Pro Kontra Hafalan Al Quran di Tunisia
Menteri Agama Tunisia di TV Aljazeera
Kementerian Pendidikan Tunisia menggagas
program Tahfidz Al Quran bagi siswa/i di sekolah-sekolah. Tujuannya untuk
membendung radikalisme agama. Kalangan sekuler menolak keras rencana ini,
dengan alasan sebaliknya: hafalan Al Quran justru akan mendorong anak-anak jadi
radikal.
ISU panas yang menggelinding di tengah masyarakat Tunisia
dalam sebulan terakhir ini adalah polemic seputar program hafalan (tahfidz) Al
Quran. Antara pro dan kontra, setuju dan tidak setuju.
Polemic ini bermula dari rencana Kementerian Pendidikan Tunisia
menggelar program hafalan Al Quran bagi para siswa sekolah (SD-SMA) selama
liburan musim panas tahun 2016, tepatnya mulai pertengahan Juni hingga
pertengahan September. Lokasinya adalah gedung-gedung sekolah umum.
Program ini merupakan kerjasama tiga lembaga :
Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Rabithah al Jam’iyyat al
Quraniyah – semacam LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawat al Quran) di Indonesia.
Jika sukses, program ini akan berlanjut. “Tiga tahun ke depan, kita punya
target 100 ribu hafidz di Tunisia”, tutur Menteri Agama, Dr Muhammad Kholil, 19
April lalu, kepada Kantor Berita Tunisia.
Kholil memandang bahwa minimnya pengetahuan umat tentang
Al Quran mengakibatkan tumbuh suburnya pemahaman-pemahaman keliru tentang
ajaran Islam. Konsep jihad misalnya, yang sering disalahfahami sebagai bermakna
perang atau membunuh non Muslim. Karena itulah, “Program tahfidz ini salah satu
upaya kami dalam menumbuhkan pemahaman yang benar akan ajaran Al Quran
sekaligus strategi kami dalam memerangi terorisme”, tutur Kholil.
Program ini disambut baik banyak pihak. Syekh Syihabudin
Telisy, ketua Ikatan Imam Masjid Tunisia mengamini argument Menteri Agama bahwa
program tahfidz adalah cara efektif untuk menangkal radikalisme agama. “Kaum
radikalis memahami ayat-ayat Al Quran sesuai hawa nafsu mereka, tanpa ilmu. Dan
mereka umumnya bukan penghafal Al Quran”, tutur sang Syekh. Selain dapat menumbuhkan
ghirah keislaman, masih kata Syekh Telisy, hafalan Al Quran juga diyakini akan
menjadi dasar bagi anak-anak muda untuk memiliki kecakapan Bahasa dan Sastra Arab.
Sekelompok kalangan sekuler menolak keras program ini dengan
beragam alasan. Di antaranya (1) program tahfidz Al Quran akan menumbuhkan
benih-benih Islam radikal, (2) menghafal Al Quran adalah bentuk kemunduran
berfikir, dan (3) program ini bernuansa politis, yakni sebagai manuver Partai Nida
– partai penguasa saat ini - dengan Parta Nahdah yang berhaluan Islam.
Adalah Dr Nailah Salini, guru besar sejarah Islam yang
kencang menolak program ini. Dalam wawancara di stasiun TV al Hiwar at
Tunisi tanggal 20 April lalu, dosen senior di Fakultas Adab Universitas
Sousse ini menuduh Menteri Agama Tunisia belum faham Al Quran. “Hai Tuan
Menteri”, kata Dr Salini, “Nampaknya Anda belum membaca, menghafal, atau
memahami isi Al Quran. Biarkanlah urusan pendidikan agama anak menjadi
tanggungjawab kedua orangtuanya. Negara
kita menjamin kebebasan beragama”, kata dia.
Dalam dialog bertema “Pro Kontra Tahfidz di Sekolah” itu,
Salini mempertanyakan, “Apakah kita akan mengajarkan ayat faqtuluhum haistu
tsaqiftumuhum kepada anak-anak kita? Juga ayat wa a’iddu lahum
mastatha’tum..?!” Kedua ayat ini terkait dengan seruan jihad.
Menurut Dr Salini, sekolah adalah lembaga pendidikan
umum, bukanlah kutab (pondok) yang memang khusus menghafal Al Quran. “Apakah
Anda yakin kita akan mampu memberantas ISIS dengan program hafalan Quran? Maaf
ya, justru anak-anak kita nanti akan menghafalkan ayat-ayat yang selama ini
dipakai ISIS untuk melegitimasi perbuatan anarkisme mereka”, tutur dosen wanita
yang rambutnya sudah memutih ini.
Abdunasir al Uwaini, aktivis al Jabhah as Sya’biyah,
sebuah koalisi partai-partai sekuler, mengatakan,
“Seharusnya sekolah dijadikan sebagai pusat pembinaan generasi yang unggul,
bukan malah untuk program yang membawa keterbelakangan (at takhalluf wa at
taakkhur)”.
Usai acara dialog itu, saya lihat Salini, al Uwaini, para
tokoh sekuler dan juga TV al Hiwar, dibully sejumlah kalangan Islamis di Tunis
melalui media sosial.
Menteri Pendidikan Naji Jaloul menjawab
sanggahan-sanggahan itu. Kata dia, “Tunisia adalah Negara Arab Muslim. Demikian
ditegaskan dalam UU negara kita. Salah satu butir agenda reformasi pendidikan
kita adalah menanamkan kesadaran murid akan kearaban dan keislaman mereka”.
Jaloul yang juga seorang akademisi ini meminta urusan
tahfidz ini tidak dikaitkan dengan politik. “Adalah hak setiap siswa untuk
mengenal agamanya, karena ini adalahh bagian dari kepribadian mereka”. Jaloul juga
menolak anggapan sekolah-sekolah itu akan dijadikan kuttab. “Program ini nanti
akan dibina oleh para ulama yang mumpuni dan terpercaya. Di akhir program, ada
semacam penghargaan bagi siswa yang berprestasi”.
Penjelasan Menteri itu ditanggapi balik oleh Ibrahim
Lathif, seorang sutradara Tunis. Lathif menulis di akun FB-nya, “Kalo begitu,
izinkanlah saya juga mengajarkan teater, tari, film, di sekolah-sekolah selama
musim liburan”.
Dalam beberapa pekan ini, saya lihat penolakan kaum
sekuler justru membangkitkan semangat umat untuk secara terbuka mendukung
program ini. Sejumlah ulama dan para imam menggelar aksi damai. Slogan “Anak-akan
Kita Menghafal Al Quran” disuarakan baik lewat seminar, jumpa pers, pernyataan
sikap, hingga di media social.
Hari kemaren, sebuah media lokal menggelar jajak pendapat
online. Pertanyaannya sederhana, “Apakah Anda setuju dengan program tahfidz
pada musim liburan musim panas nanti?” saat menulis catatan ini saya lihat ada
87 persen responden menyatakan setuju dan 13 persen lainnya menolak.
Tunisia adalah negeri tempat lahirnya Arab Spring (2011)
yang menumbangkan sejumlah rezim otoriter di Dunia Arab. Sejak saat itu, kehidupan
keagamaan dan pendidikan Islam bergairah kembali di negeri paling utara benua
Afrika ini. Masjid-masjid dipenuhi Jemaah, madrasah-madrasah Al Quran tumbuh subur
di mana-mana, jumlah muslimah pejilbab juga meningkat. Akan tetapi, fenomena
meningkatnya semangat keagamaan ini justru mendapat tentangan dari kaum sekuler.
Yang unik, para penentang itu justru mereka yang dikenal
sebagai cendekiawan Muslim. Dr Nailah Salini sendiri adalah seorang guru besar
sejarah Islam di Fakultas Adab Sousse. Sejumlah karya ia hasilkan, di antaranya
yang terkenal adalah buku Tarikhiyyat at Tafsir al Qurani (2002).
Saya tinggal di Tunis sejak tahun 2012. Sejauh yang saya
amati, kegiatan-kegiatan keagamaan ini awalnya baik-baik saja. Persoalan muncul
ketika segelintir kaum Salafi tampil meramaikan program-program keagamaan di
Tunis dengan cara mereka sendiri. Mereka turut mendatangkan sponsor dari luar
negeri, lalu mendorong kaum wanita bercadar. Para ulama mereka tampil ceramah di
TV, radio, juga mimbar-mimbar pengajian. Tuduhan-tuduhan bid’ah dan kafir
begitu sering terdengar dari mereka.
Dari sinilah mulai muncul keresahan di kalangan umat. Apalagi
terbukti bahwa hampir semua kasus kekerasan yang terjadi di Tunis, umumnya
dilakukan oleh kelompok ini. Penghancuran 14 makam ulama sufi, serangan-serangan
teroris, penembakan tokoh politisi sekuler, rekrutmen jihadis ke Suriah, hingga
isu jihad sex.
Jadi baik kaum sekuler maupun salafi, sama-sama menggunakan aji mumpung. Salafi menggunakan iklim keterbukaan untuk
propaganda ajaran mereka, dan sekuler memanfaatkan perilaku segelintir salafi
itu untuk memukul dakwah Islam secara umum. Kena
deh semuanya. Polemik tahfidz hanya kena getahnya saja. Wallahu A’lam.
Tunis al Khadra, 28 April 2016
No comments:
Post a Comment