Sunday, February 03, 2013

Salafi Tunis


Salafi Bongkar Kuburan Wali

Masa transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi, tercoreng ulah kaum Salafi. Atas dalih kebebasan dan dalam rangka pemurnian akidah, mereka main hakim sendiri. Kedubes asing dibakar, pameran lukisan diserang, belasan kuburan ulama saleh dibongkar dan dihancurkan.Ulama terkemuka berusia 62 tahun pun dianiaya secara sadis pada malam Maulid Nabi.

Senin 14 Januari 2013 adalah hari istimewa bagi sebelas juta warga Tunisia. Hari itu mereka menikmati libur nasional, mengenang dua tahun revolusi yang menggulingkan presiden dictator, Zaenal Abidin Bin Ali.

Di tengah keasyikan mereka tumpah ruah ke jalan, berpesta dan menggelar acara syukuran, sekelompok anak manusia yang berjenggot dan mengenakan jubah– sebagaimana penuturan saksi  mata - masuk ke komplek makam ulama sufi terkenal Syekh Sidi Abu Said al Baji,  di pinggir utara ibukota. Makam guru Syekh Hasan Syadzili (w 1258 M) itu diobrak-abrik dan dibakar.

Senin malam, radio dan televise menyiarkan tragedy itu. Selasa pagi, beritanya juga muncul di koran-koran. Public terpana, tawa terhenti, pesta pun berganti duka. Kecaman demi kecaman disuarakan, tak terkecuali Presiden sementara Tunisia, Dr. Moncef Marzuki.

Menurut catatan koran terkemuka As Shuruq, ini adalah situs ziarah ke-14 yang dibakar kaum salafi, dalam 2 tahun terakhir. Ya sejak revolusi bergulir di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini, Januari 2011 lalu. Sebelumnya, mereka membakar makam dan zawiyah Sayidah Manubiyah di Manuba, Sidi Hasyani di Kota Manzil Abdurrahman, Sidi Abdul Qodir di Manzil Bouzlifah, dan beberapa lainnya. Makam mendiang Presiden Habib Borguiba – memerintah tahun 1957-1987- di Monastir juga diserang.

Kecaman dan kutukan dari berbagai pihak tidak membuat Salafi jera. Seminggu kemudian, makam ulama sufi Sidi Ali bin Salem di kota Gabes, menjadi sasaran ke-15. Seminggu berikutnya lagi, tepatnya Rabu (30/1) yang baru lalu, makam Syekh Abid al Hazami di desa Zarat – masih Propinsi Gabes – juga dibakar. Bahkan ini lebih parah ; lubang makam dibongkar, tulang belulang sang Syekh yang dikubur 500 tahun silam ini juga dimusnahkan.

Keesokan harinya, anak-cucu Syekh Hazami berkumpul di lokasi. Mereka menangis dan mengutuk pelaku.  Mereka mencoba menyisir serpihan tulang belulang yang masih tersisa. Mereka tidak terima leluhurnya diperlakukan seperti itu. “Ini adalah penghinaan terhadap nama besar keluarga kami”, tutur salah seorang keluarga, sebagaimana dikutip koran. 
  
Bukan Hanya Bakar
Perusakan makam dan zawiya para ulama saleh, hanyalah satu dari serangkaian aksi kaum Salafi Tunis dalam menjalankan apa yang mereka sebut sebagai pemurnian (purifikasi) akidah.

Jauh-jauh hari sebelum itu, mereka berusaha “masuk” ke masjid-masjid, mengambil alih peran imam dan khatib Jumat. Isi ceramah dan khutbah mereka sangat khas ; senang memvonis bid’ah, murtad dan bahkan kafir pada umat Islam yang tidak sefaham dengan mereka.

Data Kementerian Agama Tunis akhir 2012 lalu, dari sekitar 4900an masjid jumat se antero negeri, ada 100-an masjid yang telah “dikuasai” oleh khatib dari kalangan Salafi. Padahal dalam aturan yang berlaku selama ini di Tunisia – dan umumnya Negara-negara Arab – bahwa petugas imam dan khatib Jumat ditunjuk secara resmi oleh Pemerintah. Sejak revolusi 2011 hingga kini, pengawasan Pemerintah memang agak longgar. Maklum, masa transisi. Legitimasi pemerintah sementara belum kuat.

Bulan Juni 2012 lalu, mereka menyerang dan memporakporandakan aula lokasi pameran lukisan di al Marsa, kota kecil dekat ibukota. September 2012, mereka juga menyerang dan membakar kantor Kedubes Amerika. Kini, 94 pelakunya – semua dari kalangan Salafi - telah diadili dan dijebloskan ke penjara. Sejak saat itu, kantor kedutaan AS dan beberapa kedubes negara sekutunya – termasuk Saudi Arabia – dikelilingi teralis berduri besi dan dijaga ketat aparat.

Lebih memprihatinkan lagi, mereka tak segan menyerang saudara-saudara sesama Muslim. Tak cukup mengkafir-kafirkan umat Islam dari atas mimbar pidato, tetapi juga melakukan terror fisik terhadap para ulama.  Satu di antaranya - yang hari-hari ini masih menjadi pemberitaan nasional - adalah penganiayaan yang dialami oleh Syekh Abdul Fatah Moro, ulama terkemuka yang dikenal moderat, toleran dan kharismatik. Beliau dikenal luas di Tunis, dan bahkan di beberapa negara Arab lain.

Syekh berusia 62 tahun ini dianiaya oleh sekelompok pemuda Salafi hingga berdarah-darah, pada malam 12 Rabi’ul Awal yang baru lalu. Penganiayaan terjadi dalam keremangan dekat sebuah masjid di daerah Jamal – kota kecil - yang di dalamnya sedang berlangsung peringatan Maulid Nabi. Syekh Moro hadir untuk menyampaikan ceramah Maulid di sana.

Keesokan harinya, sebuah koran nasional menjadikan peristiwa itu sebagai headline dengan judul al Ihtifalu bi al Maulid Bid’ah, wa Dlarbu Syekh Moro Sunnah Mu’akkadah. Perayaan Maulid adalah bid’ah yang sesat, sedangkan memukuli Syekh Moro adalah sunah muakkad. Para pengamat menilai, terror terhadap Syekh Moro hakikatnya adalah terror terhadap para ulama dan bahkan terhadap Islam di Tunis yang selama ini dikenal mengusung nilai-nilai tasamuh dan wasathiyah.

Bukan Hanya Sekarang
Salafi adalah nama baru dari Wahabi. Sebuah gerakan reformasi keagamaan dalam Islam yang mengusung visi pemurnian akidah dari segala takhayul, bid’ah dan khurafat, disingkat TBC. Dinamakan Wahabi karena dinisbatkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M), pendiri gerakan ini, di Saudi Arabia.

Kala itu, Syekh ibn Abdil Wahab yang didukung oleh Raja, menghancurkan situs-situs sejarah di Mekah dan Madinah, termasuk kuburan para ulama dan sahabat yang biasa diziarahi umat. Tentu saja, tindakan ini ditentang oleh dunia Islam, termasuk para ulama Indonesia. Para ulama Indonesia mengirim tim ke Saudi, untuk meminta penghentian atas tindakan perusakan itu. Tim yang dinamai Komite Hijaz ini, kelak kemudian menjadi cikal bakal organisasi Nahdlatul Ulama.

Jadi, bukan hanya sekarang kaum Salafi senang membakar kuburan. Dan juga bukan hanya di Tunis. Tetapi sejak awal gerakan ini berdiri, dan berlangsung di berbagai penjuru dunia.

Para ulama Sunni di Tunis, telah menentang gerakan Wahabi, sejak Syekh ibn Abdil Wahab masih ada. Adalah Syekh Abu Hafs Umar bin Qasim al Mahjub, salah seorang ulama terkemuka Tunis yang wafat tahun 1807 M, pernah mengkritik dan menentang ajaran-ajaran Wahabi, dalam sebuah risalah  yang dikirimkan oleh Raja Hamuda Pasha – penguasa Tunis kala itu – kepada Syekh ibn Abdil Wahab di Saudi. Tapi Syekh ibn Abdil Wahab tidak berkomentar balik. (Naskah lengkap risalah Syekh Mahjub itu dikutip secara utuh oleh sejawaran Tunis, ibnu Abi Dhiyaf, dalam bukunya yang terkenal, Ithaf Ahli Zaman).

Syekh Ahmad at Tamimi, ulama lainnya yang wafat tahun 1832 M  juga menulis risalah berjudul al Minah al Ilahiyah fi Thamsi ad Dhalalah al Wahabiyah, yang dikirimkan ke Saudi, oleh penguasa Tunis kala itu.

Para ulama Tunis abad ini juga bersikap sama ; menentang gerakan kekerasan ala kaum Salafi-Wahabi. Ketidaksetujuan mereka itu dituangkan dalam sebuah pernyataan sikap bersama, baru-baru ini, isinya menolak segala macam bentuk kekerasan atas nama agama.

Bukan Hanya Tunis
Tunisia pasca revolusi. Keran kebebasan tiba-tiba terbuka lebar.  Aksi unjuk rasa yang pernah “diharamkan” selama setengah abad, kini menjadi pemandangan harian.  Para aktifis muslim militant yang selama puluhan tahun terisolasi di luar negeri, kini berdatangan, mudik ke kampung halaman. Gerakan-gerakan keagamaan yang selama ini dibungkam, sekarang bebas menggelar kegiatan.

Fenomena yang lumrah, dan bukan hanya terjadi di Tunis. Bisa terjadi – dan bahkan telah terjadi - di berbagai penjuru bumi. Termasuk negeri kita tercinta, ketika kita mengalami masa transisi yang diwarnai euphoria kebebasan, 15 tahun silam.

Ibarat burung yang terlepas dari sangkar, atau narapidana yang baru keluar penjara, kita semua – termasuk kaum Salafi di Tunis - menikmati alam kebebasan. Seperti syair Rhoma Irama dalam lagu berjudul “Bebas”, yang kuhafal sejak SD tahun 1990-an.

“Bebas aku bebas, bebas sekarang bebas
Menghirup kembali, udara merdeka,
tanpa dinding pemisah,
bagai burung-burung, terbang leluasa…”


Tunis al Khadra, Ahad 03 Februari 2013  

No comments:

Post a Comment