Salafi Bongkar Kuburan Wali
Masa transisi Tunisia dari revolusi menuju demokrasi, tercoreng ulah
kaum Salafi. Atas dalih kebebasan dan dalam rangka pemurnian akidah, mereka
main hakim sendiri. Kedubes asing dibakar, pameran lukisan diserang, belasan
kuburan ulama saleh dibongkar dan dihancurkan.Ulama terkemuka berusia 62 tahun
pun dianiaya secara sadis pada malam Maulid Nabi.
Senin 14 Januari 2013 adalah hari istimewa bagi sebelas juta warga Tunisia.
Hari itu mereka menikmati libur nasional, mengenang dua tahun revolusi yang
menggulingkan presiden dictator, Zaenal Abidin Bin Ali.
Di tengah keasyikan mereka tumpah ruah ke jalan, berpesta dan menggelar
acara syukuran, sekelompok anak manusia yang berjenggot dan mengenakan jubah–
sebagaimana penuturan saksi mata - masuk
ke komplek makam ulama sufi terkenal Syekh Sidi Abu Said al Baji, di pinggir utara ibukota. Makam guru Syekh
Hasan Syadzili (w 1258 M) itu diobrak-abrik dan dibakar.
Senin malam, radio dan televise menyiarkan tragedy itu. Selasa pagi, beritanya
juga muncul di koran-koran. Public terpana, tawa terhenti, pesta pun berganti
duka. Kecaman demi kecaman disuarakan, tak terkecuali Presiden sementara
Tunisia, Dr. Moncef Marzuki.
Menurut catatan koran terkemuka As Shuruq, ini adalah situs
ziarah ke-14 yang dibakar kaum salafi, dalam 2 tahun terakhir. Ya sejak
revolusi bergulir di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini, Januari 2011 lalu.
Sebelumnya, mereka membakar makam dan zawiyah Sayidah Manubiyah di Manuba, Sidi
Hasyani di Kota Manzil Abdurrahman, Sidi Abdul Qodir di Manzil Bouzlifah, dan beberapa
lainnya. Makam mendiang Presiden Habib Borguiba – memerintah tahun 1957-1987- di
Monastir juga diserang.
Kecaman dan kutukan dari berbagai pihak tidak membuat Salafi jera. Seminggu
kemudian, makam ulama sufi Sidi Ali bin Salem di kota Gabes, menjadi sasaran ke-15.
Seminggu berikutnya lagi, tepatnya Rabu (30/1) yang baru lalu, makam Syekh Abid
al Hazami di desa Zarat – masih Propinsi Gabes – juga dibakar. Bahkan ini lebih
parah ; lubang makam dibongkar, tulang belulang sang Syekh yang dikubur 500
tahun silam ini juga dimusnahkan.
Keesokan harinya, anak-cucu Syekh Hazami berkumpul di lokasi. Mereka
menangis dan mengutuk pelaku. Mereka
mencoba menyisir serpihan tulang belulang yang masih tersisa. Mereka tidak
terima leluhurnya diperlakukan seperti itu. “Ini adalah penghinaan terhadap nama
besar keluarga kami”, tutur salah seorang keluarga, sebagaimana dikutip koran.
Bukan Hanya Bakar
Perusakan makam dan zawiya para ulama saleh, hanyalah satu dari
serangkaian aksi kaum Salafi Tunis dalam menjalankan apa yang mereka sebut
sebagai pemurnian (purifikasi) akidah.
Jauh-jauh hari sebelum itu, mereka berusaha “masuk” ke masjid-masjid,
mengambil alih peran imam dan khatib Jumat. Isi ceramah dan khutbah mereka
sangat khas ; senang memvonis bid’ah, murtad dan bahkan kafir pada umat Islam
yang tidak sefaham dengan mereka.
Data Kementerian Agama Tunis akhir 2012 lalu, dari sekitar 4900an masjid
jumat se antero negeri, ada 100-an masjid yang telah “dikuasai” oleh khatib
dari kalangan Salafi. Padahal dalam aturan yang berlaku selama ini di Tunisia –
dan umumnya Negara-negara Arab – bahwa petugas imam dan khatib Jumat ditunjuk
secara resmi oleh Pemerintah. Sejak revolusi 2011 hingga kini, pengawasan
Pemerintah memang agak longgar. Maklum, masa transisi. Legitimasi pemerintah
sementara belum kuat.
Bulan Juni 2012 lalu, mereka menyerang dan memporakporandakan aula
lokasi pameran lukisan di al Marsa, kota kecil dekat ibukota. September 2012, mereka
juga menyerang dan membakar kantor Kedubes Amerika. Kini, 94 pelakunya – semua
dari kalangan Salafi - telah diadili dan dijebloskan ke penjara. Sejak saat
itu, kantor kedutaan AS dan beberapa kedubes negara sekutunya – termasuk Saudi
Arabia – dikelilingi teralis berduri besi dan dijaga ketat aparat.
Lebih memprihatinkan lagi,
mereka tak segan menyerang saudara-saudara sesama Muslim. Tak cukup
mengkafir-kafirkan umat Islam dari atas mimbar pidato, tetapi juga melakukan
terror fisik terhadap para ulama. Satu
di antaranya - yang hari-hari ini masih menjadi pemberitaan nasional - adalah
penganiayaan yang dialami oleh Syekh Abdul Fatah Moro, ulama terkemuka yang
dikenal moderat, toleran dan kharismatik. Beliau dikenal luas di Tunis, dan bahkan
di beberapa negara Arab lain.
Syekh berusia 62 tahun ini
dianiaya oleh sekelompok pemuda Salafi hingga berdarah-darah, pada malam 12 Rabi’ul
Awal yang baru lalu. Penganiayaan terjadi dalam keremangan dekat sebuah masjid di
daerah Jamal – kota kecil - yang di dalamnya sedang berlangsung peringatan
Maulid Nabi. Syekh Moro hadir untuk menyampaikan ceramah Maulid di sana.
Keesokan harinya, sebuah
koran nasional menjadikan peristiwa itu sebagai headline dengan judul al
Ihtifalu bi al Maulid Bid’ah, wa Dlarbu Syekh Moro Sunnah Mu’akkadah. Perayaan
Maulid adalah bid’ah yang sesat, sedangkan memukuli Syekh Moro adalah sunah
muakkad. Para pengamat menilai, terror terhadap Syekh Moro hakikatnya adalah
terror terhadap para ulama dan bahkan terhadap Islam di Tunis yang selama ini
dikenal mengusung nilai-nilai tasamuh dan wasathiyah.
Bukan Hanya Sekarang
Salafi adalah nama baru dari Wahabi. Sebuah gerakan reformasi keagamaan
dalam Islam yang mengusung visi pemurnian akidah dari segala takhayul, bid’ah
dan khurafat, disingkat TBC. Dinamakan Wahabi karena dinisbatkan kepada Syekh
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792 M), pendiri gerakan ini, di Saudi Arabia.
Kala itu, Syekh ibn Abdil Wahab yang didukung oleh Raja, menghancurkan
situs-situs sejarah di Mekah dan Madinah, termasuk kuburan para ulama dan
sahabat yang biasa diziarahi umat. Tentu saja, tindakan ini ditentang oleh
dunia Islam, termasuk para ulama Indonesia. Para ulama Indonesia mengirim tim
ke Saudi, untuk meminta penghentian atas tindakan perusakan itu. Tim yang
dinamai Komite Hijaz ini, kelak kemudian menjadi cikal bakal organisasi
Nahdlatul Ulama.
Jadi, bukan hanya sekarang kaum Salafi senang membakar kuburan. Dan juga
bukan hanya di Tunis. Tetapi sejak awal gerakan ini berdiri, dan berlangsung di
berbagai penjuru dunia.
Para ulama Sunni di Tunis, telah menentang gerakan Wahabi, sejak Syekh
ibn Abdil Wahab masih ada. Adalah Syekh Abu Hafs Umar bin Qasim al Mahjub,
salah seorang ulama terkemuka Tunis yang wafat tahun 1807 M, pernah mengkritik
dan menentang ajaran-ajaran Wahabi, dalam sebuah risalah yang dikirimkan oleh Raja Hamuda Pasha –
penguasa Tunis kala itu – kepada Syekh ibn Abdil Wahab di Saudi. Tapi Syekh ibn
Abdil Wahab tidak berkomentar balik. (Naskah lengkap risalah Syekh Mahjub itu
dikutip secara utuh oleh sejawaran Tunis, ibnu Abi Dhiyaf, dalam bukunya yang
terkenal, Ithaf Ahli Zaman).
Syekh Ahmad at Tamimi, ulama lainnya yang wafat tahun 1832 M juga menulis risalah berjudul al Minah al
Ilahiyah fi Thamsi ad Dhalalah al Wahabiyah, yang dikirimkan ke Saudi, oleh
penguasa Tunis kala itu.
Para ulama Tunis abad ini juga bersikap sama ; menentang gerakan
kekerasan ala kaum Salafi-Wahabi. Ketidaksetujuan mereka itu dituangkan dalam
sebuah pernyataan sikap bersama, baru-baru ini, isinya menolak segala macam
bentuk kekerasan atas nama agama.
Bukan Hanya Tunis
Tunisia pasca revolusi. Keran kebebasan tiba-tiba terbuka lebar. Aksi unjuk rasa yang pernah “diharamkan”
selama setengah abad, kini menjadi pemandangan harian. Para aktifis muslim militant yang selama puluhan
tahun terisolasi di luar negeri, kini berdatangan, mudik ke kampung halaman. Gerakan-gerakan
keagamaan yang selama ini dibungkam, sekarang bebas menggelar kegiatan.
Fenomena yang lumrah, dan bukan hanya terjadi di Tunis. Bisa terjadi – dan bahkan telah terjadi - di berbagai
penjuru bumi. Termasuk negeri kita tercinta, ketika kita mengalami masa transisi yang diwarnai euphoria kebebasan, 15
tahun silam.
Ibarat burung yang terlepas dari sangkar, atau narapidana yang baru
keluar penjara, kita semua – termasuk kaum Salafi di Tunis - menikmati alam
kebebasan. Seperti syair Rhoma Irama dalam lagu berjudul “Bebas”, yang kuhafal
sejak SD tahun 1990-an.
“Bebas aku bebas, bebas sekarang bebas
Menghirup kembali, udara merdeka,
tanpa dinding pemisah,
bagai burung-burung, terbang leluasa…”
No comments:
Post a Comment