Sunday, June 23, 2013

Tunis Ujian Nasional

Lulus UN, Pestanya Seperti Kawinan

Kampus Universitas Zitouna, Tunis, kala musim liburan

Lulus Ujian Nasional SMA di Tunis laksana lolos dari lobang jarum. Hajat dua hari laksana pesta kawinan pun tak ragu digelar. System pendidikan yang baik dan model ujian yang sehat, membuat UN dipercaya semua pihak.  

Senja Jumat dan Sabtu pagi, aku menikmati hiburan gratisan. Dari balik jendela, aku menyaksikan kaum wanita – anak kecil, remaja hingga ibu-ibu – dari keluarga bapak kostku menari berjingkrak-jingkrak ala tari perut, diiringi dangdut Arab yang menyalak-nyalak. Mereka melantai di pelataran tanpa atap di lantai dasar. Kebetulan rumah yang kutempati berada di lantai dua. 

Sejak Jumat sore, tamu-tamu berdatangan. Meja makan digelar. Sabtu malam, aku sekeluarga diundang makan bersama di acara itu.

“Anak perempuan saya, lulus Ujian Nasional”, tutur Jamal, bapak kostku dengan sumringah, kala kutanya tentang tujuan pesta ini.

Wow, lulus ujian nasional saja pake pesta segala?! Begitu pikirku. Sepertinya orang Indonesia tidak begitu-begitu amat. Kalaupun ada, hanya sekedar syukuran kecil, makan bersama, dengan tamu terbatas.

Aku malah tidak bangga dengan berita-berita kelulusan ujian nasional di tanah air. Seperti info seminggu lalu dari lembaga pendidikan yang dikelola keluarga di Banten sana, bahwa salah seorang siswi di lembaga kami meraih nilai UN tertinggi se-kabupaten. Atau kepala daerah yang senang karena kelulusan ujian nasional di daerahnya mencapai 99 koma sekian persen. Ah, itu hanya lipstick belaka.

Nurani terdalam para penggiat dunia pendidikan di Indonesia akan membenarkan kenyataan bahwa UN di tanah air hanyalah rekayasa dan bahkan menjadi komoditas politik. Angka-angka yang diraih para siswanya – meski aku tidak menggeneralisir semua - dibangun di atas ketidakjujuran dan kecurangan. Para guru dan kepala sekolah justru menjadi stress setiap menghadapi UN. Pantas jika dukungan UN dibubarkan semakin menguat belakangan ini. UN adalah dilema sekaligus ironi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini.

***
Awal Juni lalu, Tunisia menggelar UN Bakalurea yang diikuti oleh 143 ribu orang siswa. Oya, SMA di Tunis ditempuh selama 4 tahun. Tahun keempatnya ini dinamakan Bakalurea.  Hasilnya, hanya 39 persen koma sekian yang lulus. Sisanya, 40 persen harus ujian ulangan, dan 20 persen koma sekian lagi tidak lulus.

Sebagai “hadiah” bagi mereka yang 39 persen, mereka dapat masuk ke perguruan tinggi favorit mereka secara leluasa. Jadi, hasil UN adalah sekaligus tiket masuk universitas. Pada masa presiden Borguiba (1957-1987), siswa lulus UN pada sesi pertama ini malah bisa langsung masuk ke sejumlah universitas terkemuka di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya.

Sejumlah 40 persen siswa berikutnya, harus mengikuti ujian ulangan pada akhir Juni ini. Jika lulus, mereka baru bisa kuliah. Hanya saja, pilihan program studi atau universitasnya, tidak sebebas mereka yang 39 persen itu. Adapun siswa lain yang sejumlah 20 persen, mau tidak mau, suka tidak suka, harus belajar lagi, dan mengikuti UN tahun berikutnya.

***
Tidak lulus UN memang hal yang membuat kecewa. Tapi itu tidak menjadi alasan untuk stress. Tidak ada cerita adanya siswa yang stress atau bunuh diri karena tidak lulus UN.

Sebaliknya, kelulusan UN adalah sesuatu yang membanggakan dan patut disyukuri. Tapi itu juga tidak membuat para kepala sekolah atau kepala daerah jadi mematok target kelulusan sekian puluh prosen, lalu mereka melakukan berbagai cara dan rekayasa untuk mewujudkannya. Ujian berjalan apa adanya, dan semua pihak memercayakan sepenuhnya kepada pemerintah.

Ujian berlangsung normal. Semua pihak memiliki kepedulian dan terlibat di dalamnya. Pemantau independen juga ada. Setiap ruang ujian kelas dipasangi CCTV. Menurut koran yang kubaca, pada UN tahun 2013 ini, pemerintah Tunis menyedian 27 ribu unit CCTV, yang dipasang di ruang-ruang ujian, kantor-kantor sekolahan dan tempat-tempat lain yang dianggap penting.

Wah, berapa biaya pengadaan CCTV-nya? Tidak seberapa, jika dibanding dengan APBN sector pendidikan yang mencapai 26 persen. Dengan alokasi itu, semua fasilitas pendidikan terjamin, masyarakat bisa menikmati pendidikan murah meriah hingga jenjang S3.

Sekedar menyebutkan contoh, bea kuliah pada jenjang S1 di Tunis hanyalah 35 Dinar (setara Rp 200 ribu) per tahun, sedangkan S2-S3 adalah 108 Dinar (setara Rp 650 ribu) per tahun. Ini berlaku untuk semua fakultas dan program studi. Satu lagi, kesejahteraan guru dan dosen di sini tak perlu diragukan. Guru adalah profesi terhormat dan menjadi favorit para pelamar kerja di Tunis.

Dengan dukungan APBN seperti itu, Tunisia memiliki sederet prestasi di bidang pendidikan. Wajib Belajar SMA telah berlaku sejak lama. Tidak ada keluhan tentang bea pendidikan yang mahal. Sumber Daya Manusianya terdongkrak, angkatan kerjanya berpendidikan dan umumnya fasih bahasa Perancis. Pada gilirannya, tingkat ekonomi juga membaik. Dari 50an negara Afrika, Tunisia adalah negeri dengan pendapatan per kapita tertinggi ketiga. Kendati Sumber Daya Alam terbatas, ia mampu mendorong Sumber Daya Manusianya lewat pendidikan.

Lalu, apakah Ujian Nasional di Indonesia harus dibuarkan ataukah tetap dipertahankan?! Aku sih berfikir sederhana ; tingkatkan dulu alokasi APBN untuk sector pendidikan. Jika itu sudah terlaksana sesuai aturan, jawaban pertanyaan di atas akan kita temukan dengan sendirinya. Wallahu A’lam.


Tunis al Khadra, 23 Juni 2013 

No comments:

Post a Comment