Friday, July 24, 2015

Buka Puasa 2015

BERBUKA PUASA SAMPAI BODOH (2)



Sebuah kehormatan besar, diundang buka puasa oleh Dr Beya Sultoni, dosen filsafat pendidikan Univ Zitouna, Tunis.
Kediaman beliau berlokasi di Rades, sekitar 10 km arah timur ibukota, dapat dijangkau dengan kereta api atau taksi. Kemaren, aku datang bersama isteri dan kedua puteriku, Kaira dan Tanisa.
Di stasiun Rades, kami dijemput oleh suami bu dosen.
Menu berbuka sore itu, diawali dengan air putih dan kurma Tunis yang masih menempel di tangkainya itu. Syegar.. Dilanjut dengan syurbah (soup pembuka), plus roti baguet, salad segar dan brick (gorengan khas Tunis, bahan utamanya telur).
Usai diselingi shalat Magrib, babak utama dimulai. Sajiannya adalah kuskusi, makanan khas orang Magrib Arabi. Yakni gandum bubuk yg dikukus, ditaburi kuah kental nan pedas dan aneka sayuran rebus. Disajikan hangat dengan daging kambing. Juga ada ikan bakar, sbg alternatif bagi isteriku yg tidak suka kambing.
Kami makan dengan lahap, maklum usai puasa hampir 17 jam, di bawah terik matahari 35 derajat.
Menu besar yang dituangkan bu dosen ke piring, membuatku merasa perlu mengendorkan ikat pinggang hingga beberapa kali, smile emotikon
Selesai menu utama, kami pindah ke ruang tamu. Di sana, aneka buah-buahan telah menanti. Ada khukh, melon, semangka, 'awinah dan mismis. Buah-buahan khas musim panas. Juga halawiyat / kue-kue Arab yang manisnya minta ampun itu. Dua puteri bu dosen, Farah dan Heba, bergantian mengisi gelas minuman kami yang kosong.
Sebenarnya perut sudah terasa kenyang. Tapi tuan rumah tak henti menawari. Aku faham betul, orang Arab biasanya kurang senang jika tamunya irit makan. Dan aku tak mau mengecewakan tuan rumah yang tiada lain guru dari para mhswa Indonesia ini.
Kami terus menikmati makanan, hingga lewat adzan isya. Sebagai sajian akhir, ada teh hangat ditaburi louz (kacang) dan na'na' (daun segar rasa mint).
Beginilah standar menu berbuka orang Arab. Bikin perut kekenyangan, hingga kebingungan seperti orang bodoh, tak tau apa lagi yang harus dilakukan. Persis seperti pengalaman berbuka dulu di rumah Prof Bouazizi, pembimbing thesisku, yang kuabadikan dlm tulisan berjudul 'Berbuka Puasa Sampai Bodoh'. Salam Ramadhan dari Tunis.

Tuesday, April 14, 2015

Tunis Halaqah

Mereguk Makrifah di Negeri Zaitunah

Suasana pengajian kitab Fiqh Maliki di Masjid Hamouda Pasha, Old Tunis, Maret 2015

Sabtu sore usai shalat Ashar. Puluhan pria duduk rapi dekat mihrab di dalam sebuah masjid. Sebagian besar mereka memegang buku. Seorang pria berusia setengah baya duduk di kursi, berhadapan dengan mereka. Sang pria yang berpeci merah khas Arab Magribi itu berbicara, sambil sesekali membaca buku yang dipegangnya. Sesekali pula ia mempersilahkan orang-orang di hadapannya itu mengajukan pertanyaan atau komentar.

Di pojok belakang kanan ruangan Masjid itu, beberapa orang wanita duduk berbaris. Di balik tirai tipis, mereka juga nampak khusyu menyimak pembicaraan sang pria.

Begitulah suasana pengajian (halaqah) kitab Tanqih al Fushul setiap Sabtu sore di Masjid ad Diwan, sekitar 250 meter dari Masjid Agung Zitouna, Tunis. Tanqih al Fushul fi Ikhtishar al Mahsul fi al Ushul adalah kitab ushul fiqh karya Imam al Qurafi, seorang ulama besar Malikiyah yang wafat pada tahun 684 H. Puluhan pria dan wanita yang duduk di Masjid itu adalah para jema’ah halaqah. Dan pria setengah baya itu tak lain adalah Syekh Prof Dr Burhan Nefati, penyampai materi pengajian.

Sabtu sore itu, syekh membahas lafadz-lafadz al musytarak, al mutawathi, al murtajal, dan al mutaradifah, yang merupakan isi pasal enam dari bab pertama kitab Tanqih itu. Dengan fasih, sang syekh menjelaskan lafadz-lafadz itu disertai contoh-contohnya dalam Al Quran atau hadits, serta ragam pendapat ulama dalam memahaminya. Sang syekh menjelaskannya dengan Bahasa Arab fushah, seolah tahu bahwa audiensnya banyak orang non Arab. Pembahasan kebahasaan (al mabahis al lafdziyah) yang rumit pun menjadi mudah.

Pengajian berakhir sesaat sebelum adzan Magrib berkumandang.

***
Halaqah kitab Ushul Fiqh di Masjid Diwan, adalah satu di antara sekian banyak majelis halaqah yang saat ini tumbuh subur di kota Tunis. Bak cendawan di musim hujan, halaqah-halaqah itu bermunculan seiring dengan keran kebebasan yang dirasakan umat Islam pasca revolusi 2011. Revolusi yang berhasil menumbangkan rezim penguasa sekuler, kemudian menggantikannya dengan kekuatan baru yang lebih bersahabat dengan Islam.

Tak jauh dari Masjid Diwan tadi, ada Masjid Hamouda Pasha. Di masjid yang dibangun pada tahun 1655 M ini, setiap hari Minggu siang ada pengajian Fiqh Maliki. Pengajian ini disampaikan oleh Syekh Habib ben Tahir, seorang ulama ahli fiqh terkemuka di Tunis saat ini. Kitab yang dibaca adalah al Fiqh al Maliki wa Adillatuhu yang beliau karang sendiri. Kitab setebal 7 jilid ini dicetak berulang-ulang oleh sebuah penerbit di Beirut. 

Di Masjid Agung Zitouna, pengajian halaqah ini bahkan digelar setiap hari, yang dikemas dalam program Ta’lim Zitouni. Peserta belajar tiap hari, dengan jadwal yang tetap. Menurut catatan sejarah, Ta’lim Zitouni ini telah ada sejak masjid ini dibangun, yakni pada tahun 732 Masehi. Tak heran jika Ta’lim Zitouni – yang merupakan cikal bakal Universitas Zitouna di era modern - dinilai sebagai lembaga pendidikan keagamaan tertua di dunia Islam.

Selain Ta’lim Zitouni, Masjid Zitouna juga menggelar beberapa pengajian mingguan untuk umum. Di antaranya adalah kajian Tafsir Tahrir wa Tanwir karya ibn Asyur, yang diasuh oleh Syekh Hasan al Mana’i, guru besar tafsir di Universitas Zitouna. Pengajian ini digelar setiap Sabtu bakda Magrib. Juga ada pengajian yang disampaikan oleh Syekh Nizar Hamadi, ulama muda yang dikenal produktif menulis dan mentahqiq kitab.

Ta’lim Zitouni, dengan segala warna-warni persoalan yang dihadapinya, hingga kini masih masih dianggap sebagai lembaga pendidikan keislaman yang ‘orsinil’, orientasi murni turats, serta para pengajarnya memiliki sanad keilmuan yang tersambung hingga para ulama madzhab.

***
Masih banyak majelis ilmu lainnya yang ada di negeri Zaitunah ini. Di Masjid al Busyra yang berlokasi di Jalan Carthage - masih kawasan Old Tunis - ada pengajian setiap Senin, Selasa, dan Rabu bakda Magrib. Hari Senin adalah kajian kitab al Muwatha karya Imam Malik, diasuh oleh Syekh Kamil Sa’adah. Hari Selasa adalah ilmu qiraat, diasuh oleh Syekh Muhamed Musyfir, dan Rabu adalah kajian kitab Tafsir Tahrir wa Tanwir karya ibn Asyur, bersama Syekh Ali Gharbal.

Di luar kawasan Old Tunis, pengajian juga tak kalah ramai. Di kawasan el Menzah, ada majelis Syekh Munir Kamantar. Ulama muda yang menyerap aneka warisan ilmu di negeri Syam dan Mesir ini menggelar pengajian setiap Senin, Rabu, Kamis dan Sabtu bakda Magrib. Kyai bergelar doktor Ushul Fiqh Al Azhar Mesir ini, mengajar kitab fiqh Maliki, yakni as Syarh as Shagir li Aqrab al Masalik ala Madzhab al Imam Malik.

Di kawasan Zahrouni, ada Syekh Farid al Baji, ulama muhaddits yang cukup terkenal di Tunis saat ini, karena keberaniannya mengkritik kaum Salafi-Wahabi yang belakangan melanda negeri  Maliki ini. Di majelisnya, Syekh al Baji biasa menggelar pengajian kitab-kitab hadits, sesuai keahliannya. Sejumlah mahasiswa Indonesia telah mendapatkan ijazah kitab hadits dari beliau, seperti ijazah kitab al Muwatha (Imam Malik), al Musnad (Syafi’i) dan al Mustadrak (Naisaburi).

Di kawasan Bardo, ada Syekh Ali Bouslagem, ulama ahli  qiraat yang memperoleh aneka sanad qiraat dari para ulama besar di Syria. Setiap bakda Subuh beliau mengajarkan ilmu qiraat kepada para santrinya, termasuk sejumlah mahasiswa Indonesia.

Masih banyak yang lainnya. Perlu survai serius untuk bisa menyebutkannya satu per satu.

Semua yang dipaparkan di atas, adalah halaqah-halaqah yang digelar oleh individu sang ulama. Semuanya digelar secara terbuka untuk umum,dan tentu saja tidak dipungut biaya. Modal mau berangkat saja. Masjid Zitouna, Masjid Diwan, dan Masjid Hamuda Pasha, berlokasi di kawasan  kota tua, yang tidak jauh dari pemukiman mahasiswa Indonesia. Bisa ditempuh dengan jalan kaki santai sekitar 15 menit. Tidak bisa naik kendaraan seperti bis atau taksi, karena masjid-masjid ini berada di tengah-tengah kawasan Medina, pasar tradisional nan antic yang berusia ratusan tahun.

Halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh lembaga resmi semacam ma’had/pesantren, juga banyak. Di kawasan el Manar, ada Ma’had Imam Malik lil ‘Ulum as Syar’iyyah, tempat aku dulu pernah mengaji kitab fiqh Maliki berjudul Risalah ibn Abi Zaid al Qairawani kepada syekh Sami an Nabli. Di kawasan ibn Sina, ada Jam’iyyah Mushtafa. Di Monfluri, tak jauh dari pemukiman mahasiswa Indonesia, ada Jam’iyyah Husnul I’tidal. Banyak mahasiswa kita yang aktif mengaji di sini. Di kawasan Hay al Khadra, ada Jam’iyyah Tunisiyyah lil Ulum as Syar’iyyah. Dan lain sebagainya.  

Lembaga-lembaga ini menggelar kajian berbagai disiplin ilmu keislaman. Pengajian dilakukan secara klasikal dan berjenjang. Para pesertanya terdaftar resmi. Setiap akhir tahun ada ujian. Setelah tahun ketiga, ada ijazah.


***
Mengikuti pengajian-pengajian itu, kerap mengingatkanku pada suasana di pesantren, sekian tahun silam. Para santri duduk lesehan melingkar sambil memegang kitab, dalam kondisi berwudhu, dengan penuh adab. Sang kyai atau syekh menjelaskan isi kitab dengan bersahaja, penuh kesederhanaan, dan khidmat. Bedanya, kali ini sang kyainya orang Arab, penjelasannya pun berbahasa Arab. Khusus di Tunis, kitab-kitab fikihnya  adalah bermadzhab Maliki.

Inilah salah satu kelebihan belajar Islam di negara Arab seperti Tunis. Terlepas dari konflik politik atau ancaman terror dari kelompok garis keras seperti ISIS yang selalu membayangi, atau juga kritik metodologi yang kerap disampaikan oleh sejumlah kalangan di luar terhadap system studi di Timr Tengah, halaqah-halaqah ini adalah sebuah fenomena menarik yang khas.  

Ia laksana samudera makrifah yang menjadi obat bagi para pencari ilmu yang kehausan. Selagi masih di sini, reguklah sepuasnya. Untuk bahagiamu kelak, di dunia dan akhirat. Amin Ya Robb. Salam Mani dari Tunis.


Tunis al Khadra, Selasa dinihari 14 April 2015  

Saturday, March 28, 2015

Jumat 3 Gelombang

Menimbang Jumat Tiga Gelombang 

Karena ada kesibukan sejak pagi hingga siang, terpaksa kemaren aku shalat Jumat gelombang ketiga di Masjid al Halq yang berlokasi di Suq Ashr, Old Tunis.

Dikatakan gelombang ketiga, karena khatib naik mimbar sekitar 40 menit sebelum adzan Ashar. Khatib berkhutbah kira-kira 30 menit, kemudian shalat Jumat. Setelah rehat sejenak, dilanjut dengan adzan dan shalat Ashar berjama’ah.

Juga dikatakan ‘terpaksa’, karena aku biasanya shalat Jumat awal waktu. Shalat pada gelombang ketiga hanya kulakukan saat ada urusan yang tidak bisa ditunda.

***
Untunglah di Tunis ini ada beberapa pilihan waktu shalat Jumat : awal waktu (dimulai sekitar jam 12.30), pertengahan (dimulai pukul 14.00), dan akhir (dimulai jam 15an atau menjelang Ashar).

Pembagian jadwal ini ditetapkan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah yang menunjuk masjid A Jumat pertama, masjid B Jumat kedua, masjid C Jumat ketiga, dan seterusnya. Pertimbangan utamanya adalah lokasi masjid. Masjid di kawasan keramaian atau pasar, umumnya Jumat kedua atau ketiga. Seperti di masjid al Halq tadi yang berlokasi di dekat pasar tradisional. Masjid Agung Zitouna, menggelar Jumat pada gelombang kedua. Masjid dekat kawasan perkantoran, umumnya Jumat pertama, mengingat jam istirahat kantor biasanya pukul 12.30-14.00. Di kawasan pedesaan, mayoritas masjid juga menggelar Jumat pada gelombang pertama.

Dengan pembagian seperti ini, maka sebuah urusan yang sangat penting (yang seandainya ditunda akan lebih repot) atau acara-acara resmi, tidak mesti “harus dihentikan” pada jam 12.30, melainkan dapat tetap dituntaskan hingga jam 14.00 atau 15.00, tanpa kekhawatiran “tidak kebagian Jumat”.

Kebijakan pemerintah ini memberikan banyak kemudahan bagi umat. Setiap orang dapat memilih waktu Jumat sesuai dengan aktifitasnya. Hal ini jelas sejalan dengan prinsip raf’ul harj (menghilangkan kesulitan), yang merupakan salah satu karakter sekaligus maqasid (tujuan) syariat Islam. Dalilnya sangat banyak, baik dalam Al Quran maupun Hadits.

Mungkin pembaca bertanya-tanya, bolehkah shalat Jumat pada akhir waktu? Dalam fikih Maliki yang dianut Muslim Tunisia, waktu shalat Jumat adalah sama dengan waktu shalat dzuhur. Artinya, dimulai sejak tengah hari, berakhir saat datang waktu Ashar.  Dalam kitab al Mudawwanah al Kubra – kitab fikih induk kaum Malikiyah, berisi pendapat-pendapat Imam Malik yang ditulis oleh murid-muridnya – disebutkan bahwa Sahnun bertanya kepada Abdurrahman, apa pendapatmu jika imam beserta makmumnya belum shalat Jumat hingga datang waktu Ashar? Abdurrahman menjawab, tunaikan saja shalat Jumat meskipun matahari sudah terbenam.

Keluasan waktu ini dimanfaatkan oleh pemerintah Tunisia untuk menerapkan sebuah kebijakan sesuai dengan kebutuhan atau kemaslahatan  masyarakat luas. Waktu pelaksanaan Jumat dibuat fleksibel, supaya aktfitas warga tetap berjalan baik. Warga yang memilih waktu-waktu itu, sesuai dengan kemaslahatan dirinya. Bukankah setiap kebijakan pemerintah itu harus didasarkan atas kemaslahatan (manutatun bil mashlahah)?

***
Di sisi lain, pembagian gelombang Jumat ini menyisakan beberapa persoalan. Di antaranya : pertama, seseorang tidak akan ketauan jika ia memang tidak shalat Jumat. Ketika diajak Jumat jam 13.00 siang, ia bisa saja menjawab, nanti mau ikut gelombang kedua. Maka tak heran jika saat shalat Jumat pertama berlangsung, kafe tetap penuh, pasar tetap rame, jalan raya tetap macet. Apakah mereka tidak shalat Jumat? Belum tentu. Khan nanti ada jumat kedua dan ketiga.

Dengan demikian, jika ada program razia pria Muslim yang tidak Jumatan - sebagaimana diterapkan di beberapa daerah di tanah air- tentu tidak akan berjalan efektif, karena setiap orang bisa berkilah.
Kedua, mungkin soal syiar. Jika Jumat digelar satu waktu alias serentak, terlihat berduyun-duyunnya jemaah menuju Masjid. Silaturahmi pun terbangun lebih optimal, karena hampir semua orang ada di Masjid pada saat yang bersamaan. Sisi ini tidak akan terjadi pada Jumat 3 gelombang seperti di Tunis.

Ketiga, tentang makna ayat, “fas’au ila dzikrillah wa dzarul bai’. Jika adzan Jumat telah berkumandang, maka akad jual beli atau transaksi bisnis lainnya hukumnya haram. Demikian pendapat Jumhur ulama, sebagaimana dipaparkan al Qurthubi dalam tafsir ahkamnya. Jika shalat Jumatnya tiga gelombang, apakah hukum ayat ini juga tetap berlaku? Perlu didiskusikan lebih lanjut oleh para ahli ilmu. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 28 Maret 2015