaca.
Ada banyak faktor pemicu tindakan suami ringan tangan ini. Diantaranya yang paling populer adalah karena cemburu, atau sikap suami yang egois, tak ingin dianggap istiqomah (ikatan suami takut isteri di rumah). Jadi, suami berlagak jagoan, karena tidak mau kalah oleh isterinya.

Seorang sopir angkot, masih dalam cerita Fatimah, punya isteri cemburuan tinggi. Kalo ketauan ada penumpang wanita cantik duduk di depan sebelah sopir, maka kiamat seolah terjadi hari itu dalam hidup si sopir. Meskipun, wanita cantik itu, penumpang biasa, yang juga bayar ongkos. Sang isteri nanti, tidak akan membukakan pintu rumah, apalagi pintu kamar tidur. Baju diserahkan lewat jendela, karena rumah itu memang milik keluarga si isteri, alias komplek mertua indah. Nah, belakangan, sang suami balik kesel. Ia mulai terbiasa mukulin isteri, hingga kini, saat usia pernikahan mereka sudah 14 tahun.

Seorang janda cerai beranak 6, berkisah lain lagi. Suami barunya sering mukulin dia, sejak hari ketiga pengantinan, juga akibat terlalu mudah cemburu. “Kata orang, ana sangat cantik wa bahenol sih..”,begitu kata sang isteri sambil garuk-garuk perut, seperti ditirukan Fatimah. Sang suami, selain mudah terangsang, katanya juga mudah tersinggung. Ia sering nampar isteri, bahkan hingga di rumah ortu-nya si isteri. Pernah suatu kali, sang suami matiin rokok beneran di kulit si isteri. Ih….amit-amit…

Nah, para isteri korban aksi kekerasan suami itu, jarang yang mau mengadu ke hansip, bawwab, apalagi polisi. Anggapan bahwa “aib besar jika menjelek-jelekkan suami depan bawwab”, masih sangat kental di kalangan para nyonya cucu kleopatra ini. Apalagi kalo pengaduan itu malah kontra-produktif, alias berbalik murka suami. Sang suami akan dengan mudah menjatuhkan talak, yang tentu saja, berakibat fatal bagi isteri. Status janda tea.... wah wah wah…..bener-bener harus dihindari.


Wahid Dasuki, seorang pengamat wanita, aktifis gerakan perempuan di Mesir maksudku, mengatakan bahwa tindakan kekerasan ini merupakan aksi unjuk gigi seorang suami depan isteri dan lingkungannya. Para suami berpendidikan rendah, menurut Wahid, sering memukuli isteri di rumah dengan teriakan kencang sementara posisi jendela dibiarkan terbuka, untuk menunjukkan kepada tetangganya, bahwa ia pun bisa mendidik isteri, tidak mencuekkannya. Ya..semacam show of force ; unjuk kekuatan dan wibawa kira-kira. “Di kalangan keluarga berpendidikan, suasananya agak berbeda. Aksi pemukulan ini, sebagaimana jenis aksi khusus mereka lainnya, dilakukan secara sembunyi-sembunyi”,kata Wahid lagi sambil senyum simpul, penuh misteri.

Para suami Mesir, masih menurut Wahid, sering menjadikan isteri sebagai sasaran kekecewaan, kemarahan dan tekanan mental akibat kondisi sosial-ekonomi yang tidak stabil. Isteri, sebagai figur lemah yang posisinya “lebih rendah”, kerap jadi korban. Pada pasangan suami isteri berpendidikan rendah, ketidakharmonisan akan lebih sering terasa, akibat lemahnya daya / kualitas komunikasi kedua pihak.

Selain karena takut dicerai, para isteri enggan mengadukan penderitaannya itu, juga karena secara hukum, posisi mereka lemah. Hingga sementara ini, Mesir masih memberlakukan putusan Mahkamah Agung nomor 6848 thn 1963, yang membolehkan suami memukul isteri untuk tujuan mendidik, “selama tidak menyebabkan bekas / cacat dalam tubuh isteri”. Jika menimbulkan penderitaan berat dan cacat misalnya, sang isteri baru boleh mengajukan cerai.

Dengan aturan ini, para suami, seolah mendapat legitimasi dalam melakukan tindak kekerasan terhadap isteri. Sebaliknya, para isteri, dibikin tak berkutik. Kalopun ada isteri yang memprotes aturan ini, masih malu-malu. Pernah ada seorang ibu rumah tangga mengusulkan agar kalimat dalam pasal itu ditambah dengan “Pukulan tidak boleh lebih dari sekali, dalam seharinya”.

Baru pada bulan Januari 2003 lalu, para aktifis gender Mesir, mendirikan semacam lembaga advokasi, khusus menangani isteri korban penganiayaan suami (Wihdah al Istima’ lil Mar’ah al Mu’annafah), yang diketuai oleh Ny. Ashgan Abdul Hamed. Hingga akhir Maret 2003, pihaknya telah menerima sedikitnya 25 pengaduan dari para isteri. “Ada 3 kasus yang paling menarik, dan akan dijadikan sampel dalam upaya kami ke depan”, kata si nyonya Ashgan dengan mata melotot geram. Sekilas mirip Su Aceng. Bedanya dikit, si nyonya tidak punya kartu nama. Oya, sory, diantara kasus-kasus itu adalah kisah seorang isteri lulusan akademi bisnis, bersuamikan seorang buruh perusahaan yang buta huruf. (Angka buta huruf masih tinggi di Mesir. Jumlah perawan tua juga lumayan banyak, akhir 2001 ada sekitar 6 juta orang, akibat terlalu tinggi ‘pasang harga’. Akibatnya, dalam usia diatas 30-an, para gadis tua itu banting harga, dengan satu prinsip, yang penting dapet cowo sehat, hehehehe).

Nah, isteri yang sarjana itu sering dipukuli suaminya yang ngga bisa baca-tulis tea. Saking seringnya, ia menderita stres berat, semacam geger otak, hingga ketularan penyakit suaminya, yakni ngga bisa baca lagi. Dalam ketidakberdayaan, sang isteri dibawa temannya bersilaturahmi ke sekolah pemberantasan buta huruf, hingga ia bisa baca lagi, dan belakangan baru sadar lagi bahwa ia sebenarnya telah lulus akademi.

Ezzat Sulaiman, seorang pengacara dan aktifis gender Mesir menggugat hukum yang tidak berpihak bagi kaum wanita Mesir itu. “Kalo suami punya hak mukul isteri dengan tujuan mendidik, kenapa isteri tidak boleh ? Bagaimana kalo isteri juga punya hak yang sama, untuk mendidik suami yang ngga bener? Emangnya suami itu malaikat, yang ‘Laa Ya’tiihil Bathil’?” demikian gugat Ezzat.

Saya tidak tahu, apakah gugatan Ezzat dan upaya advokasi yang dilakukan oleh para pemerhati gender di negeri Qassim Amin ini akan berjalan efektif atau tidak. Kita tunggu saja perkembangannya. Untuk Anda para pemerhati gender dan feminisme, saya ucapkan selamat berjuang.

Pinggiran Nil, ujung bulan Kartini 2003.

Mutiara di Al Azhar

Mutiara berserakan di Mesjid Al Azhar

Pelataran dalam Mesjid Al Azhar, di suatu pagi



Dingin pagi musim semi yang menusuk pori-pori, kerap tak kupedulikan. Dalam keremangan, kuberanikan diri keluar meninggalkan rumah, naik bisa kota, menuju mesjid Al Azhar.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, setiap menjelang pukul 07.00 pagi, aku selalu berada di mesjid Al Azhar. Syekh Ali Jum’ah, ulama besar doktor Azhar yang juga imam besar mesjid, mengadakan acara pengajian kitab kuning setiap hari –kecuali Kamis dan Jumat - mulai pukul 07.30 hingga 11.00. Aku senang mengikutinya. Pengajian ini selalu mengingatkanku pada kenangan lama, kala mengikuti pengajian sorogan pada seorang kyai yang amat kuhormati di pesantrenku dulu, 8 tahun lalu. Di negeri Firaun ini, aku merasakan suasana itu kembali hadir, dari sosok Ali Jumah. Dari beliau, aku bersama ‘santri’ lainnya yang kebanyakan orang Mesir, belajar ilmu Fikih, Ushul Fikih, Nahu dan Hadits. Kitab yang kami baca setiap pagi adalah Al Muwatha, At Tamhid dan Kawakib Ad Duri.

Para santri, biasanya menanti kedatangan syekh, di pelataran dalam mesjid. Macam-macam perilaku mereka. Ada yang ngobrol ngalor ngidul, ada yang baca buku, dan ada juga yang mengulang hafalan Al Quran. Ada juga yang tidur, hehehee...

Jika Syekh tiba, segera kami menyambutnya, rebutan menciumi tangannya, sambil berjalan menuju ruang belajar di dalam mesjid Al Azhar, bersama-sama. Begitu juga saat pulang usai ngajar. Beliau selalu kami antar hingga gerbang depan. Nah, selama perjalanan itu pula, rentetan pertanyaan santri seolah tak pernah reda. Dan beliau selalu menjawabnya dengan bijak, tenang, serta jawaban-jawaban memikat. Memikat dalam arti moderat, tidak menghakimi, komparatif, ilmiah, dan sarat dengan refernsi dalil, baik al Quran, Hadits, maupun kaidah Ushul.

Santri tetap-nya, ada sekitar 40-50 orang. Wajah-wajah mereka, selalu kutemui setiap pagi. Selain itu, ada juga yang tidak tetap. Kadang ada, kadang tidak. Ya, seperti aku ini, yang hanya datang kalo kebetulan bangun pagi. Dan dari 40-an orang itu – kalo dilihat dari tampangnya - kebanyakan berusia dewasa. Dari jumlah 40-an santri tetap itu pula, ada dua orang kawan Indonesia, yang mengaku telah mengikuti pengajian ini secara aktif, sejak 2-3 tahun terakhir. Mereka berdua juga telah dikenal baik oleh Syekh. Setiap pengajian mulai, merekalah yang selalu mempersiapkan kitab untuk Syekh, memasang mikrofon, serta mengambilkan air minum. Aku sangat kagum pada semangat mereka berdua. Jujur, aku belum bisa seperti mereka. Oya, kami adalah para santri multi etnis, ada si hitam dari Afrika, ada si bule dari Eropa pinggiran, ada si sipit dari China, dan ada juga si ganteng dari Sukabumi (maksudnya aku sendiri, hehehehe).

Sistem belajar, mirip yang kualami di pesantren dulu. Santri baca kitab sambil duduk lesehan, lalu guru menjelaskan. Kami mengikuti pengajian dengan khidmat, penuh hormat pada syekh. Maklum, syekh Ali Jumah adalah salah seorang ulama kharismatik, dihormati dan sangat berpengaruh di Mesir. Sebagai seorang doktor, beliau memiliki metode mengajar yang sistematis, ilmiah, tidak terlalu doktrin, dan tentu saja menghargai kebebasan berpendapat. Usai pengajian, kami mencium tangan syekh Ali, yang pernah menjabat sebagai direktur IIIT Mesir ini secara bergiliran.

Lokasi belajar kami, adalah sebuah lokal seukuran kelas di sekolah-sekolah tanah air, di salah satu sudut kanan mesjid Al Azhar. Di sudut mesjid lainnya, ada juga program pengajian seperti ini, tentunya dengan materi dan guru yang berbeda. Satu diantara yang kadang kuikuti adalah pengajian bersama ustad Umar, seorang kyai muda, belum bergelar syekh, dengan materi tetap, yaitu kitab fiqh, Fathul Qarib alias Taqrib. Beliau mengajar setiap lepas shalat subuh, hingga pukul 07.30. Para santri tetapnya, para mahasiswa S1 Azhar yang tinggal di asrama, berjumlah belasan orang. Aku jarang mengikutinya, selain karena waktunya yang terlalu pagi, juga karena materi fiqh, sering terasa membosankan. Jika Syekh Ali bepergian ke luar kota selama berhari-hari, biasanya pengajian Ustad Umar ini dilaksanakan lebih lama, hingga jam 10-an.

Selain pengajian sykeh Ali Jum’ah dan ustad Umar, masih ada pengajian kitab lainnya. Kalo kita masuk mesjid Al Azhar pagi hari sekitar pukul 10-an, maka kita akan menjumpai beberapa halqah (sekumpulan orang duduk melingkar), sambil mempelajari kitab tertentu. Orang Mesir menamakannya pengajian talaqqi. Materinya macam-macam, dari mulai fiqh, ushul Fiqh, Tasawuf, hingga ilmu Mantik. Di sebuah dinding ruangan belajar kami, ada jadwal tertulis. Plus lokasi dan waktu pengajiannya. Tinggal kita pilih, mau yang mana. Dan semua tidak dipungut biaya alias gratis.

Di sebelah kanan gerbang utama mesjid, terdapat sebuah ruangan khusus bagi para penghafal Al quran. Di pintu ruangan itu tertulis : Madrasah Tibrasiyyah Li Hifdz Al quran. Seorang sykeh Azhar menjadi pengasuh tetap, yang selalu nongkrong disana setiap harinya. Bagi kita yang ingin menghafal ayat-ayat suci, tinggal rajin saja datang ke tempat ini.

Setiap hari jumat, mesjid yang dibangun pertama kali oleh dinasti Fatimiyah (penguasa Mesir yang bermadzhab Syiah) pada abad 9 Masehi itu, selalu dipadati ribuan jemaah. Aku juga sering menyempatkan diri shalat Jumat disana. Soalnya, Grand Syekh Azhar, Dr Sayyed Thantawi, sering menjadi khatib di sana. Beliau adalah pimpinan tertinggi lembaga Al Azhar, yang dalam jajaran struktural pemerintahan Mesir, berada di posisi setingkat dibawah Perdana Menteri. Artinya, ia masih lebih tinggi daripada menteri kabinet kepala departemen. Karena itulah, setiap jumat, mesjid Al Azhar selalu dikelilingi oleh aparat keamanan, baik yang nampak maupun yang tidak (intel). Isi khutbahnya, selalu berbobot ilmiah, lugas, memuat pemikirannya yang dikenal moderat.

Mesjid Al Azhar, memang sarat dengan mutiara, permata mutu manikam. Selagi aku di sini, di dekatnya, aku tak ingin menyia-nyiakannya.

Pinggiran Nil, Awal Mei 2003


SSM 6 : Perpustakaan Budaya (2)

Perpustakaan Iskandariah,
Ufuk Baru Peradaban Mesir
(bagian 2)

Gedung ini terdiri dari 3 bangunan utama : pertama, ruang konferensi, terletak di sebelah gedung perpustakaan utama, yang dirancang sejak tahun 1991. Ruang konferensi ini terdiri dari 3 aula. Aula utama berkapasitas 1700 tempat duduk, seluas 5 ribu meter persegi. Di sebelahnya terdapat dua aula yang lebih kecil, masing-masing memuat 300 dan 400 orang. Ruang konferensi utama inilah, yang menjadi lokasi acara-acara seminar, diskusi, festival atau acara-acara besar lainnya.

Kedua, planetarium. Bangunan berbentuk bola ini terletak di depan gedung perpustakaan, menempati posisi paling dekat ke jalan raya. Bangunan bundar ini berdiameter 18 meter, dalam posisi mengangkang di atas tanah. Dua pertiganya muncul di atas permukaan tanah, sedangkan sepertiganya lagi di bawah permukaan tanah. Bagian luarnya terbuat dari beton, dengan dilapisi oleh Fiberglass, sebagai pengganti besi, untuk mengurangi beban. Di dalamnya terdapat ruang pertunjukan yang bisa memuat 100 orang penonton. Di planetarium ini, pengunjung bisa menonton film-film 3 dimensi seputar masalah ruang angkasa dan perbintangan. Penonton akan merasakan seolah-olah sedang berada dalam sebuah kapal kosong, berputar-putar mengitari ruang angkasa luar.

Di bawah planetarium ini terdapat sebuah musium kecil, yaitu musium Sejarah Ilmu Pengetahuan (Mathaf tarikh al ‘ulum). Isinya berupa sejumlah diorama dan catatan yang bercerita tentang sejarah munculya ilmu pengetahuan, sejak zaman Firaun hingga masuknya Islam. Data-data di musium ini dibagi menjadi beberapa bagian sesuai waktu terjadinya. Pada Zaman Firaun, terdapat penjelasan mengenai: Sistem Kalender, Sistem Pertanian dan Pengairan, dan Sistem Peperangan dan persenjataan. Zaman Yunani, menceritakan tentang biografi para ilmuwan Yunani Kuno, seperti Archimedes, Socrates dan Ptolemi. Sedangkan pada era Islam, terdapat biografi para ilmuwan muslim seperti Al Khawarizmi, Ibnu Syatir (ahli Ilmu Falak), Ibnu Haitham dan Ibnu Yunus. Semua diorama dan data itu, diukir di batu berwarna-warni, dengan menggunakan 3 bahasa, yaitu Arab, Inggeris dan Perancis.

Ketiga, gedung perpustakaan. Sang arsitek nampaknya sangat memahami bahwa gedung perpustakaan ini, akan menjadi simbol kebesaran peradaban Mesir Kuno di era modern ini. Gedung utama perpustakaan berbentuk setengah bulat, persis silinder, menghadap ke laut tengah. Bentuk ini menandakan bola matahari yang sedang terbit di ufuk timur. Konon, bentuk seperti ini dianggap suci oleh para pembesar Mesir Kuno. Di bagian depan gedung terdapat danau kecil buatan, seluas 4000 meter persegi. Bagian atap gedung, terdiri dari 56 jendela kaca, sehingga memungkinkan masuknya cahaya matahari ke dalam seluruh ruangan perpustakaan, dengan cuaca yang tetap nyaman.

Bentuk bangunan perpustakaan ini terbilang unik. “Di Mesir ini tidak ada bangunan seperti ini”,ujar Dr. Ismail Seradjuddin, direktur perpustakaan. Didirikan di atas areal tanah seluas 121 ribu meter persegi, menghadap ke laut tengah, berdampingan dengan Universitas Iskandariah. Terdiri dari sepuluh lantai, masing-masing empat lantai di bawah permukaan tanah, dan enam lantai di atas tanah. Luas seluruh lantainya adalah 85 405 meter persegi. Luas ruangan perpustakaan utamanya adalah 36.770 meter persegi. Tinggi gedungnya adalah 37 meter di atas permukaan bumi, dan 18,5 meter di bawah permukaan bumi (ruang bawah tanah). Hingga selesainya pembangunan gedung, sekitar 20 ribu ton besi habis digunakan. “Gedung ini akan kuat bertahan hingga 200 tahun” ujar Mamduh Hamzah.


Seluruh permukaan dinding belakang gedung terbuat dari batu granit dari Aswan, Mesir, berwarna kelabu. Berat keseluruhan batu itu adalah 2400 ton. Seluruh bagian dinding dihiasi dengan relief-relief Mesir Kuno, huruf-huruf dan abjad, yang kesemuanya hasil ukiran tangan.

Dari arah pintu belakang gedung, terdapat sebuah patung, yaitu patung Alexander Agung. Sengaja disimpan di pintu masuk, seolah ingin mengucapkan selamat datang bagi para pengunjung. Berat patung ini adalah 28 ton, tingginya 12 meter. Patung ini diangkat dari halaman depan perpustakaan, di pinggir pantai, tahun 1996. Saat itu, patung ini terbelah menjadi 4 bagian, masing-masing kepala, lengan, mahkota dan badan. Lalu, proses penyatuan keempat bagian itu dilakukan di Prancis.

Pada saat diresmikan, jumlah buku yang tersimpan dalam perpustakaan adalah 250 ribu buah. “Beberapa tahun ke depan, kami menargetkan jumlah hingga 4 juta buah”, kata Dr. Ismail Seradjuddin. Daya tampung perputakaan ini adalah 8 juta buah buku. Dari jumlah itu, terdapat sekitar 120 ribu buku-buku klasik, yang termasuk kategori sangat langka. Jumlah manuskrip-manuskrip kuno yang langka adalah 50 ribu buah, dan juga 50 ribu peta. Semua data tentang buku, temasuk naskah manuskrip klasik, telah termaktub dalam katalog dengan sistem komputerisasi. Dengan menggunakan komputer, para pengunjung dapat membaca setiap halaman naskah-naskah kuno itu, tanpa menyentuh naskah aslinya sama sekali. Seluruh ruang baca seluas 22 ribu meter persegi, dilengkapi fasilitas serba canggih dengan perangkat komputer.

Kesemua buku yang ada di perpustakaan ini adalah hadiah dari berbagai perpustakaan, lembaga swasta Mesir, lembaga asing, bahkan juga perorangan. Gerakan wakaf buku bagi perpustakaan ini, telah dikampanyekan dengan gencar oleh Suzan Mubarak sejak pertemuan Aswan tahun 1990. Program ini ternyata mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan di Mesir. Dr.Abdul Fattah Manshur, seorang cendekiawan Mesir, menghibahkan 1106 buah bukunya kepada perpustakaan. Kebanyakan dari buku-bukunya itu berbicara seputar politik, pemikiran dunia Arab, yang ia kumpulkan sejak lama. Begitu juga Dr. Habib Iskandar, seorang dosen filsafat di Universitas Iskandariah, yang menyerahkan seluruh isi perpustakaan pribadinya, yang berupa buku-buku langka terbitan abad ke-19. Harian Akhbar el Yaum Kairo edisi 16 Oktober 2002 menyebutkan nama 40 ilmuwan Mesir penyumbang buku, yang rata-rata setiap orangnya menyumbangkan lebih dari 1000 buah.

Diantara kitab langka yang terdapat di perpustakaan ini adalah naskah-naskah karangan penyair sufi tekenal, Jalaludin Rumi, yang ditulis pada tahun 896 Hijriah, atau 6 abad lalu. Juga terdapat cetakan pertama buku “Tarikh al Umam wa al Muluk’ (Sejarah Bangsa-bangsa dan raja-raja”), karya At Thabary, yang ditulis tahun 1330 M. Di sini juga ada naskah asli manuskrip kitab Injil Vatikan, yang ditulis pada abad 4 masehi, terdiri dari 1536 lembar, terbuat dari kulit dan kertas. Juga tedapat manuskrip-manuskrip peninggalan masa-masa awal Islam. Diantaranya ada kitab hadist Shahih Muslim, yang dibuat pada abad 4 Hijriah, juga kitab Syarah al Arbain li an Nawawi, yang ditulis oleh Syarifudin bin Muhammad pada tahun 810 H. Selain itu, terdapat juga buku-buku klasik cetakan Prancis, dan juga naskah tulisan tangan kitab suci Al quran, .

Di lantai 4 gedung perpustakaan, terdapat sebuah musium sejarah dan manuskrip (Mathaf al Atsar wa Makhtuthat). Menurut Dr.Zahi Hawas, kepala pusat kepurbakalaan Mesir, di dalam musium seluas 1200 meter persegi itu, terdapat sekitar 1080 buah benda-benda purbakala, yang menggambarkan tingginya nilai budaya yang dimiliki oleh para warga Mesir Kuno. Semua benda ini dikumpulkan dari berbagai musium sejarah di seluruh Mesir, juga beberapa negara lain, seperti Yunani, Spanyol dan Prancis. Panitia pengumpulan benda-benda ini terdiri dari para sejarawan, dosen, di bawah pimpinan Dr.Mustafa el Ibadi. Mereka mengumpulkannya dari Musium Luxor, Musium Nasional Mesir, Musium Islam, Musiu Qibti dan Musium Kristen di Kairo, Musium El Menia, juga Musium Yunani dan Romawi yang berada di kota Iskandariah. Sebanyak 47 diantaranya ditemukan dari lokasi perpustakaan, yang telah tertimbun tanah. Koleksi-koleksi yang terdapat dalam musium dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing : kelompok Mumi, Mozaik, Yunani, Romawi, dan peninggalan masa Islam dan Qibti.

Sebagian dari patung-patung itu adalah hasil pahatan, yang menggambarkan pola kehidupan warga kota Iskandariah pada masa Alexander Agung, pendiri perpustakaan. Di bidang agama, terdapat patung Dewa Zeus, Dewa Oziris, Dewa Zerobis, dan patung Dewa Ibis, salah satu dewa Ilmu Pengetahuan Mesir Kuno. Selain itu, ada juga patung filosof terkenal Socrates, meski sepotong, patung Iskandar Agung yang sedang berkuda sambil menghunus pedang, patung-patung benda berisi tulisan kuno,dan lain-lain.

Terdapat juga patung-patung benda / peralatan yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti alat-alat tulis, gelas, lampu, benda-benda tajam, senjata, dan alat pertanian.

Ke depannya, perpustakaan ini akan dikelola secaa rapi oleh sebuah badan khusus yang dipimpin oleh Dr. Isamil Seradjuddin. Anggaran pemerintah Mesir untuk perpustakaan hanya 3,6 juta Pound Mesir (750.000 USD) per tahun. Karena itulah, Dr Adel Abu Zahroh, Ketua Ikatan Lembaga Keperpustakaan Mesir, berniat membentuk lembaga internasional beranggotakan negara mitra Perpustakaan Iskandariah, yaitu Australia, Jerman, Rusia, Inggeris, Meksiko dan Prancis. Dalam waktu dekat, akan segera bergabung lembaga-lembaga yang sama dari : Swiss, Afrika Selatan, Frankfurt, New Jersey (AS), dan Portugal.

Pinggiran Nil, 20 Oktober 2002

SSM 5 : Perpustakaan Budaya (1)

Perpustakaan Iskandariah,
Ufuk Baru Peradaban Mesir

Julukan “Pyramid keempat” bagi Perpustakaan Iskandariah yang dilontarkan oleh sejumlah ilmuwan Mesir, nampaknya tidak berlebihan. Seperti halnya ketiga pyramid Giza yang menjadi salah satu keajaiban dunia, pyramida keempat ini juga memang pantas dibanggakan.

Perpustakaan Iskandariah (Bibliotheca Alexandria) di kota Iskandariah, 224 km barat Kairo, diresmikan oleh Presiden Mesir, Husni Mubarak, Rabu (16/10/2002) pukul 18.00 waktu setempat, setelah sempat diundur hingga dua kali, masing-masing bulan April dan Juli 2002. Sekitar 13 orang pemimpin negara dari berbagai penjuru dunia, diantaranya Presiden Prancis Jack Chirac, Presiden Yunani Kostantin Stefano, dan Ratu Sofia dari Spanyol, hadir bersama 300 tamu kenegaraan lainnya dalam acara ini. Selain itu, hadir pula para ilmuwan dan akademisi Mesir, para peraih Nobel bidang sastra seperti Wael Sonica (Nigeria) dan Naguib Mahfouz (Mesir).

Acara pembukaan ini nampaknya menjadi pesta budaya yang sangat dinantikan oleh warga Mesir dan negara sekitarnya. Berbagai pagelaran seni seperti teater, film, seni tari rakyat, dan musik tradisional dari 10 negara, memeriahkan acara yang akan berlangsung hinga 30 Oktober 2002 ini. Saat acara peresmian, sekitar 3000 orang memadati jalan-jalan dan kawasan sekitar perpustakaan. Menurut seorang pejabat Pemda Iskandariah, hotel-hotel di kota itu telah dipadati wisatawan domestic dan mancanegara, sejak hari selasa. Hari rabu pagi, sebanyak 550 orang warga Yunani, berumur 20 hingga 70 tahun, tiba di pantai Iskandariah dengan menggunakan sebuah kapal besar bernama “World Renaissance”. Setibanya di dermaga, mereka langsung menari-nari, menyanyikan lagu-lagu ceria. Beberapa diantaranya menyanyikan lagu Mesir berbahasa Arab. “Mereka sengaja datang untuk menyaksikan acara peresmian perpustakaan”,ujar Shofayuddin Mushtafa Kamil, wakil gubernur Iskandariah yang kebetulan menyambut kedatangan mereka di pantai. “Saya bangga dan terharu melihat kota Iskandariah ini”, ujar Manole Demtorbes, 60 tahun, salah seorang anggota kontingen Yunani yang sewaktu mudanya pernah tinggal di kota pantai itu selama 10 tahun.

“Peresmian perpustakaan ini diharapkan bisa menjadi jembatan dialog budaya dan peradaban umat manusia di era modern”, ujar Presiden Mubarak dalam pidatonya. “Dialog antar peradaban adalah salah satu solusi penting dalam menghilangkan budaya-budaya kekerasan, ekstrim, yang terjadi di beberapa negara sekarang”,kata dia lagi.

Selain dianggap sebagai simbol kebesaran empat peradaban besar, yakni Mesir Kuno, Romawi, Yunani dan Islam, perpustakaan ini juga diharapkan menjadi jembatan pengikat antara dua peradaban manusia, yakni peradaban masa lalu yang klasik dan peradaban masa sekarang yang serba modern. Seperti halnya rumah-rumah ibadah didirikan untuk mensucikan Tuhan, maka perpustakaan didirikan untuk mengagungkan ilmu pengetahuan. “Pembukaan kembali perpustakaan ini adalah bukti keseriusan Mesir dalam menjaga warisan-warisan budaya lama”,demikian komentar siaran resmi Radio Pemerintah Perancis, Rabu petang. “Iskandariah kembali terbukti menjadi pusat kajian dan markas ilmu pengetahuan, seperti dulu”.

Komentar yang sama juga muncul dari Kostantin Stefano, Presiden Yunani. “Pembukaan perpustakaan ini adalah peristiwa budaya dan peradaban yang sangat penting dicatat oleh sejarah”,kata dia kepada para wartawan di Iskandariah, rabu malam, usai acara pembukaan.

“Perpustakaan ini dihidupkan kembali, bukan untuk menyaingi perpustakaan kongres AS. Uang yang mereka keluarkan untuk membiayai perpustakaan, sangat besar, bisa mencapai 435 juta USD”, ujar Dr. Ismail Seradjuddin, direktur perpustakaan Iskandariah. Menurut dia, ada 4 target utama dari pembangunan kembali perpustakaan ini. Pertama, perpustakaan ini diharapkan menjadi jendela dunia terhadap Mesir. Setiap orang dari seluruh penjuru dunia, dapat menemukan ketinggian nilai peradaban Mesir Kuno melalui perpustakaan ini. Kedua, menjadi jendela Mesir terhadap dunia. Para pelajar, mahasiswa dan kalangan akademisi Mesir dapat menjadikan perpustakaan ini sebagai media yang membantu agar bisa mengenal berbagai peradaban dunia modern. Ketiga, perpustakaan ini diharapkan mampu menjadi perpustakaan modern. Dan terakhir, perpustakaan ini diharapkan bisa menjadi pusat dialog budaya dan peradaban, dan juga pusat studi dan penelitian ilmiah.


Markas Ilmuwan
Untuk pertamakalinya, perpustakaan ini didirikan pada tahun 288 SM oleh Iskandar Agung, penguasa Mesir kala itu, di kawasan As Shatiby, kota Iskandariah Mesir. Perpustakaan ini berdiri menghadap ke arah Laut Tengah, tepat sekitar 30 meter dari pantai. Kala itu ia mendirikannya dengan tujuan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan tempat berkumpulnya para ilmuwan. “Alexander Agung tidak hanya menginginkan Iskandariah menjadi kota pantai pusat perniagaan, akan tetapi juga menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan”, ujar Dr. Ahmed Abdul Fattah, Direktur Musium dan Kepurbakalaan Iskandariah. “Ia mengumpulkan para ilmuwan, mengumpulkan buku-buku, menyimpannya di suatu tempat, sehingga Iskandariah bisa mengungguli Athena dalam hal ilmu pengetahuan”,kata dia lagi.


Diantara para ahli yang sempat aktif berkumpul disini adalah Aristarkhus, seorang ilmuwan yang mula-mula berpendapat bahwa bumi berputar mengelilingi Matahari, Irathoenes (245-204 SM), yang sempat menjadi direktur perpustakaan, Heropelous, ahli ilmu bedah yang pertama kali mengatakan bahwa akal adalah pusat daya fikir manusia, dan Archimedes (287-212 SM).

Di sinilah untuk yang pertama kalinya terjadi penerjemahan buku-buku keagamaan semisal Kitab Taurat dari bahasa Yahudi Kuno ke bahasa Yunani, di abad ketiga SM. Kemudian, gerakan penerjemahan buku-buku itu semakin berkembang hingga ke berbagai bahasa dunia. Buku-bukunya pun beragam, dari bidang filsafat, sosiologi, ilmu falak hingga olah raga.

Kehadiran para ilmuwan itu sangat besar artinya bagi perkembangan perpustakaan. Hingga awal abad pertama Masehi, ada sekitar 900 ribu naskah manuskrip kuno tersimpan di sini. Akan tetapi, pada tahun 48 SM, terjadi peperangan antara tentara Mesir yang dipimpin oleh Ratu Kleopatra dengan tentara Romawi yang dipimpin oleh Julius Kaesar. Peperangan yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Iskandariah ini, menyebabkan perpustakaan terbakar, sehingga 400 ribu koleksinya musnah. Tiga abad kemudian umat Kristiani datang untuk menaklukan Mesir yang sebenarnya telah jatuh ke pihak Romawi, hingga kemudian agama Kristen menjadi agama resmi di kekaisaran Romawi. Kemudian Pada tahun 391 M, Theodesius, Kaisar Romawi saat itu, memerintahkan penghancuran rumah-rumah ibadah di kota Iskandariah, yang didalamnya terdapat patung-patung berhala. Perpustakaan Iskandariah tak luput dari menjadi sasaran, karena dianggap menyimpan patung-patung sembahan. Untuk kedua kalinya perpustakaan terbakar lagi, hingga isinya musnah sama sekali. Pada tahun 415 M, terbunuh pula Hebasiyya, seorang wanita ilmuwan matematika, anak salah seorang ahli ilmu falak yang menjadi tokoh pengurus perpustakaan. Kematiannya dianggap sebagai akhir kejayaan ilmu pengetahuan dan perpustakaan di kota Iskandariah.

Enam belas abad kemudian, kalangan akademisi dari Universitas Iskandariah menggagas pendirian kembali perpustakaan ini. Dalam acara peresmian patung Abu Simbel di Luxor, tahun 1980, mereka mengusulkan agar pemerintah Mesir membangun kembali perpustakaan itu, tepat di lokasi yang sama. Kebetulan tanah lokasi bekas perpustakaan ini menjadi hak milik Universitas Iskandariah.

Pemerintah Mesir kemudian berusaha mencari dukungan untuk merealisasikan cita-cita para akademisi itu. Pada tahun 1987 UNESCO ikut membantu dengan cara mengadakan sayembara pembuatan arsitektur gedung, yang kemudian diikuti oleh 540 arsitek kenamaan dari puluhan negara. Sayembara ini dimenangkan oleh lembaga Senohata, sebuah tim arsitek dari Norwegia. Dengan dibantu oleh para arsitek senior Mesir yang dipimpin oleh Ir.Mamduh Hamzah, para arsitek Norwegia itu mulai bekerja mempelajari kelayakan lokasi. Setelah semuanya dianggap siap, dengan dana awal 880 ribu USD yang dihimpun dari berbagai negara, pada bulan Juni 1988, Presiden Husni Mubarak didampingi oleh Freiderick Maour, direktur UNESCO saat itu, melakukan peletakan batu pertama. Pemerintah Mesir juga membentuk tim pendirian perpustakaan Iskandariah, dan pada tanggal 11 Februari 1990, dalam sebuah pertemuan di Aswan, pemerintah Mesir membentuk tim penggalian dana yang diketuai langsung oleh Nyonya Suzan Mubarak. Mulailah kampanye penggalangan dana di berbagai negara. Setelah dirasa siap, tahun 1995, pembangunan dilanjutkan. Proyek pembangunan ini juga melibatkan sejumlah tenaga ahli dari Inggeris dan Italia. Pembangunan pondasi gedung, memakan waktu satu setengah tahun, dengan menghabiskan dana sebesar 59 juta USD. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1997, wujud gedung mulai menampakkan bentuknya. Sejak awal dibangun hingga selesainya pada tanggal 1 Oktober 2002 lalu, sedikitnya 3000 pekerja dengan 50 orang insinyur, terlibat dalam proyek ini.

Total keseluruhan dana yang dihabiskan untuk membangun perpustakaan ini adalah 220 Juta USD. Dana sebesar itu berasal dari pemerintah Mesir, UNESCO, dan sumbangan berbagai lembaga, baik swasta dan pemerintah dari berbagai negara. (bersambung)

Wednesday, October 13, 2004

Selebritis Gadungan

Selebritis Dadakan di Tepian Nil



Salah satu pemandangan di Nil pinggiran kota Kairo


Bagi pria Mesir bertubuh tinggi besar berkumis tebal mirip Saddam Husein itu, tujuh Maret Dua Ribu Empat barangkali menjadi hari istimewa. Tak biasanya, serombongan orang-orang asing, tiba-tiba mengajak dia berfoto bersama, berulangkali pula. Laksana bintang iklan atau selebritis terkenal saja, yang diminta foto dan tandatangan oleh para fans-nya.

Husham Osman, pria setengah baya, guide Maktabah Mubarak Kairo, harus rela melayani permintaan foto bersama 50-an mahasiswa Indonesia peserta Safari Pustaka alias Rihlah Maktabah yang digelar oleh Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK), Ahad (7/3) lalu. Usai mengunjungi dan memelototi setiap lekuk gedung berlantai 3 itu, para mahasiswa sempat bersantai ria selama 20 menitan, di pelataran atas gedung yang terletak di tepi sungai Nil ini. Dari ruangan terbuka itu, terlihat jelas air Nil nampak menghampar di depan mata. Juga hijaunya pepohonan, deretan perahu dan gedung-gedung tingi pencakar langit. Sebuah pemandangan yang tak bisa dilewatkan oleh para pemburu gambar. Dan, tak ayal lagi, Om Husham menjadi bintang tamu rekan difoto, terutama oleh beberapa kawan mahasiswa baru, yang barangkali masih menganggap orang Mesir sebagai orang yang 'hebuat' dan mengagumkan. Si Om nampak bolak-balik kesana kemari, dengan senyum simpul. "Memang susah yach, jadi orang ganteng", begitu kira-kira komentar singkat yang keluar dari mulutnya yang hampir tertutup kumis itu. So' mantap.

Begitulah, rihlah maktabah hari itu penuh memori indah. Di Maktabah Al Azhar as Syarif, perpustakaan pertama yang dikunjungi, kami disambut oleh Dr. Subki Syauqi, direktur maktabah, dengan senyum penuh keakraban. Selama hampir setengah jam, kami mendengarkan ceramah dan penjelasan tentang sejarah, buku-buku, dan segala hal yang berkaitan dengan maktabah Azhar, dalam sebuah aula yang tak terlalu lebar di lantai 1. Beberapa saat kemudian, Om Muhammad Ash, guide resmi, mendampingi kami melihat-lihat manuskrip kitab-kitab klasik yang tersimpan rapi dalam etelase kaca di lantai dasar. Dalam kotak kaca berukuran kira-kira 5 x 1 meter itu, nampak kitab pertama-nya Ibnu Sina tentang kedokteran, juga beberapa mushaf Al Quran, yang ditulis pada abad 3 dan 4 Hijrah.

Menjelang pukul 11.00, kami tiba di perpustakaan kedua, Maktabah Mubarak, yang berlokasi di kawasan Giza, tepi sungai Nil tadi. Seperti yang saya ceritakan di awal, sambutan hangat om Husham mengawali kujungan kami ke perpustakaan kecil tetapi memiliki anggota 70 ribuan orang itu. Saya katakan kecil, memang gedungnya hanya 3 lantai. Ruangannya juga tidak begitu luas. Koleksi bukunya, hanya 173 ribuan. Tetapi, sepintas lalu saya lihat, perpustakaan ini dikelola secara rapi dan modern. Ruangan-ruangannya bersih, buku-bukunya tertata rapi. Komputer dan internet, nampak berderet di beberapa pojok ruangan. Ada ruangan perpustakaan khusus anak dan juga remaja. Warnet termurah di Kairo - harganya 1 Pound per jam - menempati sebuah ruangan di lantai 2 gedung yang diresmikan tahun 1995 ini. Oya, Maktabah Mubarak ini adalah satu-satunya perpustakaan Kairo yang bukunya boleh dipinjam ke luar. Selain PMIK tentunya.

Lokasinya yang persis di tepi sungai Nil -kendati agak ngumpet dari jalan raya - membuat perpustakaan ini menjadi menarik. Ya itu tadi, usai berlelah-lelah, para pengunjung bisa bersantai ria di ruangan atas, sambil menikmati pemandangan indah sungai Nil, sambil foto-foto. Atau bisa juga nongkrong di lapangan rumput hijau di halaman depan.

Rihlah maktabah hari itu, benar-benar berbuah berkah. Masih di perpustakaan Mubarak, kami bertemu kru Televisi 1 Mesir, yang kebetulan sedang meliput aktifitas perpustakaan. Entah apa yang dimimpikan oleh para kru TV itu malam sebelumnya, kok tiba-tiba bisa bertemu dengan serombongan manusia asing bertubuh mungil dan berwajah imut, dari negeri antah berantah nun jauh di sana, bernama Indonesia. Tanpa banyak basa-basi, tiga orang panitia - yang kayaknya dianggap paling cool - diwawancara oleh reporter TV milik pemerintah itu. Lagi-lagi, ketiga orang ini bernasib sama dengan Om Husham, yang kumisnya segede gagang telepon itu tadi ; jadi selebritis dadakan di tepian Nil. Ruar biasa.

Pinggiran Nil, 9 Maret 2004