Friday, December 06, 2013

Tunis Wakaf

Setelah Mati 57 Tahun, Wakaf Diminta Hidup Lagi



Kampus Univ Zitouna Tunis, berdiri di atas tanah wakaf

Mengapa sejak merdeka (1956) hingga tahun 2011 lalu lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam di Tunisia sulit berkembang? Banyak penyebab. Satu di antaranya adalah karena Habib Borguiba – presiden berideologi sekuler yang memerintah tahun 1956 hingga 1987 – membubarkan institusi wakaf, kemudian menyita semua harta wakaf dan menjadikannya sebagai inventaris negara. Padahal di dunia Islam, wakaf adalah penopang utama keberlangsungan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan.

Sejak revolusi 2011 hingga hari ini, umat Islam di Tunisia tengah gigih berjuang membangkitkan kembali wakaf dari ‘alam kuburnya’. Bagaimana prospeknya?

Kuliah Wakaf
Kamis (05/12) pagi, aku menghadiri acara kuliah umum (stadium general) tentang Wakaf di Tunisia yang digelar di Fakultas Peradaban Islam Universitas Zitouna. Dua orang guru besar bertindak selaku nara sumber, masing-masing Prof. Dr Hassan Manna’i  dan Prof Dr. Talili ‘Ajili.

Prof Manna’i adalah Guru Besar sekaligus Ketua Pusat Studi Sejarah di Univ Zitouna, sedangkan Prof ‘Ajili adalah sejawaran dari Univ Manouba, yang ternyata memiliki sejumlah buku dan penelitian terkait wakaf di Dunia Arab.

Aku penasaran, apa dan bagaimana wakaf di negeri berpenduduk 99 persen Muslim ini. Benarkah seperti yang kubaca dalam beberapa buku? Bahwa di Tunis hari ini, tidak ada yang namanya wakaf. Karena sudah dilarang keberadaannya oleh presiden Borguiba yang sekuler, dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Tunisia (tahun 1956).

Sejak lama aku mengoleksi beberapa buku tentang wakaf di Tunis. Di antaranya tiga buku yang ditulis oleh peneliti wakaf dari kota Sfax, Dr Syaibani ben Balgis, yaitu : Fushul min Tarikh Waqf fi Tunis (2003), al Awqaf fi Tunis (2008) dan Borguiba wa al Aqwaf (2009).

Beberapa kali aku juga berdiskusi langsung terkait wakaf dengan dosen supervisorku, Prof Dr Burhan Neffati, di sela-sela konsultasi akademik terkait disertasi. Prof Neffati adalah guru besar dalam ilmu fiqh, yang juga pengasuh pengajian talaqqi Ushul Fiqh di Masjid Zitouna. Jadi, beliau memiliki kapasitas ilmiah untuk berbicara soal wakaf.

Sekulerisasi Wakaf
Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar.  Mengapa waktu itu Borguiba ‘berani’ menghapus system wakaf di Tunisia? Padahal konsep wakaf memiliki sandaran yang jelas dalam agama, bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw dan juga khalifah Umar ra. Para ulama juga telah melakukan ijma (kesepakatan) tentang kebolehan wakaf. Maka, mengingkari wakaf, berarti mengingkari kesepakatan umat Islam.  

Menurut beberapa buku, juga hasil diskusi dan kuliah umum kemaren, bahwa penghapusan wakaf yang dilakukan oleh Borguiba harus dibaca dalam bingkai proyek sekulerisasi yang ia terapkan pada masyarakat Muslim di Tunisia. Artinya, ideology sekuler yang mengehendaki pemisahan agama dari kehidupan kenegaraan, meniscayakan penghilangan semua ritual dan identitas keagamaan dari ruang public. Pantas jika kemudian Borguiba melarang kegiatan-kegiatan keagamaan, memberangus pendidikan Islam (termasuk pengajian-pengajian di Masjid Agung Zitouna dan Universitas Zitouna), serta membubarkan lembaga-lembaga atau institusi keagamaan.  

Sebaliknya, Borguiba mengajak umat Islam Tunisia untuk meniru kebudayaan Barat (Perancis). Tradisi Arab dan pendidikan keagamaan dianggap sebagai – dalam bahasa Borguiba - ‘ihda madzahir at takahlluf’, salah satu ciri keterbelakangan.

Potensi Wakaf
Selain alasan idelologis di atas, ada sejumlah factor lain yang menginspirasi Borguiba menghapus wakaf di Tunisia. Di antaranya karena kala itu (1956), kas negara sedang minim, sehingga perlu suntikan dana segar untuk modal pembangunan. Maklum, baru dua bulan merdeka, negara belum bisa mengorganisir pos-pos pendapatan. Sementara, bantuan financial dari Perancis berkurang, karena Perancis kecewa melihat keberpihakan masyarakat Tunisia terhadap perjuangan warga tetangganya, Aljazair, dalam merebut kemerdekaan.

Prof ‘Ajili – nara sumber kuliah umum kemaren –memaparkan sejumlah dokumen dari arsip nasional yang menggambarkan peta potensi wakaf di Tunisia, pada awal-awal masa kemerdekaan. Tergambar jelas, betapa besar nilai harta wakaf yang disita oleh Borguiba dan dimasukkan sebagai inventaris negara. Di antaranya, sepertiga lahan perkebunan zaitun yang terhampar di seantero negeri, rupanya adalah wakaf umat untuk lembaga-lembaga keagamaan di bawah naungan Masjid Zitouna…

Belum lagi harta wakaf dalam bentuk yang lainnya, seperti pertokoan, pabrik/industry, alat transportasi, dan sebagainya. Lagi-lagi sekedar contoh, Madrasah Shadiqiyah – sebuah sekolah modern  di kota Tunis yang didirikan tahun 1875 oleh reformis Khairuddin at Tunisi – memiliki 260 toko yang tersebar di berbagai pasar di seluruh negeri.

Factor lainnya, Borguiba menemukan realitas bahwa potensi-potensi wakaf  di Tunisia kala itu tidak terkelola secara baik. Akibat buruknya system manajemen yang dimiliki umat. Beberapa kasus malah menunjukkan adanya lembaga pengelola wakaf yang mengalami kerugian financial, atau terlibat dalam konflik internal yang berlarut-larut, sehingga harta wakaf jadi terabaikan.

Politisasi Wakaf
Ada satu lagi factor lain yang sangat penting, yakni factor politik. Borguiba ingin membungkam lembaga-lembaga keagamaan agar tidak vocal atau kritis terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi, agar tidak memiliki posisi tawar apa-apa di hadapan penguasa. Sementara, lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam kala itu, hidup dari institusi wakaf.

Maka bagi Borguiba, memberangus wakaf berarti juga memberangus keberlangsungan dan eksistensi lembaga-lembaga keagamaan, plus pamor para ulamanya. Sebut saja misalnya, Saleh ben Youssef, seorang ulama Zitouna yang sejak lama menjadi saingan ploitik Borguiba, bahkan sejak masa pra kemerdekaan.

Pada giliran berikutnya, penghapusan wakaf terbukti ampuh dalam upaya pelemahan lembaga-lembaga keagamaan, sekaligus pamor para ulama dan pemimpinnya. Reaksi dan perlawanan dari para ulama besar Tunisia kala itu, tidak berpengaruh banyak bagi kelancaran proyek-proyek sekulerisasi yang dijalankan Borguiba.

Syekh Muhamed Basyir Neifer, Mufti Madzhab Maliki di Tunisia saat itu, melayangkan surat protes terhadap Borguiba. Tapi respon Borguiba datar-datar saja. Pun juga Syekh Tahir ibn Asyur, al Imam al Akbar Masjid Zitouna kala itu. Beliau menulis sebuah buku berjudul ‘Al Waqf”, sebagai salah satu upaya penjelasan kepada Borguiba dan umat Islam di Tunis terkait hukum wakaf. Tetapi, menurut Dr. Syaibani, buku yang pernah diterbitkan oleh Matba’ah al Hidayah al Islamiyyah Beirut itu, berumur pendek. Alias hilang dari peredaran.    

Prospek Wakaf
Kini, pemerintahan Islam di Tunisia telah menggagas RUU Wakaf. Bulan Oktober 2013 lalu, RUU ini telah masuk dalam agenda rapat di parlemen.  

Bagaimana prospeknya? Hehe, aku mengulangi pertanyaan di atas, karena memang belum terjawab. Dan malah kini kutambah dengan pertanyaan lain. Akankah dipolitisasi lagi oleh para pejabat berdasi Tunisia saat ini ? Kapankah Tunisia seperti Indonesia : memiliki Direktorat khusus Wakaf di Kementerian Agama-nya? Atau, kapankah wakaf di Tunisia akan “bangkit dari kuburnya”? Hehe, serem..

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab, dan tidak perlu dijawab sekarang. Apalagi dijawab dalam tulisan ini. Ini juga sudah kepanjangan, hehe. Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra, 06 Desember 2013


No comments:

Post a Comment