Wednesday, March 19, 2014

Tunis Star Wars

Napak Tilas Film Star Wars di Kota Matmata

Hotel Sidi Driss, lokasi utama syuting Star Wars, dilihat dari atas

Anda pernah menonton film Star Wars (1997)? Salah satu film terbaik ini ternyata dibuat di Matmata, kota kecil nan terpencil, di tengah-tengah gurun Sahara di selatan Tunisia.

Anda penggemar film Star Wars? Jika ya, sepertinya Anda harus mengunjungi Matmata. Karena semua yang Anda saksikan di layar Star Wars, bukanlah pemandangan semu. Di tengah gurun Sahara yang luas, terdapat rumah mungil yang dibangun dengan pasir. Inilah rumah keluarga Lars, dimana Luke Skywalker—tokoh Star Wars tinggal.

Via Kairouan
Aku menonton film Star Wars sekitar tahun 1999-2000, saat masih kuliah di Ciputat. Saat itu, tak terbersit pikiran bahwa kelak aku akan menginjakkan kaki di lokasi syuting film itu. Dalam kehidupan ini, hal-hal yang tidak disangka memang dapat saja terjadi…  

Ahad (16/03) lalu, aku bersama keluarga dan para mahasiswa Indonesia di Tunis, mengunjungi kota Matmata. Kota berjarak 440 km dari Tunis ini, termasuk dalam wilayah propinsi Gabes.  

Jika ditempuh dengan perjalanan darat dari Tunis, perlu waktu 5-6 jam untuk tiba di Matmata. Rutenya, bisa melalui jalan tol Tunis-Sousse, kemudian menuju Gabes.  Jalur ini menyusuri kawasan pesisir pantai. Jadi, pemandangan sebelah kiri jalan adalah laut Mediterania yang berair tenang.

Atau bisa juga jalur kedua : dari Tunis melewati jalan nasional menuju Kairouan, kemudian ke Gabes. Sepanjang jalan, pemandangan kiri kanan adalah perkebunan zaitun yang diselingi pepohonan.  Jarak antara Tunis-Gabes adalah 404 km. Sedangkan Gabes-Matmata adalah 40 km.

Rute kedua inilah yang kami gunakan dalam perjalanan kemaren. Sengaja via Kairouan karena kami juga memprogramkan ziarah ke makam sahabat Nabi dan Masjid Uqbah di kota sejarah ini.

Rumah Barbar
Ahad pagi jam 09.00, aku dan rombongan telah tiba di Matmata. Diantar oleh seorang pemandu dari warga lokal, kami berjalan-jalan mengitari kawasan perumahan orang Barbar seribu tahun silam. Rumah yang dikenal dengan sebutan troglodyte ini, dibangun pada kawah buatan di gurun. Ukuran kedalaman kawah ini antara 5-10 meter. Nah, di dinding kawah itulah, gua-gua dibuat saling berhadapan. Gua-gua sedalam 4-5 meter itu berfungsi sebagai kamar.

Struktur rumah seperti ini memperlihatkan bagaimana kaum Barbar dahulu telah memiliki organisasi sosial yang baik. Semua kamar menghadap ke halaman tengah. Lantai dasar digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan lantai atas untuk menyimpan makanan. Setiap rumah memiliki pintu masuk dan jendela yang miring, karena dibuat pada dinding yang terjal. Beberapa rumah dilengkapi dengan terowongan, yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainnya.

Struktur rumah seperti ini sangat cocok di iklim kering. Pada malam hari ketika gurun sangat dingin, rumah gua akan memberikan kehangatan. Sebaliknya, jika matahari membakar gurun, rumah menjadi dingin. Jadi, walaupun matahari bersinar terik, mereka tetap hidup harmonis dan selaras dengan kondisi gurun yang begitu keras.

Ada sekitar lima rumah yang kami lihat. Salah satunya kami masuki. Setiap orang diminta bayar 1 Dinar Tunis, setara 7 ribu rupiah. “Karena kalian pelajar saja, bisa 1 Dinar” tutur pemandu. Untuk harga turis asing, harga tiketnya lebih mahal.

Rumah Star Wars
Rumah kelima yang kami kunjungi, dinamai Hotel Sidi Driss. Tiada lain ternyata rumah yang digunakan untuk syuting film Star Wars, sebagai tempat persembunyian Luke Skywalker, tokoh protagonis dalam film garapan George Lucas itu. Rumah inilah yang menjadi daya tarik utama Matmata. Karena di dalam rumah ini, syuting adegan Skywalker ditembak diambil.

“Wow, ini dia rumah yang kucari !”, gumamku seraya menjepret-jepretkan kamera ke sudut-sudut unik rumah si Luke itu.

Menurut dokumen yang kubaca, bahwa saat pembuatan film Attack of the Clones tahun 2000 silam, hotel ini dibangun ulang sehingga benar-benar mirip rumah Luke. Para penggemar berat Star Wars akan melonjak kegirangan saat berada di hotel ini. Bayangkan saja, Anda melancong ke kamar Luke, makan di ruang makan keluarga Lars dan mengintip dapur tempat Bibi Beru memasak.

Dokumen lain menyebutkan bahwa seorang fans Star Wars yang juga seorang seniman bernama Phillip Vanni, menggambar ruang makan jadi sangat mirip dengan yang di film. Ia memahat atap dan dinding batu di ruangan itu dengan pola-pola yang muncul di film. Hehe, segitunya !

Rumah yang memiliki 4 ruangan ini bisa didatangi sepanjang tahun. Anda bisa coba makan di ruang makan yang sama dengan yang di film atau sekadar mengintip ruangan-ruangan di sana. Meski dinamai hotel, namun pengunjung tidak diperbolehkan tidur di sini. Hotel ini memang hanya dibuka untuk dilihat-lihat, bukan untuk diinapi. Ternyata, nama tak (selalu) sesuai dengan isi. Karena itu, jangan terkecoh oleh formalitas, hehe…
Kunjunganku ke Kasr Hedada, Maret 2007

Tatouine 2007
Aku jadi ingat kunjunganku 7 tahun silam – tepatnya Maret 2007 – ke Tatouine, kota pemukiman di selatan Matmata yang konon dulunya terendam pasir dan pernah disinggahi alien. Dalam film Star Wars, daerah ini digambarkan sebagai planet tandus dengan matahari kembar. Tempat Anakin Skywalker atau Darth Vader dilahirkan dan dibesarkan.

Kota Tatouine adalah lokasi syuting yang lain dari film Star Wars. Tepatnya di rumah Barbar yang dikenal dengan sebutan Kasr Heddada. Rumah seluas 10 ribu meter persegi ini disulap oleh George Lucas sebagai setting untuk kota Mos Espa dari film science-fiction epic tersebut.

Di Kasr Heddada inilah, aku menyaksikan bangunan-bangunan tua yang masih tertata rapi, di tengah atmosfer gurun pasir yang berbeda dan menantang. Ya, serasa ada di Mos Espa yang di film itu, hehe..

Anda penggemar film Star Wars dan ingin melihat jejak-jejaknya? Datanglah. Kedatanganmu kutunggu, hehe..Salam Manis dari Tunis


Tunis al Khadra, 19 Maret 2014

Thursday, March 13, 2014

Tunis Liberal

Ulfa Yusuf, Wanita Liberal dari Tunis


Tunisia, negeri mungil berpenduduk 11 juta jiwa ini, tak hanya dikenal karena para ulama besarnya yang pernah muncul sepanjang sejarah dan mengharumkan dunia Islam. Tetapi juga memiliki sejumlah intelektual yang malang melintang dalam wacana pemikiran keislaman kontemporer.

Mohamed Talbi, Rashid Ghannusi, atau Abdul Majid Syarafi, adalah di antara nama besar yang saat ini tengah berkibar dan dikenal sebagai intelektual kontemporer dari Tunis. Talbi dan Ghannushi dimasukkan oleh Charles Kurzman dalam bukunya  Wacana Islam Liberal sebagai intelektual yang mengusung pemikiran-pemikiran liberal. Sedangkan nama yang disebutkan terakhir, adalah seorang intelektual terkemuka Tunis saat ini, yang dikenal sebagai salah satu “guru” bagi para modernis di dunia Arab.

Selain ketiga nama di atas, terdapat sejumlah nama lain, yang juga popular karena pemikiran-pemikirannya. Satu di antaranya dan yang sedang tenar saat ini adalah Dr Ulfa Yusuf. Dosen Fakultas Adab Universitas Manouba yang juga mantan Direktur Perpustakaan Nasional Tunis ini dikenal karena ide-idenya yang mengusung pembaharuan pemikiran keislaman. Berbekal kompetensi akademiknya di bidang linguistic, Ulfa tidak segan melakukan kritik terhadap beberapa konsep yang dianggap telah mapan oleh para ulama, terutama terkait tafsir ayat-ayat gender.

Buku-buku Ulfa
Setidaknya ada 12 buku yang telah ditulis Ulfa, di antaranya : Buhuts fi Khitab as Sid al Masrahi(1994), al Ikhbar ‘anil Mar’ah fi al Quran wa as Sunah (1997), al Musajalah baina  Fiqh al Lughat wa al Lisaniyat (1997), Ta’ddud al Ma’na fi al Quran (2003, disertasi doktornya),  Naqishat ‘Aql wa Din, Fushul fi Hadits ar Rasul (2003), Hirah Muslimah : fi al Mirats wa az Zawaj wa al Jinsiyah al Mitsliyyah (2008), Syuq : Qiraah fi Arkani al Islam (2010), dan Silsilah Wallahu A’lam (2013). Silsilah Wallahu A’lam ini merupakan serial tulisan yang terdiri dari enam buku, di antaranya berjudul fi Ta’addud Zaujat, fi Had Sariqah, al I’dam, al Hijab, Nikah Ahli Kitab dan fi al Khamr.  

Dan bulan lalu (Februari 2014), ia meluncurkan buku terbarunya : Wa Laisadz Dzakaru kal Untsa. Sampulnya sebagaimana kupasang. Buku ini telah beredar di Tunis, dibandrol dengan harga 15 Dinar. Satu Dinar Tunis setara 7 ribu rupiah.  

Dilihat dari judul-judulnya, bisa ditebak, bahwa sebagian besar tema buku-buku Ulfa tak jauh dari isu-isu perempuan dan gender. Sesuatu yang sebenarnya telah banyak dibahas oleh para feminis terdahulu, seperti Fatima Mernissi (Maroko), Nawal Sa’dawi (Mesir), juga Pak Nasarudin Umar di Jakarta. Hal baru yang menjadi ciri khas pemikiran Ulfa Yusuf barangkali pada ilmu linguistic Arab sebagai ‘pisau analisa’ yang ia gunakan dalam menyampaikan gagasan-gagasannya.

Relatifitas Tafsir
Dalam beberapa karyanya, Ulfa menegaskan bahwa tidak ada produk pemikiran yang disakralkan(la tujad muqaddasat fit tafkir) dan bahwa penafsiran itu harus terus berlangsung tiada ujung ( innal khitaba maftuhun ‘ala qiraatin la nihaiyyah). Pendapat-pendapat para mufassir terdahulu, bagaimanapun adalah hasil ijtihad dan pemahaman manusia yang bersifat nisbi alias relative. Bahasa sederhananya, ulama juga manusia.

Ulfa mengaku menghargai semua pendapat yang ada dalam kitab-kitab tafsir terdahulu. “Bahkan ketika ada penafsiran ayat : al Bahrain Yaltaqiyan adalah Ali dan Fatima, lalu ayat yakhruju minhuma al lulu wal marjan diartikan sebagai Hasan dan Husen, silahkan saja selama ada argumentasi”, kata Ulfa. Akan tetapi, Ulfa tidak setuju jika tafsir atau konsep-konsep fikih itu dibakukan sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah lagi. Terlebih ketika dilalat ayat-ayat yang menjadi pijakan dalam fikih bersifat dzanni, tidak menunjuk pada makna yang pasti. Terhadap ayat-ayat yang dzanni itu, dimungkinkan adanya pemahaman yang baru, sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman.

Ulfa pun mendefinisikan ulang sejumlah konsep yang menurutnya masih dzanni. Dalam bukuHirah Muslimah: Fil Mirats waz Zawaj wal Jinsiyah al Mitsliyah  misalnya, ia berbicara tentang mahar, mengkritisi hokum poligami dan berbicara panjang lebar tentang liwath (hubungan sejenis).   

Dalam buku fi Hadd Sariqah, Ulfa menegaskan bahwa ayat Was Sariqu was Sariqatu termasuk kategori dzanniyud dilalat, artinya masih menimbulkan ragam pemahaman. Buktinya, kata Ulfa, para ulama tafsir saja berbeda-beda dalam mengartikan lafad qatha’a, dan lafad yad. Juga ikhtilaf di kalangan para ulama fiqh, terkait batasan harta curian atau tentang syarat-syarat pencurian yang layak dikenai had. Belum lagi riwayat bahwa khalifah Umar yang menggugurkan had sariqah, yang juga kerap dijadikan alasan oleh sejumlah ulama lain untuk menggugurkan hukum potong tangan.  

Redefinisi Rukun Islam
Ulfa juga mengkritik fenomena kemunduran umat Islam sekarang. Beberapa contoh sederhananya : umat Islam sekarang banyak melanggar hukum, pejabatnya korup, tidak bisa menjaga kebersihan, parkir mobil sembarangan, melanggara aturan lalu lintas, tidak sabar untuk antri, dan lain-lain. Padahal mereka itu, kataUlfa, rajin shalat, membayar zakat, dan juga banyak yang sudah haji. Bahasa singkatnya, kesalehan ritual tidak berimbas pada kesalehan social.

Semua ini terjadi, lanjut Ulfa, karena umat Islam sekarang terpaku pada ritual formal pelaksanaan kelima rukun Islam, tanpa berusaha memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Ulfa juga mengkritik para ulama klasik yang dominan fiqh-minded, ketika menjelaskan konsep-konsep rukun Islam kepada umat. Sehingga ajaran agama terasa ‘kering’.

Melalui buku Syuq : Qiraah fi Arkani al Islam, Ulfa melakukan al qiraah ar ruhaniah terhadap konsep-konsep rukun Islam. Sebagaimana dilakukan Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya. Pemahaman umat akan konsep-konsep rukun Islam, kata Ulfa, harus diubah. Konsep-konsep aplikasi dari kelima rukun Islam, perlu dirumuskan ulang. Terlebih ayat-ayat Al Quran terkait konsep-konsep kelima rukun Islam ini, umumnya bersifat dzanni dan global.

Penutup
Gagasan-gagasan Ulfa Yusuf banyak menuai kritik dari sejumlah ulama dan intelektual di Tunis. Kampus tempatnya mengajar, Univ Manouba, sering menjadi sasaran demonstrasi para aktifis salafi, yang tidak setuju dengan gagasan-gagasan liberal. Terlebih dalam keseharian, Ulfa muncul sebagai wanita Muslimah tanpa jilbab, berdandan cantik dan rambut panjang terurai.

Di kalangan masyarakat bawah, Ulfa Yusuf juga tidak disukai. Tidak semua toko buku memiliki koleksi buku-buku Ulfa Yusuf. Maktabah Tunis misalnya, sebuah toko buku yang biasa menjual buku-buku keislaman kontemporer, dan buku-buku filsafat dari Maroko.

“Ada karya Ulfa Yusuf yang terbaru ga?” tanyaku ke Mr Lutfi, sang penjaga toko. Lutfi malah nyengir, “Tidak ada. Bos melarang saya menjual buku-buku Ulfa”, kata dia. "Terus, di toko mana saya bisa menemukannya?"tanyaku lagi. "Coba kamu ke TB al Kitab, dekat hotel Afrika", jawab Lutfi lagi. Aku mengangguk-angguk.

Lutfi tidak tau bahwa sebenarnya aku sedang berpura-pura. Salam Manis dari Tunis.  

Tunis al Khadra, 12 Maret 2014