Wednesday, April 01, 2009

Madrasah di Daerah

Mereka Enggan ke Madrasah


Beberapa santri yang menjadi Kru Mading di pesantren

Cukup lama aku tak menulis di sini. Beberapa sahabat pena menanyakan hal ini via email. "Mana tulisan barunya, Kang?", "Kemana saja?", dan sederet pertanyaan lainnya.

Blog ini hampir kulupakan. Karena sepulangnya dari Timur Tengah, aku terlarut dalam kehidupan madrasah dan pesantren. Aku membantu orang tua ; mengajar, membina dan mengasuh 200an santri yang mondok di pesantren kami, yang berlokasi di sebuah desa yang damai, di kaki Gunung Banten.

Selain mendukung dan melanjutkan program-program pesantren yang sudah mapan, aku juga berusaha memberikan inovasi-inovasi baru yang lebih segar kepada para santri. Kuajak mereka menulis di Mading, menerbitkan buletin dan mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Perpustakaan juga kutata ulang. Pengunjung perpustakaan tak hanya membaca, tetapi juga harus mendiskusikan buku yang baru saja dibaca. Untuk para guru (asatidz), kuperkenalkan mereka akan konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellegence) dan beberapa konsep pengembangan dir lainnya. Agar mereka lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar.

Enggan Bersekolah
Mengelola dan membesarkan madrasah di kawasan pedesaan, menyisakan setumpuk kesan, yang kadang pahit dan kadang juga manis. Satu di antaranya adalah, betapa sulitnya mengajak masyarakat pedesaan untuk pergi belajar ke sekolah.

Masyarakat di desaku, umumnya warga miskin. Maklum, mayoritas penduduk miskin Banten yang mencapai 1,8 juta jiwa – dari total penduduk 9 juta- berada di Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Tingkat pendidikannya juga rendah. Menurut data pemerintah, 46 persen warga di dua daerah ini, hanya berijazah setara SD. Angka Partisipasi Khusus (APK) SLTP tahun 2007 lalu, baru mencapai 76 persen saja.

Imbasnya, terbukti dalam hal partisipasi pendidikan. Dorongan orang tua terhadap anaknya untuk bersekolah, masih sangat rendah. Tak jarang, aku dan rekan-rekan asatidz, harus mendatangi rumah-rumah santri, sekedar untuk bertanya, kenapa kamu berhari-hari tidak masuk sekolah, tanpa alasan yang jelas. Tidak karena sakit, atau juga sibuk.

Sejumlah anak mengaku, enggan berangkat ke sekolah, karena tak disuruh oleh orang tuanya. Artinya, orang tua tak peduli, apakah anaknya pergi sekolah atau tidak. Jadi, keinginan untuk berangkat sekolah, murni atas inisiatif anak.

Yang lebih parah lagi, orang tua lebih senang jika anaknya bekerja daripada berangkat sekolah. Seperti yang terjadi pada seorang santri Madrasah Aliyah di pesantrenku yang jarang sekali masuk kelas. Suatu saat aku tanya, kenapa kamu sering bolos? "Jika saya tak masuk sekolah, berarti saya sedang bekerja, Pak", kilahnya. Bekerja? "Ya. Saya bantu orang tua berjualan di pasar". Subhanallah, hari gini, masih ada orang tua yang seperti itu.

Bayar Pake Kayu Bakar
Santri MTs dibebaskan dari segala biaya pendidikan. Hal ini sejalan dengan Program Wajar Dikdas 9 tahun. Tetapi bagi santri Madrasah Aliyah yang tinggal di rumah masing-masing (bukan di pondok), dikenakan SPP sebesar 20 ribu rupiah per bulan.

Akibat faktor kemiskinan dan rendahnya kesadaran tadi, masih saja ada beberapa orang yang nunggak bayar 20 ribu ini. Beberapa santri nampak minder karena orang tuanya belum membayarkan SPP. Hingga akhirnya, mereka pun enggan berangkat sekolah.

Kami pun segera bermusyawarah, mencari solusi terbaik. Akhirnya, demi kemaslahatan bersama, kami menerapkan kebijakan baru ; santri yang tidak mampu membayar SPP dengan uang, boleh membayar dengan benda lain yang senilai. Alhamdulillah, strategi ini berhasil. Walisantri yang petani kecil, kadang membayar SPP anaknya dengan setumpuk kayu bakar, sekeranjang sayuran atau buah-buahan. Ada juga yang membayar pake padi atau beras.

Seorang tetangga bahkan biasa menyumbang tenaga, sebagai ganti biaya sekolah anaknya. Kadang ia bekerja menyiangi rumput di lapangan, bekerja di sawah milik pondok, atau menggembalakan kambing milik pondok. Tak apa-apa, yang penting anaknya bisa bersekolah. Sikap orang tua seperti itu tentu lebih baik daripada yang tadi ; mengajak anak bekerja daripada pergi sekolah.

Terkungkung Adat
Seorang rekan pengelola madrasah di kawasan Baduy Luar, Banten Selatan menuturkan pengalaman yang serupa. "Semangat mereka untuk sekolah, tidak stabil", katanya. Kadang kelas penuh, kadang kosong. Penyebabnya sama ; faktor kemiskinan dan rendahnya kesadaran.

Kalaupun bersekolah, sebagian mereka tak mau memakai seragam resmi anak sekolah ; merah putih untuk SD dan biru putih untuk SLTP. "Mereka ke sekolah memakai pakaian adat, tanpa alas kaki", kenang sang kawan sembari tersenyum.

Warga Baduy Luar masih mending ; mau berangkat sekolah. Warga Baduy Dalam di desa Kanekes – Lebak Selatan - masih memandang lembaga pendidikan formal bikinan pemerintah sebagai sesuatu yang 'asing', tidak sesuai dengan tuntunan tradisi lokal, dan karena itu tidak diperlukan dalam kehidupan.

Karena kungkungan adat, hingga kini, warga Baduy Dalam enggan memberangkatkan putera-puterinya ke sekolah atau madrasah.

Darul Iman Pandeglang, 1 April 2009

No comments:

Post a Comment