Sunday, September 20, 2009

Gajah Sri Lanka

Menonton Gajah Mandi di Pinnewala


Aku di Pinnewala Elephant Orphanage, 80 km dari Colombo

Dalam sebuah perjalanan dari Colombo menuju kota Kandy, aku mampir ke Pinnewala Elephant Orphanage (Taman Pengasuhan Gajah), 80 km dari kota Colombo. Aku ingin lihat gajah dari dekat. Dulu di Tanah Air, beberapa kali diajak kawan kuliah yang orang Lampung, untuk melihat gajah di Way Kambas. Tapi tak pernah kesampaian. Nah, kesempatan itu ternyata malah datang saat aku di luar negeri. Kesempatan takkan datang dua kali..!

Maka, setelah melewati kota Kegalle, 77 km dari Colombo, Sunil – sopir yang mengantar perjalannku - membelokkan kendaraan ke arah kiri, menuju Rambukkana. Pinnewala Elephant Orphanage ada di jalur itu, jaraknya sekitar 5 km dari pertigaan. Pertigaan itu sendiri dikenal dengan nama Karandupona Junction, sekitar 25 km sebelum Kandy.

* * *
Jalan menuju Pinnewala agak sempit, aspalnya juga rusak. Pemandangan kiri kanan jalan adalah pepohonan rindang dan hutan kecil. Jarang sekali ada pemukiman penduduk. Sesekali ada bis umum bernomor 681, jurusan Kegalle-Rambukkana.

Dan sepuluh menitan kemudian, aku tiba di Taman Gajah yang kutuju. Lokasinya di sebelah kanan jalan. Kulihat ada pintu gerbang yang dijaga petugas. Beberapa pria lokal menghampiri mobil, lalu mereka berbicara dalam bahasa Sinhala dengan Sunil. Entah ngomong apa, aku tak faham. “Mereka itu para guide lokal yang menawarkan jasa guide”, kata Sunil beberapa saat kemudian. “Tapi saya bilang, kami tak perlu guide”, kata dia lagi tanpa menunggu komentarku. Aku mengangguk-angguk. “Bagus, Pak Sunil. Tak perlu guide, khan ada Bapak”, tuturku.

Sebelum masuk ke ke Taman Gajah, kami membeli karcis di loket. Di pintu, karcis diperiksa oleh polisi wisata yang berseragam lengkap. Tetapi ada juga polisi wisata dari kalangan wanita Sinhala yang berbusana Sari ; rok panjang, tetapi bagian perut terbuka sehingga pusarnya kelihatan. Mereka semua ramah dan fasih berbahasa Inggris.

Banyak juga turis bule yang kujumpai pagi itu. Mereka datang dengan mobil travel alias biro wisata. Untuk orang asing, tiketnya ternyata cukup mahal, yakni 1250 Rupees, atau setara dengan 125 ribu rupiah. Kalau untuk warga Sri Lanka, hanya 100 Rupees..!

* * *
Taman ini sebenarnya berupa hutan tempat gajah-gajah itu digembalakan. Taman ini mulai ada sejak tahun 1972. Waktu itu hanya ada 4 ekor anak gajah. Upaya perlindungan dilakukan karena dahulu gajah-gajah di Srilanka suka meninggalkan anaknya. Akibatnya, anak gajah itu stress dan mengamuk, merusak rumah dan tanaman penduduk. Penduduk pun terpaksa membunuh gajah-gajah itu. Saat ini, ada 70-an gajah di sini. Para pawang gajahnya dinamakan Mahout.

Menu wisata andalan di taman ini adalah kegiatan harian para gajah itu, baik berupa kegiatan makan (pukul 9.15, 13.15 dan 17.00), atau mandi (pukul 10.15 dan pukul 14.00).

Mula-mula para turis dibawa ke kandang besar. Di sana ada 2 ekor anak gajah yang sedang sarapan dedaunan, kemudian diberi susu oleh pawangnya dengan menggunakan botol susu besar. Kaki gajah itu dirantai. Gerakannya lucu juga. Kadang ia mengangkat-angkat kakinya, kadang juga memain-mainkan belalainya.

Kemudian para turis diajak ke lapangan luas, lokasi puluhan gajah berkumpul. Di tempat terbuka itulah, kami bebas mengambil gambar di antara sekumpulan gajah. Para turis diingatkan untuk tidak terlalu dekat ke gerombolan gajah. Beberapa papan peringatan bertuliskan “Don’t Go Beyond This Area”, nampak terpasang di sana.

* * *
Pukul 10.15, kami berjalan menuju ke pinggir sungai yang cukup lebar tapi dangkal. Airnya bersih karena dasar sungai itu adalah bebatuan. Lokasinya sekitar 200 meter dari lapangan.

Di sungai itulah para gajah itu dimandikan oleh para pawangnya. Sepertinya para gajah itu sudah terbiasa dimandikan. Buktinya mereka nampak enjoy bermain-main dengan air. Sesekali mereka bersuara. (Apa yach, suara gajah itu?!). Mereka diam saja saat tubuhnya yang besar itu disirami air oleh pawang-pawang itu. Bahkan beberapa di antara mereka duduk-duduk rebahan di sungai berair dangkal itu. Seolah sudah pasrah.

Dan para turis, duduk di tepi sungai, berjarak sekitar 30 meter dari gajah-gajah itu. Sebagian turis lain nampak duduk-duduk di pelataran belakang hotel Ralidawa, yang lokasinya tepat di tepi sungai. Bersama turis-turis bule itu, aku asyik menonton gajah-gajah itu membersihkan tubuhnya. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 18 September 2009

Kuil Budha

Berkunjung ke Kuil Budha


Aku di Gangaramaya Temple, Slave Island, Colombo

Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Budha, Sri Lanka memiliki banyak kuil alias vihara. Baik di kota atau desa. Di kuil-kuil itulah umat Budha melakukan beragam ritual keagamaan.

Di sela-sela kegiatan rutin, aku berusaha menyempatkan diri untuk berkujung ke kuil-kuil itu. Sekedar ingin tahu bagaimana ritual ibadah umat Budha di sana. Toh banyak juga kuil di Sri Lanka ini yang biasa dikunjungi oleh turis-turis mancanegara. Mudah-mudahan catatan ini bermanfaat bagi siapapun yang hendak melakukan wisata ziarah Budhisme and Beyond di Sri Lanka.

Jangan Membelakangi Sang BudhaHari Ahad pekan lalu, aku sempat mengunjungi Gangaramaya Temple di Sir Jinatarana Road, Distrik Slave Island, Colombo. Kuil ini berlokasi di tepi jalan raya kecil, dekat Danau Beira, salah satu danau yang terletak di tengah kota Colombo.

Aku tiba di sana sekitar pukul 13.00. Di halaman kuil, kulihat puluhan gadis kecil berseragam putih didampingi beberapa wanita setengah baya. Juga berseragam rok putih dan kemeja putih. Sepertinya itu adalah pakaian resmi bersembahyang di kuil. Karena di beberapa kuil lain pun, aku selalu melihat wanita-wanita berbaju stelan putih.

Bangunan kuil itu sebenarnya biasa saja. Akan tetapi dinding-dindingnya dilapisi aneka macam hiasan. Ada patung, lukisan, atau ukiran-ukiran kayu. Di sebelahnya ada deretan perapian dengan baranya yang masih ngebul. Ada juga dagoba (stupa), bangunan berbentuk kubah berwarna putih.

Seorang pengurus kuil menghampiriku. Tanpa diminta, aku menjelaskan identitas dan maksud kedatanganku. Ia tersenyum ramah. Aku dipersilahkan masuk dengan syarat alas kaki harus dibuka. Aku lihat, pengunjung lain pun sama ; masuk kuil tanpa alas kaki.

Di ruangan utama kuil, terdapar patung Sang Budha sedang duduk bersila. Tingginya sekitar 7 meteran. Di sekelilingnya ada beberapa patung lain yang lebih kecil. Di depannya, ada beberapa wadah sesajen yang penuh dengan bunga warna-warni. Beberapa orang Budhis nampak khusyu berdoa di depan patung. Ada yang bersujud, ada juga yang berdiri sambil menundukkan kepala.

Tanpa banyak basa-basi, kuarahkan jepretan kamera ke arah Sang Budha. Bahkan beberapa kali aku sempat berpose dengan latar belakang patung. Hingga suatu ketika, aksiku ini kelihatan oleh seorang pengurus kuil yang berbaju putih. Ia menghampiriku seraya berkata, “Tak boleh foto membelakangi patung Sang Budha. Tidak pantas. Ini tempat ibadah”, tuturnya. Aku mengangguk-angguk, “Maaf Pak. Saya tidak tahu”, tuturku. Sungguh, aku belum tahu bahwa itu dilarang.

Kuil Festival Gajah
Gangaramaya Temple ini termasuk kuil terpenting bagi umat Budha di kota Colombo. Lantaran kuil ini menjadi lokasi festival Navam Perahera yang digelar setiap malam purnama (Poya Day) bulan Februari. Poya Day adalah salah satu hari besar, sehingga dijadikan libur nasional bulanan di Sri Lanka.

Festival Navam Perahera di kuil Gangaramaya adalah ritual umat Budha yang terbesar yang dilakukan pada bulan Februari. Dalam festival itu, ada karnaval 50 ekor gajah yang dihias. Mereka berjalan dari kuil ini, kemudian mengelilingi Viharamahadevi Park dan Danau Beira. Festival ini biasa dilakukan umat Budha sejak tahun 1979.

Selain karena festival itu, Gangaramaya terbilang penting karena ia memiliki perpustakaan dan musium Budha. Koleksinya berupa benda-benda bersejarah – umumnya berupa patung – yang ternyata banyak berasal dari Thailand, Myanmar dan Jepang.


Di depan Bodhi Tree, mobil harus berhenti

Mobil Berhenti di Kalutara
Selain ke kuil Gangaramaya, aku juga sempat mengunjungi kuil Gangatilaka, yang terletak di Kalutara, sebuah kota kecil berjarak 38 km arah selatan Colombo. Dibanding Gangaramaya, kuil ini lebih besar dan lebih luas. Dagobanya juga lebih tinggi. Daya tarik lainnya, kuil ini terletak di tepi danau berair bening dengan jembatan Kalu Ganga-nya yang kokoh. Bagus sekali untuk lokasi foto.

Point lainnya, di seberang kuil ini terdapat Bodhi Tree, pohon suci umat Budha. Setiap sopir yang berlalu di depannya, harus menhentikan kendaraannya sejenak untuk sekedar memberi hormat dan berdoa agar mendapat keselamatan dan keberkahan. Seperti yang kusaksikan sore itu, semua mobil yang lewat, pasti berjalan pelan dan kemudian berhenti. Para penumpangnya kemudian memberi hormat kepada Bodhi Tree atau ke arah Dagoba. Kadang ada perwakilan penumpang yang turun sejenak untuk memasukkan uang sumbangan ke dalam kotak-kotak amal yang berjajar di pinggir jalan. Bis umum pun demikian ; berhenti lalu sopir atau kondekturnya turun.

Satu jam setengah kulewatkan di kuil itu. Aku masuk ke beberapa ruangan sembahyang, bahkan aku juga sempat masuk ke dagobanya, melalui tangga-tangganya. Ternyata, ruangan utamanya berbentuk bundar, dengan diameter kitar-kira 20 meter. Atapnya berwarna putih, di pojok langit-langitnya, ada lukisan-lukisan yang memanjang. Di tengah-tengah ruangan itu ada empat patung Budha duduk bersila, menghadap empat arah mata angin. Di depannya, ada wadah untuk bunga-bunga.

Puluhan umat Budha nampak sedang asyik berdoa, ada juga yang duduk-duduk di tepi. Aku pun ikut duduk menyandar di tepi. Santai. Beberapa kali, kujepretkan kamera. Mumpung kesini, pikirku. Sesekali aku berpose. Tapi tak lagi membelakangi patung Sang Budha.


Aku di jembatan Kalu Ganga. Kuil Gangatikala nampak dari kejauhan

Puing-puing Tsunami
Kalutara adalah kota pantai, ditempuh dengan 1 jam perjalanan dari Colombo. Jalannya lurus saja, menyusuri Galle Road yang berdampingan dengan rel Kereta Api dan searah dengan garis pantai barat Sri Lanka. Maka, perjalanan dari Colombo ke Kalutara, seperti perjalanan dari Rabat ke Casablanca di Maroko sana. Pemandangan berupa lautan luas, ada di sebelah kanan kita, hampir di sepanjang perjalanan.

Sesekali aku berpapasan dengan bis antar kota, jurusan Colombo-Ambalangoda. Bis tua buatan India, merk-nya Tata, berwarna dasar putih, dihiasi beragam corak tulisan Sinhala. Persis bis kota di Jakarta tahun 1980-an, atau yang kita lihat dalam film-film India lama. Tapi, rute bis itu cukup jauh. Ambalangoda adalah kota pantai di selatan Colombo, berjarak 70an km, ditempuh selama hampir 2 jam.

Antara Colombo dan Kalutara, terdapat beberapa kawasan wisata pantai. Di antaranya ada resor Mount Lavinia, Panudara dan Wadduwa. Hotel-hotel di kawasan itu, umumnya menyediakan layanan Aryuveda, pijat tradisional khas Sri Lanka yang kini telah menjadi salah satu komoditas wisata andalan. Menurut info yang kudengar, banyak WNI yang bekerja sebagai juru pijat Aryuveda di kawasan ini.

Di daerah Morutawa, aku melihat puing-puing bangunan tanpa atap. Tepat di tepi pantai. Ternyata, itu adalah reruntuhan bekas korban Tsunami tahun 2004 lalu, yang juga melanda sebagian pantai barat dan selatan Sri Lanka. Saat itu, Tsunami merenggut 35 ribuan nyawa warga Sri Lanka, ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.

Aku tak sempat melihat reruntuhan bangunan pasca Tsunami di Aceh, yang masih Tanah Airku sendiri. Ternyata aku berkesempatan melihatnya di negeri orang, saat aku dalam perjalanan menuju sebuah kuil Budha. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 18 September 2009

Tuesday, September 15, 2009

Tragedi Pesawat Haji

Napak Tilas Tragedi Pesawat Haji


Aku di depan Monumen Tragedi Haji Indonesia di Sri Lanka

Pernahkah Anda mendengar berita jatuhnya pesawat haji Indonesia di Sri Lanka tahun 1974 dan 1978?

Tragedi pertama, 4 Desember 1974, terjadi di daerah Maskeliya, Sri Lanka Selatan. Saat itu, pesawat Martin Air DC 8 Flight yang membawa jemaah haji asal Surabaya dan Makasar, menabrak bukit berbatu. Kontan saja, 192 jemaah dan 7 kru pesawat, gugur sebagai syuhada. Puluhan lainnya terluka. Pesawat naas itu dalam perjalanan dari Tanah Air menuju Tanah Suci. Di Sri Lanka, pesawat itu hendak transit untuk mengisi bahan bakar.

Tragedi kedua, terjadi di Katunayake, sekitar 30 km utara Colombo, pada tahun 1978. Waktu itu, pesawat Islandic Air, yang membawa jemaah haji kita hendak mendarat di bandara Colombo, dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Dua ratusan jemaah yang baru saja menunaikan ibadah haji, gugur sebagai syuhada. Puluhan lainnya terluka.

Kini, di lokasi jatuhnya kedua peswat ini, didirikan mesjid sebagai monumen tragedi memilukan itu. Di Maskeliya, mesjidnya dinamai Hanafi Jumah Mosque. Lokasinya tak jauh dari Adam's Peak (Sripada, Sivanolipadam, Bawa Adamalai), tempat yang dianggap suci oleh umat Islam, Hindu dan Budha Sri Lanka, karena diyakini dulu pernah disinggahi oleh Nabi Adam as. Di Katunayake, selain mesjid, juga ada madrasah.

* * *
Beberapa hari lalu, aku berkesempatan mengunjungi monumen haji di Katunayake, yang lokasinya tak jauh dari Bandaranaike International Airport.

Sebenarnya,Katunayake hanya terpaut jarak 25 km dari Colombo. Tetapi sore itu, aku memerlukan waktu 40an menit untuk tiba di sana. Maklum, jalanan macet karena bertepatan dengan jam pulang kerja.

Tak sulit untuk menemukan lokasi ini. Bangunan permanen berlantai dua, catnya hijau, memanjang di tepi kiri jalan raya. Pagar besinya juga berwarna hijau. Di depannya terdapat sebuah plang bertuliskan 'Indonesian Haj Memorial Building'.

Tak ada kubah atau menara yang menandakan bahwa bangunan itu adalah mesjid. "Fungsinya telah bergeser, dari yang dulunya mesjid , kini menjadi perkantoran dan sekolah", tutur Pak Gojali, staf KBRI yang telah tinggal di Colombo sejak 1978. Tempat shalat hanya menempati petak kecil -kira-kira seluas 30 meter persegi - di lantai dasar.

Benar, gedung itu kini lebih pantas disebut sebagai perkantoran, karena lantai dasarnya telah disekat-sekat menjadi beberapa ruangan. Sebagian ruangan itu bahkan disewakan. Ruangan paling kiri kini berfungsi sebagai rumah makan Sri Lanka. Di sebelahnya kulihat ada kantor ekspor impor. Ruangan berikutnya lagi, sekretariat pengurus, dan seterusnya.

Sebenarnya, lokasi jatuhnya pesawat bukanlah di sini. Melainkan masih terpaut beberapa ratus meter di seberang jalan raya. "Tepatnya di kebun kelapa, tepi bandara", tutur Pak Gojali. Dan gedung ini, dibangun atas biaya pemerintah RI dan sumbangan Ikatan Haji Indonesia. Kemudian, pengelolaannya dilakukan oleh Islamic Centre Sri Lanka hingga hari ini.

Mula-mula, gedung itu digunakan sebagai mesjid. Namun dalam perjalanannya, fungsi mesjidnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin karena masyarakat sekitar umumnya non muslim. Pantas, pikirku, jika sekarang malah disewa-sewakan untuk perkantoran. Berbeda dengan Mesjid Hanafi di Maskeliya yang terawat rapi dan berfungsi dengan baik sebagai tempat ibadah, karena memang berada di tengah komunitas muslim.

Aku melihat-lihat ke halaman belakang gedung hijau itu. Rupanya ada bangunan sekolah berlantai dua. Gedungnya permanen dan berukuran besar. Hitungan kasarku, ada 12 ruangan kelas. Gedungnya bersih, halamannya asri dan dihiasi bunga-bunga. Di halaman belakangnya ada lapangan sepakbola berumput hijau. Pagar tembok setinggi kira-kira 2 meter, membatasi halaman belakang sekolah dengan komplek pemukiman masyarakat.



Di belakang sekolah itu, ada lapangan sepak bola nan hijau

Sekolah itu bernama Seylon International School. Dikelola oleh Islamic Centre Sri Lanka. "Muridnya ada 650an", tutur seorang Satpam yang sore itu memandu kunjunganku. Cukup banyak juga, pikirku. Mungkin karena dikelola secara profesional. Seorang mantan walikota Colombo yang muslim, khabarnya ikut aktif mengelola lembaga pendidikan Islam ini.

Pak Gojali menuturkan pengalamannya saat ia menolong para korban tragedi pesawat itu, 31 tahun silam. "Puluhan orang yang terluka, mula-mula dirawat di sini, tetapi kemudian dibawa ke Jakarta. Sedangkan jenazah korban disimpan di bangsal milik Angkatan Udara Sri Lanka. Jenazah sulit dikenali, sebagian besar terpotong-potong. Waktu itu, saya ditugasi oleh pimpinan untuk membuat nomor urut 1 sampai 200, di potongan-potongan karton. Mulanya saya tidak tahu untuk apa. Ternyata untuk dipasangkan di tubuh setiap jenazah. Saya sendiri yang memasangkannya semua", kenang pria setengah baya ini.

Subhanallah, gumamku. Betapa harunya perasaan Pak Gojali saat itu. Membantu saudara-saudari sebangsa dan setanah air, seiman sekeyakinan, yang gugur secara syahid usai memenuhi panggilan Allah di Tanah Suci.

Masih menurut Pak Gojali, ada sepasang suami isteri yang sehat walafiat, tak cedera sedikit pun. Dimanakah mereka sekarang? Semoga berkesempatan membaca catatan ini.
* * *
Menjelang detik-detik buka puasa, aku bersama Pak Gojali - dan beberapa rekan lain - memanjatkan doa untuk para syuhada itu. Allahummagfir Lahum Warhamhum wa 'Aafihim wa'fu 'Anhum. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 14 September 2009

Friday, September 11, 2009

Colombo Mosque

Santri-santri Gundul
di Colombo Grand Mosque


Aku bersama para santri gundul di Colombo Grand Mosque

Senin (7/9) lalu, aku ngabuburit alias jalan-jalan sore menunggu waktu magrib. Tujuanku kali ini adalah Colombo Grand Mosque. Mesjid terbesar di Sri Lanka yang juga markas Dewan Ulama negeri berpenduduk mayoritas Budha ini. Sore itu, aku ditemani seorang staf KBRI yang baik hati.

Dekat Kota Tua
Colombo Grand Mosque berlokasi di Moor Street, kawasan Pettah, salah satu distrik tertua di Colombo. Di kawasan ini, masih banyak terdapat gedung tua nan antik peninggalan kolonial Inggris.

Kami berangkat dari kediaman di kawasan Havelock Town sekitar pukul 17.00. Mula-mula kami menelusuri jalanan di Bambalapitiya, kemudian masuk ke Galle Road, jalan lurus membentang di tepain pantai. Berbanding lurus dengan rel kereta api. Di sebelah kanan kami adalah komplek pertokoan modern, sedangkan di sebelah kiri lautan luas, Samudera Hindia. Suasana seperti ini mirip pemandangan di kota Alexandria, Mesir.

Memasuki kawasan Kollupitiya, mulai banyak gedung perkantoran penting, di antaranya Kedubes AS, Kedubes India, Kedubes Inggris dan kantor Perdana Menteri. Di sebelah kanan, nampak kamp militer yang luas. Ditandai kantung-kantung pasir, menara pengintai serangan laut, serta beberapa pos penjagaan. Pengamanan ekstra ketat, maklum ini adalah kawasan High Security Zone. Setiap kendaraan yang lewat, dicegat, untuk ditanyai identitas. Tak terkecuali mobil kami. Tapi tak usah khawatir, cukup buka kaca dan katakan, "DPL, Indonesian Embassy". Para tentara berwajah sangar itu langsung tersenyum dan mempersilahkan untuk terus jalan. Oya, DPL adalah kependekan dari Diplomatik, yang sudah cukup populer di sini.

Ketatnya pengawasan di daerah ini, selain untuk menjaga keamanan kantor-kantor penting, juga untuk mengantisipasi serangan Macan Tamil dari arah laut yang beberapa waktu lalu sering terjadi.

Tak lama kemudian, kami tiba di Fort, kawasan eksklusif di kota ini. Kami melewati beberapa hotel mewah yang bangunannya menjulang tinggi. Ada Hotel Galadari, Ceylon Intercontinental dan Hilton Colombo.

Kemudian kami masuk ke Main Street. Nah, di jalan inilah aku sempat terkagum-kagum melihat suasana kota tua dengan bangunan-bangunan antiknya yang masih terawat. Gedung-gedung kuno diselingi pertokoan dan pasar rakyat. Jalan yang tak terlalu lebar, sore itu dipadati mobil dan para pejalan kaki. Rupanya, ini adalah pasar rakyat terbesar di Colombo. Mungkin mirip Tanah Abang di Jakarta atau Pasar Atabah di Kairo. "Segala macam bisa kita dapatkan di sana", tutur Pak Gojali, staf KBRI yang sudah 30 tahun di Colombo.

Mobil berjalan perlahan, ekstra hati-hati, takut kesenggol kendaraan lain, atau Three Wheler alias bajaj, yang sangat mendominasi ruas-ruas jalan raya di kota ini.

Inikah Grand Mosque?!
Setelah melewati kawasan macet, tibalah kami di New Moor Street. Jalannya sempit, hanya cukup untuk dua mobil. Menurut peta yang kupegang, di jalan inilah mesjid itu berada.

Di kiri dan kanan jalan, warung-warung kecil berjajar. Ada warung sembako, barang-barang kelontongan serta rumah makan. Sebagian bangunannya nampak kurang terawat. Beberapa kali aku melihat mesjid kecil di tepi jalan, atau di dalam gang-gang kecil. Sering pula aku menjumpai kaum laki-laki berjanggut lebat dan berjubah, lalu lalang di kawasan ini. Rupanya banyak juga muslimnya, pikirku.

Jalanan agak lengang, tak seperti Main Street tadi yang padat. Tetapi mobil bergerak perlahan, karena kami sambil melihat kiri-kanan, mencari-cari bangunan mesjid itu. Dan setelah melewati dua perempatan, pandanganku tertuju pada sebuah bangunan besar di tengah komplek pemukiman padat. Di bagian kiri bangunan itu, ada sebuah menara tinggi menjulang. Wah, inikah Grand Mosque itu?!

"Ya, inilah Colombo Grand Mosque", tutur seorang pria Sinhala berusia separuh baya yang kusapa. Alhamdulillah, sampai juga ke tempat tujuan, gumamku.

Segera aku menatapi mesjid tanpa kubah itu. Bangunan tua yang berukuran besar, tapi nampak kurang terawat. Warna catnya kuning tua, sebagian memudar akibat dimakan usia. Pada bagian kiri, nampak sedang ada pekerjaan rehab ringan. "Kok kurang meyakinkan begini ya mesjidnya?!", tuturku kepada rekan perjalanan. Ia tersenyum seraya mengangguk-angguk. Aku berfikir-fikir, kenapa mesjid ini luarnya nampak kumuh?! Apakah mungkin karena di kota ini mayoritas bukan muslim, lalu tak banyak orang yang perhatian pada mesjid?!

Wudhu di Kolam
Aku berdiri di depan gerbang mesjid. Dua orang satpam berseragam datang menghampiri. Aku kemudian mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. "Aku muslim dari Indonesia", tuturku. Mereka tersenyum ramah seraya mempersilahkan kami masuk mesjid.

Dengan bismillah, aku memasuki mesjid, mengikuti langkah si satpam itu.

Ternyata ruangan dalamnya cukup luas dan bersih. Tak seperti yang kubayangkan tadi saat di luar. "Mesjid ini menampung 5000 jemaah", tutur Satpam berusia setengah baya yang belakangan kuketahui bernama Muhamed Syaifan.

Ruangan itu diselingi tiang-tiang yang berderet. Lantainya ditutupi karpet dan sajadah. Di beberapa pojok mesjid, ada lemari-lemari kecil tempat penyimpanan kitab suci Alquran.

Belasan pria nampak sedang duduk-duduk. Sebagian membaca Alquran. Sebagian lagi nampak komat kamit berdoa. Mungkin mereka sedang itikaf ramadhan, pikirku. Sebagian lagi berbisik-bisik dengan temannya sambil melihat ke arahku. Tak kupedulikan.

Ruang shalat muslimah terletak di lantai dua, ditandai dengan tirai biru. Sayang sekali, di ruangan dalam mesjid ini tak boleh foto. Di pojok kanan mesjid, nampak dua orang petugas sedang sibuk membawa wadah-wadah makanan. Rupanya mereka sedang menyiapkan hidangan berbuka puasa secara gratisan. Mirip Maidaturrahman di negeri Mesir. Meski di sini, menunya hanya takjil dan bubur Kanji.

Satpam mengajakku menuruni tangga lebar di bagian belakang mesjid. Ia ingin menunjukkan lantai dasar, lokasi tempat wudhu berada.

Rupanya, tempat wudhunya berupa kolam-kolam lebar yang berair bersih. Bukan kran-kran atau pancuran yang lazim ditemui di mesjid-mesjid Indonesia. Kulihat, ada enam kolam wudhu di situ. Kolam-kolam itu ditembok rapi bahkan pakai keramik. Tempat wudhu dengan gaya seperti ini dulu kujumpai di mesjid-mesjid tua di Mesir, Tunis dan Maroko.




Aku di salah satu sudut Colombo Grand Mosque

Santri Gundul

Saat aku mengamati lokasi wudhu, tiba-tiba sekelompok anak laki-laki usia SMP berdatangan dari ruangan dalam, masih di lantai dasar. Mereka semua seragam ; jubah serba putih, peci putih dan kepala gundul..! Aku sempat kaget. Siapakah gerangan mereka?!

Segera kuhampiri mereka. "Assalamu'alaikum", sapaku seraya menyalami mereka satu per satu. Ada sekitar 12 orang saat itu. "Waalaikum Salam", jawab mereka kompak. Kutanya dengan bahasa Inggris, tapi hanya beberapa yang menjawab itu pun sepotong-sepotong. Akhirnya si Satpam itu yang menjadi penerjemah.

Rupanya mereka adalah para santri di mesjid ini. Setiap sore mereka belajar Alquran dan ilmu-ilmu keagamaan. Mereka adalah warga Tamil muslim yang tinggal di sekitar mesjid. Mereka cukup ramah. Tak henti-hentinya mereka tersenyum. Gigi putih mereka nampak kontras dengan kulit mereka yang cokelat tua agak-agak hitam.

Kutanyai mereka, apakah kalian hafal surat Al Fatihah?! Mereka mengangguk-angguk. Bahkan tanpa diminta, salah seorang dari mereka melantunkan surat pertama dalam Alquran itu. Bacaannya fasih, tajwidnya pas, suaranya pun merdu.

Subhanallah wal Hamdu Lillah, aku bergumam. Aku bersyukur kepada Allah bisa bertemu santri-santri berkepala gundul yang sedang belajar Alquran, di Mesjid Agung Colombo, pada bulan suci ini. "Di pundak kalianlah masa depan Islam di negeri Budha ini berada", tuturku pada mereka. Semoga Allah memudahkan jalan mereka. Salam Ramadhan dari Colombo.

Colombo, 10 September 2009

Tuesday, September 08, 2009

Colombo Kuliner

Berbuka Puasa di Restoran India

Aku menyaksikan anak-anak Srilanka bermain games Sepak Bola, di sebuah restoran di Colombo

Hari pertama di Colombo (31/8), aku diajak seorang staf KBRI berbuka puasa di luar. "Biar Anda kenal makanan khas di sini", tuturnya. Tentu saja aku setuju. Dari dulu, yang namanya wisata kuliner memang salah satu hobiku.
Pukul 17.00 (18.30 WIB), ia sudah menjemputku di Wisma Indonesia. Karena waktu magrib masih lama, kami tak langsung menuju rumah makan yang dituju, melainkan berjalan-jalan dulu menelusuri beberapa ruas jalan utama di kota pelabuhan yang dibangun sejak abad ke-5 Masehi ini.

Kami menelusuri Galle Road, jalan raya terpanjang di Sri Lanka, yang membentang dari utara ke selatan, mengikuti garis pantai, di tepian barat kota Colombo. Kami melewati kawasan Fort, Distrik 1 Colombo. Di daerah ini, banyak terdapat hotel mewah, bangunannya tinggi. Di antaranya Hotel Galadari, Ceylon Intercontinental dan Hilton Colombo. Selain itu, ada gedung-gedung tua peninggalan Inggris yang masih terawat rapi. Di beberapa bagian jalan, terdapat kemacetan. Maklum, sore begini orang-orang baru pulang kerja.

Restoran India, Halal..!
Sebuah restoran India menjadi pilihan kami senja itu. Namanya restoran "Elite", lokasinya di Bambalapitiya, Colombo 4. Bangunannya tiga lantai. Pengunjung boleh memilih tempat duduk di lantai mana saja.

Saat kami tiba, pelataran parkir seluas kira-kira 100 meter persegi telah dipadati kendaraan. Terpaksa kami parkir agak jauh. Wah, laku juga nih restoran, pikirku. "Ini restoran India, kelas murah dan favorit di Colombo", tutur sang rekan yang sudah tiga tahun tinggal di sini.

Di halaman depan, terpasang merk bertuliskan "Restaurant Elite, Indian Food". Dihiasi lampu warna-warni. Yang menarik, di bagian bawahnya ada tulisan "Halal". Seolah jaminan bahwa daging sembelihannya boleh dikonsumsi oleh muslim.

Ternyata, di kota berpenduduk mayoritas Budha ini, terdapat banyak restoran India, yang umumnya milik orang-orang muslim. Dapat dipastikan, semuanya memasang label Halal. Beberapa restoran bahkan menyediakan ruang shalat dan tempat wudhunya sekaligus.

Muslim Eksekutif
Meski restoran telah penuh, kami masih kebagian tempat duduk karena sebelumnya kami telah pesan via telepon.

Kebanyakan pengunjung senja itu adalah kaum muda muslim yang sengaja datang untuk berbuka puasa. Pakaian mereka rapi, umumnya berdasi dan sebagian membawa tas. Sepertinya mereka baru pulang kantor. Sebagian lagi berkelompok dan berbincang-bincang satu sama lain dalam bahasa Inggris.

Ada juga pengunjung dari kalangan keluarga muslim. Para suaminya memakai peci putih, umumnya berjanggut. Isteri-isterinya memakai jilbab lebar bahkan ada yang bercadar. Anak-anaknya juga berbusana muslim. Sambil menunggu waktu berbuka, sebagian mereka asyik memainkan ponsel bertipe mutakhir.

Nampaknya memang benar bahwa muslim Sri Lanka, meski minoritas, mereka memiliki status sosial dan ekonomi yang baik dalam struktur masyarakat Sri Lanka secara umum.

Menu Pembuka
Adzan Magrib berkumandang di televisi. Alhamdulillah. Yang dinanti pun tiba. Babak pertama langsung kami mulai.

Hidangan takjil yang tersedia di meja adalah air putih, jus buah, kurma, bubur kanji dan sasoma, sejenis perkedel. Ini adalah menu pembuka yang biasa disajikan dalam hidangan berbuka muslim Sri Lanka.

Bubur kanji yang dihidangkan dalam mangkuk berukuran sedang, sebenarnya adalah bubur nasi biasa. Seumpama syurbah dalam hidangan orang Arab. Hanya saja, bubur Kanji ini jauh lebih kaya dengan rasa. Gurih, pedas, asin, rame rasanya..! Maklum, Sri Lanka ini adalah negeri hijau nan subur. Iklimnya tropis. Aneka macam sayuran, buah-buahan, palawija dan rempah-rempah, berlimpah di negeri berpenduduk 21 juta jiwa ini. Kata seorang staf KBRI yang telah 30 tahun di sini, masakan Sri Lanka memang dikenal kaya dengan bumbu dan rempah-rempah.

Dan sasoma, perkedel berbentuk segitiga itu, mengingatkanku pada Brick, perkedel khas ramadhan di kota Tunis. Bedanya, Brick berisi telur, sedangkan sasoma berisi daging giling, dicampuri kacang-kacangan. Rasanya, bukan main gurihnya..! Tentu karena rempah-rempahnya itu.

Menu Serba Pedas
Babak kedua kami mulai usai shalat Magrib. Biar tenang. Tamu-tamu lain juga sama ; shalat magrib dulu baru makan.

Di atas meja, tersedia daftar menu. Ditulis dalam dua bahasa ; Inggris dan Sinhala, yang tulisannya kotak-kotak berangkai itu. Cukup banyak juga pilihan menunya, hingga aku bingung pilih apa. Aku belum tahu apa itu Kola Kanda, Ambulthiyal atau Biriyani. Untunglah pelayan menawariku untuk ambil makan sendiri di paket buffet alias prasmanan. Oke dech, aku setuju. Meski sedikit antri dengan tamu-tamu lain. Yang penting aku bisa melihat hidangannya lebih dahulu.

Nasi dihidangkan dalam beberapa pilihan. Ada nasi putih, ada juga beberapa macam paket nasi berbumbu. Satu di antaranya nasi Biriyani itu tadi. Yakni nasi kuning bercampur sayuran, rempah-rempah dan daging. Warnanya kuning mirip dengan nasi Kebuli atau nasi Yaman.

Bagi yang enggan makan nasi, tersedia roti Paratta. Bentuknya bundar putih, rasanya tawar. Mirip dengan Isy di Mesir. Ada juga roti yang sudah dibumbui dan berwarna kuning. Sama persis dengan Malawi yang dulu kusukai di kota Tunis. Ada juga hoppers -dalam bahasa Sinhala dinamakan Appam - sejenis Surabi. Orang sini biasa memakannya dengan sayuran dan sambal.

Sebagai teman nasi, ada beberapa macam kari, baik ayam ataupun sapi. Biasanya berupa campuran daging/ayam dengan sayuran dan kaya dengan bumbu. Aroma dasarnya tetap ; pedas..! Bagi yang senang ikan, bisa milih menu Ambulthiyal. Yakni tuna bakar ditaburi sayuran segar.

Sejak tragedi tsunami 2004 yang juga melanda sebagian wilayah Sri Lanka, banyak orang sini yang malas makan ikan laut. Tapi belakangan ini, sikap mereka itu berubah. Seafood kembali jadi favorit.

Menu khas Sri Lanka, tak jauh berbeda dengan menu India. "Bedanya, hidangan Sri Lanka ini lebih terasa pedasnya", tutur Sanjay, sopir KBRI yang orang Sri Lanka. Bumbu yang digunakan, biasanya tak jauh dari merica, kayumanis dan bawang.

Soal harga, masih realtif terjangkau. Paket Biriyani Rice dihargai Rs 250 (setara dengan 25 ribu rupiah). Ambulthiyal hanya Rs 150. Menu-menu lainnya berkisar antara Rs 250-350. Cukup murah bukan?! Tentu karena ini adalah restoran biasa, bukan kelas hotel berbintang. Saat makan di Bars Kafe, sebuah restoran kelas menengah, aku lihat harga-harganya sedikit lebih mahal. Ada selisih harga sekitar 20-an persen.

Ternyata, tak perlu uang banyak untuk memanjakan perut di kota yang baru saja pulih dari perang saudara ini. Salam Ramadhan dari Colombo.
Colombo, 8 September 2009

Friday, September 04, 2009

Islam di Sri Lanka

Menjadi Muslim di Negeri Budha


Aku di seberang sebuah mesjid di Town Hall, Colombo


Jumlah penduduk Sri Lanka saat ini sekitar 21 juta jiwa. Sebanyak 74% di antaranya adalah suku Sinhala yang umumnya beragama Budha madzhab Theravada. Sisanya, 15% adalah suku Tamil yang umumnya beragama Hindu dan 9% lagi Muslim.
Meski minoritas, muslim Sri Lanka memiliki posisi terhormat, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Terutama di Colombo, orang muslim dikenal sebagai orang kaya, karena kebanyakan mereka berprofesi pedagang. Maklum, jika dilihat dari segi sejarah, agama Islam masuk ke negeri ini dibawa oleh para pedagang keturunan Arab dan India Tamil, sekitar 1000 tahun lalu.

Seorang staf senior di KBRI mengibaratkan muslim Sri Lanka laksana orang China di Indonesia ; minoritas tapi memegang peran besar dalam sektor ekonomi.

Syiar Islam Tetap Jalan
Secara umum, syiar Islam berjalan dengan baik. Ketika Ramadhan tiba, umat Islam berduyun-duyun ke mesjid untuk tarawih. Dalam lima terakhir ini, tiga kali aku tarawih di mesjid muslim Colombo. Aku lihat, mesjid-mesjid penuh jemaah. Sementara, acara-acara keislaman pun bermunculan di televisi.

Kegiatan buka puasa bersama seolah telah menjadi budaya nasional. Hari Rabu (2/9) lalu, aku diajak seorang staf KBRI menghadiri undangan berbuka puasa yang digelar oleh Dialog Telekom, sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka di negeri republik sosialis ini. Lokasi berbuka adalah sebuah restoran besar di Hotel Trans Asia, salah satu hotel berbintang lima di Colombo. Seribuan tamu hadir. Di lapangan luas sebelah kiri hotel, karpet lebar dihamparkan, untuk tempat shalat maghrib berjamaah.

Lembaga-lembaga pemerintah - meski dipimpin oleh seorang Budhis - pun biasa menggelar acara buka puasa bersama. Bahkan pernah ada seorang menteri beragama Budha mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di rumahnya.

Jumlah mesjid memang tidak terlalu banyak. Di kota Colombo yang berpenduduk 2,3 juta jiwa ini, jumlah mesjid hanya beberapa puluh saja. Tapi ya itu tadi : kendati minoritas, umat Islam cukup dihormati di sini. Dalam tim kabinet Presiden Mahinda Rajapakse saat ini, ada sekitar enam menteri dari kalangan muslim. Muslim yang duduk di kursi parlemen juga banyak, bahkan mereka dikenal vokal.

Di kawasan Hambantota, Kota Colombo, ada komunitas muslim Melayu yang sangat terkenal. Jumlah mereka cukup signifikan. Jalan raya besar yang melintasi kawasan itu dinamai Malay Street. Sebuah mesjid besar berdiri di tengah-tengah kawasan itu.

Di daerah Nawalapitiya - 170 km timur Colombo - terdapat perguruan Islam. Semacam pesantren. Bahkan ada seorang WNI yang sedang 'mondok' di sana. Dulu malah ada dua orang. Aku sempat berfikir, mengapa harus belajar Islam ke Sri Lanka? Bukankah lembaga pendidikan di Indonesia sudah lebih maju?

Pihak KBRI Colombo sesekali menengok sang santri ke pondoknya. Pimpinan perguruan itu diketahui bernama Syekh Ibrahim. "Isterinya empat", tutur Pak Gojali, staf KBRI yang pernah ke sana. Wah, wah, wah..saingan Syekh Puji donk, Pak..!

Sembelih Sapi Sembunyi-sembunyi
Tingginya tingkat toleransi beragama yang ditunjukkan umat Budha di Sri Lanka, ternyata belum memberikan kebebasan total bagi umat Islam dalam menjalankan agamanya. Spirit ajaran Sang Budha yang berpengaruh kuat dalam hampir seluruh kebijakan pemerintah baik secara politik, sosial dan budaya, dalam beberapa sisi masih terasa berimbas pada kualitas pelaksanaan ajaran Islam.

Misalnya saja dalam penyembelihan sapi pada hari raya Idul Adha (kurban). Dalam tradisi Budha, sapi adalah binatang suci yang pantang disakiti, apalagi disembelih dan dikonsumsi. Bisa kualat..! Maka sapi di negeri ini akan dibiarkan hingga tua renta, hingga mati dengan sendirinya. Sedangkan dalam Islam, sapi 'hanyalah' seekor binatang yang harus dizakati, binatang sembelihan dalam kurban, dan karena itu boleh dikonsumsi. Bahkan dalam Alquran ada kisah Bani Israil yang diperintah Allah untuk menyembelih seekor sapi betina (Baqarah).

Di Sri Lanka ini, penyembelihan sapi sebagai hewan kurban pada hari raya, harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pernah kejadian, ketika KBRI Colombo bermaksud menyembelih sapi pada hari raya, tiba-tiba sekelompok masyarakat sekitar berdatangan. Mereka memprotes dan menolak tindakan itu. Terpaksa acara kurban dibatalkan. "Sejak saat itu, penyembelihan selalu dilakukan di ruang tertutup. Atau hewannya kita titipkan ke muslim Sri Lanka", tutur Pak Gojali, yang sudah 30 tahun berada di Colombo.

Nah, kalo yang menyembelihnya orang Sinhala Muslim gimana? "Sama aja, sembunyi sembunyi", tutur Pak Gojali lagi.

Selain melarang menyakiti binatang, umat Budha juga melarang penebangan pohon. Bahkan ada pohon-pohon tertentu yang disucikan, di antaranya Bodhi Tree. Tidak mengherankan jika Colombo - dan Sri Lanka secara umum - adalah kawasan hijau. Pepohonan besar tumbuh di mana-mana. Menelusuri sudut-sudut kota Colombo, mengingatkanku pada Rabat, ibu kota Maroko nan hijau itu dan Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat yang dijuluki kota kembang. Meski belakangan aku berfikir, seharusnya Colombo yang mendapat gelar itu.

Tanpa Adzan Subuh
Di Sri Lanka, jangan harap umat Islam akan mendengar kumandang adzan Subuh melalui pengeras suara. Masalahnya, pemerintah menetapkan aturan bahwa antara pukul 22.00 hingga 06.00, suasana negeri harus steril dari segala suara. Itu adalah masa istirahat total, tidak boleh ada suara hingar bingar. Orang Sri Lanka menamakan ini sebagai 'polusi suara'.

Bukan hanya adzan Subuh yang kena imbas. Acara-acara konser musik di ruangan terbuka pun
harus berhenti sebelum pukul 22.00. Kecuali tanpa suara, hehe.. Jadi memang tidak ada unsur diskriminasi agama dalam hal ini. Meski imbasnya, malam-malam di bulan suci Ramadhan ini, berlalu tanpa suara pengajian Alquran atau kumandang solawat sebagaimana lazimnya kita dengar di Tanah Air.

Biarkanlah saudara-saudara kita muslim Sinhala, menghidupkan malam-malam Ramadhannya, dengan suara-suara lirih dan pelan. Yang penting, niat dan tingkat keikhlasannya tetap kuat. Salam dari Colombo.

Colombo, 4 September 2009

Wednesday, September 02, 2009

Menuju Colombo

Antara Jakarta-Colombo


Pemandangan di salah satu sudut bandara Colombo


Ahad (30/8) siang, aku berangkat meninggalkan tanah air menuju Colombo, ibukota Sri Lanka. Perjalanan ini kulakukan dalam rangka memenuhi undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Colombo, guna membantu kegiatan keagamaan selama bulan suci Ramadhan di kalangan Warga Negara Indonesia (WNI) di negara tetangga India itu.
Panitia menyediakan tiket penerbangan maskapai Thailand Airways. Meski sebenarnya, Colombo dapat ditempuh melalui Singapura. "Jalur penerbangan lain untuk minggu-minggu ini, semuanya padat", tutur Pak Ferry, petugas yang menguruskan tiket di Jakarta. Ya udah, aku nurut saja. Sekalian ingin lihat bandara Bangkok yang katanya masih baru dan megah itu.

Ustad Bukan Teroris
Untuk WNI, masuk Sri Lanka sebenarnya dapat mengunakan Visa On Arrival yang diperoleh di bandara Colombo. Tetapi pihak KBRI Colombo menyarankanku untuk mengajukan visa terlebih dahulu ke Kedubes Sri Lanka di Jakarta. Biar lebih menenangkan barangkali.

Berbekal nota diplomatik yang ditandatangani oleh Dubes RI di Colombo, aku mendatangi Kedubes Sri Lanka di jalan Diponegoro, dekat Megaria, Jakarta Pusat. Resepsionis Kedubes - yang belakangan kuketahui bernama Oki- menanyakan tujuan kunjunganku ke Sri Lanka. Kujelaskan seperlunya, seraya memperlihatkan nota diplomatik tadi. Si Ibu itu membacanya, kemudian bertanya, "Oh, jadi Bapak ini ustad yach?! Kenal sama Saepudin Jaelani donk?!" Aku mengernyitkan dahi, bingung. "Jaelani yang mana, Bu?!

Ia memperlihatkan sebuah koran ibukota, "Ini nih, Ustad Saepudin Jaelani yang menjadi juru rekrut calon teroris". Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Si Ibu itu berbicara lagi, "Masa sesama Ustad tidak saling kenal..!" Aku tertawa. Ah, Ibu ini ada-ada saja. "Saya tidak berkawan dengan teroris, Bu..!". Ia pun tersenyum.

Singkat kata, urusan visa lancar. Bayar 295 ribu rupiah, dapat visa satu bulan. Di Colombo nanti, dapat diperpanjang.

Dengkuran Pria India
Ahad pukul 16.05 WIB, pesawat Air Bus A 330 milik maskapai Thailand Airways mendarat dengan selamat di Suvarnabhumi International Airport, BAngkok. Saat roda-roda pesawat terasa menyentuh bumi, aku menggunamkan kalimat Hamdalah.

Alhamdulillah, perjalanan 3 jam 30 menit telah kulalui dengan lancar. Meski sepanjang jalan aku merasa dongkol, kesel karena teman duduk di sebelahku seorang pria India berusia setengah baya, berkumis tebal -segede gagang telepon - yang menutupi bibir. Sepanjang jalan, ia tidur mendengkur. Ngoroknya keras..!

Syukurlah, semua itu telah berlalu. Dan kini, aku berjalan bersama penumpang lain, keluar dari pesawat. Sementara itu, hatiku bertanya-tanya, apa yang akan kulakukan selama enam jam di bandara ini? Pasalnya, pesawat yang akan membawaku ke Colombo, baru akan terbang pada jam 22.15 nanti.

Membaca Alquran di Bangkok
Aku berjalan melihat-lihat suasana bandara yang baru berumur 2 tahun ini. Suvarnabhumi International Airport benar-benar bandara yang besar, megah dan mewah. Bangunan utamanya terdiri dari empat lantai, berukuran 444 x 111 meter. Gaya arsitekturnya terbilang modern. Di beberapa sudut hall bandara, terdapat patung-patung Budha, gambar-gambar atau hiasan khas Thailand lainnya, disorot kerlap kerlip lampu, menambah kemilau suasana pertokoan Duty Free yang ada di sana.

Di lantai dua dan tiga, ternyata ada mushalla. Nyaris tak terduga sebelumnya, di negeri non muslim seperti ini, ada mushalla. Mushalla ini mudah ditemukan, karena lokasinya strategis, di tengah-tengah hall dan dekat eskalator. Di beberapa sudut, terdapat merk besar bertuliskan "Moslem Prayer Room"

Di mushalla ini, aku melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar jama takhir. Usai wirid singkat, kusempatkan membaca beberapa ayat Alquran. Doa pun kupanjatkan, Ya Allah, sampaikanlah aku ke kota tujuanku..!

Colombo ; Kesan Pertama
Tiga jam penerbangan Bangkok-Colombo, juga kulalui dengan lancar, Alhamdulillah. Kali ini, kursi sebelahku kosong. Kulihat kursi-kursi lainnya pun banyak yang kosong. Para penumpang lain, kebanyakan warga Sri Lanka. Tampang-tampang mereka mirip dengan orang India yang sering kulihat dalam film, atau yang kulihat dulu di Tanah Suci Mekah.

Terselang tiga kursi di sebelah kananku, ada seorang biksu Budha, berkepala gundul dan mengenakan kain semisal busana ihram tetapi warnanya kuning tua kecoklatan.

Senin dinihari - pukul 00.30 waktu Colombo atau 03.00 WIB - aku tiba di Bandaraneika International Airport, yang terletak di kawasan Katuyanake, 30 km utara Colombo. Seorang pejabat KBRI Colombo menyambut kedatanganku. "Selamat Datang di Colombo", tuturnya ramah. Ia kemudian membantuku dalam urusan-urusan keimigrasian. Alhamdulillah, lancar, tak ada masalah.

Bandara Colombo nampak sederhana sekali. Jauh berbeda dengan Suvarnabhumi yang tiga jam lalu kulewati. Ukurannya juga kecil, seperti halnya bandara internasional Tunis. Hanya saja, Tunis nampak lebih modern dan rapi.

Benar kata seorang blogger lain yang pernah ke Colombo, bahwa bandara Colombo ini tak lebih ramai dari terminal Blok M, bahkan jalanan depan bandara kalah mulus dibanding boulevard Kelapa Gading. Semua tampak fungsional, apa adanya. "Bangga juga punya bandara Sukarno Hatta. Bedanya, di Colombo ini tak nampak calo taksi", demikian tulisnya.

Aku berjalan keluar hall bandara. Dan di luar sana, sebuah pemandangan baru mengusik perhatianku ; tentara-tentara bersenapan laras panjang, berjaga-jaga sepanjang koridor airport. Bahkan hingga jalan raya menuju arah Colombo, tentara-tentara itu tetap ada. "Keamanan negeri ini belum stabil, meski pemberontak Macan Tamil telah menyerah sekitar 3 bulan lalu", tutur staf kedutaan yang menjemputku.

Macan Tamil?! Tamil Tiger itu khan?! Kelompok yang senang melakukan aksi bom bunuh diri di tempat umum itu khan?! Aku terkesiap. Selama ini aku hanya mendengar nama itu lewat media, baik cetak maupun elektronik. Detik ini, aku telah berada di negeri tempat tinggal mereka ; Sri Lanka..!

Colombo, 1 September 2009