Tuesday, March 14, 2006

Tunis Liberal

Kebebasan di Tunisia Begitu Menggoda

Berpose di tepi jalanan, di pinggiran kota Tunis..

Jumat menjelang tengah hari, aku bersiap-siap menuju mesjid. Adzan terdengar berkumandang. Kawan- kawan serumah masih bersantai. Ada yang asyik duduk depan komputer, menonton film di TV, ada juga yang sibuk di dapur. “Akang duluan saja, saya lagi tanggung nich, filmnya rame...!” tutur kawan yang sedang nonton TV. Ya sudah, aku pun pergi.

Ini enaknya beribadah di Tunis, gumam hatiku saat berjalan menyusuri trotoar. Sembahyang Jumat saja ada 3 gelombang ; Jumat pertama di awal waktu, Jumat kedua jam 14, dan Jumat ketiga, setengah jam sebelum ashar. Semua bisa disesuaikan dengan kesibukan atau kemauan kita. Asal tahu jadwal Jumat di tiap mesjid saja.

Dan siang itu aku berniat Jumat di Mesjid Kasbah, sebuah mesjid besar dekat kantor Menteri Keuangan dan Perdana Menteri Tunisia. Jumatnya awal waktu, ceramah khutbahnya biasanya berbobot. Maklum, banyak jemaah pejabat berdasi dan berpakaian rapi.

Di trotoar dekat halte, bahuku tiba-ditepuk seseorang dari belakang. Cukup mengagetkan. “Ya Dede, le bes..?!” Suara lembut seorang perempuan. Aku menoleh. Ternyata benar, Sonia, seorang mahasiswi Tunis kawan sekelas dan tak berjilbab. Belum sirna kekagetanku, ia meraih tangan kananku, mengajak bersalaman. “Lebes ‘alaik ya Sonia ?!” apakah kamu baik-baik saja Sonia ?! tanyaku spontan. Maklum, agak salah tingkah. “Alhamdulillah”, tuturnya. Lalu kami ngobrol sebentar, basa basi. Batinku menggerutu, kamu ini maen pegang tangan saja, apa ngga tau saya ini punya wudlu dan mau ke mesjid ?! Ah, dasar gadis Tunis, terlalu ramah.

Usai Jumat, aku pergi ke kampus. Ada jam tambahan mata kuliah Ulumul Quran. Suasana pelataran dalam kampus sangat ramai siang itu. Puluhan mahasiswa dan mahasiswi mondar mandir, juga ada yang duduk-duduk santai. Para mahasiswi berpakaian trendi, jeans serba ketat dan kebanyakan tanpa jilbab. Kalaupun ada, jilbab itu terkesan asal tempel, dengan aneka macam mode terkini. Sedikit sekali mahasiswi yang berjilbab lebar. Melewati kerumunan mereka, serasa berjalan di tengah para peragawati dengan busananya yang modis.

Pintu kelas yang kutuju terbuka. Ternyata kuliah telah dimulai. Dosennya seorang wanita berusia kira-kira 40 tahun dan tak berjilbab. Roknya sebatas lutut. Tak kalah modis dari para mahasiswinya. Tapi beliau seorang dosen terkemuka bidang tafsir dan sangat dihormati di Tunisia.

Lagi-lagi hatiku berbisik, inilah enaknya sekolah di Tunis. Banyak pemandangan segar obat cuci mata, hehe... Mahasiswinya ramah-ramah, pria Tunisnya juga cuek, tak peduli gadis-gadis senegerinya bercengkerama manja dengan pria asing.

Meski kampus agama di negeri berpenduduk 99 persen muslim, Universitas Zaituna tak nampak sebagai kampus islami. Jabat tangan pria-wanita adalah hal biasa. Pojok-pojok ruang baca perpustakaan kampus biasa dipadati pasangan muda-mudi yang berbisik-bisik mesra. Mungkin sedang berdiskusi atau mengerjakan PR bersama.

Awal-awal di Tunis, aku kerap mengalami dilema bathin. Kok negeri muslim begini yach?! Mengapa wanita berjilbab jarang sekali ? Mengapa lelaki berjenggot lalu memegang tasbih kemana-mana juga hampir tak ada ?! Mengapa jam buka mesjid terjadwal ketat?! Mengapa kawula mudanya begitu bebas bergaul?! Mengapa muslim Tunis tak mau menampakkan identitasnya?! Malu mengaku Islam ?! Ataukah takut dianggap teroris oleh pemerintah?!

Ah, aku tak tahu apa jawabnya. Aku memang mengagumi pola hidup orang Tunis yang disiplin. Lalu lintasnya teratur, kotanya tertib, kebersihannya juga terjaga. Sangat jauh berbeda dengan suasana yang kusaksikan di Mesir dulu. Budaya kerja mereka juga tinggi. Tetapi, aku penasaran dengan pola interaksi orang Tunis dengan agama. Mengapa mereka seperti cuek terhadap agamanya.

Di kala senggang, aku membaca buku-buku sejarah Tunisia, lalu bertanya pada beberapa kawan senior. Hingga secara perlahan aku mengetahui bahwa Tunisia adalah negeri yang sangat menjunjung tinggi kebebasan. Kebebasan dalam hampir semua sisi kehidupan. Mungkin sama dengan paham kebebasan yang dianut Barat. Kebebasan atas dalih Hak Asasi Manusia (HAM).

Atas nama kebebasan dan HAM ini, Tunisia menganut prinsip toleransi beragama yang sangat tinggi. Setiap orang bebas memilih agama, serta bebas memilih untuk menjalankan ibadahnya atau tidak. Seorang muslim melakukan salat atau tidak, orang lain tidak perlu peduli.

Aku berfikir, seharusnya prinsip ini bisa menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan syiar agama yang dianutnya. Termasuk menampakkan segala sesuatu yang diyakini - sebagian orang - sebagai identitas keislaman seperti jilbab dan jenggot, mengucapkan ‘assalamu’alaikum’, atau ritual-ritual lain seperti pengajian dan bacaan Alquran. Tetapi nyatanya tidak. Kegiatan keagamaan diawasi, wanita berjilbab dan lelaki berjenggot sering diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah. Bacaan Alquran jarang sekali terdengar. Assalamu’alaikum diganti ‘salam’ atau ‘aslama’ saja. Minat masyarakat untuk sekolah agama juga rendah.

Prinsip kebebasan ini merupakan salah satu buah dari proyek sekulerisasi Islam yang dikampanyekan oleh Habib Borguiba, presiden pertama Tunisia yang memerintah selama 30 tahun (1957-1987). Islam disisihkan dari gelanggang politik, bahkan dari ruang publik. Imbasnya, syiar keagamaan nyaris tak nampak dalam kehidupan keseharian. Kecuali dalam ritual-ritual resmi seperti salat Jumat atau peringatan hari-hari besar agama. Poligami dilarang, kran kebebasan wanita dibuka lebar-lebar. Gadis-gadis manis Tunis begitu leluasa bekerja sebagai sopir bis, kondektur, pegawai PLN, pom bensin atau sopir taksi. Atas dalih peningkatan etos kerja, Borguiba menyeru warga Tunisia untuk tidak berpuasa Ramadan. Sang presiden mengutarakan seruan ini sambil minum saat berpidato di bulan Ramadan.

Sebaliknya, tradisi Barat dijadikan model yang bisa diikuti. Kawula mudanya ‘gaul’, budaya permissif masyarakatnya juga tinggi. Atas nama HAM dan kebebasan, potret Islam yang liberal, humanis serta penuh kompromi, kini menjadi trend pemikiran keislaman yang dikembangkan di negeri bekas jajahan Perancis ini. Materi HAM menjadi salah satu bahan pelajaran utama di semua lembaga pendidikan.

Jelas, bagi seorang muslim yang terbiasa dengan lingkungan 'santri' dengan segala kesalehan ritualnya, iklim keberagamaan di Tunisia seperti ini merupakan tantangan berat. Bagaimana ia harus konsisten dengan jadwal salat misalnya, di tengah suasana yang cuek terhadap salat. Pun muslimah yang berjilbab, harus tahan mental dengan lingkungan yang tidak kooperatif terhadap jilbab. Seolah jilbab adalah simbol fundamentalisme agama yang membahayakan. Di kampus-kampus, mahasiswi berjilbab kadang masih saja mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan – seperti diusir dari kelas, disindir dosen, atau susah lulus. Padahal ia berada dalam komunitas saudara seiman. Sungguh sangat ironis.

Mula-mula aku juga sering merasa canggung dengan lingkungan seperti ini. Aduh, kumaha ieu teh?! Hingga kadang aku rindu Mesir dengan segala kehangatan spiritualitas yang dihadirkannya. Rindu mesjid Al Azhar dengan pengajian-pengajian talaqqi-nya. Rindu menyaksikan polisi-polisi yang memegang mushaf Alquran, serta sapaan assalamu’alaikum yang diucapkan oleh semua kalangan.

Seorang kawan mahasiswa alumni S1 Yaman juga mengaku kaget ketika tiba di Tunis. Semacam cultural shock kira-kira. Maklum, di Yaman ia hidup dalam suasana agamis yang bahkan masih berpola tradisional. Sedangkan di Tunis, ia menemukan kebebasan yang nyaris tanpa batas. Padahal negeri muslim juga. Karena di taman-taman bunga kota Tunis, dua sejoli yang duduk sambil berpelukan, bukanlah hal yang aneh. Seperti yang sering kusaksikan suatu sore, beberapa pekan lalu di Hadiqah Huquq al Insan (Taman Hak Asasi Manusia), tak jauh dari alun-alun Tunis. “Lihat tuh Pak, kok mereka cuek banget ?!” tanyaku pada seorang kawan senior yang menemaniku kala itu. Sang kawan hanya mesem. "Nanti musim panas lebih rame lagi, De... ", katanya. Oyah ?! Aku semakin kaget. Batinku berbisik, musim panas tiga bulan lagi lho.....hehehe..


Di kota yang bersih dan tenang ini, kebebasan individu sangat dijunjung tinggi

Inilah salah satu potret kehidupan di Tunisia yang kutemukan sementara ini. Wajah Islam yang terpinggirkan, tersisih oleh arus modernisasi dan kepentingan politik yang rendah. Potret keagamaan yang menarik, kadang bikin miris, tetapi juga sangat menantang. Merangsang pikirku untuk kembali mengkaji, bagaimana seharusnya sikap umat Islam dalam menghadapi tantangan modernitas yang takkan mungkin terbendung ini.

Sebagai mahasiswa baru, bisa jadi aku tergesa-gesa dalam memandang pola beragama orang Tunis ini. Karena waktu 4 bulan belakangan ini lebih banyak kulewatkan di kampus. Belum banyak bergaul ke luar. Atau bisa juga aku terlalu sempit dalam ‘memahami’ Islam di Tunis ; terlalu ‘mengukur’ Tunis dengan standar Mesir. Bahwa ukuran kesalehan atau keislaman suatu bangsa, hanya ditentukan oleh banyak-tidaknya pemakai jilbab, lelaki berjenggot, sapaan assalamu’alaikum, atau bacaan Alquran yang berkumandang. Padahal, tentu tak sesederhana itu. Seiring berjalannya sang waktu, bisa jadi nanti pola pandangku juga akan berubah.

Hanya saja, untuk sementara ini, aku merasakan hal –yang sepertinya - positif. Di negeri muslim yang serba bebas ini, tiba-tiba aku merasa sedang belajar menemukan ilmu ikhlas, hehe... Ikhlas dalam menjadi seorang muslim yang sesungguhnya. Selama ini aku menyembah Tuhan –diantaranya - karena dukungan iklim religius ; keluarga, pesantren, kampus IAIN, juga lingkungan Kairo yang lekat dengan spiritualitasnya itu. Di Tunis, aku salat bukan karena ajakan kawan-kawan, melainkan karena inisiatif sendiri. Salat pun terasa lebih nikmat dan berkesan. Dulu aku berusaha selalu menjaga pandangan karena malu oleh lingkungan. Kini, di tengah kerumunan gadis cantik Tunis nan ramah dengan aurat tersingkap, seharusnya aku bisa merasa ‘bebas’ melirik sana-sini. Toh suasananya serba mungkin kok.. Tetapi nyatanya malah tidak. Dalam dilema dan kegoncangan jiwa, justru aku merasa pengawasan Tuhan yang semakin tajam.

Ternyata, menyembah Tuhan di tengah godaan kebebasan, akan membuahkan kenikmatan yang tak terlukiskan. Salam Manis dari Tunis.

Selasa 14 Maret 2006

4 comments:

  1. wah, asik ternyata....he..he..he..
    "doa dan harapanku" moga ente tetep istiqomah di jalan-Nya

    ReplyDelete
  2. AnonymousJune 19, 2006

    cultural shock--> duh, sanggup ngga ya aku hidup di Tunis(ia)?

    ReplyDelete
  3. tulisan dede yang paling menarik bagi saya ; karna melukiskan dilema-dilema bathin penulisnya, dalam pencarian kebenaran..

    ReplyDelete
  4. amazing.. sungguhnya amazing tulisan Anda... sangat menarik untuk mengetahui bagaimana pengalamannya seorang Indonesia di Tunis..
    Kalau saya boleh tahu, Anda pakai bahasa2 apa dengan orang lokal.. bahasa dialek Tunisia saja? Atau campur dengan Perancis, Inggeris, Arab Modern Standar?

    ReplyDelete