Thursday, April 28, 2016

Tunisia Al Quran

Pro Kontra Hafalan Al Quran di Tunisia

Menteri Agama Tunisia di TV Aljazeera 

Kementerian Pendidikan Tunisia menggagas program Tahfidz Al Quran bagi siswa/i di sekolah-sekolah. Tujuannya untuk membendung radikalisme agama. Kalangan sekuler menolak keras rencana ini, dengan alasan sebaliknya: hafalan Al Quran justru akan mendorong anak-anak jadi radikal.

ISU panas yang menggelinding di tengah masyarakat Tunisia dalam sebulan terakhir ini adalah polemic seputar program hafalan (tahfidz) Al Quran. Antara pro dan kontra, setuju dan tidak setuju.

Polemic ini bermula dari rencana Kementerian Pendidikan Tunisia menggelar program hafalan Al Quran bagi para siswa sekolah (SD-SMA) selama liburan musim panas tahun 2016, tepatnya mulai pertengahan Juni hingga pertengahan September. Lokasinya adalah gedung-gedung sekolah umum.
Program ini merupakan kerjasama tiga lembaga : Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Rabithah al Jam’iyyat al Quraniyah – semacam LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawat al Quran) di Indonesia. Jika sukses, program ini akan berlanjut. “Tiga tahun ke depan, kita punya target 100 ribu hafidz di Tunisia”, tutur Menteri Agama, Dr Muhammad Kholil, 19 April lalu, kepada Kantor Berita Tunisia.

Kholil memandang bahwa minimnya pengetahuan umat tentang Al Quran mengakibatkan tumbuh suburnya pemahaman-pemahaman keliru tentang ajaran Islam. Konsep jihad misalnya, yang sering disalahfahami sebagai bermakna perang atau membunuh non Muslim. Karena itulah, “Program tahfidz ini salah satu upaya kami dalam menumbuhkan pemahaman yang benar akan ajaran Al Quran sekaligus strategi kami dalam memerangi terorisme”, tutur Kholil.

Program ini disambut baik banyak pihak. Syekh Syihabudin Telisy, ketua Ikatan Imam Masjid Tunisia mengamini argument Menteri Agama bahwa program tahfidz adalah cara efektif untuk menangkal radikalisme agama. “Kaum radikalis memahami ayat-ayat Al Quran sesuai hawa nafsu mereka, tanpa ilmu. Dan mereka umumnya bukan penghafal Al Quran”, tutur sang Syekh. Selain dapat menumbuhkan ghirah keislaman, masih kata Syekh Telisy, hafalan Al Quran juga diyakini akan menjadi dasar bagi anak-anak muda untuk memiliki kecakapan Bahasa dan Sastra Arab.

Sekelompok kalangan sekuler menolak keras program ini dengan beragam alasan. Di antaranya (1) program tahfidz Al Quran akan menumbuhkan benih-benih Islam radikal, (2) menghafal Al Quran adalah bentuk kemunduran berfikir, dan (3) program ini bernuansa politis, yakni sebagai manuver Partai Nida – partai penguasa saat ini - dengan Parta Nahdah yang berhaluan Islam.

Adalah Dr Nailah Salini, guru besar sejarah Islam yang kencang menolak program ini. Dalam wawancara di stasiun TV al Hiwar at Tunisi tanggal 20 April lalu, dosen senior di Fakultas Adab Universitas Sousse ini menuduh Menteri Agama Tunisia belum faham Al Quran. “Hai Tuan Menteri”, kata Dr Salini, “Nampaknya Anda belum membaca, menghafal, atau memahami isi Al Quran. Biarkanlah urusan pendidikan agama anak menjadi tanggungjawab kedua orangtuanya.  Negara kita menjamin kebebasan beragama”, kata dia.

Dalam dialog bertema “Pro Kontra Tahfidz di Sekolah” itu, Salini mempertanyakan, “Apakah kita akan mengajarkan ayat faqtuluhum haistu tsaqiftumuhum kepada anak-anak kita? Juga ayat wa a’iddu lahum mastatha’tum..?!” Kedua ayat ini terkait dengan seruan jihad.  

Menurut Dr Salini, sekolah adalah lembaga pendidikan umum, bukanlah kutab (pondok) yang memang khusus menghafal Al Quran. “Apakah Anda yakin kita akan mampu memberantas ISIS dengan program hafalan Quran? Maaf ya, justru anak-anak kita nanti akan menghafalkan ayat-ayat yang selama ini dipakai ISIS untuk melegitimasi perbuatan anarkisme mereka”, tutur dosen wanita yang rambutnya sudah memutih ini.

Abdunasir al Uwaini, aktivis al Jabhah as Sya’biyah,  sebuah koalisi partai-partai sekuler, mengatakan, “Seharusnya sekolah dijadikan sebagai pusat pembinaan generasi yang unggul, bukan malah untuk program yang membawa keterbelakangan (at takhalluf wa at taakkhur).

Usai acara dialog itu, saya lihat Salini, al Uwaini, para tokoh sekuler dan juga TV al Hiwar, dibully sejumlah kalangan Islamis di Tunis melalui media sosial.

Menteri Pendidikan Naji Jaloul menjawab sanggahan-sanggahan itu. Kata dia, “Tunisia adalah Negara Arab Muslim. Demikian ditegaskan dalam UU negara kita. Salah satu butir agenda reformasi pendidikan kita adalah menanamkan kesadaran murid akan kearaban dan keislaman mereka”.

Jaloul yang juga seorang akademisi ini meminta urusan tahfidz ini tidak dikaitkan dengan politik. “Adalah hak setiap siswa untuk mengenal agamanya, karena ini adalahh bagian dari kepribadian mereka”. Jaloul juga menolak anggapan sekolah-sekolah itu akan dijadikan kuttab. “Program ini nanti akan dibina oleh para ulama yang mumpuni dan terpercaya. Di akhir program, ada semacam penghargaan bagi siswa yang berprestasi”.

Penjelasan Menteri itu ditanggapi balik oleh Ibrahim Lathif, seorang sutradara Tunis. Lathif menulis di akun FB-nya, “Kalo begitu, izinkanlah saya juga mengajarkan teater, tari, film, di sekolah-sekolah selama musim liburan”.

Dalam beberapa pekan ini, saya lihat penolakan kaum sekuler justru membangkitkan semangat umat untuk secara terbuka mendukung program ini. Sejumlah ulama dan para imam menggelar aksi damai. Slogan “Anak-akan Kita Menghafal Al Quran” disuarakan baik lewat seminar, jumpa pers, pernyataan sikap, hingga di media social.

Hari kemaren, sebuah media lokal menggelar jajak pendapat online. Pertanyaannya sederhana, “Apakah Anda setuju dengan program tahfidz pada musim liburan musim panas nanti?” saat menulis catatan ini saya lihat ada 87 persen responden menyatakan setuju dan 13 persen lainnya menolak.


Tunisia adalah negeri tempat lahirnya Arab Spring (2011) yang menumbangkan sejumlah rezim otoriter di Dunia Arab. Sejak saat itu, kehidupan keagamaan dan pendidikan Islam bergairah kembali di negeri paling utara benua Afrika ini. Masjid-masjid dipenuhi Jemaah, madrasah-madrasah Al Quran tumbuh subur di mana-mana, jumlah muslimah pejilbab juga meningkat. Akan tetapi, fenomena meningkatnya semangat keagamaan ini justru mendapat tentangan dari kaum sekuler.  

Yang unik, para penentang itu justru mereka yang dikenal sebagai cendekiawan Muslim. Dr Nailah Salini sendiri adalah seorang guru besar sejarah Islam di Fakultas Adab Sousse. Sejumlah karya ia hasilkan, di antaranya yang terkenal adalah buku Tarikhiyyat at Tafsir al Qurani (2002).

Saya tinggal di Tunis sejak tahun 2012. Sejauh yang saya amati, kegiatan-kegiatan keagamaan ini awalnya baik-baik saja. Persoalan muncul ketika segelintir kaum Salafi tampil meramaikan program-program keagamaan di Tunis dengan cara mereka sendiri. Mereka turut mendatangkan sponsor dari luar negeri, lalu mendorong kaum wanita bercadar. Para ulama mereka tampil ceramah di TV, radio, juga mimbar-mimbar pengajian. Tuduhan-tuduhan bid’ah dan kafir begitu sering terdengar dari mereka.

Dari sinilah mulai muncul keresahan di kalangan umat. Apalagi terbukti bahwa hampir semua kasus kekerasan yang terjadi di Tunis, umumnya dilakukan oleh kelompok ini. Penghancuran 14 makam ulama sufi, serangan-serangan teroris, penembakan tokoh politisi sekuler, rekrutmen jihadis ke Suriah, hingga isu jihad sex.

Jadi baik kaum sekuler maupun salafi, sama-sama menggunakan aji mumpung. Salafi menggunakan iklim keterbukaan untuk propaganda ajaran mereka, dan sekuler memanfaatkan perilaku segelintir salafi itu untuk memukul dakwah Islam secara umum. Kena deh semuanya. Polemik tahfidz hanya kena getahnya saja. Wallahu A’lam.  


Tunis al Khadra, 28 April 2016 

No comments:

Post a Comment