Thursday, September 21, 2006

Mesjid Aceh di Tunis

Mereka Bilang, Tsunami Adalah Azab Tuhan



Aku diantara beberapa lukisan Mesjid Aceh Saat Tsunami

Gaung cerita tragedi Tsunami yang melanda Aceh beberapa waktu lalu terdengar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Tunisia. Dukungan solidaritas dan bantuan sosial pun mengalir ke Tanah Air, tak terkecuali juga dari Tunisia.

Akan tetapi, di sela-sela derasnya perhatian dan bantuan asing untuk bencana tsunami di Aceh, aku menemukan cerita miring tentang Aceh. Sebuah cerita yang berkembang kuat di sebagian kalangan masyarakat Arab Tunis, bahwa Tsunami adalah azab dari Tuhan, karena masyarakat di lokasi Tsunami sudah terlanjur ‘jauh’ dari Tuhan. Kata mereka, Aceh adalah masyarakat yang jauh dari agama. Perbuatan dosa dan maksiat telah jadi trend harian warganya.

* * *
”Tuhan murka terhadap warga Indonesia di Aceh”, tutur Imen, 30 tahun, seorang wanita berprofesi guru bahasa Inggeris di Tunis.
“Mengapa Anda berkesimpulan begitu?”, tanyaku kaget plus penasaran. Kala itu, aku bertemu Imen di tengah acara pameran lukisan bertema “Mesjid-Mesjid Aceh Saat Tsunami” yang digelar di Galeri Yahia, kota Tunis. Aku kebetulan sedang bertugas sebagai penjaga stand di pameran selama sebulan penuh –September 2006- dan menampilkan 49 lukisan karya Dr Dipo Alam ini.
“Saya punya klip CD, tentang liputan yang secara khusus mengungkap kehidupan di lokasi Tsunami. Jelas sekali terungkap, bahwa masyarakat di sana, adalah mereka yang sudah lupa akan Tuhannya. Di sana adalah lokasi orang menenggak minuman keras, tempat prostitusinya marak, dan lain-lain”, tutur Imen lagi, penuh semangat. Membuatku semakin terkaget-kaget.
“Hah?! Anda yakin itu di Aceh?! Di Indonesia?!” tanyaku penuh selidik.
“Ya, saya yakin”, kata Imen.
“Wah, Anda salah kaprah dalam memahami Aceh”, tuturku spontan. “Saya yakin, film yang Anda tonton itu salah. Itu mungkin lokasi tsunami di Thailand Selatan, lokasi wisata dan banyak prostitusi. Bukan Aceh. Karena sebagai orang Indonesia, saya tahu betul, bahwa masyarakat Aceh justru dikenal sangat religius. Aceh adalah wilayah pertama di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal”, paparku lagi. Panjang lebar, biar ia tahu info yang benar.
“Itu di Indonesia..! Tertulis kok, di keterangan film itu, bahwa ini terjadi di Indonesia”, kata dia lagi. Agak ngotot. Maklum, orang Arab umumnya punya PD yang tinggi. Agak sulit untuk mengaku salah.
“Oya?!”, keningku terasa berkerut. Aku curiga, sepertinya ada yang salah dalam film itu. Ataukah ada penyimpangan info?! Penggiringan opini publik misalnya, untuk mendiskreditkan Indonesia?! Bukan tidak mungkin.
“Begini Bu Imen”, tuturku lagi. “Anda ingat ngga, siapa pembuat film itu. Apa bahasa pengantar film itu”.
Imen merenung sebentar, lalu berbicara lagi. “Film itu berbahasa Arab. Pembuat dan pengedarnya orang Saudi”.
“Orang Saudi?! Rumah produksinya juga di Saudi?!” tanyaku.
“Ya, Saudi. Aku ingat betul, itu semuanya Saudi”, kata Imen. Aku kemudian mengangguk-angguk. Jika benar pengakuan Imen –bahwa film itu produksi Saudi yang menuduh Aceh sebagai lokasi maksiat dan karena itu pantas diazab oleh Tuhan- tentu orang Saudi pengedar film itu punya maksud yang tidak baik terhadap Indonesia.

* * *
Imen ternyata tak sendiri. Banyak sekali orang Tunisia yang menuturkan hal serupa. Bahwa tsunami Aceh adalah azab Tuhan, balasan bagi masyarakat yang durhaka kepada Tuhannya. Beberapa rekan mahasiswa lain yang bertugas menjaga stand, mengaku sering mendengar komentar miring tentang Aceh dari para pengunjung pameran. Dan rata-rata orang Tunis itu mengaku, sumber infonya sama ; pemberitaan di CD itu.

Tentu saja, aku dan para rekan selalu berusaha menepis semua info itu. Bahwa yang dimaksud lokasi maksiat dalam CD itu tentu bukan Aceh, melainkan Thailad Selatan, kawasan wisata yang juga kena tsunami.

Seorang kawan mahasiswa senior malah menanggapi isi CD itu secara lebih tegas. Ia berkata begini kepada beberapa warga Tunis. “CD itu dibuat oleh Saudi. Asal Anda tau, Saudi sekarang sedang dihadapkan pada persoalan penyakit AIDS. Terutama di kota Mekah dan Jedah. Hanya saja, data itu tidak dipublikasikan oleh pemerintah”, tutur sang kawan, seraya memaparkan beberapa cerita ‘miring’ lain tentang Saudi. Kontan saja, orang-orang Tunis yang mendengar paparannya mengangguk-angguk. Bahkan beberapa diantaranya ikut menuturkan perilaku sebagian saudagar Saudi ketika berlibur di Tunis...

* * *
Terlepas dari benar tidaknya isi pemberitaan film tsunami itu, aku menemukan beberapa catatan menarik. Betapa opini publik itu sangat penting dalam rangka membentuk image orang luar. Seperti dalam kasus beredarnya film tentang konflik antara muslim dan non muslim di Poso, Sulawesi, beberapa tahun lalu. Film dokumenternya ternyata beredar luas di kalangan orang Mesir. Aku juga pernah menyaksikannya saat masih di Kairo. Film buatan orang Arab, yang menyajikan gambar-gambar mayat orang Islam, korban pembantaian kaum non muslim. Data-data yang ditampilkan serta isi kalimat pengantarnya diatur sedemikian rupa, agar para penonton film itu sampai pada kesimpulan, betapa muslim Indonesia adalah muslim yang lemah; jumlahnya besar, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Terlebih dalam film itu, kalimat “aina antum ayyuhal muslimun” dimanakah kalian wahai umat Islam, sangat sering diulang-ulang.

Aku semakin yakin dengan ucapan orang bahwa siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai opini dunia. Dan jika opini itu sudah berkembang kuat, akan sulit menepisnya. Seperti yang kualami kala menghadapi image negatif sebagian orang Tunis tentang Aceh, di arena pameran lukisan ini.

Tragedi bencana merupakan salah satu bentuk teguran dari Tuhan. Seperti yang dituturkan Ebiet G Ade dalam salah satu syair lagunya. “Mungkin Tuhan mulai bosan, meihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga, dengan dosa-dosa”. Bencana diturunkan Tuhan kepada kaum pendosa, agar mereka sadar – juga sebagaimana kata Ebiet - adalah Dia di atas segalanya.

Ketika tragedi itu ditimpakan kepada masyarakat yang beriman, itu juga tetap harus kita fahami sebagai teguran, atau setidaknya ujian. Karena bisa jadi ia menjadi teguran atas kelalaian kita dalam menasehati saudara kita yang terus asyik dengan kenikmatan dosa. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam Surat Al Anfal ayat 25, bahwa bencana (fitnah) takkan hanya ditimpakan kepada orang-orang yang dzalim saja, tetapi juga kepada kaum beriman... Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 20 September 2006

Tunis Salat

Betapa Nikmatnya Salat di Tunis



Di belakangku, ada mesjid Tunis, dengan menaranya yang khas

“Sudah enam tahun saya menyewakan rumah kepada para mahasiswa Indonesia. Selama itu pula saya menyaksikan betapa mereka adalah muslim yang baik. Mereka salat, mereka puasa, mereka tidak suka minum, dan sering saya dengar ada bacaan Alquran dari rumah mereka. Jauh berbeda dengan kita-kita, muslim Tunisia”, tutur Salim al Jalasi, lelaki gendut berusia 70 tahun. Lima orang lelaki separuh baya yang duduk di depannya melongo. Tatapan mereka menyiratkan kekagetan. Sedangkan seorang anak muda bertubuh krempeng yang duduk di sebelah Salim nampak tersipu-sipu.

Oya?! Benarkah?! Kok bisa?! Kau tak berbohong?! Betulkah demikian?! Rentetan pertanyaan terdengar dari mulut kelima lelaki itu. Pandangan mereka mengarah ke anak muda krempeng yang saat itu semakin tersipu-sipu. Mukanya memerah. Salim semakin semangat berbicara.

“Kamu lihat, orang-orang Arab Teluk yang datang ke Tunis. Di Tunis, mereka menanggalkan sorbannya. Bahkan menanggalkan agamanya. Mereka datang ke sini untuk bersenang-senang, mencari kebebasan. Mereka ke sini mencari perempuan. Mereka ikut orang-orang Tunis ; malas untuk salat. Tetapi anak-anak Indonesia ini tidak begitu. Mereka rajin belajar, dan juga tetap konsis dengan agamanya”, tutur Salim lagi. Membuat kelima pendengarnya semakin berdecak kagum.

Bahkan salah seorang dari kelima lelaki itu beranjak dari tempat duduknya. Menggeser kursinya hingga bersebelahan dengan si anak muda.

“Benarkah kamu salat?!”tanya dia. Tatapannya tajam, penasaran.
“Insya Allah, Pak”, jawab anak muda itu. Entah mantap, entah juga so’ mantap. Membuat si penanya tertegun. Lalu ia kembali bertanya,“terus, di Tunis, kamu belajar dimana?!”
“Saya belajar di Fakultas Syariah, Pak..”
“Fakultas Syariah?! Jadi, kamu belajar Syariah..?! Kamu belajar saja, atau juga mempraktekkannya?!”
“Saya belajar, lalu mempraktekkan sebisa saya. Saya salat, saya puasa dan seterusnya”, tutur anak muda itu tenang. Si penanya mengernyitkan dahinya.
“Bagaimana dengan orang-orang di negerimu?! Apakah mereka belajar syariat juga?!”
“Ya, Pak, mereka belajar syariat juga”.
“Syariat yang mana?! Syariat Nabi Muhammadkah?! Atau ada syariat lain yang berkembang di negerimu?!”
“Tentu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Pak. Berdasarkan Alquran dan hadis”
“Subhanallah”, tutur lelaki itu, sambil menepuk-nepuk bahu si anak muda. “Robbi Ma’ak”, lanjutnya. Kalimat basa-basi orang Tunis, untuk mendoakan lawan bicara. Makna harfiahnya, semoga Tuhan selalu bersamamu.


* * *
Itulah sepotong pembicaraan yang terjadi di Ben Arus, tepian kota Tunis, awal bulan lalu. Salim al Jalasi adalah warga Tunisia yang menjadi bapak kost para mahasiswa Indonesia di kota Tunis. Kelima lelaki separuh baya itu adalah warga Ben Arus. Sedangkan anak muda krempeng itu adalah aku sendiri.

Di Tunis, isi pembicaraan seperti tadi bukanlah hal aneh. Orang Tunisia kebanyakan, sering kaget atau terkagum-kagum jika bertemu orang asing non Tunis yang mengaku rajin menjalankan perintah agama.

Jika ada warga asing yang mengaku muslim di depan orang Tunis, si orang asing itu biasanya akan ditanya, “apakah kamu salat?!”. Sebuah pertanyaan yang terdengar ganjil di telinga. Muslim kok ditanya begitu. Seolah ada pengklasifikasian ; muslim salat dan muslim yang tak salat.

Jika pertanyaan itu dijawab “iya”, orang Tunis sering terkagum-kagum. Menggeleng-gelengkan kepala. Seolah salat itu benar-benar hal yang istimewa banget, hingga bisa dijadikan standar kesalehan tingkat tinggi.


* * *
Selama September ini ada pameran lukisan Indonesia di kota Tunis. Setiap hari, para mahasiswa Indonesia – termasuk aku - bertugas menjaga stand secara bergiliran. Lokasinya di Palmarium Mall, di jantung kota Tunis. Saat dzuhur tiba, kami biasa salat di sudut ruangan itu secara bergiliran. Beralaskan koran sebagai sajadah.

Mall itu tak memiliki mushalla. Di Tunis memang begitu. Jangankan mall, terminal bis atau stasiun kereta, kampus-kampus atau sekolahan pun tak memiliki mushalla.

Beberapa orang Tunis para panitia pameran, terkaget-kaget ketika para petugas dari Indonesia selalu salat ketika waktu dzuhur tiba. Mereka menanyaiku, juga rekan-rekan lain, mengapa kalian salat. “Karena salat adalah perintah Allah”, jawab kami lurus.

Sewaktu aku balik bertanya, “apakah kalian salat?!” Orang-orang itu menjawab, ”Kami muslim, tapi kami tidak salat”. Jawaban yang jujur, apa adanya, dan tanpa rasa ragu atau malu sedikit pun. Jawaban yang akan kita dengar dari kebanyakan orang Tunis, kala ditanya, apakah kamu salat?!

Diantara orang Tunis panitia pameran, ada seorang yang mengaku terharu kala melihat muslim Indonesia salat di atas hamparan koran. Di salah satu sudut mall yang tak memiliki mushalla. “Selama saya bekerja di sini, saya baru lihat ada orang salat di mall ini. Itupun orang asing”, tutur lelaki berusia 50 tahun itu.
“Oya?! Lalu, kenapa kamu tak salat seperti kami?!”, tanya seorang rekan.
“Mmm...Insya Allah, Insya Allah. Saya akan salat. Tahun ini. Ya, tahun ini saya akan salat”, tutur dia sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah hatinya, apakah ikut mengangguk-anggu juga?! Semoga Allah mencurahklan hidayah kepadanya.


* * *
Sebenarnya, muslim Tunis sangat bangga dengan agamanya. Fanatisme beragamanya tinggi. Jika diajak bicara soal Islam, semangatnya bukan main. Dalam obrolan-obrolan ringan, tak segan-segan mereka mencaci maki Israel dan Amerika, sebagai negeri yang selalu memusuhi Islam. Ketika ada turis-turis bule melenggang di kota, tak jarang orang-orang Tunis itu mencibir, “mereka bukan muslim”, katanya. Ketika bertemu dengan orang Indonesia, kerap mereka mengaku bangga dengan Indonesia ; sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.

Akan tetapi, dalam hal praktik beragama, banyak sekali orang Tunisia yang secara sadar mengaku tidak taat. Misalnya, tidak salat atas kesadaran sendiri. Bukan karena pemahaman yang tak lazim, sebagaimana konsep orang-orang NII di Tanah Air. Bahwa saat ini kita tengah dalam fase Mekah, belum fase Medinah. Maka salat pun belum wajib.

Juga bukan karena sebuah keyakinan primitif, bahwa salat itu intinya “ingat”, atau “eling”. Maka, jika sudah bisa ingat kepada Dia Yang di Atas, maka salat tak perlu lagi. Tidak juga karena itu. Orang Tunisia yang mengaku tidak salat, semata-mata karena menganggap bahwa salat itu tidak penting.

Pemahaman ini, salah satunya karena buah dari gerakan sekulerisasi Islam yang pernah dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden Tunisia yang memerintah selama rentang 1957-1987. Borguiba, seorang sarjana hukum lulusan Perancis dan pengagum berat Kemal At Taturk, konon bersemangat menjadikan Tunisia sebagai negara sekuler, seperti Turki. Peran agama hanya dibatasi di dalam rumah ibadah. Kajian agama hanya boleh dilakukan di lembaga-lembaga Islam saja, yang jumlahnya pun tidak banyak.

Penyebab lainnya adalah faktor politik. Pemerintah sangat trauma dengan kasus pemberontakan kaum oposisi muslim militan (FIS) di Aljazair, negeri tetangga sebelah. Agar hal serupa tak terjadi di Tunisia, maka semua aktifitas umat Islam diawasi oleh pemerintah. Dalam skala sekecil apapun, termasuk soal salat itu tadi. Hingga di negeri berpenduduk hampir 100 persen muslim ini, simbol-simbol formal agama tak bisa melenggang begitu saja di ruang publik. Pemakai jilbab tak bebas bergerak. Razia jilbab masih saja terjadi, hingga hari-hari ini. Lelaki berjenggot yang rajin ke mesjid pun kerap diawasi.

Maka, iklim kehidupan keseharian seolah dibikin sedemikian rupa, agar simbol formal keagamaan sulit bergerak di muka umum. Acara-acara resmi, tak mengagendakan waktu khusus untuk salat. Acara seminar atau perkuliahan, tak segan-segan digelar antara pukul 11 hingga 16 misalnya. Nanggung banget, karena tanpa agenda istirahat untuk salat dzuhur. Akhirnya, inisiatif untuk salat, benar-benar kembali pada pribadi masing-masing.

Dalam suasana seperti ini, aku selalu berusaha memetik hikmahnya, mengambil indahnya. Saat di tanah air atau di Mesir, aku salat karena dukungan lingkungan keluarga yang agamis, iklim pesantren serta masyarakat Kairo yang religius. Kini di Tunis, salat benar-benar muncul dari kesadaran sendiri. Mula-mula aku merasa berat dengan keadaan ini. Lama-lama, aku mulai terbiasa. Bahkan pada tahapan tertentu aku menemukan hikmah ; bahwa bermunajat kepada Tuhan di tengah lingkungan yang tidak kondusif untuk salat, ternyata membuahkan kenikmatan yang tak terlukiskan.

Meski demikian, aku selalu husnudhan kepada muslim Tunisia. Bahwa sempitnya ruang gerak untuk salat, semata-mata karena kepentingan politik penguasa yang rendah. Cueknya remaja Tunis terhadap salat, merupakan buah dari pendangkalan nilai-nilai kegamaan secara sistematik, yang terjadi selama puluhan tahun lalu.


* * *
Sebagai penutup, aku hendak menuturkan sebuah kisah yang dialami seorang kawan kala salat Subuh di mesjid. Ketika dingin pagi yang menusuk pori-pori tak pernah ia pedulikan.

Usai salat, ia dicegat oleh seorang lelaki separuh baya. Lalu lelaki itu bertanya, “Mengapa kamu rajin datang ke mesjid ini?!”
“Saya salat, Pak, perintah Tuhan”
“Oke, itu perintah Tuhan. Tetapi kalau di dalam mesjid, kamu suka ngobrol sama siapa?!”
“Tidak, Pa, saya tidak suka banyak bicara dengan orang lain. Saya hanya salat, baca wirid, lalu pulang”, tutur sang kawan. Cari aman.

Mendengar ceritanya, aku terharu. Aku memang lebih sering salat Subuh di rumah, jarang di mesjid. Tetapi rasanya aku tak rela, jika seorang kawan lain yang rajin Subuh di mesjid, dihujani pertanyaan seperti itu, dengan nada kurang bersahabat, yang nanti bisa menyurutkan niatnya untuk rajin ke mesjid.

Betapa berat ujian salat di Tunisia. Wahai Allah, betapa sulitnya Engkau ditemui di negeri mayoritas muslim ini.

“Sesungguhnya salat itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Yakni, orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”; Al Baqarah 45- 46

Tunis al Khadra, 20 September 2006

Monday, September 04, 2006

Marakesh Eksotik (PM 9)

Terlena di Jami el Fina

Aku pura-pura tersenyum, padahal jantungku berdetak lebih cepat

Hari beranjak gelap. Dalam keremangan senja yang temaram, aku berdiri terpaku, diantara puluhan – bahkan mungkin – ratusan ribu manusia yang kebanyakan berbaju putih. Di tengah ragam suara teriakan, hingar bingar musik, serta terompet yang ditiup lelaki-lelaki tua berjubah lebar.

Seorang lelaki separuh baya berbadan tegap, berambut gondrong sepinggang, berdiri di tengah kerumunan ratusan manusia. Lelaki itu telanjang dada, hanya memakai celana panjang hitam sebetis. Mulutnya tak henti bicara, sesekali tertawa terbahak. Tiba-tiba salah seorang asistennya membawa kompor kecil yang menyala, menghampiri lelaki tegap itu. Rambut panjangnya disentuhkan ke api. Juga kemudian telapak tangannya. Tapi tak mempan dibakar, bahkan tak ada tanda-tanda kepanasan atau tangannya terbakar. Tawanya malah semakin kencang, seolah tak ada apa-apa. Spontan, para penonton pun bersorak.

Tak jauh dari kerumunan si tukang akrobat itu, ratusan orang lainnya membentuk lingkaran baru. Rupanya, ada permainan monyet menari-nari, diiringi musik sederhana. Serupa doger monyet di tanah air. Di sebelah rombongan doger monyet, ada tujuh lelaki yang berdiri berbaris. Diatas pundak mereka, ada lima orang lain yang berdiri. Diatas pundak lima orang itu, ada tiga orang lainnya yang juga berdiri. Kren juga Cheers Leader kampung ini, tuturku. Ratusan penonton juga berdiri di seputar mereka.

Sorak sorai dan teriakan pujian penonton, terdengar hingar bingar. Bersahutan dengan terompet para pemain musik rebana tradisional, yang juga ikut beratraksi senja itu. Grup musik yang dimainkan oleh sekitar 7 pemain, menggunakan tamtam (kendang kecil), kecrek serta terompet. Seorang vokalis asyik menyanyi, berdampingan dengan sang penari yang berjingkrak-jingkrak. Orang setempat menyebutnya dengan musik Isyawa, atau kadang juga musik Gnewa.

Pelataran luas Sahah Jami el Fina di jantung kota Marakesh seolah tak pernah sepi dari ragam atraksi budaya tradisi. Selain aneka akrobat dan musik seperti tadi, juga ada pertunjukan bela diri tradisional, permainan memancing botol, tukang obat yang membawa ular cobra besar, stand-stand tukang ramal, juga ibu-ibu tua pemasang hena, tato khas Arab. Di tepian lapangan, ratusan warung tenda penjual aneka makanan dan minuman berderet rapi. Kepulan asap tukang daging bakar, mewarnai pemandangan senja itu, beserta kerlap kerlip lampu hias dan kembang api.

Tak terasa, emosiku terhanyut bersama keindahan dan eksotisme senja itu. Senja yang indah di pelataran Jami el Fina, alun-alun sebuah kota di negeri penghujung barat Afrika. Di pedalaman Maroko, pada jarak 321 km selatan Rabat.

Menara Tua
Tak lengkap rasanya, pergi ke Maroko tanpa singgah di Marakesh, kota yang masih dikenal karena ilmu hitamnya. Tukang sihir, tukang sulap, tukang ular, tukang ramal dan aneka perdukunan lain, konon masih marak di kawasan ini. Marakesh juga populer karena kekayaan budaya tradisinya. Kesenian suku Barbar dan aneka atraksi kaum primitif di Gurun Sahara. Dan di pelataran el Fina inilah, semua warisan kuno itu beraksi. Bahkan dilestarikan oleh pemerintah, sebagai salah satu daya tarik wisata.

Sahah Jami el Fina berlokasi tak jauh dari stasiun Marakesh. Hanya terpaut jarak 1,5 km. Jika hendak jalan kaki dari stasiun, kita hanya menelusuri Jalan Raya Hassan II yang lebar, dirindangi pepohonan tinggi serta deretan gedung-gedung megah, pusat belanja dan hotel. Tentu, semua gedung itu hanya memiliki satu warna ; merah....!

Sebuah menara berwarna usang menjulang tinggi, di tengah alun-alun ramai, menandai lokasi Sahah Jami el Fina. Dari kejauhan, menara mesjid tua ini nampak kelihatan tegar dan angkuh. Seangkuh peradaban yang mewariskannya. Itulah menara Kutubia, mesjid tua yang menjadi landmark Marakesh. Dan pelataran el Fina, terletak berseberangan jalan dengan menara ini.

Sahabat Ular Cobra
Senin (31/7) sekitar pukul 13.15, aku tiba di Sahah Jami el Fina. Pelataran seluas kira-kira dua kali lapangan bola itu, sudah ramai pengunjung. Meski belum padat. Kios-kios makanannya pun belum dibuka. Ribuan orang hilir mudik, banyak diantaranya turis-turis bule. Di sebelah kanan gerbang masuk, ada taman yang rindang karena pepohonan yang tinggi. Cocok untuk lokasi duduk santai melepas lelah.

Aku berjalan pelan bersama Ikbal, seorang rekan dari Tunis. Menuju tengah lapangan berlandaskan aspal itu. Aku menghampiri sebuah tenda yang dikerumuni ratusan orang. Tiba-tiba, seorang pria muda Arab berjubah lusuh menghampiriku. Di tangannya, tiga ekor ular cobra bergelantungan. Melingkari tubuh lelaki itu. Aku kaget. Astaga, ini beneran ular nich?! Aku agak menjauh. Tetapi lelaki itu memanggilku. “Kamu mau foto dengan ular?! Ayo kesini, tak usah takut”.

Darahku terkesiap. Aku takut dan ngeri jika melihat ular. Aku mau mendekat, tetapi ragu. “Tak usah takut. Ular ini jinak kok”, tutur lelaki Arab itu lagi. Akhirnya, rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Kuhampiri lelaki itu. Sang kawan yang memegang kamera telah siap-siap memotret.

Lelaki itu langsung mengalungkan ular-ularnya ke leherku. Kepala ular yang besar, dengan santai menelusuri lenganku. Kulitnya yang licin terasa menyisir leherku. Ih, terasa gimanaaaa..gitu. Licin-licin geli, hehe.. Mataku terus memelototi ular-ular itu, khawatir tiba-tiba berlaku nakal. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sang kawan yang memegang kamera, malah nyengir sambil tertawa-tawa. Jepret, jepret, tiga kali kamera mengarah ke wajahku.

“Tuh, khan, ularnya jinak”, kata si lelaki tukang ular. Aku mengangguk-angguk. Tangan kananku mengelus-elus punggung ular terbesar. Pura-pura tak takut, sekaligus untuk melatih nyaliku.

Ketika urusan foto memoto selesai, aku beranjak pergi. Tetapi si tukang ular itu spontan memegang tanganku. “Hey, bayar dulu”. Aku pura-pura tak tahu. “Kok bayar?! Khan tadi kamu yang ajak?!”, tuturku sok serius, padahal sambil menahan senyum. “Kamu harus bayar, dua ratus dirham”, kata dia tegas. (200 dirham = 25 Dolar AS).

Aku ngotot, pura-pura tak mau bayar. Aku bicara dengan bahasa Arab Tunis, yang insya Allah tak terlalu beda dengan bahasa Maroko. Aku tahu bahwa memang harus bayar. Tetapi aku tak menyangka bayarannya sebesar itu.

Dua orang kawan si tukang ular datang mendekat. Tampangnya tidak bersahabat. Mereka bertiga mengelilingiku. Ular-ular cobra itu kembali dikalungkan ke leherku. “Jika kamu tak mau bayar, ular-ular ini akan mematokmu”, bisik si lelaki tadi. Ia berlagak mengancam, tetapi tak mau ketahuan oleh para penonton lain.

Lama-lama, aku merasa kaget juga. Gimana jadinya jika lenganku kena patuk ular-ular itu. Lalu aku merasa sakit, dan tak bisa pulang ke Rabat....

“Oke aku bayar, tapi tak sampai 200 dirham. Itu kemahalan”, rayuku. “Tak bisa, kamu harus tetap bayar 200 dirham. Kalo tidak, awas saja, ini ular akan kusuruh mematukmu”, timpal si lelaki itu sambil melotot.

Aduh, aku semakin bingung. Kawanku yang pegang kamera, malah nyengir dari kejauhan. “Ya khuya, saya ini muslim, sekarang sedang belajar agama di Rabat. Saya tak punya uang”, pintaku memelas. Hatiku berdoa, semoga ular itu tak mematukku.

Si lelaki itu bicara dengan dua rekannya. Entah ngomong apa. Tiba-tiba, salah seorang diantara mereka menjerit kaget. Rupanya, salah satu ekor ular itu, mematuk jemarinya. “Nah, rasain lu. Itu balasan bagi para teroris, tukang teror orang...”, gumam hatiku. Sambil hatiku merasa kaget plus bersyukur kepada Allah, kok malahan dia yang kena patuk ular. Kulihat darah bercucuran dari jemari lelaki berkumis itu. Rekannya yang satu lagi, membantunya memijit jemari yang kena gigitan ular.

Tetapi rupanya, patukan ular itu dijadikan alasan oleh si tukang ular sialan itu. “Hey, ayo bayar. Itu kawanku sudah kena gigitan ular. Kamu harus bayar”.

Aku terus menawar. “Oke aku bayar, tapi tak 200 dirham”
“Berapa kamu punya?!”

Aku merogoh saku celana. Ya Allah, semoga uang yang ketarik keatas bukan yang seratusan dirham, tetapi yang dua puluhan. Dan alhamdulillah, dua lembar dua puluhan dirham bisa kutarik keluar. Kuserahkan langsung pada lelaki itu.

“Ini tak cukup...! Masa Cuma 40...!”
“Tak ada lagi, kawan. Saya mahasiswa, bukan turis beneran. Tak punya uang banyak”.
“Saya tak percaya kamu tak punya uang. Buktinya kamu bisa jalan-jalan ke Marakesh..!”
“Jika aku punya uang, aku takkan piknik ke sini..!”, timpalku tak mau kalah. Kali ini kuberanikan bicara dengan nada agak tinggi. Biar orang-orang pada dengar. Mata juga kupelototkan. Siapa tahu si tukang ular itu menyangka aku tetangganya Jacky Chan. Siapa tahu si tukang ular ini seperti orang Tunisia sana ; pengagum berat Jacky Chan, lalu menyangka setiap orang Asia pantas ditakuti karena pandai ilmu bela diri seperti Jacky Chan.

Si tukang ular itu terdiam. Rekanku yang berdiri di sana masih saja menahan tawa. “Ini ada juga receh, lumayan buat tambahan”, tuturku dengan nada agak pelan. “Ya sudah, tak apa receh juga. Terserah dech, adanya berapa” si tukang ular itu akhirnya mengalah.

Aku keluarkan beberapa koin dirham. Ada sekitar 8 hingga 10 dirham. Lalu, setelah uang itu berpindah tangan, ular pun terlepas dari pundakku. Alhamdulillah. Aku lepas dari gigitan ular, selamat dari pemerasan preman kampung di kota Marakesh. Tetapi, licinnya kulit ular yang melingkar-lingkar di leher dan lenganku, masih terasa hingga saat ini.

Pasar Tua
Di belakang pelataran el Fina itu, ada komplek pasar tua dan mesjid-mesjid kuno yang memiliki nilai sejarah. Pasar tua yang sangat luas. Melebihi luasnya Pasar Tua Oudaya di kota Rabat, Khan Khalili di Old Cairo, bahkan Pasar Tua Medina, Tunis.

Tetapi barang jualannya sama saja. Ada pakaian, perhiasan, aneka kerajinan tangan, sabuk dan tas kulit, serta rumah makan. Lokasinya berupa pertokoan diantara jalan-jalan sempit yang berkelok-kelok. Yang menarik, seluruh bangunan tua di dalam komplek pasar itu berwarna merah. Merah-merah usang dan agak kumuh. Lebih usang dari bangunan pasar-pasar tua di kota yang kusebutkan tadi.

Selama menelusuri pasar tua itu, aku menemukan beberapa pengalaman menarik. Kisah yang sangat mengesankan, ketika aku mampir di sebuah madrasah Alquran yang sangat tradisional, lalu bertemu orang Maroko yang fanatik madzhab. Satu lagi, di mesjid tua itu ternyata ada televisi. Disediakan pemerintah, agar para kyainya gaul dan tak ketinggalan zaman. Kisah selengkapnya bisa Anda ikuti dalam tulisan Marakesh Alquran. Klik saja itu di Menu Utama.

Warung Tenda
Usai berjalan-jalan menelusuri pasar tradisional itu, aku kembali ke pelataran el Fina. Beberapa saat sebelum maghrib. Aku melihat keramaian orang beratraksi di tengah lautan manusia. Seperti yang kututurkan pada pembuka tulisan.

Sebuah pesta rakyat harian yang sulit dicari bandingannya. Sejak meninggalkan tanah air di penghujung 2001, rasanya baru sekarang aku menyaksikan lautan manusia sebanyak ini. Kecuali saat berhaji di Tanah Suci, pada tahun 2003 lalu.

Menjelang senja, warung-warung tenda di tepian lapangan itu mulai dibuka. Warung penyedia makanan khas Arab Maroko. Posisi tendanya berbaris, bentuk tendanya seragam, serta para pelayannya yang berbaju putih. Setiap warung ada nomornya, juga menu makanan yang dipampang. Hitungan kasarku, ada sekitar 100 warung. Belum termasuk deretan tenda penjual ashir (jus) jeruk di pojok kiri lapangan.

Aku duduk di salah satu bangku di sebuah warung yang masih lengang. Hanya ada satu-dua orang turis bule. Aku duduk santai melepas lelah, melenturkan tubuh yang terasa pegal.

Seorang pelayan menghampiriku. Anak muda dari tepian Marakesh, yang mengaku bernama Ibrahim. Ia menawarkan menu makanan yang beragam. Ada kebab (daging bakar), ikan bakar, daging kambing, kepala sapi, juga beragam macam sandwich. Semuanya disajikan dengan khas Arab Maroko. Setiap menu disertai sepiring buah zaitun dan salad. Harganya juga murah. Dua porsi menu kepala sapi, plus minuman bergas hanya dihargai 30 Dirham. Sekitar 30 ribu rupiah, atau 4 Dinar Tunis. Menurut Ibrahim, harga-harga makanan dan minuman di kawaan wisata Jami el Fina ini memang diseragamkan oleh pemerintah.

Ibrahim juga bertutur bahwa keramaian pelataran el Fina tak pernah berhenti sepanjang waktu. “Kecuali pada hari raya”, tuturnya. Pada musim panas begini, orang-orang begadang hingga menjelang Subuh.


Warung-warung makanan Marakesh, solusi bagi para pemanja perut..

Selamat Tinggal MarakeshAku menikmati sajian di warung tenda itu dengan lahap. Maklum, lapar banget, usai kecapean. Iringan musik tradisi, derai tawa, tepuk tangan dan sorak sorai manusia yang tengah terlena, menjadi pengiring makan malamku. Pengiring makan malam yang sangat mengesankan, melenakan dan tak mungkin terlupakan. Di Sahah Jami el Fina, di jantung kota Marakesh.

Pukul 20.30, aku beranjak meninggalkan warung Ibrahim. Berjalan pelan, menembus lautan manusia, menuju jalan raya di seberang sana. Aku harus segera ke stasiun, agar tak ketinggalan kereta. Pukul 21.00 kereta malam menuju Rabat akan segera berangkat.

Aku berjalan melewati kerumunan orang-orang, menembus lingkaran-lingkaran si tukang akrobat, tukang sulap, para penari dan rombongan pemusik. Tak peduli suasana bising dan suara-suara yang memekakkan telinga. Karena aku malah menikmati semua itu. Karena di sanalah aku menemukan sekeping keindahan.

Terasa agak berat kaki ini melangkah. Bukan karena cape, pegal atau lelah. Bukan, bukan itu. Keterpesonaanku yang mendalam membuatku merasa enggan beranjak dari tempat ini. Serasa ada sesal dalam sanubari ; mengapa begitu cepat waktu berlalu?! Mengapa..., mengapa?! Mengapa aku bersusah-susah menemui Marakesh, menempuh perjalanan kereta 4 jam, jika kemudian secepat ini aku pergi meninggalkannya, berpisah dengannya.

Setibanya di jalan raya, sesaat sebelum membuka pintu taksi, aku menengokkan kepalaku ke belakang. Ke arah lapangan Jami el Fina yang eksotik. Dalam keremangan, hingar bingar dan kerlap kerlip lampu, menara Kutubia itu masih saja nampak tegar... “Aku akan menemuimu kembali, suatu hari nanti, insya Allah..” Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006












Marakesh Alquran (PM8)

Anak-Anak Marakesh Membaca Alquran


Salah satu sudut kota Marakesh, dekat Pasar Tua

Senin (31/7) sore, aku berjalan menelusuri jalanan sempit di dalam komplek Pasar Tua, di belakang Sahah Jami el Fina, di kota Marakesh. Jalanan kecil yang berkelok-kelok, di tepi kiri kanannya berderet pertokoan souvenir.

Di depan sebuah mesjid tua aku menghentikan langkah, karena telingaku menangkap suara-suara lucu ; bacaan Alquran – surat ad Dhuha - yang diteriakkan secara serempak oleh anak-anak kecil dari dalam mesjid.

Aku jadi ingat pengalaman silamku, kala mengajar TPA di Ciputat, selama rentang 1999-2001. Mengasuh anak-anak manis membaca Alquran.

Terdorong rasa penasaran, aku melangkahkan kaki, belok kanan memasuki gerbang mesjid. Mesjid tua, kokoh, dan bagian dalamnya nampak sedang dipugar. Di sebelah kiri pintu mesjid, ada pintu lain menuju ruangan kecil. Ternyata, dari ruangan itulah suara anak-anak mengaji itu berasal.

Dari pintu itu, aku mengintip ke dalam. Nampak belasan anak usia SD sedang duduk melingkar. Tangan-tangan mungil mereka memegang papan kayu persegi seukuran kira-kira 20x10 cm. Di papan itu, ada tulisan huruf Arab. “Ya Allah, sederhana sekali alat tulis mereka”, gumam hatiku. Serupa sabak, papan tulis kayu yang sering diceritakan kakekku dulu saat sekolah, di masa penjajahan Belanda.

Di Tanah Sunda, sabak hanya tinggal cerita. Tetapi di kota pedalaman Maroko ini, sabak ternyata masih ada. Digunakan oleh anak-anak kecil yang belajar agama di Madrasah Quran di kota pada jarak 321 km selatan Rabat ini. Mereka belajar di ruangan kecil di pojok kiri mesjid. Ruangan khusus belajar, yang biasa dinamakan ruwwaq. Mesjid-mesjid tua di Tanah Arab, rata-rata memiliki ruwaq, sebagai lokasi pengajian agama. Pengajian itu masih berlanjut hingga saat ini. Seperti yang kusaksikan – bahkan kuikuti - di ruwaq-ruwaq Mesjid Al Azhar Kairo dan di Mesjid Zitouna Tunis.

Kini, aku menyaksikan anak-anak lucu itu belajar Alquran di ruwwaq sebuah mesjid tua di Marakesh. Seorang lelaki tua duduk diantara anak-anak itu. Barangkali ia ustadnya, pikirku. Lelaki tua itu menatapiku dengan pandangan curiga. Aku ucapkan salam seraya melambaikan tangan. Assalamu alaikum. Anak-anak itu semua menjawab serempak , wa’alaikum salam.

“Apakah anda muslim?!” Tiba-tiba suara sapaan terdengar dari arah kananku. Ternyata, ada seorang bapak yang menghampiriku, dari dalam mesjid. “Oh, iya Tuan, saya muslim dari Indonesia”, jawabku. “Saya sedang belajar agama di kota Rabat. Saya tertarik dengan suasana madrasah Quran ini”, tuturku lagi, dengan bahasa Arab. Membuat raut muka bapak itu berubah sumringah. Lalu ia menyalamiku ramah. “Ahlan wa sahlan”, katanya. “Jika anda mau melihat ke dalam, silahkan”, kata dia lagi.

“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya di sini saja”, tuturku tanpa mengubah posisi berdiri. Aku masih asyik menatapi santri-santri cilik itu. Pakaiannya beragam, beberapa diantaranya lusuh tak rapi. Aku juga ingat anak-anak Kampung Semanggi II di Ciputat sana, yang dulu pernah kuajari baca Alquran, juga sedikit dasar-dasar pengetahuan agama. Anak-anak yang nakal, tetapi kadang lucu menggemaskan. Anak-anak yang hampir tiap hari meminta aku mendongeng usai mengaji, atau bermain sulap korek api. Tentu saat ini mereka sudah besar.

Agak lama aku berdiri, mengamati anak-anak madrasah itu. Tubuhku kusandarkan pada pintu ruwaq. Mataku menatapi mereka tak henti. Seperti tak hentinya anganku yang melayang, mengikuti emosi dan haru. Melayang-layang ke masa silamku, kala melewatkan masa kecil mengaji di surau, usai maghrib hingga isya. Lalu tidur di surau, bersama anak-anak santri lain. Agar subuh tak kesiangan ; bisa salat berjamaah, lalu kembali mengaji bersama-sama.

Pikiranku mendadak bertanya-tanya. Apakah di surauku itu masih ada anak-anak desa yang mengaji?! Apakah Mang Guru Ali – ustadku – masih tetap setia mengajar ?!

Ah, semoga saja semua itu masih ada, dan akan terus ada di negeriku tercinta. Alquran dibaca, dipelajari, oleh anak-anak usia dini. Seperti yang saat ini kusaksikan di Marakesh, kota propinsi di negeri muslim barat Afrika sana. Negeri dengan waktu tempuh 23 jam penerbangan pesawat dari Jakarta.

Madzhabku Syafii, Tuan..!
Andai rekanku tak mengingatkanku untuk segera melanjutkan perjalanan, mungkin aku masih saja berdiri depan mesjid itu. Menyaksikan anak-anak Arab itu belajar mengaji. “Perjalanan kita masih panjang. Kita belum salat dzuhur. Kita juga belum makan siang”, tutur sang kawan.

Oh, iya, pikirku, sambil kemudian beranjak pergi, kembali menelusuri pasar tua Marakesh, dalam komplek pemukiman padat dan kumuh, di sela-sela gang sempit yang berkelok-kelok. Jalanan yang sepi, kecuali sesekali nampak tuis-turis bule berjalan bergerombol.

Tak sampai 10 menitan, aku tiba di mesjid lain. Mesjid putih dengan atap biru. Temboknya tebal dan nampak kokoh. “Ini adalah mesjid Ben Yusuf”, tutur seorang wanita tua yang kutanya.

Aku berniat salat di sini. Dengan Bismillah, aku melangkahkan kaki ke mesjid. Seorang lelaki penjaga mesjid menghampiriku serta menanyaiku, “Anda muslim?!” “Ya, Pak, saya muslim. Saya mau salat di sini”, tuturku. Mendengar jawaban itu, ia pun berlalu.

Usai melewati pintu, aku tiba di pelataran dalam mesjid yang luas. Inilah gaya mesjid-mesjid tua di Tanah Arab ; di dalamnya ada pelataran luas di ruangan tanpa atap, dengan kolam kecil tempat wudlu di tengah-tengahnya. Aku pun segera bergabung dengan orang-orang Marakesh yang duduk melingkari klam kecil itu ; berwudlu bersama-sama.

Aku duduk di tepi kolam berdiameter kira-kira 3 meter itu. Aku langsung membasuh telapak tangan, membasuh muka dan seterusnya. Saat aku memercikkan air pada kedua lengan lalu kuusap-usap tiga kali, terdengar suara seseorang yang menegurku. Seorang bapak tua yang berbicara dengan bahasa Arab Maroko. Nadanya cepat.

Aku cuek saja. Wudlu kulanjutkan. Tetapi seorang lelaki lain yang lebih muda ikut bicara. Agak jelas nadanya. Bahwa wudluku salah. “Wudlu kamu tidak sah. Kok basuh lengannya begitu?!”

Oh, aku segera faham. Mereka kaget dengan gaya wudluku, yang hanya membasuh lengan tiga kali, dengan basuhan seperlunya, sekedar memercikkan air. Sebagaimana makna kalimat “mashul yadain ilal mirfaqain”, yang populer dalam kitab-kitab fikih Syafii. Tetapi, bagi orang Maroko yang bermadzhab Maliki, membasuh tangan tak cukup dengan memercikkan air saja. Melainkan harus menggosok-gosoknya tiga kali.

“Ini titik persoalannya”, pikirku. Tetapi aku tak mau berbicara panjang soal ini. Perjalananku masih panjang. Daripada buang-buang waktu, mendingan potong kompas saja. “Aku orang Indonesia. Aku ikut pendapat Syafii, Tuan”, tuturku. Mereka terdiam seraya mengangguk-angguk. Ada satu orang yang bicara kepada rekannya. Entah bicara apa, aku tak faham. Diam-diam hatiku bergumam. Ternyata mereka sangat fanatik dalam bermadzhab fikih. Hal-hal yang tidak prinsip (furu’) sekalipun, masih dipersoalkan. Sesuatu yang sebenarnya sudah sangat tak menarik dan tidak kren untuk diperdebatkan di era teknologi ini.

Ada TV dalam MesjidAku salat dzuhur berjamaah, bersama orang-orang Maroko. Para lelaki tua yang berjubah lusuh. Tetapi wajah mereka menyiratkan kesahajaan dan keramahan. Seperti orang-orang Mesir pinggiran yang pernah jadi tetanggaku dulu di desa Katamea.

Di mesjid itu, alas sembahyangnya tikar biasa. Tetapi bersih. Bukan karpet tebal dan berbulu. Ternyata, Maroko serupa dengan Tunisia. Meski mesjidnya megah, kokoh dan terkenal, tetapi alas sembahyang tetap tikar. Mungkinkah untuk menjaga orsinilitasnya?!

Usai salat, orang-orang Maroko itu berdzikir dengan suara nyaring. Bacaan tasbih, tahmid dan talil. Aku ikut menggumamkan dzikir, sambil menengok ke setiap penjuru ruangan mesjid. Nampak tertata rapi dan bersih. Tiang-tiang kokoh berderet.

Ketika pandanganku tertumpu pada dinding sebelah kanan mimbar, aku kaget bukan kepalang. Sebuah televisi seukuran kira-kira 36 inci bertengger santai di sana. Hey, TV..! Ngapain kamu ada di dalam mesjid begini?!

Sesaat aku termenung. Oh, aku ingat cerita Dedi Wahyudin, rekan mahasiswa S3 di Rabat. Bahwa Maroko sekarang ini sedang gencar melakukan konsep tajdid khitab dini. Semacam gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan yang belakangan gencar terdengar di sejumlah negara muslim. Dalam rangka menampilkan wajah Islam yang damai, toleran dan tidak kaku. Maka para kyai harus mendapat wawasan baru dari pemerintah. Agar mereka tak menyebarkan ajaran yang dinilai anarkis.

Bahwa adanya reformasi kurikulum pendidikan Islam, pengawasan dan pembinaan terhadap para kyai, itu sering kudengar ceritanya di negara-negara muslim seperti Saudi, Mesir, Tunisia dan bahkan di tanah air. Tetapi, bahwa proyek tajdid khitab dini salah satunya dilakukan dengan cara menyimpan TV dalam mesjid, itu baru kusaksikan di Maroko.

“Pemerintah memang punya program menyimpan TV di semua mesjid Maroko”, tutur Dedi. Tujuannya, agar para imam dan khatib, bisa menambah wawasan lewat acara-acara berita di TV. Agar tidak berpikiran sempit alias kuper. Agar bisa melihat ‘dunia luar’.

Oke, pikirku, itu bagus. Agar tak ada lagi kyai yang tak percaya bahwa bumi itu bulat, hehehe.. Khan kesannya ngga kren gitu lho...! Tetapi, jika ada TV dalam mesjid, bagaimana jika pada malam minggu, usai tahajud, para imam itu iseng, memutar saluran TV ke stasiun-stasiun Eropa?! Memutar film-film hot?! Atau menyetel acara musik MTV dan menyaksikan klip-klip para penari yang bergoyang ngebor?! Wah, bisa jadi berita seru, hehehe...
Tetapi, rasanya prasangkaku terlalu berlebihan. Sebuah prasangka yang tidak sopan, untuk al mukarramin para kyai di negeri para wali ini. Insya Allah, pemerintah Maroko memiliki niat yang baik di balik program penyimpanan TV di mesjid-mesjid ini. Setidaknya agar para pemuka agama itu berwawasan, agar para kyai itu bisa memperkaya pengetahuan dengan pengalaman dunia luar, kendati hanya lewat layar kaca. Sehingga dalam berkomunikasi dengan umat, mereka bisa menyampaikan pesan-pesan luhur Islam sesuai dengan proporsi dan tuntutan zamannya.

Rupanya, lewat program pengadaan TV di mesjid, pemerintah Maroko ingin membantu mewujudkan Islam rahmatan lil alamin... Salam Manis dari Tunis

Tunis al Khadra, 2 September 2006