Friday, December 05, 2014

Media Arab

Skandal Kemukus di Media Arab


Majalah Rouz el Yusuf edisi 29 Nop 2014, halaman 36 

Pemberitaan media-media Arab tentang Indonesia, sejauh yang pernah kusaksikan, lebih sering berita buruknya. Jarang sekali ada berita yang baik-baik. Kalo bukan tentang bencana alam, biasanya tentang kriminalitas, konflik minoritas, kasus korupsi pejabat, penderitaan kaum marginal, atau tentang skandal seks.

Seperti laporan yang dimuat majalah terbitan Kairo, Rouz el Yusuf (disingkat RY), edisi minggu ini, nomor 4511 tanggal 29 Nopember 2014. Pada halaman 35-39, RY menulis laporan khusus berjudul "Jabal al Jins fi Indonesia". Gunung Seks di Indonesia. Sebuah berita yang menghebohkan public di tanah air beberapa waktu lalu. Laporannya di RY kubaca tadi pagi. Guna mendukung kekuatan berita, RY memasang empat buah foto, semuanya menampilkan gambar wanita-wanita Indonesia berbaju minim.

Kendati berada di Tunis, aku biasa menikmati majalah RY di kios-kios koran di Tunis. Selama tinggal di Kairo (2002-2005), aku memang berlangganan majalah mingguan terbesar di Mesir ini. Seorang rekan di Mesir dulu mengatakan, RY adalah majalah Tempo-nya Mesir.

***
Tema tentang skandal seks di bukit Kemukus hanyalah ‘pintu masuk’ bagi majalah RY untuk menyampaikan pesan utamanya, yakni tentang betapa praktik perzinaan / prostitusi berlangsung marak di negeri berpenduduk Muslim terbesar ini.

Di halaman 36, RY menulis, “Meskipun Indonesia adalah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi Indonesia termasuk negara yang paling banyak praktik prostitusinya”. Di bidang keagamaan, lanjut RY pada halaman yang sama, umat Islam Indonesia memiliki sejumlah ritual tradisional yang aneh dan kontroversial (at thuqus al mutsiroh li al jidal). Karena itu, kata RY, Indonesia adalah salah satu negara di muka bumi ini yang paling banyak keanehannya. (Wahidatun min ad dual al aktsar ghurabatan fi al ‘alam)

Pada halaman 37, RY bercerita tentang lokalisasi Gang Dolly di Surabaya. “Meski Indonesia adalah negara Muslim, tetapi praktik transaksi seksual (tijarat al jins) masih tersebar luas. Salah satunya adalah kawasan Dolly di Surabaya, yang merupakan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara”. Kemudian, “Di kawasan Dolly saat ini, ada sekitar 2500 wanita PSK, yang umumnya berasal dari berbagai daerah pinggiran”. Upaya pembubaran lokalisasi Dolly yang dilakukan pemerintah, kata RY, mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan.

Setiap tahunnya, masih kata RY, ada 80 ribu hingga 100 ribu wanita dan anak di bawah umur yang menjadi korban perdagangan manusia, untuk dijadikan budak seks (al istiglal al jinsi).

Keanehan lain, kata RY di halaman 38, partai-partai berhaluan Islam di negeri bependuduk mayoritas Muslim ini, kalah dari partai nasionalis-sekuler. Lebih aneh lagi, masih kata RY, para tokoh partai Islam itu malah terlibat kasus suap dan korupsi, juga perkawinan dengan anak di bawah umur (‘alaqat jinsiyah ma’a fatayat qashirat). Padahal partai-partai itu suka mengusung jargon sebagai penjaga akhlak (haris al akhlak) di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini.     

Sedangkan yang terkait keanehan Jabal al Jins itu sendiri, RY menceritakan ritual seks yang dilakukan oleh para peziarah di Gunung Kemukus, Jawa Tengah, persis sebagaimana diberitakan oleh media-media di tanah air belum lama ini. (Apa yang dipaparkan RY di halaman 38-39 tentang ritual di Kemukus, rasanya tidak perlu kutulis ulang di sini. Pembaca mungkin umumnya sudah mengetahuinya J). Di ujung tulisan, RY mengatakan, “Anda takkan menjumpai ritual seperti ini di bagian dunia Islam manapun” Wa lan tajida ayya tuqusin mitsla hadza fi ayyi juz’in mi al ‘alam al Islami.  

***
Membaca pemberitaan RY tentang Kemukus, bikin ngeri-ngeri sedap juga. Maksudku, praktik ritual seks di bukit Kemukus memang merupakan kenyataan. (Dan sekarang pemerintah setempat berusaha menutupnya. Alhamdulillah). Beritanya dimuat di media Arab, itu juga tidak bisa kita cegah, karena keinginan untuk mengetahui sesuatu, adalah hak dasar setiap individu yang harus kita hormati.

Akan tetapi, model pemberitaan yang dilakukan oleh mingguan sekaliber RY, menurutku patut disayangkan. Jika ditilik dari cara RY bertutur, kelihatan sekali bahwa beritanya itu adalah hasil copas atau terjemahan dari media-media lain. Artinya, RY tidak punya peliput langsung dari Indonesia.

Kemudian, beberapa klaim atau kesimpulan yang diambil RY, tidak didasarkan pada data yang memadai. Melainkan disandarkan pada data-data umum yang belum tentu pas untuk dikaitkan. Qiyas ma’al Fariq, alias jauh panggang dari api. Aku ingat salah satu pelajaran jurnalistik yang kudapat saat menjadi koresponden di sebuah media nasional dulu, bahwa “Jika Anda data Anda bolong, berhentilah menulis, karena Anda akan berbohong”.  Andai saja RY mau melengkapi tulisannya dengan kutipan-kutipan hasil wawancara..

Berita-berita yang tidak menyenangkan seperti ini – terlebih ditulis secara tidak professional oleh medianya - akan semakin menjauhkan image positif orang lain tentang Indonesia. Para WNI di perantauan perlu menyiapkan jawaban yang positif jika sekali-kali nanti ada pertanyaan dari orang asing tentang skandal Kemukus, atau tentang keindonesiaan secara umum. Kita semua adalah duta bangsa, bukan?! Salam Manis dari Tunis.  


Tunis al Khadra, 04 Desember 2014

Wednesday, December 03, 2014

Tunis Pilpres 2014

Akankah Rezim Otoriter Kembali Berkuasa di Tunis


Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Tahap I) di Tunisia yang baru saja berlangsung, dimenangkan oleh partai nasionalis sekuler. Sejumlah pihak mengkhawatirkan rezim lama yang otoriter itu hidup lagi, sebagaimana yang telah terjadi di Mesir.

Suatu siang aku berjalan menyusuri gang sempit dekat kediamanku di kawasan Makal Zaim, Tunis. Terdengar obrolan rombongan ibu-ibu yang berjalan di belakangku.
“Kamu kemaren pilih Sibsi?”
“Ah tidak. Aku disuruh suamiku milih Marzuki”
“Terus, kamu pilih Marzuki?”
“Tidak juga. Aku pilih Riyahi saja, hahaha..”
Aku tengok ke belakang, ternyata tiga wanita separuh baya yang baru pulang dari pasar. Tangan mereka menenteng belanjaan.
Di persimpangan, aku belok kanan menuju kediaman. Ibu-ibu itu belok kiri. Obrolan mereka terus berlanjut, diselingi sesekali gelak tawa.

***
Marzuki, Sibsi, Riyahi, adalah nama-nama yang sedang jadi pembicaraan orang Tunis saat ini. Selain Hamah al Hamami, Mohamed al Hashimi al Hamidi dan lain-lain. Mereka semua adalah calon presiden yang baru saja berlaga di arena Pilpres yang diikuti oleh 23 kandidat (dari semula 28), Minggu 26 Nopember 2014 lalu.

Hasilnya sudah diumumkan. Al Baji Qaid as Sibsi yang diusung oleh Nida Tunis, meraih suara 39 persen suara, disusul oleh Dr Munsif Marzuki, sang presiden incumbent, dengan 33 persen. Di bawahnya lagi ada al Hashimi al Hamidi dari partai al Mahabbah, kemudian sang pengusaha muda Salim Riyahi yang diusung al Ittihad al Wathani al Hurr

Menurut aturan Pilpres di Tunis, jika tidak ada calon yang meraih 50 persen plus 1, maka diadakan pilpres putaran kedua, diikuti oleh 2 calon tertinggi. Maka, as Sibsi dan  Marzuki yang melenggang pada babak final, akhir Desember ini, insya Allah.  

***
Kemenangan Sibsi pada tahap pertama ini, melengkapi kemenangan partainya pada Pileg 23 Oktober 2014 lalu. Saat itu, Nida meraih 83 kursi (dari total kursi parlemen 217). Partai Islam Nahdah berada di peringkat kedua (68 kursi), kemudian al Ittihad al Wathani al Hurr (17 kursi) dan al Jabhah as Sya’biyah (12 kursi). Lainnya, hanya di kisaran 5 kursi.

Kini, Sibsi sedang berhadapan face to face dengan Marzuki. Dr Munsif Marzuki adalah calon independen, alias tidak diusung oleh partai politik. Ia maju mengandalkan popularitas, yang saat ini tengah menjabat sebagai presiden, sejak 2011.

Pada Pilpres lalu, suara 33 persen yang dimiliki Marzuki nampaknya berasal dari kalangan Islamis, termasuk Nahdah. Meskipun Nahdah menegaskan bersikap netral, tidak mendukung kandidat manapun.

Marzuki sebenarnya seorang intelektual yang berhaluan sekuler. Tahun 2011, ia bisa menjadi presiden karena diusung oleh partai Takattul, yang berkoalisi dengan Nahdah dan Partai Muktamar. Kesepakatan koalisi 3 partai hasil Pemilu 2011 ini adalah : kursi presiden untuk Takattul, kursi ketua parlemen untuk Hizb al Muktamar, dan kursi Perdana Menteri untuk Nahdah. Nahdah selaku partai pemenang Pemilu waktu itu tidak tertarik mengambil kursi presiden, karena dalam system ketatanegaraan di Tunis, kursi Perdana Menteri lebih punya ‘power’.

Dan Sibsi, adalah tokoh 3 generasi. Sejak masa presiden Habib Borguiba (memerintah 1957-1987) dan masa Ben Ali (periode 1987-2011), beberapa kali ia menjadi menteri. Pantas jika kubu Marzuki menuduh Sibsi sebagai representasi rezim lama yang sekuler. Kemenangan Sibsi adalah ancaman bagi kebebasan yang tengah dinikmati warga Tunisia saat ini. Jika Sibsi menang, nanti Tunis akan seperti Mesir : kembali ke pangkuan rezim otoriter. Bukankah Sibsi dan Sisi dalam tulisan Arab hanya beda titik?! Sibsi titiknya satu (huruf ba), dan Sisi titiknya dua (huruf Ya). Revolusi Melati diperjuangkan oleh anak muda, mengapa kekuasaan kemudian harus diserahkan kepada orang tua? Demikian di antara poin yang disuarakan oleh kubu Marzuki dalam kampanye ‘hitam’nya. Sibsi dinamakan orang tua, karena memang usianya sudah tak muda lagi : 87 tahun !

***
Aku amati di media cetak dan elektronik, persaingan nampak sudah mulai memanas. Di tengah suasana kota Tunis yang mulai memasuki musim dingin. Seperti halnya Prabowo vs Jokowi di tanah air pada pilpres lalu. Jika calon hanya dua, persaingan akan meruncing, karena tidak ada kubu penyeimbang alias penggembira.

Sejak hasil Pileg diumumkan pada akhir Oktober lalu, kubu Sibsi langsung beraksi. Dalam sebuah konferensi pers, Sibsi mengeluarkan pernyataan yang kontroversial : nasionalisme orang-orang Tunisia selatan masih diragukan. Karena di kawasan selatan, Nahdah meraup jumlah kursi secara signifikan dan mengalahkan Nida, partainya Sibsi. Sedangkan Nida menang di propinsi-propinsi utara.

Usai pengumuman hasil pilpres kemaren, Sibsi juga langsung menuduh orang-orang yang memilih Marzuki sebagai kelompok garis keras yang anti demokrasi. Kata Sibsi, Pilpres Desember ini adalah pertarungan antara kubu nasionalis versus Islam radikal.

Media local, baik cetak maupun elektronik juga mulai memuat berita-berita kampanye, serta serangan antarkubu. Kadang capek juga membacanya. Tapi aku amati, kampanye sehitam apapun, tidak menjelek-jelekkan lawannya secara personal. Tak seperti segelintir kelompok yang bermental picik di tanah air, yang ‘menggugat’ privasi sosok Jokowi atau sosok Prabowo.  Anak China lah, keislamannya diragukan lah, dan aneka tuduhan lain yang lebih banyak bohongnya itu.

Salah satu acara kampanye yang menarik adalah malam tadi, alias Selasa (02/12) malam. Yakni acara yang ditayangkan stasiun TV al Jazeera secara live : al Ittijah al Muakis, Pro Kontra. Dua nara sumber dari kedua kubu. Dari kubu Sibsi, ada Hasan ben Usman. Sedangkan dari kubu Marzuki, ada Salim Bouhudzair. Aku menonton acara ini. dari awal sampai akhir, kedua kubu berdebat panas. Khas orang Arab : tak ada yang mau mengalah.

Rabu dini hari ini, aku lihat sejumlah media online di Tunis ramai membicarakan acara andalan al Jazera ini. Beberapa menuding Dr. Faishal al Qasim – sang presenter acara - yang tidak adil, lebih condong ke Marzuki. Bahkan, kalimat pengantar yang disampaikan al Qasim pun dinilai provokatif. Ya maklum, al Jazera khan lebih dekat ke ikhwan. Pantas jika ia lebih memberikan ruang ke Marzuki, yang nampaknya akan didukung Nahdah, “adik kandung” ikhwanul muslimin.

*** 
Siapakah yang nanti akan terpilih sebagai presiden keempat di negeri di ujung utara benua Afrika ini? Jika Marzuki yang terpilih, apakah dapat dikatakan sebagai kemenangan kembali Islam politik di Tunisia? Jika as Sibsi yang menang, apakah ia juga akan seperti as Sisi di Mesir : menjadi symbol kembalinya rezim lama? Jika as Sisi membebaskan Mubarak dari segala tuduhan, apakah as Sibsi juga akan membebaskan Ben Ali? Kita lihat saja nanti ya. Kalo dijawab sekarang, terlalu dini untuk berspekulasi.

Siapapun yang menang, semoga kebebasan tetap dijamin. Agar ibu-ibu di perkampungan tetap bisa ngobrol tentang politik, seraya menenteng sayuran, seperti yang kusaksikan itu. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 03 Desember 2014   

Tuesday, November 25, 2014

Revolusi Damai

MENGAPA REVOLUSI TUNISIA BISA BERLANGSUNG DAMAI

Penghitungan suara Pilpres di Tunis, 23 Nop 2014. Sumber : as Sharq al Ausath

Tadinya saya mau menulis tentang hasil Pemilu Presiden di Tunisia yang baru berlangsung 23 Nopember 2014 kemaren. Mumpung masih hangat dan ramai dibicarakan orang. Dalam tulisan itu saya akan mengaitkan hasil Pemilu – yang dimenangkan oleh partai sekuler - dengan analisa ringan tentang masa depan kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.

Akan tetapi, saat jemari ini mulai menari-nari di atas keyboard laptop, alam pikiran saya menerawang ke sejumlah persoalan yang saya amati jauh sebelum Pemilu, dan sebenarnya melandasi kesuksesan Pemilu itu sendiri, yakni tentang revolusi Tunis (Arab Spring) secara umum.

Mengapa masa transisi dari revolusi menuju demokrasi di Tunisia ini bisa berlangsung secara damai hingga hari ini? Mengapa agenda-agenda politik yang diamanatkan revolusi – termasuk Pemilu 2011 dan 2014 ini - juga berlangsung aman, tanpa banyak kendala besar yang menghalangi. Demikian di antara pertanyaan besar yang mengusik benak saya. Sekaligus juga pertanyaan yang pernah dilontarkan beberapa rekan di tanah air dan belum saya jawab secara tuntas.

***
Masa transisi di Tunisia memang relative stabil, minim – untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali - aksi-aksi kekacauan massa yang menimbulkan pertumpahan darah. Berbeda dengan yang kita saksikan di negeri-negeri revolusi lainnya di Tanah Arab seperti Libya, Mesir, Suriah, atau Yaman. Beberapa factor yang melandasinya adalah :

Pertama, tingkat pendidikan masyarakat yang baik. Sebagaimana pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu, bahwa perhatian pemerintah Tunisia untuk sector pendidikan ini sangat luar biasa, 26 persen APBN digelontorkan untuk dunia pendidikan. Buahnya sekarang dinikmati oleh siapapun yang belajar di negeri berpenduduk 11 juta jiwa ini. Wajib belajar SMA sudah berlangsung sejak lama, biaya kuliah murah meriah, profesi guru dan dosen adalah pekerjaan favorit orang Tunis. Di negeri termakmur ketiga di Afrika ini, tidak ada keluhan rakyat soal biaya pendidikan atau biaya kesehatan yang tinggi.

Apa kaitan tingkat pendidikan dengan kemulusan revolusi? Oh, besar sekali. Pendidikan yang baik akan membentuk pola pikir yang lebih rasional dan dewasa. Orang yang berpendidikan baik – terlebih didukung ekonomi yang baik - tidak akan mudah terprovokasi alias dihasut, apalagi untuk ikut-ikutan demo bayaran.

Konstelasi politik di Tunisia sebenarnya terus memanas, sejak Pemilu Oktober 2011 hingga hari ini. Perseteruan antara parpol sekuler melawan parpol Islam nyaris tak henti. Tapi semua itu hanya berlangsung di ruang sidang parlemen, dan kemudian hanya jadi tontonan rakyat saja, tidak berimbas ke kehidupan rakyat. Menurut saya, itu karena rakyat yang berfikir dewasa.

Saya ingat sebuah anekdot obrolan antara mendiang Habib Borguiba – presiden Tunisia yang memerintah tahun 1957-1987 – dengan Muammar Kadafi, pemimpin Libya. Borguiba bertanya, “Mengapa uangmu yang melimpah itu kau habiskan untuk membeli senjata? Bukan untuk pendidikan rakyat?” Kadafi menjawab, “Agar militerku kuat, sehingga saya nanti tidak bisa dikudeta oleh rakyat”. Borguiba menjawab, “Dikudeta oleh rakyat yang berpendidikan, lebih terhormat daripada dikudeta oleh rakyat yang bodoh”.

Wallahu A’lam tentang keabsahan sanad cerita ini. akan tetapi, isi obrolan keduanya kini menjadi kenyataan. Keduanya dikudeta. Borguiba dikudeta militer tahun 1987, Kadafi dikudeta rakyat tahun 2011. Bedanya, Kadafi digulingkan secara tidak terhormat, bahkan ia dibunuh rakyatnya sendiri. Hingga hari ini, rakyat Libya terus berseteru, memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan Borguiba digulingkan melalui proses politik, tanpa pertumpahan darah.

Kedua, para politisi di Tunisia tidak mau ngotot. Sebaliknya, mereka mudah mengalah untuk kepentingan bersama. Hal ini sebagaimana saya tulis dalam catatan berjudul : “Mau Mengalah, Kunci Kemulusan Revolusi Tunis”, beberapa waktu lalu.

Sikap mau mengalah ini, terutama ditunjukkan oleh pada politisi partai Nahdah, pemenang Pemilu Legislatif tahun 2011. Dalam Pemilu jurdil pertama di era revolusi itu, partai kembaran Ikhwanul Muslimin ini meraih 90 kursi, dari 217 kursi parlemen. Nahdah pun memegang tampuk kursi pemerintahan.

Seharusnya, pemerintahan hasil Pemilu 2011 itu berlangsung hingga Pemilu 2014 ini. Tapi apa yang terjadi? Selama 3 tahun berkuasa (2011-2014), pemerintahan Nahdah tak henti digoyang. Kaum oposisi yang berhaluan sekuler terus merongrong. Pemerintahan Islam diganggu dengan berbagai persoalan, dari kasus salafi hingga penembakan tokoh politik.  Imbasnya, pemerintahan Nahdah terusik, hingga 3 kali ganti cabinet.

Saya datang ke Tunis Nopember 2012. Hingga Nopember 2014 ini – atau tepat 2 tahun keberadaanku - total 3 kali pergantian Perdana Menteri dengan 3 paket kabinetnya. Nahdah mau saja mengikuti desakan-desakan mundur kaum oposisi, tiada lain demi kemaslahatan negara secara luas.

Salah satu kunci utama keluwesan sikap politik Nahdah ini tak lepas dari sosok Syekh Rashid Ghannushi, pemimpin spiritual sekaligus pemimpin partai Nahdah. Ghannushi, seorang intelektual-ulama yang dikenal moderat yang sangat berpengaruh kuat di Tunis. Di bawah kepemimpinannya, Nahdah sangat kompromistis dalam perundingan-perundingan, tidak ngotot mengusung formalisasi syariat, menuruti kemauan para pesaingnya untuk tidak mengusung capres sendiri pada Pilpres 2014 kemaren, mudah menerima tawaran koalisi, dan sebagainya. 

Ketiga, netralitas militer. Saya menyaksikan betapa rakyat Tunisia sangat membanggakan militernya. Bangga karena mereka tidak ikut-ikutan berpolitik. Mereka murni mengabdi demi kepentingan rakyat, selalu berada di pihak rakyat, tanpa tergoda oleh manisnya kue kekuasaan.

Sudah menjadi cerita popular di Tunis, ketika presiden Ben Ali digoyang demo besar-besaran pada penghujung tahun 2010 dan awal 2011. Ben Ali menginstruksikan panglima militer untuk mengambil tindakan mengamankan para pendemo yang sudah mulai radikal. Kalo perlu, para pendemo yang anarkis itu di-dor saja, demikian kira-kira titah sang Presiden. Apa yang terjadi? Apakah sang panglima mematuhinya? Ternyata tidak. Justru ia balik kanan, meninggalkan sang presiden, dan bergabung bersama rakyat.

Andai saja militer Tunis kala itu bisa disetir seperti di Mesir, mungkin lautan pendemo di alun-alun Habib Borguiba Avenue tanggal 14 Januari 2011 lalu dibabat habis. Tragedy Rab’ah bisa terjadi di Tunis. Tapi ternyata tidak. Karena militernya tidak mau menembaki rakyat.  

Pasca revolusi ini, militer kembali dielu-elukan rakyat, karena tak henti berjuang menumpas kaum teroris radikal yang belakangan ini mengusik ketenangan rakyat. Rakyat menyaksikan bagaimana militer melakukan penyerbuan ke bukit Sha’anbi, di Tunisia selatan, dekat perbatasan Aljazair. Di bukit ini, jaringan Al Qaeda cabang Mangrib Arabi bermarkas. Konon, mereka sedang menyiapkan proklamasi Negara Islam Magrib Arabi.  

Keempat, intervensi asing yang minim. Amerika tidak begitu tertarik untuk ikut-ikutan bermain dalam proses revolusi di Tunisia, apalagi mengendalikannya. Mungkin karena Tunisia adalah negara kecil, tidak punya apa-apa, dan bukan negara berpengaruh.

Coba lihat perjalanan  revolusi di negara tetangga sebelah : Libya. Amerika begitu sibuk terlibat, karena Libya memang negeri penghasil minyak. Ibarat pepatah, di mana ada gula, di situ ada semut. Irak nun jauh di sana juga sama ; diintervensi Amerika sehingga konflik berkepanjangan terus terjadi. Karena nampaknya Amerika juga tergiur dengan minyak yang melimpah di negeri Saddam Hussein ini.

Di Mesir, intervensi Amerika juga besar. Tetapi bukan karena factor minyak, karena Mesir bukan negara penghasil minyak. Mesir adalah negara Arab terbesar, dan pengaruhnya sangat kuat di Timur Tengah. Menguasai Mesir adalah salah satu kunci utama untuk menguasai Arab. Demikian kira-kira pikiran Amerika.  

Kalo ke Tunis, apa yang Amerika cari?! Negaranya kecil, penduduknya sedikit, tidak punya minyak, miskin sumber daya alam pula. Tunisia hanya memiliki zaitun (perkebunan) dan posphat (tambang). Selebihnya, devisa negara hanya mengandalkan sektor wisata yang dikemas bagus. Tunis hanya punya manusia 11 juta jiwa, sebagian besar mereka mengenyam pendidikan tinggi.  Atau istilah yang saya gunakan dalam tulisan lalu : miskin SDA, tetapi kaya SDM.
***
Sebenarnya masih banyak factor lain, selain empat yang saya sebutkan di atas. Tapi saya sudahi saja dulu sampai di sini. Kalau dilanjutkan, tulisan ini terlalu panjang untuk ukuran catatan di blog, hehe. Semoga kita semua bisa mengambil 'ibrah (pelajaran) dari setiap peristiwa yang kita alami, atau yang kita saksikan dalam kehidupan harian. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, senja 24 Nopember 2014

Sunday, October 26, 2014

Pemilu Tunis 2014

Pemilu Tunisia, Taruhan Kemulusan Revolusi Arab

Hari ini (26/10), Tunisia akan menggelar pemiluhan umum (Pemilu) legislative. Lima jutaan pemilih akan menyalurkan hak suaranya di TPS, guna menentukan masa depan negeri berpenduduk 11 juta jiwa ini. 

Ini adalah pemilu kedua Tunisia setelah revolusi 2011 (Arab Spring) yang menumbangkan rezim sekuler Ben Ali. Pemilu pertama, Oktober 2011, berlangsung secara aman, damai, dan dinilai sebagai demokratis. Hasilnya, 217 kursi parlemen terisi dengan komposisi : Partai Islam Nahda 89 kuri (41 %), Hizb al Muktamar 29 kursi (13 %), Hizb ar Ridha 26 kursi (26 kursi), Hizb at Takattul 20 kursi (9%), dan sisanya dibagi habis oleh partai-partai gurem.

***
Akankah Pemilu kedua ini juga berlangsung damai? Semoga saja ya. Karena Pemilu kedua ini adalah salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi.

Sejauh ini, masa transisi di Tunisia berjalan cukup aman dan damai. Hiruk pikuk konstelasi politik di kalangan elit, hanya terjadi di ruang parlemen, tidak berimbas pada kehidupan rakyat bawah. Aktifitas harian rakyat tetap berjalan normal. Saya melihat, ini terjadi karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang umumnya baik, sehingga mereka umumnya berfikir rasional, tidak mudah terprovokasi untuk ikut-ikutan ribut.

Berbeda misalnya dengan revolusi yang terjadi di beberapa negara Arab lain, seperti Libya, Mesir, Syria atau Yaman, yang kerap diwarnai perang saudara yang sering menjatuhkan korban jiwa. Semua kelompok merasa benar sendiri dan tidak ada yang mau mengalah. Di Libya sekarang ini malah hamper setiap warga memegang senjata. Saya lihat di TV, dengan gagahnya para pemuda desa memberondongkan peluru ke perkampungan saudara-saudarinya yang sebangsa dan setanah air. Laksana jagoan dalam film. Di Syria, rakyat sipil menembakkan bedil sambil meneriakkan Allahu Akbar.

Setiap kali menyaksikan adegan-adegan itu di TV, rasanya saya ingin teriak, Hai orang Arab, apa sih yang kalian inginkan? Tidakkah kalian sadar bahwa aksi-aksi kalian itu sebenarnya merugikan kalian sendiri? Juga mengundang tawa orang-orang Amerika dan Barat? 

Yang pasti, aneka konflik dan perang saudara yang terjadi di negara-negara itu membuat banyak orang berfikir bahwa orang Arab tidak bisa berdemokrasi. Muncul teori di sebagian kalangan bahwa revolusi Arab telah gagal.

Tapi teori ini belum bisa sepenuhnya terbukti karena revolusi yang terjadi di Tunisia, hingga sementara ini, masih terhitung mulus. Mulus dalam arti tetap berjalan sesuai dengan agenda yang diamanatkan oleh revolusi. Di sisi lain, seperti yang saya sebutkan di atas, konflik elit politik hanya terjadi di parlemen, tidak berimbas pada kehidupan harian rakyat bawah.

Protes rakyat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dilakukan melalui unjuk rasa damai atau aksi mogok (idhrab). Sebagaimana pernah saya tulis pada bulan Januari 2014 lalu dalam judul “Negeri Ahli Mogok”. Kalaupun ada kontak senjata yang menimbulkan korban jiwa, itu adalah agresi yang dilakukan militer Tunisia dalam rangka penyerbuan terhadap kelompok-kelompok terduga teroris. Seperti penyerangan terhadap sarang teroris di bukit Sya’anbi di propinsi Gasserine, dekat perbatasan Al Jazair. 

***
Berulang kali Syekh Rashid Gannushi, pimpinan gerakan Nahdah, mengemukakan bahwa kunci kesuksesan revolusi di Tunisia adalah karena kemauan berkompromi antarkelompok-kelompok politik. Jumat (22/10) lalu, ia kembali menegaskan hal itu pada hari kampanye terakhir yang digelar di alun-alun kota Tunis. Sirru Najah ats Tsaurah at Tunisiyah huwa at Tawafuq baina al Ahzab as Siyasiah, demikian tuturnya. Rahasia kesuksesan revolusi Tunisia adalah kesiapan kompromi antarelit partai politik.

Tentang hal ini, saya pernah menuliskannya secara khusus dalam judul “Mau Mengalah, Kunci Kemulusan Revolusi Tunis”, Desember 2013 lalu.

Syekh Gannushi tidak hanya mengucapkan kalimat itu, tetapi juga membuktikannya dengan aksi konkret melalui partai yang dipimpinnya : Nahdah. Perjalanan masa transisi revolusi Tunisia sejak 2011 hingga kini, membuktikan hal itu. Selama kurun waktu 3 tahun, tiga kali Perdana Menteri ganti, atas desakan kaum oposisi sekuler. Padahal, andai saja Nahdah selaku pemenang Pemilu “ngotot” dan mempertahakan Hammadi Jebali – PM pertama, sebenarnya bisa saja. Pun juga ketika penggantinya, Ali el Aridhi digoyang dari kursi PM pada akhir 2013 lalu, dengan mudahnya Nahdah pun mengalah. Tanpa banyak komentar, Nahdah merelakan kursi PM diduduki tokoh non partisan, Mehdi Jumah hingga hari ini.

Sikap kompromi yang ditunjukkan partai pemenang ini bukan hanya dalam urusan kursi PM.    Tetapi juga dalam berbagai isu lain, termasuk sejumlah proyek perundang-undangan. Ketika kaum oposisi sekuler gencar menyerang Nahdah dengan tuduhan akan mendirikan Negara Islam di Tunisia –bahkan sekelompok lain yang saya baca di koran menyebutnya kekhalifahan Nahdah – Syekh Gannushi segera menyangkal itu. Melalui wawancara media, orasi ilmiah dan juga sejumlah buku yang ditulis, Gannushi menegaskan bahwa Nahda sedikitpun tidak akan menjadikan Tunisia sebagai Negara “Islam”.

***
Wah, tulisan ini jadi kemana-mana, semakin menjauh dari angle awal, yakni tentang Pemilu.  Kita akhiri saja dulu ya pembaca. Saya akan bersiap-siap untuk menonton jalannya Pemilu di sejumlah TPS yang akan segera dibuka beberapa jam lagi.

Saya tidak ingin melewatkan momen bersejarah ini begitu saja. Momen ketika warga Arab- Islam di Tunisia bisa membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa diatur, bisa berbeda pendapat. Dalam Bahasa modernnya, mereka pun bisa berdemokrasi. Agar tuduhan sekelompok orang  yang saya sebut di atas – bahwa revolusi Arab telah gagal – tidak terbukti. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, dini hari 26 Oktober 2014 

Wednesday, May 21, 2014

Kampus Rasionalis

KAMPUS KAUM RASIONALIS

Kampus Fak Adab Manouba yang lengang menjelang liburan

SIANG itu, terik mentari lumayan terasa menyengat. Suasana kampus Fakultas Adab Universitas Manouba Tunis, nampak lengang. Hanya ada beberapa kelompok mahasiswa duduk bergerombol di bangku-bangku di bawah pepohonan rindang. 

Ujian Semester baru saja selesai pekan lalu. Minggu ini, tak ada lagi kegiatan perkuliahan. Pantas kampus ini nampak sepi.

Sepasang mahasiswa – pria dan wanita – berjalan berdampingan. Sang mahasiswi tertawa cekikan, pelan. Tangan kirinya memegang buku yang ditempelkan ke dada. Tangan kanannya melingkar di pinggang sang pria. Sedangkan tangan kiri sang pria melingkar di bahu sang mahasiswi. Mereka asyik berjalan ke arah gerbang kampus, tanpa mengindahkan suasana kiri kanan. Pokoknya, dunia serasa milik berdua, orang lain mah ngontrak, hehe… Tapi memang, orang-orang yang ada di sekitar itu juga nampak cuek. Seolah telah biasa dengan pemandangan itu.

Pemandangan seperti ini bukan hal asing di sini, kata Ahmad, temanku yang kuliah di sini. Pola pergaulan antara mahasiswa-mahasiswi terbilang longgar. Sepasang kekasih berpegangan tangan, duduk berdempetan, atau mahasiwa-mahasiswi cipika-cipiki saat bertemu, adalah hal biasa.

Aku tidak kaget mendengar info itu. Sudah kuduga sebelumnya. Dulu sebelum revolusi, di kampusku juga begitu. Tunis gitu lho ! Sekarang di kampusku sudah tidak lagi pemandangan seperti itu, sudah pada tobat, hehe.

Aku terus berjalan di jalan aspal yang membelah taman hijau yang diselingi pepohonan rindang. Di bawah pepohonan itu, ada bangku-bangku tembok, tempat para mahasiswa biasa duduk santai.

Ahmad menjelaskan gedung-gedung dan fasilitas yang ada di kampusnya itu. Itu adalah ruang perkuliahan, ini adalah perpustakaan berisi buku berbahasa Arab, di seberangnya perpus khusus buku berbahasa Inggris, dan sebelahnya lagi perpus khusus buku-buku berbahasa Perancis, itu adalah gedung pusat penerbitan, dan seterusnya.

Ketika menengok ke arah kanan, pandanganku tertumpu pada dua sejoli yang duduk berdempetan sambil bercanda ketawa ketiwi. Tepat di depan Aula ibn Khaldun. Ah, itu lagi. Buru-buru aku berpaling ke arah lain,  ghodul bashor ceritanya. 

Gudang Intelektual
Fakultas Adab dan Humaniora (Kulliyat al Adab wa al ‘Ulum al Insaniyah) Universitas Manouba, adalah salah satu kampus terkemuka di Tunis. Lokasinya sekitar 20 km di arah barat ibukota. Ditempuh 30 menit dengan bis kota atau trem dari stasiun pusat kota.  

Kampus ini dikenal sebagai gudang intelektual berhaluan modern, karena karya akademik para dosennya yang cemerlang. Karya-karya mereka tak hanya dikenal di Tunis, tapi juga menyebar ke Dunia Arab. Sejumlah guru besar bidang sastra Arab dan linguistic, ada di sini. Karya-karya mereka, menghiasi dunia kesusasteraan Arab saat ini.

Dan dengan pendekatan ilmu-ilmu Adab (bahasa/sastra/linguistic) pula, para akademisi di kampus ini melakukan kajian-kajian bidang keislaman, baik berupa studi naskah, filologi, mauapun kajian tematik.

Sekedar menyebut contoh, di kampus ini ada nama Ulfa Yusuf, guru besar wanita bidang linguistic. Mula-mula ia mengkaji linguistic dalam Al Quran. Disertasinya berjudul Ta’addud al Ma’na fil Quran, diterbitkan di Tunis, dan mendapat sambutan luas dari para intelektual.  Kemudian, Ulfa menelorkan sejumlah karya ilmiah - tak kurang dari 12 buku, sebagian besar terkait wacana gender perspektif Al Quran. 

Ada lagi Amal Grami, juga dosen wanita, yang menulis disertasi berjudul Qadhiyat ar Riddah fi al Fikr al Islami, diterbitkan tahun 1996. Bukunya juga mendapat sambutan luas dan dicetak beberapa kali oleh penerbit Dar al Janub, Tunis.  Kemudian, setelah menjadi dosen, Dr Amal menorehkan karya-karya lainnya, misalnya Hurriyat al Mu’taqad fil Islam (Casablanca, 1997), dan al Ikhtilaf fits Tsaqafah al Arabiyah : Dirasah Genderiyah (Beirut, 2007).  

Amal juga ikut berpartisipasi menulis buku al Islam al Asiawi, dalam serial al Islam Wahidan wa Muta’addidan. Serial ini terdiri dari 13 buku, masing-masing mengkaji Islam dari berbagai perspektif yang berbeda-beda, terbit atas kerjasama Rabithah al’Aqlaniyyin al ‘Arab (Ikatan Rasionalis Arab) dengan Dar Thali’ah Beirut tahun 2006.

Hampir semua penulis serial ini adalah intelektual Tunis, beberapa di antaranya dari fakultas Adab Manouba. Misalnya  Najiah al Warimi (menulis al Islam al Khariji),  Nadir Hamami (menulis Islam al Fuqaha), Bassam al Jamal (menulis al Islam as Sunni), dan lain-lain. Oya, silsilah ini disupervisori oleh Prof Abdul Majid Syarafi, sang guru kaum rasionalis Arab, yang juga dosen di kampus ini.

Raja ben Salamah, dosen Manouba yang namanya juga malang melintang di dunia pemikiran kontemporer di Tunis. Pemikiran-pemikirannya yang dikenal liberal sering ‘merepotkan’ kaum Islamis di Tunis. Di antara bukunya ada yang berjudul Naqd ats Tsawabit, menggugat konsep-konsep yang telah dianggap mapan dalam doktrin agama.

Masih banyak nama lain, yang semakin mengokohkan pamor kampus ini sebagai gudang intelektual modern di Tunis saat ini.

Jika boleh dipetakan, wacana-wacana keislaman kontemporer di Tunis saat ini  memang banyak berkembang di kampus-kampus fakultas Adab. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan – termasuk Universitas Zitouna – nampaknya lebih didominasi oleh wacana-wacana keislaman tradisional.

Imbas Revolusi
Perubahan demi perubahan mulai terjadi di Tunis, sebagai imbas dari revolusi 2011. Termasuk perubahan orientasi kehidupan keberagamaan pada masyarakat. Kebebasan beribadah dan pemakaian symbol-simbol keagamaan mulai mendapat ruang.

Para mahasiswi mulai mengenakan jilbab, bahkan sebagian bercadar. Di kampus Universitas Zitouna, saat ini bisa dikatakan 90 persen mahasiswinya berjilbab. Dulu, saat aku studi S2 tahun 2005-2007, mahasiswi pejilbab hanya 30-40 persen.  

Di kampus fakultas Adab Universitas Manouba pun, kini jumlah mahasiswi yang berjilbab – dan bercadar - terus bertambah. Meski secara prosentase, masih jauh di bawah 50 persen. Itupun mereka kadang masih mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, seperti larangan cadar pada hari-hari ujian.

Aku lihat-lihat file berita tahun 2012-2013 lalu, para mahasiswa fakultas ini juga telah sering menyampaikan tuntutan fasilitas mushalla ke pihak pimpinan kampus. Meski sampai saat ini belum ada respon konkret. Masjid terdekat berjarak sekitar 1 km dari kampus ini. “Saya kalo mau shalat, harus naik kereta dulu”, tutur Ahmad. Subhanalloh, semoga kau tetap istiqomah !

Ya, lokasi kampus ini memang berada agak jauh dari pemukiman penduduk. Ia menempati kawasan luas dengan fasilitas yang relative memadai untuk keperluan mahasiswa. Ada sarana olahraga, perpustakaan, kafetaria, fotokopi, wartel, juga math’am jami’i (kantin mahasiswa). Tepat di halaman kampus, ada stasiun metro (trem) dan halte bis kota. Yang belum ada memang hanya tempat shalat.  


Tunis al Khadra, 21 Mei 2014 

Monday, April 21, 2014

Tunis Feminis

Tahir Haddad, Sang Feminis dari Tunis

Cover buku Imroatuna cetakan Beirut, 220 halaman

Tahir Hadad (1899-1935) mengusulkan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Ia menentang poligami, menilai jilbab sebagai pengekang ruang gerak perempuan, serta mendorong wanita sekolah dan bekerja. Reaksi keras muncul dari para ulama Zitouna. Haddad diasingkan, ijazahnya dicabut, kemudian meninggal – konon dibunuh- pada usia 36 tahun.  

TUNISIA dikenal sebagai negeri Arab yang memiliki Undang-undang Hukum Keluarga yang paling progressive di dunia Islam, hingga saat ini. Di antara pasalnya : (1) poligami dilarang, pelakunya diancam denda plus penjara. (2) Gadis di atas 18 tahun tidak dapat dipaksa untuk menikah, meskipun oleh ayah kandungnya sendiri. Artinya, sang gadis boleh menolak pilihan ayah. Padahal dalam fikih Islam, ayah kandung memiliki hak ijbar, artinya boleh memaksa puterinya menikah. (3) Suami yang menceraikan isteri wajib memberikan biaya bulanan kepada mantan isteri, tak hanya pada masa iddah, tetapi selama isteri itu menjanda. Dan masih banyak pasal lainnya.

Mengapa UU yang diberlakukan sejak tahun 1956 itu sangat progressive? Mengapa begitu semangat mendukung hak-hak kaum perempuan meskipun –nampak- menyalahi ketentuan-ketentuan dalam fikih?

Banyak factor yang melandasinya. Selain karena factor ideology sekuler yang diterapkan oleh Presiden Habib Borguiba, UU Keluarga ini juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran sejumlah tokoh modernis di Tunis. Satu di antara mereka adalah Tahir Haddad yang terkenal karena bukunya yang kontroversial : Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Sang Pahlawan
Nama Tahir Haddad bukanlah nama asing di Tunis. Sejak tingkat Sekolah Dasar, nama ini sudah dikenalkan ke para murid sebagai ‘udzama biladi’, salah satu orang besar di negeriku. Fotonya terpampang di sejumlah tempat : lembaga pendidikan, kantor pemerintah, bahkan rumah masyarakat, berdampingan dengan foto-foto pahlawan nasional lain. Juga banyak sekolah swasta yang dinamai “Sekolah Tahir Haddad”. Selain nama jalan raya di berbagai kota di Tunisia.

Apa dan siapa Tahir Haddad? Ia adalah pahlawan nasional, sastrawan, sekaligus ulama yang menyuarakan kebebasan perempuan. Gagasan-gagasannya yang menentang penjajah Perancis, juga aktifitasnya sebagai pendiri partai al Hizb al Hurr ad Dusturi pada tahun 1920-an bersama aktifis terkenal Abdul Aziz Tsa’albi, menjadikannya masuk dalam kategori pahlawan nasional. Syair-syairnya yang terkenal, membuat namanya juga dikenang sebagai salah satu sastrawan Tunis, bersanding dengan nama besar Ali as Syabi. Dan terakhir, ia dikenal juga sebagai feminis, karena keberaniannya mengusung kebebasan perempuan dalam bukunya, Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’.

Tahir Haddad lahir di kota Tunis, pada tahun 1899. Keluarganya berasal dari Hammah, sebuah kota kecil di propinsi Gabes, Tunisia Selatan.

Mula-mula, Haddad belajar agama di kuttab, menghafal Al Quran, kemudian belajar agama di Ta’lim Zitouni, hingga meraih syahadah tathwi’, setingkat SMA sekarang. Kemudian ia melanjutkan belajar di fakultas hukum Universitas Tunis. 

Haddad seorang yang cerdas serta peduli akan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya di koran local pada tahun 1920-an, ia menyuarakan semangat perjuangan kepada para pemuda Tunisia.

Pada tahun 1927 ia menulis buku “al ‘Ummal at Tunisiyun wa Dzuhur al Harakah an Naqabiyah”. Melalui buku ini, ia menyuarakan pentingnya gerakan social menuju perjuangan merebut kemerdekaan. Bukunya ini dilarang beredar oleh penjajah Perancis.  Dalam bidang pendidikan, ia juga menulis buku at Ta’lim al Islami wa Harakat al Ishlah fi Jami’ az Zaituna. Melalui buku ini, ia menyampaikan sejumlah gagasan reformasi pendidikan pada lembaga tempat ia belajar : Ta’lim Zitouni.

Tahun 1930, bukunya Imroatuna fis Syariah wal Mujtama’ terbit, setebal 140 halaman. Penerbitnya adalahal Mathba’ah al Fanniah, yang berlokasi tak jauh dari Masjid Zitouna. Melalui buku ini, ia mengusulkan kesetaraan antara pria dan wanita. Tentu saja buku ini memicu reaksi keras para ulama, hingga sempat hilang dari peredaran. Ia terbit lagi tahun 1972 pada era kemerdekaan Tunisia, di bawah kepemimpinan Presiden Habib Borguiba yang sekuler. Pada masa sekarang, buku Haddad ini dicetak berulang-ulang oleh Dar Tunisiyah lin Nasyr, juga oleh Dar al Intisyar al Arabi, Beirut.

Sang Feminis
Gagasan-gagasan Haddad dalam buku Imroatuna sebenarnya terinspirasi oleh para feminis Muslim pada era terdahulu, seperti Qassim Amin atau Rif’at Tahtawi. Isu-isu yang diangkatnya, tak jauh dari seputar jilbab, waris, hak-hak isteri dalam perkawinan, serta pendidikan kaum perempuan.

Ide-ide pembaharuan yang dikemukakan Haddad selalu berangkat dari fenomena kaum wanita Muslimah di Tunisia pada masanya, yang ia nilai sangat terbelakang. Keterbelakangan nasib kaum wanita di negerinya, sangat berimbas besar bagi keterbelakangan negerinya secara umum. Karena itu, kata Haddad, jika masyarakat Tunisia ingin  maju, maka majukanlah kaum perempuannya.

Salah satu penghalang kemajuan kaum perempuan, menurut Haddad, adalah jilbab. Haddad yang menilai jilbab sebagai tradisi bangsa Arab, bukan merupakan murni ajaran Islam (laisa hukman min ahkamid din), melihat jilbab sebagai symbol keterkungkungan wanita. Jilbab telah menghalangi kaum perempuan dari kesempatan belajar, bekerja, dan melakukan aktifitas lain di luar rumah.

Perzinaan, tidak muncul karena banyaknya wanita yang  tidak berjilbab. Melainkan karena akhlak yang buruk, atau karena kefakiran. Perzinaan, kata Haddad, bisa dihilangkan melalui pendidikan yang baik.

Tentang pendidikan. Seorang ibu tidak akan bisa mengasuh dan mendidik anaknya secara baik, jika si ibu itu sendiri tidak berpendidikan baik. Ia juga tidak bisa menjadi mitra kaum pria dalam membangun negeri, jika ia tidak berpendidikan. Membatasi kesempatan sekolah hanya untuk kaum pria, semakin membuka jurang kesenjangan antara kaum pria dan wanita. Pada gilirannya, akan mendorong kaum pria untuk lebih memilih wanita Eropa yang berpendidikan sebagai isterinya.

Karena itu, Hadad menyeru untuk dibangun sekolah bagi kaum perempuan, yang di dalamnya juga diajarkan berbagai macam ilmu, termasuk matematika, IPA, dasar-dasar ilmu kesehatan, ilmu kerajinan tangan, bahkan olahraga dan seni.

Tentang perkawinan. Hadad mengusulkan agar ada batasan minimal usia pernikahan bagi kedua mempelai. Ia memprotes tradisi Arab yang biasa meninggi-ninggikan mahar, atau royal dalam melaksanakan pesta perkawinan. Haddad mengkritik fenomena orang Arab Tunis yang biasa memiliki utang setelah menggelar pesta kawin. Selain itu, Hadad  juga mengkritik keluarga yang memperbanyak anak, tetapi tidak mampu mensejahterakan dan member mereka pendidikan yang baik. Artinya, Hadad mengusulkan program keluarga berencana, meski secara tersirat.

Poligami (ta’addud az zaujat) dalam pandangan Hadad adalah salah satu bentuk kejelekan yang terdapat pada bangsa Arab Jahiliyah terdahulu (sayyiah min sayyiat al Jahiliyah al ula). Hadad menggambarkan fenomena para lelaki Arab kala itu, yang biasa memperisteri beberapa orang wanita, bahkan tanpa batas. Kemudian para isteri itu diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Kemudian Islam datang untuk memberantas perilaku ini dengan menurunkan ketentuan secara bertahap (tadarruj) ; mula-mula membatasi jumlah maksimal wanita yang dijadikan isteri hingga 4 orang, dan kemudian mensyaratkan berlaku adil di antara para isteri, sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan oleh seorang suami. Dengan demikian, dalam pandangan Hadad, poligami sebenarnya tidak memiliki dasar dalam Islam, bahkan Islam sebenarnya bermaksud memberantas perilaku poligami ini. 

Hadad juga memandang bahwa poligami tidak sejalan dengan tujuan (maqasid) dari perkawinan itu sendiri, yakni mewujudkan sakinah, mawaddah dan rahmah pada setiap pasangan suami isteri. Ketiga hal itu aka terwujud jika seorang suami hanya mencurahkan kasih sayangnya pada seorang isteri.

Tentang perceraian. Hadad mengusulkan agar perceraian terjadi di depan hakim. Kemudian, jika perceraian dijatuhkan secara sepihak oleh suami, Hadad mengusulkan agar ada uang tebusan atau denda dari pihak suami.

Masih banyak ide-ide Haddad yang tidak aku tulis di sini. Bagi yang ingin mengetahuinya lebih detail, silahkan baca bukunya langsung. Pada cetakan Beirut, buku ini hanya 220 halaman saja.

Menurut sejumlah analis, gagasan-gagasan Hadad lebih berani dari pada gagasan-gagasan pendahulunya seperti Qassim Amin. Jika Qassim Amin mengusulkan kesetaraan hak kaum pria dan kaum wanita dalam pendidikan minimal tingkat sekolag dasar, maka Haddad menyebutkan kesetaraan itu hingga dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu olah raga dan kesenian.

Sang Kontroversial
Ragam reaksi publik terhadap buku Hadad ini. Kalangan nasionalis yang didukung oleh penjajah Perancis, menyambut buku ini dengan sukacita. Mereka menggelar perayaan khusus (haflah) yang digelar secara mewah. Haddad diundang hadir dalam acara ini. Kisah tentang haflah ini diceritakan secara detail oleh penulis bernama Muhammad al May dalam buku berjudul Haflah Takrim Kitab Tahir al Haddad.

Sedangkan kalangan ulama Zitouna, menentang keras buku ini.  Setelah bukunya beredar Haddad mengalami kritikan dan kecaman. Ia sempat diusir dari ruang ujian di kampus fakultas hukum, kemudian dilarang mendapatkan ijazah.

Sejumlah ulama menulis buku sanggahan, di antaranya Syekh Muhammad Shalih bin Murad yang menulis buku al Hadad ‘ala Imroati al Hadad. Sedangkan Syekh Umar al Madani menulis buku Saeful Haq ‘ala Man La Yara al Haq.

Kecaman public juga disuarakan melalui koran-koran local, di antaranya adalah artikel Haula Zindiqat al HadadMauqif as Shahafah al ‘Arabiyah haula Nazilat al Hadad, Khurafat as Sufur, dan Aina Yashilu Ghurur a Mulhidin. Dewan Ulama Zitouna juga mengeluarkan vonis kafir kepada Hadad atas gagasan-gagasannya yang dianggap controversial dan melenceng dari ajaran yang benar.

***
Pemerintahan Tunisia pada era sekuler (1956-2011), sangat menjunjung tinggi nama Tahir al Haddad. Ia disanjung-sanjung sebagai pahlawan pembebasan perempuan di Tunis.

Di kota asalnya, Hammah, patung kepala Haddad berdiri tegar di sebuah perempatan. Aku kebetulan berkesempatan mengunjungi kota Hammah, beberapa bulan lalu, dan sempat lewat ke depan patung Haddad.
“Ini dia patung Tahir Haddad”, tutur Butsainah, seorang mahasiswi S2 asal Hammah.
Siapa dia? Pahlawankah? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
 “Oh, ia itu seorang ulama Zitouna. Tapi ia dipecat dari keualamaannya karena bukunya yang dianggap melenceng oleh para ulama”, kata dia.
Kalo sikap masyarakat kota ini bagaimana?
“Warga kota ini tidak menyukainya”, jawab dia lagi.

Aku sudah menduga jawabannya bakal seperti itu. Dan ketidaksukaan masyarakat Tunisia kepada Hadad, baru bisa diungkapkan sekarang, ketika rezim sekuler yang mengapresiasi pemikiran-pemikiran Haddad sudah tak lagi berkuasa di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini.

Akankah pemikiran-pemikiran Haddad dilestarikan oleh pemerintah Tunisia sekarang? Dan tetap menginspirasi proyek hukum-hukum keluarga yang pro perempuan di Tunisia? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, semudah membalikkan telapak tangan.

Selamat Hari Kartini, Salam Manis dari Tunis


Tunis al Khadra, 21 April 2014 

Saturday, April 19, 2014

Tunis PAUD

KUTITIPKAN PUTERIKU PADA ORANG ARAB

Untuk bisa melepas puteriku yang masih balita ke TK/PAUD orang Arab, ternyata perlu keberanian. Terhalang keraguan, khawatir yang berlebihan dan cinta yang – kadang - memanjakan.

SUATU siang di TK al Malik as Shagir Tunis, hampir setahun silam.  Puteriku Kaira, yang baru berusia 3 tahun, meronta-ronta di pangkuan Rim, gurunya.  Tangisnya pecah. Air matanya berderai.

“Ayo, A, pergi”, kata isteriku seraya menggandeng tanganku.
Benarkah kita akan meninggalkan anak kita di sini? Aku masih ragu.
“Ya, kita harus berani memulai”, jawabnya sambil menarik tanganku. Aku pun berjalan pelan. Langkah-langkah kaki terasa berat. Sedangkan isteriku terus berjalan, semakin jauh dari pintu sekolah.

Suara tangis Kaira terdengar makin keras. Hatiku luluh. Kelopak mataku terasa hangat. Aku terus berjalan dengan langkah yang semakin berat.

Aku tak mau membohongi hatiku. Aku belum bisa jauh dari anakku. Segera aku balik kanan. Kubuka kembali pintu sekolah. Puteriku kuraih dari tangan Rim. Kupeluk erat dan kubisikkan, aku tak mau jauh darimu, sayang. Aku merasa belum siap menitipkanmu ke gurumu. Kaira kubawa pulang.

***
Firyal Khaira Ahlami, puteriku yang lahir pada tanggal 18 April 2010 silam. April 2013, saat usianya genap 3 tahun, aku berniat menyekolahkannya, agar ia punya teman main. Agar ia bisa berinteraksi dengan anak-anak seusianya. Agar ia tidak bête tiap hari hanya main dengan ayah-bundanya di rumah.

Sempat Pak Jamal – bapak kost yang baik hati itu- menawarkan agar puteriku dititipkan di rumahnya. “Kalo kamu sibuk kuliah, titipkan saja sama isteri saya”, katanya. Aku menolak secara halus. Aku tetap akan menyekolahkannya, Pak, supaya ia memiliki teman sebaya. Supaya ia tumbuh bersama anak-anak seusianya.

Anak itu harus bermain dengan teman sebayanya, supaya ia tidak egois. Ketika bermain dengan ayah bundanya, ia sebenarnya sedang bermain dengan kepalsuan. Karena ayah bunda bukanlah pesaing sejati baginya. Ayah bundanya akan selalu mengalah dan berpura-pura. Kemenangan anak saat bermain-main dengan ayah atau ibunya, adalah kemenangan yang semu.

Sedangkan di sekolah, ia akan menang dengan sesungguhnya, sebagaimana ia juga akan mengalami kekalahan yang sesungguhnya, dari teman-temannya. Inilah proses pembentukan karakter yang alami, tanpa rekayasa. Biarkan warna warni kehidupan ia temukan secara wajar dalam kesehariannya.

***
Bersama isteri, aku pun keliling mengunjungi beberapa sekolahan TK di sekitar tempat tinggal kami di Makal Zaim, Tunis. 

Mula-mula aku datang ke sebuah TK di belakang SMP Makal Zaim. Nurdin el Ayari, nama pengelolanya. Pria berusia setengah baya itu mengaku sebagai pensiunan kepala sekolah, yang kemudian mendirikan TK bersama isterinya.

Aku minta izin melihat-lihat ruangan kelasnya. Kok sepi? Mana anak-anaknya? Dari sela-sela jendela yang ditutup, aku intip salah satu ruangan kelasnya. Aku kira tidak ada orang. Ternyata ada sekitar 15 anak yang duduk berjajar di kursi panjang, sebagian menelungkupkan kepalanya ke meja. Sebagian lagi saling berbisik-bisik. Dari kelas sebelah, terdengar suara seorang wanita yang membentak-bentak. Suara itu menyuruh anak-anak tidur. Beberapa kali terdengar suara penggaris yang dipukul-pukulkan ke meja.

Semua jendela dan hordeng kelas ditutup. “Ini jam tidur siang, kata Pak Nurdin. Kulirik jam tangan : pukul 14.00 siang. Okelah, mereka “harus” tidur. Tapi mengapa suasana itu harus dipaksakan, bahkan diancam dengan hardikan atau pukulan ke meja. Aku merasa, ini tidak humanis. Bukannya positif, malah menekan mental anak. Itu buktinya, anak-anak tadi terdiam bukan karena tidur, tapi takut.

Tuan Nurdin, model pengajaranmu tidak akan mencerdaskan! Aku jadi meragukan pengalamanmu sebagai mantan kepala sekolah ! Aku langsung pamit.

***
Keesokan harinya, aku dan isteriku mengunjungi sebuah TK yang berlokasi di belakang Masjid al Hawa, samping kampus Universitas Zitouna. Begitu pintu dibuka, bacaan murattal Al Quran yang diputar dari kaset terdengar nyaring. Guru-gurnya juga berjilbab. Wah ini Islami, pikirku. Aku optimis.

Seorang guru wanita menemui kami. Ia menjawab beberapa pertanyaan seperlunya. Malah terkesan kurang ramah dan jarang tersenyum. Lalu aku amati  anak-anaknya, banyak yang hidungnya meler. Lehoan, kata orang Sunda mah. Tidak bersih. Beberapa lainnya bermata sayu.

Aku langsung ilfil. Ayo Neng, kita pulang, tuturku pada isteriku. Optimisme yang tadi sempat mencuat karena menduga ini sekolah yang “Islami”, seketika buyar.

Kaira bersama teman-temannya di PAUD al Hawa

***
Beberapa hari berikutnya, aku mengunjungi TK al Malik as Shagir itu. Jaraknya sekitar 500 meter dari kediamanku. Menuju ke sana, kami harus menyeberangi jalan raya dan menelusuri beberapa gang sempit di kawasan pemukiman tua.

Kaira langsung senang dengan suasana sekolah ini. Selain karena dinding-dinding sekolahnya rame dengan aneka gambar warna-warni, di pelataran tengah juga ada ayun-ayunan untuk anak. Oke deh, Kaira sekolah di sini saja.  Terlebih tiga gurunya : Rim, Amira dan Sausan, juga ramah-ramah.

Aku dan isteri, bergiliran menemani Kaira di sekolah. Saat isteriku ada kuliah, aku yang antar Kaira, dan sebaliknya.

Hari demi hari berlalu. Anakku enjoy bermain dengan teman-temannya. Tapi ya itu : ia belum mau ditinggal. Aku harus ada di dekatnya, ikut bermain bersamanya. Atau kalaupaun berjauhan, aku harus tetap dalam posisi kelihatan olehnya.
                                                                                                                                       
Beberapa kali aku mencoba memberanikan diri pergi. Kaira kutinggalkan sendiri. Tentu saja ia nangis. Dalam kondisi itu, seharusnya aku kuat : berani tega sedikit. Lama-lama juga ia akan terbiasa dengan teman-temannya. Tapi aku selalu ‘kalah’, seperti dalam kisah di awal tulisan tadi.

Aku hanya berfikir, anak usia 3 tahun itu belum saatnya dilepas. Apalagi dititipkan ke orang lain yang tidak sebangsa dan setanah air.

***
September 2013, Masjid al Hawa membuka TK Al Quran. Lokasi belajarnya adalah sebuah gedung baru, tepat di pojok kiri Masjid. Dengan pertimbangan lebih dekat dari rumah, kami memindahkan Kaira ke sekolah ini.

Sekolah agama memang sedang jadi trend baru di Tunis. Sejumlah masjid membuka pengajian-pengajian dan madrasah-madrasah tahfidz. Termasuk juga TK/PAUD Islami, yang mengajarkan Al Quran.

Kurikulum di TK Al Hawa ini lebih variatif dibanding sekolah Malik Shagir tadi. Di sini, setiap hari ada pelajaran mengaji, membaca hadits Nabi, menulis huruf sederhana, mewarnai/menggambar, doa harian, dan hafalan surat-surat pendek. Tentu selain aneka permainan khas anak kecil. Lokasinya juga samping kampus tempat kami kuliah. Guru-gurunya : Aminah, Aman, dan Rifqah, juga nampak energik, dan nyantri.

Antara Oktober2013 hingga awal 2014, Kaira masih ditemani ibunya. Aku hanya sesekali saja. Lama-lama, gurunya bilang, mau sampai kapan anakmu ditemani? Kapan ia bisa mandiri? Aku jadi berfikir, kalo belum dimulai satu langkah pun, perubahan itu mustahil terjadi. Selamanya hanya mimpi.

Bismillah, awal Maret 2014, Kaira tak lagi ditemani ibunya. Isteriku hanya ngantar sampai pintu kelas, kemudian Kaira dipangku oleh Sati, panggilan singkat dari Anisati (sebutan untuk pengasuh anak di sekolah). Tentu Kaira nangis. Tapi kami berusaha tegar.

Aku biasa ikut mengantar, tapi tak sampai depan pintu sekolah. Aku tak tega mendengar suara tangisnya. Isteriku yang dengan setia mengantar ke pintu, menyerahkan Kaira pada gurunya, lalu berdiri di samping jendela, sekedar mengintip, untuk memastikan bahwa Kaira berhenti menangis. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Jika tangis Kaira sudah benar-benar terhenti, barulah kami pergi.

Aku berkali-kali diskusi dengan isteri, apakah kita tidak terlalu memaksakan diri? Bukankah anak usia 4 tahun itu masih harus bersama ayah bundanya? Kata isteriku, kita harus bisa memulai. Toh anak-anak seusianya juga sudah sendiri di sekolah. “Allah yang akan menjaganya”, katanya meyakinkaku.

***
Hari-hari terus berlalu. Tanpa sepengetahuan isteriku, sesekali aku lewat ke depan sekolahan anakku, lalu mengintip dari jendela. Ia nampak begitu lucu. Ia sedang bermain dengan teman-temannya yang orang Arab. Aku ingin mengambilnya ! Tapi bathinku berbisik : tidak boleh! Biarkan ia bermain lepas dengan teman-teman sebayanya ! Biarkan ia menemukan dunianya !

Setiap hari, gurunya selalu melaporkan perkembangan anakku. Hari-hari pertama, Kaira menangis agak lama saat dilepas ibunya. Minggu kedua, frekuensi nangisnya berkurang. Dan awal April 2014 ini, Kaira tak pernah nangis lagi di sekolah. Begitu tiba di sekolah, ia langsung ceria dalam pangkuan sati-satinya.  Ia juga bisa lumjah (ngemil) sendiri. Hanya sesekali disuapi gurunya.  Di rumah, ia selalu semangat bercerita tentang teman-temannya.

Dan hari ini, adalah hari ulang tahunnya yang ke-4. Tadi pagi ia nampak semangat melangkahkan kakinya menuju sekolah.  Alhamdulillah.

Selamat ulang tahun puteriku. Berjalanlah ke sekolahmu, ukirlah mimpi-mimpimu di sana. Duniamu ada di sana. Aku menitipkanmu pada guru-gurumu, karena aku mencintaimu.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh, tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sambil meresapi makna dari bait-bait puisi Khalil Gibran di atas, aku merasakan kebanggaan menjadi seorang ayah. Selamat ulang tahun puteriku, 18 April 2010-18 April 2014.


Tunis al Khadra, 18 April 2014 

Wednesday, April 09, 2014

Kantin Mahasiswa

PERBAIKI GIZI DI MATH'AM JAMI'I

Dua puluh enam persen APBN yang digelontorkan pemerintah Tunisia untuk sector pendidikan, dinikmati berkahnya oleh para mahasiswa di Tunis. Selain bea kuliah yang murah meriah, para mahasiswa juga menikmati fasilitas Math’am Jami’i alias kantin mahasiswa.

Di kantin ini, para mahasiswa menikmati menu bergizi, porsi besar ukuran orang Arab, tetapi dengan harga murah meriah. Uang 1 Dinar (senilai Rp 7 ribu), bisa ditukar dengan 5 kupon, untuk 5 kali makan. Semua bisa murah karena subsidi pemerintah.

Math’am Jami’i ada di mana-mana. Di setiap kawasan kampus, di situ ada math’am jami’i. Atau di mana ada asrama mahasiswa, pasti di sebelahnya berdiri gedung math’am jami’i. Laksana pepatah lama, di mana ada Romi, di situ ada Yuli, hehe..

***
Selasa siang kemaren sepulang kuliah, aku bersama beberapa rekan sengaja makan siang di Math’am Jami’i Rabta. Math’am ini biasa menjadi lokasi makan para mahasiswa dari 2 kampus yang lokasinya saling berdekatan : Universitas Tunis dan Universitas Zitouna.  

Kami berjalan kaki menyeberangi Jalan Raya 9 April, salah satu jalan utama di kota Tunis, yang membentang di samping kampus kami. Kemudian kami melewati depan gedung fakultas Adab Universitas Tunis. Nampak para mahasiswanya berkelompok-kelompok berjalan menuju arah Rabta. “Mungkin mereka juga mau makan siang di Math’am”, pikirku menerka-nerka, hehe.

Di kawasan ini, terdapat beberapa kafe gaul tempat para mahasiswa nongkrong, menunggu jadwal kuliah atau menunggu bis. Tapi tentu saja, harga makanan di kafe-kafe itu jauh di atas tarif math’am jami’i.

***
Tak lama kemudian, kami tiba di halaman math’am impian. Aku langsung menuju loket penjual kupon. Antri dengan mahasiswa lain. Maklum, jam 12an siang menjelang dzuhur begini, memang waktunya makan.  

Tepat di samping loket, ada whiteboard kecil yang menggantung. Tertulis di situ kalimat dalam bahasa Arab : Menu siang ini : Syurbah, Lubia, Thojin, Salathah dan Burtuqal.   Syurbah adalah sup pembuka. Lubia adalah kacang berkuah. Thojin adalah sejenis perkedel, bahannya telur dan aneka sayuran. Salathah adalah salad sayura segar. Selalu ada buah zaitunnya. Burtuqal adalah buah jeruk. Oya, ada satu yang tidak disebutkan di situ tapi pasti selalu ada : roti baguette yang besar dan panjang itu..  

Menu di math’am jami’i telah dijadwal oleh pengelolanya. Cukup variatif. Kadang ada kuskus, makaruna (spageti), atau nasi kebuli. Lauknya juga macam-macam, ada daging sapi, daging kambing, ayam, ikan, telur atau thojin. Plus salad, sayuran segar dan buah-buahan. Sesekali, buah-buahan diganti dengan yoghurt local. Pokoknya mah, variasi menu dan porsinya yang jumbo, sangat cocok untuk mereka yang sedang terapi program perbaikan gizi, hehe.

Saat studi S2 dulu (2005-2007), aku cukup sering makan di sini. Malah waktu itu aku sampe hafal menu sehari-harinya, baik makan siang atau makan sorenya.  Wow, segitunya. Oya, math’am jami’i ini buka dua kali sehari : makan siang (pukul 12.00-14.00) dan makan sore (pukul 17.00-18.00).

Bagi ‘member’ yang tidak tertarik dengan menu yang disebutkan di whiteboard tadi, dapat membatalkan niatnya lalu langsung balik kanan. Kalo aku, jangan ditanya. Sejak awal jadi nasabah math’am ini pada tahun 2005 silam, Alhamdulillah tak pernah melakukan itu. Seperti kata pepatah lagi : sekali kaki melangkah ke depan, pantang mundur ke belakang…! Hehe…


***
Setelah kupon di tangan, kami masuk ke pintu ruang makan. Kami berdiri mengantri, di sela deretan panjang para mahasiswa. Campur semua di situ. Mahasiswa dan mahasiswi, baik orang Tunis maupun orang asing. Para mahasiswinya ada yang berjilbab, ada juga yang tidak. Ada yang modis cantik, juga yang biasa-biasa. Para mahasiswanya juga sama : ada yang pecian dan jenggot panjang, ada juga yang pake jeans lusuh. Tak ada kasta atau status social di sini. Math’am jami’i mengajarkan kesetaraan ! hehe…

Siang itu, banyak juga kulihat mahasiswa yang mengenakan kemeja lebar berwarna putih. Sepertinya mereka adalah para mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Tunis. Kampus mereka memang berada di kawasan ini.

Para pegawai rumah makan berdiri siaga menyambut kami. Ada yang bertugas memberikan buah-buahan ke piring yang kami pegang. Ada yang bertugas menuangkan kuah, ada yang memilihkan daging, juga mengisi piring kami dengan salad atau sayuran segar. Semua ada tugas sendiri-sendiri. Dan kami berjalan pelan melewati setiap mereka.

Kami makan di meja-meja yang berderet. Duduk saling berhadapan, berbaur dengan para mahasiswa lain dari berbagai negeri. Kami lupa dengan perbedaan warna kulit atau bentuk rambut. Kami disatukan oleh kesamaan perasaan : lapar..!

Allahumma Barik Lana Fiimaa Raqaztanaa… Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 08 April 2014