Ketika Nahda Harus Memilih
Pekan ini, sebuah langkah terpuji diambil oleh Harakah
Nahda, partai Islam yang saat ini sedang menjadi penguasa di Tunis. Nahda
menerima tanpa syarat (al qabul ghair al masyrut) usulan kaum oposisi
sekuler untuk melakukan dialog nasional (al hiwar al wathani) pada bulan
Oktober ini. Lebih dari itu, Nahda juga menyatakan kesiapannya untuk mundur (al
istiqalah) dari kursi pemerintahan, serta menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintahan independen yang akan dirumuskan di arena dialog nasional itu.
Pemerintahan independen yang akan dinamai Hukumah Kafa’ah
Wathaniyah itu rencananya terdiri dari para tokoh non partisan, yang
berkomitmen untuk tidak akan nyalon lagi pada Pemilu yang akan digelar
beberapa bulan ke depan.
Sebuah pilihan yang tidak mudah, antara hasrat kekuasaan di
satu sisi, dan kemaslahatan umat di sisi lain. Antara empuknya kursi kekuasaan,
dan kuatnya desakan mundur yang diwarnai aksi protes, ancaman mogok nasional
dan baying-bayang perang saudara.
Tentu Nahda punya kalkulasi politik tersendiri sebelum
mengambil sikap yang berani ini. Tetapi dari pemberitaan yang muncul di sejumlah
media lokal, mereka berkali-kali meyakinkan public bahwa sikap ini diambil
semata-mata untuk kemaslahatan bangsa yang lebih luas. Supaya tidak terjadi
konflik politik yang berkepanjangan, supaya masa transisi dari revolusi menuju
demokrasi berlangsung mulus, tanpa dinodai pertumpahan darah.
Subhanallah. Sebuah sikap yang menyiratkan kebesaran jiwa.
Bukti bahwa mereka memahami ajaran Islam secara bijak.
Islam telah mengajarkan akan kehormatan darah seorang
Muslim. Memelihara nyawa (Hifdz al Nafs), harus diutamakan atas
segalanya. Dalam konteks tertentu, identitas keagamaan malah boleh
disembunyikan demi menjaga keselamatan jiwa. Seperti dalam kasus seseorang yang
dipaksa harus mengaku kafir dengan ancaman maut (ditodong senjata misalnya),
maka orang tersebut boleh mengaku kafir demi menyelamatkan nyawanya. Yang
penting hatinya mengingkari ucapannya (wa qalbuhu munkir). Demikian yang
saya baca dari beberapa literature fiqh klasik.
Jika identitas keagamaan saja bisa dikalahkan demi
kehormatan nyawa dan pertumpahan darah, apalah artinya kekuasaan duniawi?!
Benar kata almarhum Gus Dur, “Di dunia ini, tidak ada jabatan yang pantas
diperjuangkan secara mati-matian”.
Sepertinya konsep ini difahami dengan sangat baik oleh para
politisi partai saudara kandung Ikhwanul Muslimin ini.
Tunis al Khadra, 02 Oktober 2013
hidup adalah pilihan,jika tdk ada pilihan dalam hidup takan perna terasa indah hidu kita benarkan ??
ReplyDeletehttp://obatuntukpenyakittipesdangejalanya.blogspot.com/