Setelah Mati
57 Tahun, Wakaf Diminta Hidup Lagi
Kampus Univ Zitouna Tunis, berdiri di atas tanah wakaf
Mengapa sejak merdeka (1956) hingga tahun 2011 lalu
lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam di Tunisia sulit berkembang?
Banyak penyebab. Satu di antaranya adalah karena Habib Borguiba – presiden
berideologi sekuler yang memerintah tahun 1956 hingga 1987 – membubarkan
institusi wakaf, kemudian menyita semua harta wakaf dan menjadikannya sebagai
inventaris negara. Padahal di dunia Islam, wakaf adalah penopang utama
keberlangsungan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan.
Sejak revolusi 2011 hingga hari ini, umat Islam di
Tunisia tengah gigih berjuang membangkitkan kembali wakaf dari ‘alam kuburnya’.
Bagaimana prospeknya?
Kuliah Wakaf
Kamis (05/12) pagi, aku menghadiri acara kuliah
umum (stadium general) tentang Wakaf di Tunisia yang digelar di Fakultas Peradaban
Islam Universitas Zitouna. Dua orang guru besar bertindak selaku nara sumber,
masing-masing Prof. Dr Hassan Manna’i dan Prof Dr. Talili ‘Ajili.
Prof Manna’i adalah Guru Besar sekaligus Ketua
Pusat Studi Sejarah di Univ Zitouna, sedangkan Prof ‘Ajili adalah sejawaran
dari Univ Manouba, yang ternyata memiliki sejumlah buku dan penelitian terkait
wakaf di Dunia Arab.
Aku penasaran, apa dan bagaimana wakaf di negeri
berpenduduk 99 persen Muslim ini. Benarkah seperti yang kubaca dalam beberapa
buku? Bahwa di Tunis hari ini, tidak ada yang namanya wakaf. Karena sudah dilarang
keberadaannya oleh presiden Borguiba yang sekuler, dua bulan setelah proklamasi
kemerdekaan Tunisia (tahun 1956).
Sejak lama aku mengoleksi beberapa buku tentang
wakaf di Tunis. Di antaranya tiga buku yang ditulis oleh peneliti wakaf dari
kota Sfax, Dr Syaibani ben Balgis, yaitu : Fushul min Tarikh Waqf fi Tunis
(2003), al Awqaf fi Tunis (2008) dan Borguiba wa al Aqwaf (2009).
Beberapa kali aku juga berdiskusi langsung terkait
wakaf dengan dosen supervisorku, Prof Dr Burhan Neffati, di sela-sela
konsultasi akademik terkait disertasi. Prof Neffati adalah guru besar dalam
ilmu fiqh, yang juga pengasuh pengajian talaqqi Ushul Fiqh di Masjid Zitouna. Jadi,
beliau memiliki kapasitas ilmiah untuk berbicara soal wakaf.
Sekulerisasi Wakaf
Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang
sangat mendasar. Mengapa waktu itu Borguiba
‘berani’ menghapus system wakaf di Tunisia? Padahal konsep wakaf memiliki
sandaran yang jelas dalam agama, bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah
saw dan juga khalifah Umar ra. Para ulama juga telah melakukan ijma (kesepakatan)
tentang kebolehan wakaf. Maka, mengingkari wakaf, berarti mengingkari kesepakatan
umat Islam.
Menurut beberapa buku, juga hasil diskusi dan kuliah
umum kemaren, bahwa penghapusan wakaf yang dilakukan oleh Borguiba harus dibaca
dalam bingkai proyek sekulerisasi yang ia terapkan pada masyarakat Muslim di
Tunisia. Artinya, ideology sekuler yang mengehendaki pemisahan agama dari
kehidupan kenegaraan, meniscayakan penghilangan semua ritual dan identitas
keagamaan dari ruang public. Pantas jika kemudian Borguiba melarang kegiatan-kegiatan
keagamaan, memberangus pendidikan Islam (termasuk pengajian-pengajian di Masjid
Agung Zitouna dan Universitas Zitouna), serta membubarkan lembaga-lembaga atau
institusi keagamaan.
Sebaliknya, Borguiba mengajak umat Islam Tunisia
untuk meniru kebudayaan Barat (Perancis). Tradisi Arab dan pendidikan keagamaan
dianggap sebagai – dalam bahasa Borguiba - ‘ihda madzahir at takahlluf’,
salah satu ciri keterbelakangan.
Potensi Wakaf
Selain alasan idelologis di atas, ada sejumlah factor
lain yang menginspirasi Borguiba menghapus wakaf di Tunisia. Di antaranya
karena kala itu (1956), kas negara sedang minim, sehingga perlu suntikan dana
segar untuk modal pembangunan. Maklum, baru dua bulan merdeka, negara belum
bisa mengorganisir pos-pos pendapatan. Sementara, bantuan financial dari
Perancis berkurang, karena Perancis kecewa melihat keberpihakan masyarakat
Tunisia terhadap perjuangan warga tetangganya, Aljazair, dalam merebut
kemerdekaan.
Prof ‘Ajili – nara sumber kuliah umum kemaren –memaparkan
sejumlah dokumen dari arsip nasional yang menggambarkan peta potensi wakaf di
Tunisia, pada awal-awal masa kemerdekaan. Tergambar jelas, betapa besar nilai
harta wakaf yang disita oleh Borguiba dan dimasukkan sebagai inventaris negara.
Di antaranya, sepertiga lahan perkebunan zaitun yang terhampar di seantero
negeri, rupanya adalah wakaf umat untuk lembaga-lembaga keagamaan di bawah
naungan Masjid Zitouna…
Belum lagi harta wakaf dalam bentuk yang lainnya, seperti
pertokoan, pabrik/industry, alat transportasi, dan sebagainya. Lagi-lagi
sekedar contoh, Madrasah Shadiqiyah – sebuah sekolah modern di kota Tunis yang didirikan tahun 1875 oleh reformis
Khairuddin at Tunisi – memiliki 260 toko yang tersebar di berbagai pasar di
seluruh negeri.
Factor lainnya, Borguiba menemukan realitas bahwa potensi-potensi
wakaf di Tunisia kala itu tidak terkelola
secara baik. Akibat buruknya system manajemen yang dimiliki umat. Beberapa kasus
malah menunjukkan adanya lembaga pengelola wakaf yang mengalami kerugian financial,
atau terlibat dalam konflik internal yang berlarut-larut, sehingga harta wakaf jadi
terabaikan.
Politisasi Wakaf
Ada satu lagi factor lain yang sangat penting,
yakni factor politik. Borguiba ingin membungkam lembaga-lembaga keagamaan agar
tidak vocal atau kritis terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, agar tidak
memiliki posisi tawar apa-apa di hadapan penguasa. Sementara, lembaga-lembaga
keagamaan dan pendidikan Islam kala itu, hidup dari institusi wakaf.
Maka bagi Borguiba, memberangus wakaf berarti juga
memberangus keberlangsungan dan eksistensi lembaga-lembaga keagamaan, plus
pamor para ulamanya. Sebut saja misalnya, Saleh ben Youssef, seorang ulama
Zitouna yang sejak lama menjadi saingan ploitik Borguiba, bahkan sejak masa pra
kemerdekaan.
Pada giliran berikutnya, penghapusan wakaf terbukti
ampuh dalam upaya pelemahan lembaga-lembaga keagamaan, sekaligus pamor para
ulama dan pemimpinnya. Reaksi dan perlawanan dari para ulama besar Tunisia kala
itu, tidak berpengaruh banyak bagi kelancaran proyek-proyek sekulerisasi yang
dijalankan Borguiba.
Syekh Muhamed Basyir Neifer, Mufti Madzhab Maliki di
Tunisia saat itu, melayangkan surat protes terhadap Borguiba. Tapi respon
Borguiba datar-datar saja. Pun juga Syekh Tahir ibn Asyur, al Imam al Akbar
Masjid Zitouna kala itu. Beliau menulis sebuah buku berjudul ‘Al Waqf”, sebagai
salah satu upaya penjelasan kepada Borguiba dan umat Islam di Tunis terkait hukum
wakaf. Tetapi, menurut Dr. Syaibani, buku yang pernah diterbitkan oleh Matba’ah
al Hidayah al Islamiyyah Beirut itu, berumur pendek. Alias hilang dari
peredaran.
Prospek Wakaf
Kini, pemerintahan Islam di Tunisia telah menggagas
RUU Wakaf. Bulan Oktober 2013 lalu, RUU ini telah masuk dalam agenda rapat di parlemen.
Bagaimana prospeknya? Hehe, aku mengulangi
pertanyaan di atas, karena memang belum terjawab. Dan malah kini kutambah
dengan pertanyaan lain. Akankah dipolitisasi lagi oleh para pejabat berdasi Tunisia
saat ini ? Kapankah Tunisia seperti Indonesia : memiliki Direktorat khusus Wakaf
di Kementerian Agama-nya? Atau,
kapankah wakaf di Tunisia akan “bangkit dari kuburnya”? Hehe, serem..
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab, dan
tidak perlu dijawab sekarang. Apalagi dijawab dalam tulisan ini. Ini juga sudah
kepanjangan, hehe. Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, 06 Desember 2013
No comments:
Post a Comment