Berziarah ke Zawiya Abu Hasan Syadzili
Ziarah ke zawiya
(padepokan) Syekh Abu Hasan Syadzili yang kucita-citakan sejak lama,
Alhamdulillah terlaksana pada hari Jumat (18/1) lalu. Syekh Abu Hasan Syadzili
(591 H-656 H / 1197 M-1258 M) adalah salah seorang ulama sufi yang terkenal,
pendiri tarekat Syadziliyah yang memiliki banyak pengikut, termasuk di
Indonesia.
Zawiya bukanlah makam,
melainkan semacam padepokan, tempat sang sufi bersemedi (khalwat, tahannuts),
menjalankan ritual ibadah dan menyampaikan pelajaran kepada para murid. Makam
Syekh Syadzili berada di pinggir kota Kairo, sering aku ziarahi dulu saat aku
tinggal di Mesir (2002-2005).
Bagiku, ziarah ke
makam dan zawiya para ulama saleh dapat menjadi momentum untuk menyegarkan
kesadaran akan pentingnya teladan akhlak dan ilmu, sebagaimana yang mereka
wariskan.
Atas Bukit
Aku berangkat usai
shalat Jumat. Dari halaman kampus Universitas Zitouna, aku naik taksi. Jaraknya
sebenarnya dekat, sekitar 3 km, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tetapi siang
itu, langit kota Tunis diliputi awan tebal. Aku khawatir keburu turun hujan. Selain itu,
yang kutahu, lokasi zawiya berada di atas bukit. Aku enggan berjalan kaki
menanjak. Biar nanti saja jalan kaki mah saat pulang, begitu pikirku.
“Sidi Belhasan”,
tuturku kepada sopir taksi saat membuka pintu. Ia mengangguk. Sidi Belhasan
adalah nama tenar Abu Hasan Syadzili di Tunis. Sidi berasal dari kata “Sayid”,
sedangkan Belhasan berasal dari kata “Abu al Hasan”. Semua orang Tunis –
apalagi sopir taksi – mengetahui lokasi zawiya Sidi Belhasan.
Zawiya Abu Hasan
Syadzili berada di Zalaj, sebuah komplek pemakaman terbesar dan terluas di kota
Tunis. Pemakaman ini menyelimuti kaki bukit hingga ke bagian permukaan atas
bukit. Dan zawiya itu berada di puncaknya. Dari Habib Borguiba Avenue, alun-alun
utama kota Tunis, lokasi zawiya ini hanya terpaut jarak 5 km.
Karena posisinya yang
berada di puncak bukit itulah, zawiya Abu Hasan Syadzili terlihat dari
kejauhan. Bangunannya putih, dengan kubah biru di atasnya.
Dalam Masjid
Sekitar 10 menit
kemudian, taksi yang kutumpangi memasuki komplek pemakaman. Jalan aspal mulus
selebar 3 meter dan mulai menanjak. Kiri-kanan jalan, kulihat banyak orang
Tunis yang sedang berziarah. Umat Islam di Tunis memang biasa berziarah ke
pemakaman pada Jumat siang hingga sore menjelang Ashar.
Tak lama kemudian, aku
tiba di puncak bukit. Aku lihat, ada bangunan putih yang ada kubah birunya itu.
Alhamdulillah, berarti aku telah tiba di lokasi yang kutuju. Tarif taksi
sebesar 1,9 Dinar – sekitar 12 ribu rupiah – segera kubayar.
Angin dingin berdesir
yang menusuk pori-pori, menyambut kedatanganku. Rambutku yang tak rapi pun
menjadi semakin tak karuan. Pada ketinggian, angin memang akan semakin kencang
dan suhu musim dingin juga terasa semakin dingin lagi. Kucoba kutahan.
Aku berdiri
membelakangi bangunan putih itu, seraya mengamati suasana sekitar. Jauh di
depan bawah sana, nampak kota Tunis yang terhampar. Beberapa bangunan utama
kota Tunis, bisa kuidentifikasi jelas. Ada Hotel Afrika yang menjulang tinggi, Rumah
Sakit Militer di dekat halte Bab Alioua, juga menara Masjid Zitouna. Kemudian
kulayangkan pandangan ke kanan bawah, nampak laut Mediterania, airnya yang biru
nan tenang meneduhkan pandangan. Di sebelah kiri, sejauh mata memandang,
hanyalah bebukitan yang diliputi pemakaman luas, diselingi pepohonan hijau.
Aku berbalik arah. Bismillah,
aku memasuki zawiya. Sebuah bangunan yang kini berfungsi sebagai masjid
sekaligus majelis dzikir. Luas masjidnya sekitar 200 meter persegi. Berdinding
keramik warna-warni dan beralaskan karpet merah. Di samping masjid, ada
pelataran luas tanpa atap, terbuka ke langit. Sebagaimana lazimnya kebanyakan
masjid di Timur Tengah. Di pojok pelataran itu, ada tempat wudhu. Meski berada
di ketinggian, sumber air ini tak pernah kering.
Aku memasuki masjid
itu, kemudian shalat dua raka’at Tahiyyatul Masjid. Meski ada beberapa
pengunjung lain, suasana saat itu terasa hening.
Usai shalat, aku mendekati
mihrab. Mihrab yang dinamakan dengan Magarah ‘Uluwiyyah, tempat biasa
Syekh Syadzili duduk beri’tikaf, berdzikir dan menyampaikan pelajaran kepada
para muridnya.
Saat ini, para anggota
tarekat Syadziliyah di Tunis biasa berkumpul di sini. Mereka menggelar majelis
dzikir, setiap Sabtu pagi (musim dingin) dan Ahad malam (musim panas). Menurut
informasi seorang rekan, isteri mantan Presiden Ben Ali, Laila Ali, sering
berkunjung ke zawiya ini dan menghadiri majelis-majelis dzikirnya.
Dalam Gua
Tempat khalwat Syekh
Abu Hasan di zawiya ini ada dua. Pertama Magarah ‘Uluwiyyah yang di
dalam masjid tadi. Satu lagi dinamakan Magarah Shufiyah. Lokasinya di
dalam sebuah gua kecil, sekitar 20 meter dari pada arah belakang masjid.
Kedalaman gua sekitar
5 meter, diameter lorongnya sekitar 1 meter. Sehingga saat masuk, pengunjung
harus berjalan membungkuk. Dinding gua ditembok rapi dan di-cat warna putih
bersih. Untuk menerangi suasana dalam gua, ada lilin-lilin yang menyala. Aku berkesempatan memasuki gua itu. Tentu
setelah meminta izin kepada penjaga gua, yang kutemui tadi di luar.
Di ujung dalam gua,
ada ruangan kecil, kira-kira seukuran 1x2 meter. Tingginya 2 meter. Pas untuk
posisi berdiri seorang pria dewasa. Inilah Magarah Shufiyah itu, tempat Syekh
Abu Hasan biasa bersemedi.
Bismillah, aku
menunaikan shalat 2 raka’at, kemudian berdoa, semoga bisa mewarisi teladan
akhlak dan ilmu sebagaimana beliau yang dulu di sini. Beliau yang dulu pernah
berkhalwat hingga 80 hari di ruang sempit ini, hingga kemudian mencapai derajat
Wali Allah.
Saat asyik bermunajat,
terdengar ada suara memanggil-manggil. Menggema, maklum dalam gua. Wah, suara
ghaibkah? Aku bertanya-tanya. Aku melihat ke atas, bawah, kanan dan kiri. Eh
ternyata, sang penjaga gua di ujung sebelah sana, hehe. Ia memanggilku seraya
memberi isyarat agar aku segera keluar dari Magarah. Ya sudah, aku pun beranjak
keluar. Rupanya ada rombongan keluarga orang Tunis yang antri mau masuk gua.
Dalam Kenangan
Abu al Hasan Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar as Syadzili al Magribi al Hasani al Idrisi. Itulah
nama lengkap Syekh Abu Hasan Syadzili, sebagaimana ditulis para ahli sejarah.
Beliau lahir di Sebta, Maroko, tahun 591 H/1197 M. Beliau berasal dari keluarga
terhormat, masih memiliki garis keturunan dari Rasulullah saw, silsilah ke-22.
Sejak usia 6 tahun,
beliau tinggal di Tunis, mempelajarai beragam ilmu dari para ulama Tunis saat
itu. Di antaranya adalah Syekh Abu Sa’id al Baji, salah seorang ulama sufi
terkemuka, yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu tempat tujuan wisata
terkemuka di Tunis, Sidi Bou Said. Sedangkan “Syadzili” sebenarnya adalah nama
desa di Tunis, tempat beliau tinggal dan beranjak dewasa.
Keluasan dan kedalaman
ilmunya membuat nama Syekh Syadzili dikenal orang. Tahun 625 H/1227 M, beliau
membangun zawiya sebagai tempat beribadah sekaligus menyampaikan pelajaran
kepada para muridnya.
Pada tahun 642 H
beliau hijrah menuju Iskandariah, Mesir. Di negeri seribu menara itulah, beliau
mengajarkan ilmunya kepada sejumlah murid yang kelak menjadi ulama terkemuka juga.
Di antaranya ada ibn Daqiq el ‘Eid dan Abu Abbas al Mursi. Ulama Syafiiyyah
Mesir terkemuka saat itu, Izzuddin bin Abdis Salam ( w 660 H), juga menganggap
Syekh Syadzili sebagai gurunya.
Di antara warisan
Syekh Syadzili yang populer di kalangan umat Islam – terutama kaum tarekat sufi
– adalah wirid Hizb Nashr dan Hizb Bahr. Menurut catatan sejarah, beliau menekuni dunia
tasawuf setelah ilmu fiqihnya matang. Tak heran jika beliau dikenal mampu
mengintegrasikan aktifitas keseharian ke dalam ajaran tasawuf secara khusyu dan
cermat.
Pada suatu malam usai
isya di tahun 656 H/1258 M, beliau berbaring di tempat tidur. Sambil terbaring,
beliau berkali-kali mengucapkan kalimat, “Ilahi, Ilahi”, atau “Ya Ilahi, Mata
Yakunul Liqo?” Wahai Tuhanku, kapan pertemuan (dengan-Mu) akan terjadi? Kalimat-kalimat
itu beliau ucapkan hampir sepanjang malam, hingga para muridnya yang berada di
luar kamar merasa khawatir dan bertanya-tanya.
Menjelang fajar,
beliau terdiam tenang. Para muridnya menyangka beliau tertidur pulas. Padahal,
beliau telah wafat, meninggalkan dunia yang fana, menuju keabadian, dalam usia
63 tahun. Allahummaftah Lana Futuhal ‘Arifin. Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra,
Ahad 20 Januari 2013
No comments:
Post a Comment