Sunday, May 28, 2006

Studi Islam di Tunis

Metodologi Studi Islam di Kawasan al Maghrib al Arabi

Para pelajar dan mahasiswa Indonesia dalam sebuah acara di kampus Universitas Ez Zitouna, Tunis
Pekan lalu, utusan khusus Presiden RI untuk Timur Tengah, Dr. Alwi Shihab melakukan kunjungan dinas selama 3 hari ke Tunisia. Di sela-sela kesibukannya, hari Rabu (24/5) beliau berkesempatan bersilaturahmi dan berdialog dengan 40-an WNI di Tunis, termasuk kami, para mahasiswa.

Tentu kesempatan mahal ini tak kami sia-siakan. Empat orang mahasiswa –salah satunya aku - bertanya tentang beragam hal kepada Pak Alwi. Baik itu tentang Aceh, Merapi, tentang Islam di Barat dan tentang Islam Moderat di Indonesia.

Aku mengajukan beberapa pertanyaan dan usulan. Diantaranya, aku mempertanyakan komitmen pemerintah RI dalam program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan al maghrib al arabi - sebutan bagi negara-negara Arab di kawasan barat benua Afrika, seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Libya dan Mauritania. Akan tetapi yang kumaksud dalam konteks ini hanyalah Tunisia, Aljazair dan Maroko. “Saya mengusulkan agar program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan ini ditingkatkan di masa-masa mendatang”, tuturku penuh percaya diri.

Aku merasa perlu mengusulkan ini kepada Pak Alwi. Selain karena beliau dekat dengan para pemegang kebijakan di Jakarta, beliau juga seorang intelektual muslim yang kaya pengalaman seputar metodologi studi Islam, baik di Timur maupun di Barat.

Usulanku ini berangkat dari pengamatan sementaraku selama ini, bahwa studi Islam di kawasan al Maghrib al Arabi ini memiliki beberapa keunggulan yang layak dipertimbangkan. Terutama hal-hal yang kutemukan di Tunisia, yang sepertinya belum banyak diterapkan di kebanyakan negara Arab lain.

***
Diantara keunggulan itu adalah sisi metodologis. Studi Islam di kawasan ini memiliki basic metodologi yang khas, yakni perpaduan antara konsep an naqlu wal fahmu, menyalin dan memahami. Tradisi berfikir sistematik dan penguatan daya nalar mendapat perhatian serius. Bukan sekedar an naqlu wal hifdzu, menyalin dan menghafal.

Jika kita merunut sejarah, tradisi ilmiah seperti ini telah menjadi warisan khas peradaban Islam Andalusia yang pernah berjaya pada abad pertengahan. Berbeda dengan para ulama dari Tanah Arab lain, para pemikir muslim yang muncul dari kawasan al maghrib al arabi ini rata-rata dikenal memiliki kecenderungan filsafat. Sebut saja misalnya Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan Imam As Syatibi. Di era sekarang, kita lihat Maroko yang kaya dengan para pemikir modern seperti Al Jabiri, Abdullah al Urwi, Fatima Mernissi dan lainnya.

Tradisi ilmiah seperti ini diperkuat dengan adanya pengaruh peninggalan penjajah Perancis dalam sistem pendidikan di kawasan al maghrib al arabi. Metode ilmiah dan manajemen pendidikan di Tunisia banyak berkiblat pada negeri Jacques Shirac ini. Gerakan pembaharuan di Tunisia yang dimotori oleh Khairuddin Pasha pada akhir abad 19, diawali oleh kekaguman Khairudin pada kemajuan Barat. Pun gagasan modernisasi dan sekulerisasi Islam-nya Presiden Habib Borguiba, yang seorang lulusan Perancis.

Tradisi filsafat dan faktor Perancis ini berimbas pada sistem studi Islam di negara-negara ini. Konsep an naqlu wal fahmu diterapkan. Maka sistem belajar yang tidak melulu mengandalkan hafalan. Kegiatan kuliah diwarnai oleh diskusi-diskusi kelas, presentasi makalah dan berdebat dengan dosen. Bentuk jawaban soal ujian pun tidak mesti terpaku pada teks. Mahasiswa bisa berkreasi dengan gaya bahasanya sendiri tanpa mengabaikan substansi. Kerangka jawaban soal ujian pun harus mengacu pada metode penulisan makalah ; ada pendahuluan, hipotesa, data, analisa dan penarikan kesimpulan.

Hal-hal seperti ini sangat penting dalam memupuk tradisi kritis dan daya nalar mahasiswa. Untuk menghadapi tantangan kemajuan global dan modernitas, para santri Timur Tengah memang harus dibekali dengan metodologi yang memadai. Termasuk tradisi menulis, sebagai ciri pola pikir yang sistematis.

Keunggulan metodologis lain yang kutemukan di Universitas Ez Zitouna Tunis adalah adanya mata kuliah Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah bagi para mahasiswa S2 yang hendak mempersiapkan proposal tesis. Mata kuliah ini berbobot 6 SKS, disampaikan dalam dua pertemuan seminggu, selama rentang Maret hingga Juni. Sangat terasa membantu, baik dalam hal menyusun kerangka tulisan ilmiah, juga dalam mengembangkan uslub-uslub kalimat berbahasa Arab.

Sistem Kredit Semester (SKS) yang diterapkan juga mempermudah proses belajar. Standar penilaian terukur jelas, karena mahasiswa bisa melakukan konsentrasi khusus pada mata kuliah yang berbobot SKS tinggi. Berbeda dengan pascasarjana di Al Azhar misalnya, yang menggunakan sistem gugur. Jika seorang mahasiswa gagal dalam satu matakuliah, maka ia dianggap tidak lulus. Kendati nilai mata kuliah lainnya sangat tinggi.

Kemudahan sistem SKS, dukungan fasilitas yang lengkap dan dosen yang memadai, memungkinkan mahasiswa S2 untuk selesai dalam waktu 2 tahun. Enam bulan kuliah, empat bulan bimbingan tesis serta 12 bulan penulisan tesis. Seorang rekan yang masuk tahun 2004, saat ini tengah merampungkan pasal akhir tesisnya. Juli 2006 ini harus sudah selesai, untuk kemudian diujikan pada sidang tesis pada bulan September 2006 nanti, insya Allah.
***
Pada akhirnya, kunci sukses studi sebenarnya kembali pada komitmen pribadi sang mahasiswa itu sendiri. Sistem studi, fasilitas dan kenyamanan lokasi, hanya sarana yang bisa memudahkan. Jika yang bersangkutan tetap malas, maka semua kemudahan itu takkan bernilai apa-apa.

Apalagi, studi di Tunis pun bukan tanpa persoalan. Godaan kebebasan dan tingginya biaya hidup, kerap mengusik konsentrasi sang mahasiswa. Khazanah keislaman dan akses literatur pun barangkali tak sekuat Kairo. Bobot kuantitas dan kualitas materi – sejauh yang kulihat - juga tak sekuat di Al Azhar. Hal lainnya, bayang-bayang pengawasan politis penguasa masih terasa, merasuk hingga dinding-dinding ruang kuliah. Kajian-kajian yang beraroma Islam gerakan (harakah), masih dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Sesuatu yang sebenarnya tak bisa dilepaskan dari bingai umum kecenderungan politik di negara-negara Timur Tengah.

Sebaliknya, kajian keislaman senantiasa diarahkan untuk menampilkan wajah agama yang moderat dan berpihak pada HAM. Khusus di Tunis, wacana pemikiran yang liberal agak kekiri-kirian mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai kalangan.
***
Itulah sekelumit cerita tentang studi Islam di al Maghrib al Arabi, terutama Tunisia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan di depan Pak Alwi, aku mengusulkan pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan ini semata-mata untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi para tunas bangsa untuk tetap belajar Islam di Timur – tempat kelahiran Islam - tanpa harus kehilangan warna metodologi Barat. Agar para santri Timur Tengah tak lagi dikesankan orang sebagai miskin metodologis, tidak bisa menulis, atau tidak bisa berfikir sistematik – seperti yang belakangan ditudingkan sebagian kalangan. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 27 Mei 2006

Monday, May 15, 2006

Tunis Pedesaan

Antara Tunis dan Sidi Bou Rouis


Aku berpose di stasiun Sidi Bou Rouis yang antik....

Sejak lama Muaz – seorang mahasiswa Tunisia - mengajakku bermain ke rumahnya di desa Sidi Bou Rouis, 160 km selatan ibukota. Tetapi baru Sabtu (13/5) lalu aku berkesempatan memenuhi undangannya.

Empat puluh enam jam kulewatkan di desa itu. Selama itu pula, aku terpukau oleh keelokan alam desa serta keramahan warganya. Mengingatkanku pada suasana desaku yang permai di pinggiran Sukabumi nun jauh di sana. Pada saat yang sama, nuansa religius yang kutemui di desa Sidi Bou Rouis (selanjutnya kusebut SBR) semakin menguatkan anggapanku selama ini bahwa tradisi Islam di Tunisia masih cukup kuat dalam terpaan arus sekulerisasi dan modernisasi Islam yang gencar melanda negeri bekas jajahan Perancis ini.

Tunis Hijau, Tunis al Khadra
Aku memilih Kereta Api (KA) untuk perjalanan kali ini. Biar lebih leluasa menikmati pemandangan alam.

Tiket KA kelas ekonomi dari kota Tunis ke SBR adalah 5,5 dinar. Satu Dinar setara dengan 8 ribu rupiah. Maka, harga tiket itu terhitung mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan Mesir. Beberapa kali aku naik kereta dari Kairo ke Port Said, Iskandariah, Mansura dan Luxor. Untuk jarak 160 hingga 200 km, tiket KA ekonomi di Mesir rata-rata antara 8 hingga 10 Pound. Atau kurang dari 2 Dinar Tunisia.

Akan tetapi, fasilitas KA di Tunisia memang jauh lebih OK ketimbang KA di Mesir. Selain bersih dan serba rapi, suasana stasiunnya juga asri. Satu lagi, pemandangan sepanjang jalannya sangat menawan. Jalur rel KA menelusuri tepian bebukitan kecil yang hijau. Hijau karena perkebunan zaitun, gandum, pohon pinus dan kebun palawija. Sesekali juga ada sabana, padang rumput yang luas. Di sana nampak para penggembala naik keledai, mendampingi ratusan domba gembala. Aku jadi ingat kisah masa kecilku, kala aku duduk di kelas 3 SMP. Selama hampir setahun, setiap sore aku juga jadi penggembala 5 ekor domba milik ayah, di lapangan desa tepi bukit.

Pantas Tunisia dijuluki al Khadra, negeri hijau, pikirku. Setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lain. Meski hijaunya Tunisia, didominasi oleh pepohonan zaitun yang ada di seluruh pelosok negeri. Maklum, Tunisia –yang luasnya hanya 164.150 km2 - adalah negeri penghasil zaitun ketiga terbesar di dunia setelah Spanyol dan Italia.

Beberapa kali rel kereta melewati tepian danau dan jembatan yang tinggi. Ternyata, Tunisia memiliki banyak sungai dan danau kecil (wadi). Sungai kecil dan danau alami yang kadang kering kala musim panas tiba.

Jacky Chan Turun ke Desa
SBR hanyalah sebuah mu’tamadiyah (semacam kecamatan) yang berpenduduk 15.000 jiwa, di propinsi Siliana. Siliana adalah satu diantara 23 propinsi yang ada di negeri Ben Ali ini. Jika dibandingkan, sebenarnya luas sebuah propinsi di Tunisia setara dengan luas satu kabupaten di pulau Jawa.

Menurut cerita, mulanya Sidi Bou Rouis adalah nama seroang wali yang mendirikan desa ini. Di Tunisia, banyak nama tempat diawali kata “Sidi”, yang artinya Tuan. Asalnya dari kata Sayid. Sedangkan kata Bou asalnya adalah Abu, artinya Bapak. Maka, Sidi Bou Rouis asalnya Sayid Abu Rouis. Di kawasan lain, ada Sidi Bou Zaid, Sidi Bou Mansur, dan lain-lain. Nama “Rouis” sekaligus juga menjadi nama resmi kabilah yang dipakai oleh seluruh lelaki dari kawasan SBR. Seperti Muaz kawanku itu. Namanya adalah Muaz ar Rouissi. Juga ada Muhammad ar Rouissi, Amin ar Rouissi, dan sebagainya.

Setelah tiga jam perjalanan KA, aku tiba di stasiun SBR, pada pukul 17. 30. Stasiun SBR nampak elok. Gedungnya kecil, tetapi antik dan bersih. Dengan corak biru-putih. Membuatku terpesona. Saat aku tiba, keelokan stasiun itu tak luput dari jepretan kamera. Beberapa kali aku berpose mirip model, hingga sempat menarik perhatian puluhan penumpang yang baru turun KA. Ah, peduli amat, pikirku.

Dan Muaz sahabatku itu, telah menantiku di ruang tunggu. “Selamat datang di Sidi Bou Rouis”, tuturnya ramah. Kami pun berbasa-basi, sekedar tanya-tanya khabar. Aku langsung menanyai Muaz tentang gedung stasiun cantik ini. “Semua jaringan rel KA di Tunisia dibangun oleh penjajah Perancis pada awal abad 19. Pun juga gedung-gedung stasiunnya”, tutur Muaz. Aku mengangguk-angguk. Sama donk dengan rel KA di tanah air, pikirku.

Lalu kami berjalan menyusuri komplek perumahan. Kawasan yang rapi dengan ruas-ruas jalan yang lurus seperti komplek KPR-BTN di Indonesia. Sekelompok anak-anak usia SD bermain bola di jalanan lengang. Tatkala kami lewat, mereka menghentikan permainannya. Beberapa diantara mereka melongo, memandangi wajahku, juga wajah dua kawan Indonesia lain. Aku menduga-duga, apa gerangan yang menarik perhatian mereka. Ah, barangkali mereka tak biasa melihat orang asing.

Ternyata benar. Anak-anak itu membuntuti kami dari jarak 15 meteran. Sambil meloncat-loncat, mereka serempak meneriaki kami, “Jacky Chan, Jacky Chan…” Aku tertawa terbahak-bahak. Ah, rupanya, bintang laga itu terkenal tak hanya di Mesir, tetapi juga di Tunisia. Dan orang-orang Arab umumnya meyakini bahwa semua orang Asia bisa bermain bela diri seumpama Jacky Chan dalam film-filmnya.

Keramahan Keluarga Muaz

Rumah Muaz cukup lebar, bersih dan asri. Tembok permanen, di atas tanah seluas kira-kira 40 meter persegi. Halaman kirinya seluas 60an meter persegi, ditanami pepohonan yang rindang. Ada pohon jeruk, mismis, zaitun dan tin. Zaitun dan Tin, dua nama buah yang disebutkan dalam Alquran surat at Tin.

Juga ada pohon anggur yang merambat. Seumpama labuh siam yang juga ada di halaman depan rumahku di desaku sana. Ada juga pohon cantik mirip tumbuhan puteri malu, namanya iklil. ”Benihnya diambil dari hutan. Itu khasiatnya untuk obat”, tutur Muaz menjelaskan.

Muaz adalah anak ketiga dari 5 bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri, guru bahasa Arab di Sekolah Dasar. Dua kakak Muaz telah selesai S1. Sedangkan dua adiknya masih di SMA dan SMP. Ternyata, seorang guru SD di Tunisia bisa memiliki rumah lebar dan nyaman, serta mampu membiayai pendidikan 5 anak hingga ke universitas. Selain karena biaya pendidikan yang gratis hingga universitas, kesejahteraan guru di negeri ini memang cukup baik. Gaji pokok PNS golongan III A dimulai dari angka 400 Dinar. “Di sini tak ada keluhan publik tentang kesejahteraan guru”, tutur Muaz.

Keluarga Muaz adalah keluarga yang ramah. Mereka bergiliran menyalami kami dengan senyum sumringah dan basa-basi. Mirip keramahan orang desa di Indonesia.

……nulis tesis di sini saja… !
Sore menjelang senja, kami berjalan-jalan santai mengitari desa, menelusuri jalan aspal yang lengang selebar 3 meteran. Di tepian desa, jalan itu naik turun, membelah perkebunan gandum yang menguning, tanda matang dan siap panen. Mayoritas warga desa SBR memang petani gandum atau zaitun. Jauh di ujung kebun gandum sana, bukit hijau berdiri tegar. Menurut catatan peta Tunisia yang kupegang, tinggi bukit itu hanya 887 meter di atas permukaan laut. “Kakek saya tinggal di lereng bukit itu, bersama ratusan warga lain”, tutur Muaz lagi.


Jalan desa yang berkelok-kelok, naik turun, membelah perkebunan gandum
Berkali-kali aku berdecak kagum akan keindahan dan kemolekan desa SBR. Alamnya tenang, jauh dari hiruk pikuk dan polusi kota besar. “Enak nih kalau kita nulis tesis di desa ini”, celoteh seorang rekan yang juga sedang dalam tahap penulisan tesis S2. Aku hanya mesem.

Tradisi Agama Masih Kuat
Menjelang maghrib tiba, kami langsung menuju mesjid. Mesjid desa SBR terletak di tepi jalan aspal, tak jauh dari stasiun KA. Mesjidnya bersih, ruangan dalamnya juga rapi. Ada hiasan kaligrafi dan tikar yang warna warni. Saat magrib tiba, kaset adzan diputar. Jadi, yang adzannya bukan muadzin. Melainkan kaset rekaman. Di Tunisia, penyeragaman adzan memang diterapkan sejak lama. Maka irama adzan di setiap mesjid –hingga di pelosok sekalipun – akan sama dengan adzan di Mesjid Agung Zaituna di kota Tunis. Di Mesir, konsep penyeragaman adzan ini pernah diusulkan oleh Menteri Wakaf, Hamdi Zaqzuq, pada awal 2003 lalu. “Agar irama adzan itu seragam ; semuanya enak didengar” demikian salah satu alasan yang ia kemukakan. Akan tetapi, setelah melewati berbagai polemik hangat, usulan ini ditolak oleh publik Mesir.

Di mesjid SBR itu, aku melihat banyak anak muda yang tadi nongkrong di jalanan. Saat magrib, mereka masuk mesjid. Beberapa diantara mereka langsung membaca Alquran. Ternyata anak-anak desa sini masih rajin shalat, pikirku. Tak seperti kebanyakan kawula muda kota Tunis. Selain itu, anak-anak muda SBR juga sopan dan ramah terhadap orang asing.

Aku menduga bahwa kehidupan beragama masih dijunjung tinggi oleh warga desa SBR ini. Sapaan salam alaikum terdengar diucapkan orang, baik tua atau muda. Berbeda dengan suasana di kota Tunis. Salam alaikum diganti dengan sabah al khair, aslama atau salam saja.

Beberapa orang wanita yang kutemui di jalan juga berpakaian tertutup. Di KA pun tadi siang, hanya satu dua gadis yang berbaju seksi serba ketat. Lantunan Alquran terdengar dari rumah-rumah penduduk, atau diputar di kafe dan warung. Menurut cerita Muaz, antusias masyarakat juga tinggi dalam acara-acara hari besar agama.

Dari sisi ini, aku masih merasa optimis dengan Islam di Tunisia. Setelah menyaksikan nuansa spiritualitas warga Kairouan beberapa waktu lalu dan kini desa SBR, aku semakin meyakini bahwa tradisi Islam masih dipegang kuat oleh masyarakat pedesaan di negeri berpenduduk 99 persen muslim ini. Image-ku selama ini bahwa Islam di Tunisia telah terserabut dari akar tradisinya, rupanya hanya didasarkan pada fenomena formal yang kusaksikan di kota Tunis.

Orang Kaya Naik Himar
Saat bangun tidur Ahad pagi, aku mendengar kokok ayam jantan dan kicau burung. Udara terasa segar. Ah, indahnya pagi ini, tuturku. Benar-benar suasana desa.

Pukul 08 pagi aku berjalan menuju kawasan dekat stasiun. Rupanya ada pasar mingguan. Rame juga. Ada aneka sayuran, buah-buahan, pakaian, juga peralatan rumah tangga. Kafe-kafe dan toko juga rame. Pasar setiap Ahad pagi yang digelar di jalanan itu memang menjadi pusat kegiatan ekonomi warga SBR.

Dari arah bebukitan, nampak rombongan orang berduyun-duyun. Mereka adalah orang-orang desa yang tinggal di kaki gunung. Beberapa diantara mereka naik himar (keledai). “Huwa min agniyaihim”, tutur seorang rekan. Penunggang himar itu biasanya orang kaya. Aku tertawa kecil. Kren juga, pikirku.

Di pasar ini, jarang sekali kulihat ibu-ibu. Atau wanita muda. Yang ada, hampir semuanya laki-laki. Aku bertanya-tanya, kenapa yang berbelanja sayuran itu bukannya ibu rumah tangga. “Tradisi di sini, memang kaum wanita jarang keluar rumah. Belanja ke pasar, termasuk tugas kaum lelaki”, tutur Muaz. Oh, lagi-lagi aku berfikir. Ingat suasana kota Tunis. Kota dimana kaum wanita – tua muda – bersaing berdandan, bertebaran di setiap sudut kota. Kota dimana wanita bisa berprofesi sebagai sopir taksi, kondektur, tukang servis listrik hingga pegawai pom bensin. Tunis dan SBR, menampilkan potret kehidupan wanita dalam bentuk yang jauh berbeda.


Stasiun KA di kota Tunis kala masih lengang...

Pulang ke Tunis, Kereta Penuh
Saat perjalanan pulang, aku tak kebagian tempat duduk di KA. Keburu penuh dengan warga Tunisia pedesaan yang hendak kembali ke kota. Maklum, hari Ahad sore.

Terpaksa aku duduk di lantai dekat pintu, di antara dua gerbong. Bersama beberapa orang Tunisia lain. Cuaca panas, serta banyaknya orang yang bolak-balik membuatku merasa tak nyaman. Belum lagi di setiap stasiun kadang ada orang yang naik atau turun KA. Satu lagi, semerbak aroma ketek orang Tunisia juga kadang menyengat.

Aku berfikir, bagaimana caranya mengalihkan konsentrasi, agar aku lupa semua itu. Maka, sambil memandangi hamparan kebun gandum dan zaitun sepanjang jalan, aku membuka notebook. Aku mengingat-ingat data penting dan menarik di desa SBR. Lalu rancangan catatan perjalanan kususun. Alhamdulillah, selesai juga. Hasilnya, sebagaimana Anda yang baca ini. Maka, jika tulisan ini tidak menarik atau tidak sistematik, harap maklum saja, hehe… Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra 15 Mei 2006

Monday, May 08, 2006

Tunis Book Fair

Cerita Seru dari Tunis Book Fair



Aku duduk santai di kantin dalam arena TBF...
Sepekan terakhir ini, perhatian masyarakat kota Tunis terpusat pada arena Pameran Buku Internasional Tunis (Foire Internationale du Livre de Tunis) yang dibuka tanggal 28 April 2006 lalu. Tak terkecuali aku. Hingga acara berakhir pada 8 Mei ini, aku terhitung lima kali pergi ke sana. Karena kebetulan, aku mendapat tugas belanja untuk koleksi perpustakaan KBRI Tunis.

Arena Tunis Book Fair (TBF) yang ke-24 ini memang tak sebesar Cairo Book Fair. Maklum, Tunisia adalah negeri kecil, jumlah konsumen bukunya pun tentu lebih sedikit. Jika Cairo Book Fair 2004 terdiri dari 12 hall dan diikuti oleh 1600 penerbit dari 97 negara, maka TBF 2006 ini hanya terdiri dari 4 hall, diikuti oleh 400 penerbit dari 23 negara.

Meski demikian, TBF menyisakan beberapa catatan menarik bagiku. Diantaranya soal pelarangan buku tertentu dan tentang harga yang tinggi. Selain itu, di TBF aku juga bertemu saudara tua yang selalu kurindukan ; orang Mesir…..!

Larang Buku Kanan
Pengalamanku menelusuri lorong-lorong stand TBF kemaren semakin menguatkan dugaanku bahwa Tunisia sangat alergi dengan buku-buku pemikiran Islam gerakan (harakah) yang berhaluan kanan. Seperti yang secara sederhana pernah kututurkan dalam tulisan “Buku Qardhawi Susah Dicari”.

Pimpinan delegasi penerbit terkemuka Dar el Fikr, Muhammad Abdul Aziz ez Zugbi yang kutemui menuturkan hal itu secara jujur. Mulanya ia tak mau terbuka kala kutanya mengapa tak satupun buku-buku Said Ramadan al Buthi (SRB) nampak di arena TBF ini. Padahal banyak buku bagus karya SRB yang diterbitkan Dar el Fikr. Setelah beberapa lama – terutama setelah tahu bahwa aku beli buku banyak di tokonya - pria separuh baya itu mau juga cerita. Nada bicaranya pelan, setengah berbisik. “Buku kami yang lolos masuk ke Tunis hanya 70 persen”, katanya. Sisanya kena sensor, dinyatakan tak boleh masuk oleh pemerintah Tunisia. “Termasuk semua karya SRB”, kata dia lagi. Aku bergumam, subhanallah…

Kisah serupa juga sering kudengar di arena Cairo Book Fair (CBF). Meski kayaknya di CBF, proses sensornya masih lebih longgar..

Sewaktu aku menanyakan buku kumpulan wawancara 8 intelektual Arab tentang Maqasid Syariah, Pak Zugbi hanya menggeleng-gelengkan kepala, seraya mengerdipkan mata. Lima menitan kemudian, kala stand itu sepi, ia menghampiriku dan berbisik. “Buku yang kamu inginkan itu ada. Itu satu-satunya buku kami yang katanya terlarang, tetapi bisa lolos masuk Tunis”, katanya seraya berjongkok, mengambil buku itu dari kardus di kolong meja. Rupanya buku itu tak ditampilkan di rak.

Buku setebal 232 halaman bersampul biru-putih itu kucermati isinya. Ah, sepertinya biasa saja. Kajian Maqasid Syariah bukanlah hal yang tabu, fikirku. Lalu, mengapa buku itu tak boleh masuk ?! Aku mencoba mencari-cari jawabnya. Nama delapan nara sumber dalam buku itu kuperhatikan satu per satu. Ada Jamaludin Athia, seorang ulama Al Azhar. Juga ada Ahmed Raisuni, ahli Ushul Fiqh dari Maroko. Tetapi, ketika aku membaca nama Hassan Turobi, seorang intelektual yang sangat vokal dan kritis terhadap pemerintah di Sudan, batinku bergumam. Mungkinkah buku ini dilarang karena ada Hassan Turobi-nya? Bisa jadi...

Subur Buku Islam Modern
Buku-buku filsafat serta pemikiran Islam modern mendapat apresiasi dari panitia TBF. Stand al Markaz ats Tsaqapi al Arabi tampil dengan deretan komoditi andalannya, buku-buku pemikiran dan filsafat. Ada karya Arkoun, Abu Zaid, Abdullah Urwi, juga Abed al Jabiri. Penerbit asal kota Cassablanca Maroko ini memang dikenal rajin menerbitkan buku-buku pemikiran Islam modern.

Aku mencoba menyisihkan sedikit dinar untuk membeli buku-buku pemikiran. Selain buku-buku bertema maqasid syariah untuk referensi tesis. Tetapi karena modal uang pas-pasan, aku sangat hati-hati dalam memilih-milih buku. Duh, Gusti

Untuk sementara ini, aku memilih beberapa buku pemikiran karya penulis Tunisia terbitan Cérés Edition. Diantaranya ada buku Umat al Wasath karya Mohammed Talbi, seorang pemikir liberal dari Universitas Tunis. Bagi Anda yang pernah membaca buku Wacana Islam Liberal-nya Charles Kurzman terbitan Paramadina, tentu akan menemukan nama Talbi yang menulis tentang Kebebasan Beragama.

Selain buku-buku Mohammed Talbi, juga ada dua buku karya Lathifa al Akhdhar, penulis wanita Tunisia. Dua buku itu adalah Imraat al Ijma dan al Islam ath Thuruqy. Buku yang disebutkan pertama berisi tentang isu-isu syariat yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam Islam. Meski isu yang diangkatnya tak jauh dari persoalan jilbab dan fiqh perempuan –seperti yang telah ditulis banyak orang – buku ini memiliki kelebihan khas, yakni kental dengan analisa sosiologis lokal Tunisia. Saat ini, seorang rekan sedang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan buku kedua berisi tentang kiprah gerakan tarekat sufi dalam proses perubahan sosial dan gerakan kemerdekaan di Tunisia pada abad 18.

Ada satu lagi buku terbitan Cérés Edition yang menarik perhatianku. Yakni buku berjudul Borguiba wa al Masalah ad Diniyyah. Buku karya Amal Musa –juga penulis wanita Tunis- ini membahas isu sekulerisasi Islam di Tunisia, sebagaimana dicanangkan oleh presiden pertama Tunisia, Habib Borguiba. Buku ini – sejauh pengamatanku - bisa menjadi salah satu rujukan penting bagi para pengkaji isu relasi antara agama dan kekuasaan.

Harga Buku Melangit
Gila-gilaan. Itu barangkali ungkapan yang cocok disampaikan untuk mengomentari mahalnya harga-harga buku di arena TBF ini. Sepertinya tak ada beda, antara buku-buku TBF dengan buku-buku di toko-toko di kota Tunis.

Buku-buku terbitan Mesir pun jadi ikut-ikutan mahal. Padahal, seingatku dulu, buku-buku Mesir terkenal lebih murah. Setidaknya jika dibandingkan buku-buku terbitan Syria dan Maroko.

Mahalnya harga buku ini merupakan imbas dari pajak yang tinggi. Seorang pengusaha buku dari Mesir mengaku tak terlalu berharap untung banyak dari arena TBF ini

Buku al Fiqh al Islami wa Adillatuhu yang terdiri dari 13 jilid, dijual seharga 120 Dinar, atau hampir 100 Dolar AS. Di Kairo, tahun lalu buku serupa dijual seharga 70an Dolar. Buku-buku pemikiran terbitan Cérès Edition rata-rata dijual 8-10 Dinar (1 Dinar = 8 ribu rupiah) . Padahal buku-buku kecil. Untuk ukuran Kairo, harganya barangkali bisa lebih murah hingga 50 persennya.

Seorang kawan mahasiswa senior bertutur bahwa harga buku seperti itu memang sudah standar di Tunisia. Artinya, untuk ukuran Tunis, masih terhitung wajar. Tentu penilaiannya ini berangkat dari asumsi bahwa segala hal memang tak ada yang murah di kota ini. Sedangkan aku, dalam banyak hal, masih selalu mengukur Tunisia dengan standar Mesir. Ah, ada-ada saja yach…!

Orang Mesir Saudara Tua
Tatkala mampir ke stand-stand penerbit Mesir, aku menemukan kesan yang sangat menyenangkan. Aku ketemu orang-orang Mesir…. ! Sesuatu yang hampir tak kuduga sebelumnya.

Di stand Dar al Hadis, salah satu penerbit Mesir, aku berbincang akrab dengan para staf yang orang Mesir. Aku menyalami mereka seraya menyapanya dengan bahasa Arab-Mesir sebisanya. Izayyak ya akhi..inta kuwais?! Ana kuntu fi masr. Dzil wa’ti ana adrus hina fi Tunis. Wawlohi ana ‘aiz asyuf masr tani…dan seterusnya. Dengan ejaan Mesir yang masih kuingat ; huruf jim dibaca gin serta qaf dihilangkan, kecuali dalam dua kata ; al Quran dan al Qahirah, hehehe…
Dan ustad Asyrof, pegawai Mesir yang kusapa siang itu menimpali basa-basiku dengan hangat. Terlebih kala aku memuji-muji Mesir. Ia gencar menanyaiku. Mengapa kamu pindah sekolah ke Tunis?! Mengapa tidak di al Azhar?! Di sana khan lebih bagus, biaya hidup juga lebih murah. Dan seterusnya.

Aku hanya tersenyum. Lalu aku menjawab pertanyaannya dengan cerita lain. Ustad, aku memang di Tunis, tetapi Mesir tak mungkin lepas dari benak. Ingat Mesir, ingat harga bukunya yang murah. Rindu sungai Nil-nya yang eksotik, serta keikhlasan para ulama Al Azharnya yang mengagumkan. Ful dan Ta’miyahnya juga sulit kulupakan.

Nyerocos aku bicara. Ekspresi kerinduanku pada Mesir, dengan segala warna kenangannya. Ustad Asyrof pun tertawa terbahak-bahak. Hingga ia memperkenalkanku pada beberapa pegawai Mesir lainnya. Kami pun bicara beberapa hal, diselingi gelak tawa. Seperti reuni keluarga saja.

Di stand lain pun begitu. Aku selalu menyempatkan diri menyapa orang Mesir. Aku rindu logat bicara mereka, juga basa-basinya yang kadang menggelikan. Serasa mimpi aku ketemu orang Mesir.

Aiman, seorang staf penerbit Dar al Fadlilah Kairo malah memberiku diskon setelah aku berbasa-basi dengannya. “Mana lebih enak, tinggal di Tunis ataukah tinggal di Kairo?!”, tanya dia. Sebuah pertanyaan yang sudah jadi ciri khas orang Mesir. “Kairo ahla min Tunis”, tuturku, meski sebenarnya aku tak yakin dengan jawabanku. “Benarkah?!”, Aiman menimpali dengan pertanyaan. Maka aku pun nyerocos lagi, tentang hal-hal yang menarik di Mesir. Tentang kehebatan piramid, sphink, keindahan pantai Iskandariah. Juga tentang kemasyhuran Al Azhar. Hingga Aiman tak henti terbahak sambil sesekali menyalamiku. Dan akhirnya, ia memberiku tambahan diskon atas harga sebuah buku. Satu dinar lebih rendah dari harga pasca diskon. Hingga seorang rekannya membisikinya, tapi masih sempat kudengar. “Kenapa kamu kasih dia enam dinar? Itu khan tujuh dinar setelah diskon?”

“Tak apa”, kata Aiman, “orang Indonesia ini tetap mencintai Mesir, meski kini ia sudah tak di Mesir”. Alhamdulillah, beda satu dinar sangat berarti bagi seorang mahasiswa sepertiku.


Aku bersama beberapa kawan mahasiswa Indonesia di gerbang TBF..
Itulah kisah pertemuanku dengan beberapa orang Mesir di arena TBF. Keramahan, ketulusan –dan bahkan keluguan mereka, tak mungkin lepas dari benak. Asal pandai basa-basi dan mau memuji, maka harga akan turun. Sesuatu yang nyaris tak pernah kutemui pada orang Tunisia.

Dan diantara pertanyaan orang-orang Mesir di arena TBF itu, selalu terselip kalimat, “kapan Anda ke Mesir lagi?!” Membuat hatiku berdebar dan bertanya-tanya. Ya, kapan, ya ?! Kapan aku mengunjungi negeri tempat kumelewatkan ultah-ku yang ke 23, 24, 25 dan 26 itu…?! Suatu kali nanti, Insya Allah, tuturku mantap.

Beli Buku di Mesir Saja
Kala sedang melihat-lihat buku di arena TBF, aku sering berfikir begini. “Buku ini bagus dan penting untukku. Sayang sekali harganya mahal. Belinya nanti saja ah, jika aku berkesempatan ke Mesir lagi”.

Setelah aku tinggal di Tunis, aku semakin menyadari betapa enaknya tinggal di Kairo, bisa beli buku dengan harga-harga murah. Mengapa dulu aku tak banyak beli buku di Mesir?!

Dalam kitab Al Hikam, Syekh Athaillah menulis. Man lam ya’rif an ni’am inda wujdaniha, ya’rifuha inda fuqdaniha. Seseorang yang tidak menyadari pentingnya nikmat kala nikmat itu masih ada, maka ia akan menyadari nilai nikmat itu, kala nikmat itu telah tiada dari hadapannya. Ungkapan ini kemudian diadopsi oleh artis Rita Effendi dalam salah satu syair lagunya, “berpisah denganmu, membuatku smakin mengerti, betapa indah saat bersama”, hehe...
Maka untuk kawan-kawan lama, para mahasiswa Indonesia di Kairo sana, rajin-rajinlah beli buku. Mumpung lagi banyak dan murah. Mumpung Anda masih di sana. Sesal kemudian tak ada gunanya. Salam Manis dari Tunis.

Senin, 8 Mei 2006

Monday, May 01, 2006

Kambing Bakar Tunis

Kambing Bakar Tunis, Enaknya Saat Lapar Saja


Orang Tunis yang sedang membakar daging kambing..

Jumat (28/4) usai magrib, aku keluar rumah bersama lima orang kawan, menuju Hamam Lif, sebuah kawasan pantai, 20an km selatan kota Tunis. Tujuan kami bukan untuk renang di laut, melainkan untuk mencicipi nikmatnya kambing bakar di sana. Sekaligus aku ingin tahu, bagaimana sih cara orang Tunis menyajikan kambing bakar. Apakah sama dengan tradisi orang Indonesia?! Apakah ada bumbu spesialnya?! Dan seterusnya..

Mobil yang kami tumpangi meluncur di jalan tol, melewati tugu batas selatan kota Tunis. Di kilometer 15, mobil keluar tol, menelusuri jalan kecil yang berbelok-belok, di sela-sela rimbunnya pepohonan. Hingga akhirnya masuk ke jalan raya yang lebar. Inilah jalan raya Hamam Lif yang langsung menuju pantai sana. Di kiri kanan jalan raya ini, kulihat ada beberapa warung makan. Di depan warung-warung itu, paha dan kerangka tubuh kambing bergelantungan. Kata “masywi” selalu tertera dalam plang merk warung. Masywi artinya “bakar”. Begitulah, Hamam Lif memang terkenal dengan restoran-restoran spesialis kambing bakar.

Kami berhenti di depan rumah makan “al madinah ar riyadiyyah lil masywi”. Beberapa kendaraan nampak telah diparkir di halaman. Seorang pelayan menyambut kami dengan senyuman renyah. “Selamat datang”, tuturnya seraya mempersilahkan kami memilih tempat duduk. Mau meja di luar ataukah di dalam ruangan. Kami memilih di dalam. Karena di luar, khawatir tak tahan dengan angin yang kadang masih terasa dingin menusuk.

Ruangan dalamnya tak terlalu lebar, kira-kira seukuran ruang belajar di sekolahan kita. Dinding sekeliling ruangan itu penuh dengan gambar bunga bermotif mediterania dengan warna khasnya ; biru-putih. Suara manja Mariam Feres –penyanyi muda Lebanon yang sedang naik daun – terdengar mengalun dalam syair-syair lagunya. Menambah kehangatan suasana malam itu.

Belum lima menit kami duduk, seorang pelayan menghidangkan makanan pembuka berupa tabunah, roti bundar berdiameter 15 cm khas Tunis. Serupa isy di Mesir. Hanya saja, tabunah lebih tebal dan rasanya pun lebih enak. Tabunah hangat itu dihidangkan bersama salatah - sambal khas Arab- dan buah zaitun. Di Tunis, sepertinya tak ada hidangan tanpa zaitun yang pahit-pahit enak itu. Maklum, di negeri yang luasnya hanya setengah pulau Jawa ini, perkebunan zaitun ada di hampir setiap tempat. Tunisia adalah negeri penghasil zaitun terbesar kedua setelah Spanyol.

Usai mencicipi sedikit tabunah, aku iseng menuju dapur. Ingin lihat cara orang Tunis memasak. Ah ternyata sederhana. Aku juga bisa, pikirku. Daging kambing yang sudah dipotong-potong kecil dan dibersihkan itu, dimasukkan ke dalam adonan bumbu. Tak lebih satu menit, lalu diletakkan di atas pembakaran. Bara apinya nampak merah menyala. Aku merasa pesimis bumbu itu akan menyerap masuk ke dalam daging yang beberapa saat lagi akan kusantap itu. Aroma wangi pembakarannya pun biasa saja, tak terlalu khas. Jauh berbeda dengan aroma sate kambing di tanah air yang sangat menusuk hidung dan membangkitkan selera.


...saat lapar mah, kambing bakar pun terasa enak....!

Saat hidangan itu disajikan di meja, kami langsung menyantapnya. Tanpa bumbu atau makanan pelengkap lainnya. Kecuali salatah dan tabunah. Karena memang hanya menu ini yang biasa disajikan dalam paket kambing bakar di Tunisia. Tak ada nasi, kentang goreng, sayuran atau sambal cabe campur kecap, hehehe...Minumnya, cukup soft drink dan air mineral. Dengan menu sederhana ini, satu kilo kambing bakar dijual seharga 13 Dinar. Satu Dinar Tunisia setara dengan 8 ribu rupiah.

Meski menu sederhana dan bumbu yang pas-pasan, tiga kilo daging itu akhirnya habis juga. Hanya tulang yang tersisa. Pun beberapa lempeng roti tabunah yang hangat itu. Sesaat sebelum pulang, aku iseng bertanya kepada kawan-kawan. “Gimana, enak ngga...?!” Serentak kawan-kawan menjawab, “nggaaaaaa......” Ah, dasar. Bilang ga enak setelah semuanya habis. Sama saja bohong. Dalam suasana lapar, rasio dan akal sehat memang kerap hilang, pergi entah kemana, hehehe..... Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 1 Mei 2006