Lulus UN, Pestanya Seperti Kawinan
Kampus Universitas Zitouna, Tunis, kala musim liburan
Lulus Ujian Nasional SMA di Tunis laksana lolos dari lobang jarum. Hajat
dua hari laksana pesta kawinan pun tak ragu digelar. System pendidikan yang
baik dan model ujian yang sehat, membuat UN dipercaya semua pihak.
Senja Jumat dan Sabtu pagi, aku menikmati hiburan gratisan. Dari balik
jendela, aku menyaksikan kaum wanita – anak kecil, remaja hingga ibu-ibu – dari
keluarga bapak kostku menari berjingkrak-jingkrak ala tari perut, diiringi
dangdut Arab yang menyalak-nyalak. Mereka melantai di pelataran tanpa atap di
lantai dasar. Kebetulan rumah yang kutempati berada di lantai dua.
Sejak Jumat sore, tamu-tamu berdatangan. Meja makan digelar. Sabtu malam,
aku sekeluarga diundang makan bersama di acara itu.
“Anak perempuan saya, lulus Ujian Nasional”, tutur Jamal, bapak kostku
dengan sumringah, kala kutanya tentang tujuan pesta ini.
Wow, lulus ujian nasional saja pake pesta segala?! Begitu pikirku.
Sepertinya orang Indonesia tidak begitu-begitu amat. Kalaupun ada, hanya
sekedar syukuran kecil, makan bersama, dengan tamu terbatas.
Aku malah tidak bangga dengan berita-berita kelulusan ujian nasional di
tanah air. Seperti info seminggu lalu dari lembaga pendidikan yang dikelola
keluarga di Banten sana, bahwa salah seorang siswi di lembaga kami meraih nilai
UN tertinggi se-kabupaten. Atau kepala daerah yang senang karena kelulusan
ujian nasional di daerahnya mencapai 99 koma sekian persen. Ah, itu hanya
lipstick belaka.
Nurani terdalam para penggiat dunia pendidikan di Indonesia akan
membenarkan kenyataan bahwa UN di tanah air hanyalah rekayasa dan bahkan
menjadi komoditas politik. Angka-angka yang diraih para siswanya – meski aku
tidak menggeneralisir semua - dibangun di atas ketidakjujuran dan kecurangan. Para
guru dan kepala sekolah justru menjadi stress setiap menghadapi UN. Pantas jika
dukungan UN dibubarkan semakin menguat belakangan ini. UN adalah dilema sekaligus
ironi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
***
Awal Juni lalu, Tunisia menggelar UN Bakalurea yang diikuti oleh 143 ribu orang siswa. Oya, SMA di Tunis ditempuh selama 4 tahun. Tahun keempatnya ini
dinamakan Bakalurea. Hasilnya, hanya
39 persen koma sekian yang lulus. Sisanya, 40 persen harus ujian ulangan, dan
20 persen koma sekian lagi tidak lulus.
Sebagai “hadiah” bagi mereka yang 39 persen, mereka dapat masuk ke
perguruan tinggi favorit mereka secara leluasa. Jadi, hasil UN adalah sekaligus
tiket masuk universitas. Pada masa presiden Borguiba (1957-1987), siswa lulus
UN pada sesi pertama ini malah bisa langsung masuk ke sejumlah universitas
terkemuka di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya.
Sejumlah 40 persen siswa berikutnya, harus mengikuti ujian ulangan pada
akhir Juni ini. Jika lulus, mereka baru bisa kuliah. Hanya saja, pilihan program studi atau universitasnya, tidak sebebas
mereka yang 39 persen itu. Adapun siswa lain yang sejumlah 20 persen, mau tidak
mau, suka tidak suka, harus belajar lagi, dan mengikuti UN tahun berikutnya.
***
Tidak lulus UN memang hal yang membuat kecewa. Tapi itu tidak menjadi
alasan untuk stress. Tidak ada cerita adanya siswa yang stress atau bunuh diri karena tidak lulus UN.
Sebaliknya, kelulusan UN adalah sesuatu yang membanggakan dan patut
disyukuri. Tapi itu juga tidak membuat para kepala sekolah atau kepala daerah jadi
mematok target kelulusan sekian puluh prosen, lalu mereka melakukan berbagai
cara dan rekayasa untuk mewujudkannya. Ujian berjalan apa adanya, dan semua
pihak memercayakan sepenuhnya kepada pemerintah.
Ujian berlangsung normal. Semua pihak memiliki kepedulian dan terlibat
di dalamnya. Pemantau independen juga ada. Setiap ruang ujian kelas dipasangi
CCTV. Menurut koran yang kubaca, pada UN tahun 2013 ini, pemerintah Tunis
menyedian 27 ribu unit CCTV, yang dipasang di ruang-ruang ujian, kantor-kantor
sekolahan dan tempat-tempat lain yang dianggap penting.
Wah, berapa biaya pengadaan CCTV-nya? Tidak seberapa, jika dibanding dengan
APBN sector pendidikan yang mencapai 26 persen. Dengan alokasi itu, semua
fasilitas pendidikan terjamin, masyarakat bisa menikmati pendidikan murah
meriah hingga jenjang S3.
Sekedar menyebutkan contoh, bea kuliah pada jenjang S1 di Tunis hanyalah
35 Dinar (setara Rp 200 ribu) per tahun, sedangkan S2-S3 adalah 108 Dinar
(setara Rp 650 ribu) per tahun. Ini berlaku untuk semua fakultas dan program
studi. Satu lagi, kesejahteraan guru dan dosen di sini tak perlu diragukan. Guru
adalah profesi terhormat dan menjadi favorit para pelamar kerja di Tunis.
Dengan dukungan APBN seperti itu, Tunisia memiliki sederet prestasi di
bidang pendidikan. Wajib Belajar SMA telah berlaku sejak lama. Tidak ada
keluhan tentang bea pendidikan yang mahal. Sumber Daya Manusianya terdongkrak, angkatan kerjanya berpendidikan dan umumnya
fasih bahasa Perancis. Pada gilirannya, tingkat ekonomi juga membaik. Dari 50an negara Afrika, Tunisia adalah negeri dengan
pendapatan per kapita tertinggi ketiga. Kendati Sumber Daya Alam terbatas, ia
mampu mendorong Sumber Daya Manusianya lewat pendidikan.
Lalu, apakah Ujian Nasional
di Indonesia harus dibuarkan ataukah tetap dipertahankan?! Aku sih berfikir
sederhana ; tingkatkan dulu alokasi APBN untuk sector pendidikan. Jika itu
sudah terlaksana sesuai aturan, jawaban pertanyaan di atas akan kita temukan
dengan sendirinya. Wallahu A’lam.
Tunis al Khadra, 23
Juni 2013
No comments:
Post a Comment