Monday, July 31, 2006

Pesona Maroko (PM 1)

Selamat Datang di Maroko


Aku berpose di aula KBRI Rabat, lokasi seminar

Jam di tanganku menunjukkan waktu pukul 09.25 (16.25 WIB) ketika pesawat Airbus bernomor penerbangan TU 711 milik maskapai Tunis Air yang kutumpangi mendarat dengan selamat di bandara internasional Muhammad V, Casablanca, Maroko. Kala roda-roda pesawat terasa menyentuh tanah, aku bersyukur kepada Allah, Alhamdulillah, waktu 145 menit penerbangan dari Tunis ke Cassablanca, telah kulewati dengan lancar....

Negeri Impian
Aku berjalan penuh semangat menuju pintu keluar, dalam antrian panjang para penumpang. Langkahku terasa mantap, didorong keinginan yang teramat kuat ; ingin segera turun dan menatap negeri muslim di ujung barat benua Afrika ini.

Mengunjungi Maroko adalah salah satu impian lamaku. Ya, sejak lama. Sejak pertengahan 2003, kala aku sudah merasa takkan mampu lagi belajar S2 di Mesir.

Saat itu aku melirik Maroko. Karena konon, sistem studinya lebih mudah, hingga masa studi pun bisa lebih cepat. Selain itu, Maroko juga dikenal sebagai negara Arab yang gaul, nuansa Eropanya kuat, tetapi tak kehilangan akar tradisi Arab dan Islam.

Dan pagi Kamis 27 Juli 2006 ini, impianku tercapai. Alhamdulillah. Aku tiba di negeri ini. Bukan untuk kuliah, bukan. Aku akan berada di negeri ini selama 6 hari, hingga 1 Agustus nanti, mewakili Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia, dalam rangka sebuah seminar internasional yang digelar oleh PPI Maroko.

Kota Casablanca
Ibukota Maroko adalah Rabat. Akan tetapi, bandara internasionalnya ada di Casablanca, kota berjarak 91 km selatan Rabat. Kata Casablanca mulanya diambil dari bahasa Spanyol, artinya gedung putih. Orang Arab biasa menyebut Casablanca dengan nama ad Dar al Baidha.

Casablanca, kota yang dihuni oleh hampir 4 juta jiwa, adalah kota terbesar di Maroko. Sedangkan total penduduk Maroko sendiri ada 30 juta jiwa.

Casablanca pernah jadi buah bibir orang di berbagai penjuru dunia, kala terjadi serangan bom teroris pada 16 Mei 2003 yang dan menewaskan 45 orang. Lalu aparat keamanan menangkap ribuan orang yang dinyatakan sebagai kelompok radikal Moroccan Islamic Combatan Group.

Aku juga mengenal Casablanca karena di kota ini terdapat sebuah penerbit buku agama yang terkenal ; al markaz ats tsaqafi al araby. Ia rajin menerbitkan buku-buku pemikiran Islam modern yang ditulis oleh para cendekiawan kontemporer. Hanya saja, buku-buku terbitan penerbit ini dikenal sebagai berharga mahal.

On Arrival Visa
Bandara Muhammad V terletak di luar kota, sekitar 40 km dari Casablanca. Gedungnya besar, aulanya luas. Akan tetapi, dalam hal penataan ruangan dan paduan warna, masih kalah indah oleh bandara Tunis Chartage.

Saat aku memasuki hall bandara pagi itu, suasana cukup ramai. Orang-orang Arab, bule dan mereka yang berkulit hitam, nampak hilir mudik. Seorang lelaki berkacamata dan berperawakan sedang menatapiku. Sepertinya dia orang Indonesia, pikirku. Ternyata benar. Ia menghampiriku serta bertanya, "anda yang dari Tunis ya?" "Iya Pak", jawabku spontan. "Selamat datang di Maroko", tuturnya seraya menyalamiku ramah. Dialah Pak Yusuf , seorang staf KBRI Rabat.

Di meja imigrasi, pasporku diperiksa. Staf imigrasinya nampak ramah. Urusan pun terasa mudah. Tak banyak pertanyaan ini itu, juga tanpa pungutan biaya sepeser pun.

Maroko adalah satu diantara sekitar 10 negara sahabat yang memberikan visa On Arrival kepada Warga Negara Indonesia. Pergi ke Maroko, hanya perlu beli tiket saja, tanpa harus apply visa ke kedutaannya. Baik sekali Maroko ini, pikirku. Tak seperti Libya. Visa numpang lewat saja –untuk naik bis dari Tunis ke Kairo, melewati Libya – susahnya minta ampun.

Pesisir Samudera
Dari bandara Casablanca, aku langsung menuju Rabat. Naik mobil jemputan yang dikemudikan oleh Pak Yusuf. Melewati jalan tol yang mulus.

Pemandangan sepanjang jalan, seperti halnya suasana umum negara Arab. Tak begitu banyak pepohonan rindang. Kecuali di beberapa kawasan sekitar danau kecil atau sungai. Juga tak banyak pepohonan Zaitun, sebagaimana yang kutemukan di Tunisia.

Dari balik kaca mobil, sesekali aku melihat perkampungan penduduk. Juga petak-petak sawah gandum yang nampak kering. Ditanami rerumputan liar. Gandum memang tumbuh selama musim dingin hingga akhir musim semi. Musim panas begini, tanah-tanah pertanian itu jadi tak produktif. Dibiarkan begitu saja.

Di sebelah kiri jalan, nampak air laut yang biru. "Itu Samudera Atlantik", kata Pak Yusuf. Oh, aku kaget. Tadi aku mengira itu Laut Tengah. Aku baru ingat bahwa rute Casablanca Rabat menyurusi pesisir Samudera Atlantik.

Kota Rabat
Setelah satu jam perjalanan, aku memasuki kawasan pemukiman penduduk serta suasana jalanan yang rapi. Trotoar dengan paduan warna merah putih, serta banyaknya bendera Maroko berkibar. Ternyata, aku sudah tiba di Rabat, ibukota Maroko.

Beberapa persimpangan jalan kulewati, baik pertigaan maupun perempatan. Sepanjang trotoar, nampak orang-orang yang berjalan, atau mereka yang berdiri di halte bis. Diantara mereka, banyak wanita berjilbab. Baik kaum ibu atau gadis-gadis muda.

Sejauh yang kutemukan dalam perjalanan ini, lebih separo wanita Maroko yang kulihat, menggunakan jilbab. Berbeda dengan saat hari pertamaku di Tunis. Setelah menempuh perjalanan agak lama, aku baru melihat satu dua wanita Tunis yang berkerudung.

Inilah barangkali, salah satu beda Tunisia dengan Maroko, pikirku. Syiar keagamaan lebih bebas berekspresi di negara kerajaan ini. Menurut cerita, Maroko yang penduduknya 99 persen muslim ini tengah menggeliat, membangkitkan kembali kesalehan spiritual di kalangan masyarakatnya.

Rabat, 29 Juli 2006

Monday, July 17, 2006

Tunis Laut

Orang Tunis Pergi ke Laut


Aku bersama sebagian kawan di Pantai el Marsa, Tunis

Salah satu tradisi warga Tunis setiap musim panas adalah berpiknik ke laut, bersantai di pantai bersama keluarga. Musim panas terasa kurang afdlol, tanpa acara jalan-jalan ke pantai, tutur seorang kawan Tunis. Karena pergi ke laut, adalah hiburan rakyat yang murah meriah, bisa dijangkau semua kalangan. Maka pertanyaan yang sering terlontar – meski terkesan basa-basi dari mulut orang Tunis adalah, ”kamu sudah pergi ke laut atau belum?!” Jika kita jawab, “belum”, bisa jadi sang penanya akan mengernyitkan dahi tanda kaget.

Aku pun tak mau ketinggalan, ikut-ikutan pergi ke laut. Kamis siang kemaren, bersama beberapa kawan, aku berenang di Pantai el Marsa, tepian barat kota Tunis. Aku pergi meninggalkan rumah menjelang tengah hari, naik bis kota.

Di bis, aku melihat banyak orang Tunis yang sepertinya juga mau pergi ke laut. Kelihatan dari penampilan dan barang bawaannya. Bercelana pendek, sandal jepit, kaca mata hitam, membawa tas, bola, alat pancing, pakaian renang dan bekal minuman. Ada juga anak-anak yang membawa pelampung dan ban untuk berenang. Musim panas begini, pria dewasa bercelana pendek dan gadis berbaju minim, biasa dijumpai di jalanan atau dalam bis di kota Tunis.

* * *
Tunis adalah kota pantai, terletak di pesisir Laut Tengah. Pantai terbentang sepanjang 25 km dari el Marsa, kawasan barat kota, hingga Rades, di batas timur kota Tunis. Hampir seluruh kawasan pesisir pantai di kota Tunis, menjadi arena hiburan rakyat. Baik untuk berenang, memancing atau sekedar kongkow-kongkow, duduk di kafe tepian pantai, melepas senja sambil cuci mata.

Cuci mata ?! Ya, cuci mata. Sekaligus cari kenalan baru. Pada hari-hari dengan suhu rata-rata 40-an derajat ini, pantai selalu dipadati oleh warga Tunis, tua muda, anak-anak, pria wanita hingga para ABG. Selain enak dipandang, anak-anak muda Tunis juga enak diajak ngobrol. Ramah.

Inilah salah satu daya tarik pantai-pantai Tunisia. Dulu di Mesir, aku pernah berenang di Pantai Matruh, Iskandariah dan Port Said di tepian Laut Tengah. Juga pantai kota Suez, pantai Terusan Suez di kota Ismailia, Ras Sadr dan Sharmus Syeikh di semenanjung Sinai, pesisir Laut Merah. Di pantai-pantai itu, wanita berbikini hanya mereka, para turis bule. Wanita Mesir yang berenang, jarang sekali berpakaian minim. Setidaknya, mereka tetap berbaju biasa, bahkan sering kulihat tetap memakai kerudung. Berbeda dengan di Tunisia. Kaum wanitanya seolah tak mau kalah dengan wanita-wanita bule yang berbikini ria itu.

Lebih dari itu, wanita-wanita Tunis yang berbikini itu juga centil-centil. Seperti yang kusaksikan siang kemaren di pantai el Marsa yang pantai rakyat itu. Beberapa wanita usia separuh baya, berenang mondar-mandir, tak peduli berlalu ke tengah kerumunan perenang pria. “Teu boga kaera eta si Ibu”, gumam hatiku kala itu.

Sedangkan para gadis ABGnya, juga berenang, sambil bercanda dengan pasangan masing-masing. Di tepian laut, mereka berenang sambil saling kejar-kejaran, saling mencipratkan air, sambil ketawa ketiwi manja. Ada juga beberapa pasang yang asyik berpelukan, lalu sesekali menyelam. Tak peduli dengan banyaknya orang di sekitarnya. Para perenang yang muslim dan muslimah itu, sepertinya tak perlu merasa malu atau canggung dengan orang-orang di sekitarnya. Toh orang lain juga cuek. Siang itu, aku hanya sempat berfikir, budaya permissif di kalangan masyarakat Tunisia yang memang sangat tinggi itu, ternyata juga “berlaku” di pantai-pantai gratisan begini.

Aku iseng bertanya pada seorang kawan. “Kapan kamu bisa seperti mereka?”. Sang kawan hanya ketawa kecil, sambil menelan air liur. Pertanyaan yang sulit dijawab, mungkin begitu pikirnya.
* * *
Kala malam tiba, para turis lokal yang berenang mulai berkurang. Tapi bukan berarti kawasan-kawasan pantai ini sepi pengunjung. Menjelang senja, pantai biasa dipadati para pendatang baru, yang tak lagi berpakaian renang. Melainkan berbaju santai. Mereka tiba untuk nongkrong, melepas senja sambil duduk di kafe, lalu begadang sepanjang malam.

Duduk di kafe sambil menyeduh nescafe dalam keremangan senja di tepi pantai, memang sangat menyenangkan. Apalagi jika ada teman yang enak diajak ngobrol. Detik demi detik berlalu takkan terasa lama.

Kawasan pantai yang biasa jadi tujuan banyak orang untuk lokasi begadang adalah pantai Sidi Bou Said dan Le Gullet. Keduanya berada di dekat el Marsa. Sidi Bou Said terkenal sebagai salah satu kawasan tujuan wisata utama pantai di Tunisia. Tak hanya karena keindahan pantai, tetapi juga karena warisan sejarahnya. Di kawasan ini, banyak dijumpai bangunan-bangunan lama bercorak Andalus, dengan paduan warna putih-biru yang khas itu. Ada kawasan khusus pasar tradisional yang menjual aneka souvenir Arab – Tunisia.

Nama Sidi Bou Said diambil dari nama seorang ulama sufi abad pertengahan. Mulanya adalah Sayid Abou Said. Dalam ejaan Tunisia, Sayid biasa diubah menjadi Sidi. Nama Sidi biasa disematkan pada ulama-ulama saleh yang dihormati orang. Di Tunisia, banyak sekali nama tempat yang diawali dengan kata Sidi. Ada Sidi Bou Rouis, Sidi Bou Zaid, Sidi Naji dan lain-lain.

Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Tunisia memiliki kekayaan sejarah yang sarat dengan khazanah keislaman. Betapa negeri ini pernah menjadi lokasi para ulama saleh berdakwah, menyebarkan agama dengan segala kekayaan tradisinya. Hanya saja, semua warisan tradisi itu kini nyaris sirna, tersingkir oleh keangkuhan modernitas dan sekulerisasi Islam yang pernah melanda Tunisia.

Kini, kata “Sidi” hanya sekedar nama, yang hampa makna. Sebuah lagu rakyat yang terkenal di Tunisia, berjudul Sidi Mansour, belakangan didendangkan dengan iringan musik modern. Klipnya sering ditayangkan di beberapa stasiun TV musik Arab. Penyanyinya seorang artis Tunisia, menari lincah, diiringi para penari latar yang berbaju seksi. Padahal semua orang Tunisia tahu bahwa lagu Sidi Mansour adalah syair para ulama sufi dalam mengagungkan Sayid Mansour, seorang ulama sufi abad pertengahan yang sangat dihormati. Andai Sidi Mansour masih hidup, tentu beliau takkan rela syair pujiannya “disalahgunakan” seperti itu.

Pun juga pantai Sidi Bou Said itu. Kawasan ini selalu ramai pengunjung, bukan untuk mengenang kesalehan sang sufi. Melainkan untuk bersuka ria, melepas senja, begadang hingga larut malam. Di sana, mereka tertawa, terlena, lupa segalanya. Lupa nilai-nilai moral yang dulu sangat dijunjung tinggi oleh sang sufi. Lagi-lagi aku berandai-andai. Anda sang sufi masih ada, tentu ia tak rela, kawasan peninggalannya disulap menjadi lokasi hiburan dan hura-hura.

Sedangkan begadang di pantai Le Gullet, juga tak kalah asyik. Seorang kawan serumah punya hobi ngafe di pantai, termasuk di pantai Le Gullet. Menurut dia, uang 5 Dinar (38 ribu rupiah) cukup untuk ongkos bis pulang pergi serta segelas kopi dan makanan ringan. Ia biasa pergi usai Ashar dan tiba ke rumah menjelang tengah malam. “Di sana kita bisa cari kawan duduk, sekedar untuk ngobrol saja”, tuturnya dengan raut muka penuh misteri. hehe....

Ketenaran pantai Le Gullet, ternyata jadi inspirasi para sineas di Tunisia. Beberapa waktu lalu, kehidupan malam di pantai ini diangkat menjadi tema sebuah film layar lebar. Judul filmnya, Musim Panas di Le Gullet. Film yang mengisahkan romantika hubungan perselingkuhan segi tiga antara orang Tunisia, Italia dan Perancis. Apa kaitan kisah ini dengan Le Gullet ?! Ternyata benih-benih cinta diantara mereka tumbuh dari pertemuan-pertemuan santai di pantai Le Gullet


Pantai kota Iskandariah, Mesir, yang juga menghadap Laut Tengah

Orang-orang desaku di pinggiran Sukabumi sana, biasa berpiknik ke pantai pada liburan hari raya. Setibanya di pantai, mereka menggelar tikar, lalu menikmati bekal makanan yang dibawa dari rumah. Canda tawa mereka, bersahutan dengan gemuruh ombak Pantai Selatan. Sebagian anak muda perkotaan di tanah air biasa pergi ke pantai pada malam tahun baru. Di sana mereka begadang, menyongsong fajar tahun baru dengan suka ria dan foya-foya. Warga Mesir di kota Kairo, biasa berlibur, melewatkan musim panas di kota-kota pantai seperti Iskandariah dan Port Said. Mereka menyewa apartemen, sekedar tempat bersantai bersama keluarga selama beberapa hari. Seperti yang sering kusaksikan dulu di Kairo sana.

Rupanya, setiap komunitas masyarakat memiliki cara dan tradisi khas dalam menikmati dan “memperlakukan” keindahan pantai dan laut. Tak terkecuali mereka yang tinggal di Tunis, kota yang kutinggali saat ini. Dengan segala warna-warni romantikanya. Bagaimana dengan Anda?! Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 16 Juli 2006