Monday, March 21, 2005

Nuansa Desa Tafahna

Nuansa Desa di Tafahna

Aku (bertopi hitam sambil naik keledai) bersama para mahasiswa dan petani desa Tafahna
Sekolah di luar negeri, rupanya tak selalu identik dengan suasana yang serba modern, beasiswa ratusan dolar, fasilitas belajar yang memadai serta lingkungan kehidupan yang mewah. Setidaknya, kesan ini terjadi pada 50-an mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di universitas Al Azhar cabang Tafahna, Mesir. Pola hidup sederhana, di tengah kehidupan desa berudara segar alami, menjadi suasana harian mereka.

"Di Tafahna ini saya malah menemukan suasana kampung halaman di Tanah Sunda sana", kata Fauzi, mahasiswa asal Bandung, yang kini sedang belajar di Tafahna. Remaja berusia 20 tahun ini memang tidak sedang berbasa-basi. Kawasan sekitar kampus Tafahna, benar-benar menyiratkan suasana alam desa. Komplek bangunan kampus berada di tengah-tengah perkampungan penduduk, dikelilingi pesawahan yang hijau menghampar, kebun palawija serta anak sungai Nile. Udara terasa segar, jauh dari suara-suara bising atau polusi.

Tafahna al Asyraf, desa terpencil di kawasan propinsi Daqahliyah Mesir ini berlokasi kira-kira 100 km utara Kairo. Ia dilewati sebuah jalan raya yang lumayan rame, menghubungkan kota Zaqaziq, ibukota propinsi Syarqiyah dengan Mait Ghamr, kota kabupaten yang membawahi Tafahna. Untuk menuju ke Tafahna, dari Kairo kita bisa naik kereta api, ditempuh selama hampir 2 jam perjalanan. Atau bisa juga dengan colt antar kota melalui Zaqaziq. Tafahna dianggap sebagai pintu gerbang timur propinsi Daqahliyah. Dulunya Tafahna hanya wilayah pertanian. Sejak 1983, pemerintah Mesir berinisiatif menjadikan Tafahna sebagai desa percontohan sekaligus komplek pendidikan terpadu.

Tafahna bukanlah komplek pemukiman yang modern dan padat. Hitungan kasar saya, rumah tinggal di kawasan ini hanya 100-an apartemen, yang rata-rata berlantai 3 atau 4. Dinding luar rumah-rumah itu dibiarkan begitu saja, berupa bata merah tanpa ditutup tembok atau hiasan warna lain. Jalanan kampung nan sempit diantara rumah-rumah itu juga tidak beraspal. Binatang piaraan orang kampung seperti ayam, itik hingga keledai, bebas berkeliaran kesana kemari. Dan jangan kaget, orang Tafahna biasa menyimpan kandang ayam, itik, dan bahkan keledai, di pelataran atap rumahnya.

Di tengah suasana yang serba sederhana ini, berdiri megah gedung kampus universitas Al Azhar, yang terdiri dari 4 Fakultas, masing-masing Syariah Islamiyah, Syariah wal Qanun, Tarbiyah, dan Dirasat al Insaniyah. Dilengkapi fasilitas pendukung seperti asrama mahasiswa/i, mesjid, perpustakaan, gedung pertemuan, rumah sakit dan fasilitas olah raga.

Saya berkesempatan menginap di rumah seorang kawan mahasiswa di Tafahna, Sabtu sore hingga Ahad siang pekan lalu. Usai memenuhi undangan sebuah acara diskusi di PPMI Cabang Zaqaziq. Rumah tinggal sang kawan, berada di komplek perkampungan itu. Terdiri dari 3 kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu dan dapur. Fasilitasnya lengkap, baik tempat tidur, lemari pakaian, kulkas hingga peralatan memasak. “Harga sewa rumah ini hanya 150 Pound (200 ribu rupiah) per bulan”, kata sang kawan yang tinggal di rumah itu bersama dua rekan lain. Sesaat aku mikir, jauh lebih murah dibanding Kairo, yang bisa empat kali lipatnya. Belum lagi biaya hidup. “Dengan beasiswa 160 Pound per bulan, kami bisa tinggal nyaman, makan enak dan beli buku”, lanjut sang kawan lagi.

Dini hari kala fajar menyingsing, saya mendengar suara binatang malam, lolongan anjing serta kokok ayam jantan. Menjelang hadir mentari, kicau burung serta suara khas keledai (himar) juga menyapa. Sesuatu yang jarang saya dengar selama di Kairo. Pikiran pun terasa segar.

Ahad pagi saya diajak jalan-jalan keliling kampung, melewati komplek universitas, rumah penduduk dan pesawahan. Beberapa warga setempat yang sempat kusapa assalamu'alaikum, selalu spontan menjawab salam dengan raut muka ramah sumringah. “Ahlan wa sahlan...”, berulang kali kalimat itu saya dengar dari mulut mereka. Beberapa dari mereka berbasa-basi mempersilahkan kami mampir. Dari gaya pakaian dan penampilan, saya menduga bahwa kebanyakan mereka berprofesi sebagai petani serta berpendidikan rendah.

Keramahan orang Tafahna, memang dirasakan benar oleh kawan-kawan mahasiwa disana. Setiap bulan para mahasiswa kita mendapat bantuan sembako ala kadarnya dari para dermawan setempat. Penghormatan mereka terhadap orang asing yang belajar di al Azhar, lebih terasa ketimbang orang Kairo. Mungkin salah satunya karena mereka masih jarang melihat orang asing. Seperti yang saya alami pagi itu. Sebuah dokar yang ditarik keledai mendadak berhenti di samping kami. Seorang bapak Mesir yang duduk diatas dokar menatapi kami. Matanya berbinar-binar, tak berkedip. Sepertinya mereka heran, kagum atau mungkin bangga bisa bertemu orang asing. Beberapa saat kemudian, si bapak itu bertanya tentang asal negara kami. “Saya sering ditanyakan oleh imam jika tidak pergi berjamaah ke mesjid”, kata Yamin, tokoh mahasiswa Indonesia di Tafahna.

Beberapa bagian jalanan kampung nampak becek berlumpur. "Dua hari lalu ada gerimis", kata seorang kawan yang lain. Kotoran keledai yang menyisakan aroma tak sedap juga bertebaran di beberapa bagian jalan yang tak beraspal itu. Terpaksa saya berjalan pelan. Waspada. Sekelompok anak kecil bermain bola, hingga kadang menghalangi jalanan yang sempit itu. “Izayyak..?” sapa mereka so’ akrab, seraya ngajak salaman. Sesekali saya berpapasan dengan rombongan gadis Mesir yang membawa buku. Rupanya mereka adalah para mahasiswi yang mau berangkat kuliah.

Semua mahasiswa Indonesia di Tafahna, belajar di fakultas Syariah. Lokasi kampus yang nyaris berdampingan dengan rumah tinggal, membuat mereka aktif kuliah setiap hari. Jelas, tanpa harus berdesakan di bis selama berjam-jam, sebagaimana yang dialami oleh kawan-kawan mahasiswa di Kairo. “Aktifitas utama kami, adalah kuliah. Di sini, kami terpacu untuk lebih rajin belajar, karena memang tidak ada aktifitas lain semacam kegiatan organisasi”, tutur seorang kawan. Berkunjung ke perpustakaan dan diskusi keliling, menjadi agenda utama mereka. Selain sekali-kali bermain bola di lapangan luas dekat kampus banat. Dibanding Kairo, prosentase kelulusan mahasiswa di Tafahna memang lebih tinggi, pelayanan administratif pihak kampus lebih baik, dan karena itu, studi relatif lebih lancar. Satu hal lagi, para mahasiswa Tafahna juga lebih cepat bisa bahasa Arab ‘amiyah.

Gedung fakultas Syariah Islamiyah berdampingan dengan fakultas Syariah wal Qanun. Masing-masing berlantai 4 dan berlokasi di tepi kampung, membelakangi pesawahan luas. Gedungnya nampak bersih dan kelihatan masih kokoh. Maklum, baru dibangun pada tahun 1992 lalu. Dua warung makanan milik orang Mesir nampak di sebelah kiri kampus. Bangunannya juga sederhana, dengan tempat duduk yang tidak begitu banyak. Barangkali tak jauh beda dengan kantin sekolah saya di Aliyah dulu.

Di belakang kampus, ada saluran irigasi anak sungai Nil yang membelah pesawahan. Pagi itu, airnya kecil dan berwarna pekat kotor. "Kalo musim panas, kami sering menjala ikan di selokan itu", kenang sang kawan. Oya?! Saya penasaran. Lalu kami menyusuri jalan setapak, diantara luasnya pesawahan gandum yang menghijau. Di musim dingin seperti ini, pesawahan itu ditanami gandum, sedangkan padi dan barsim (rumput ternak) di musim panas. Diselingi kebun sayuran semisal bawang daun, kubis atau sawi, serta pepohonan kurma dan pinus di tepian sawah. Sesekali kami berpapasan dengan serombongan mahasiswa Mesir yang berangkat kuliah. Ada yang tubuhnya berkeringat. Mungkin karena perjalanan yang jauh. Saya teringat pengalaman haiking pramuka kala di Aliyah dulu, menelusuri indahnya perkebunan teh di Salabintana, tepian kota Sukabumi.

Kami mampir ke sebuah kebon jeruk, lalu menghampiri sumber suara obrolan petani Mesir di tengah ladang. “Ahlan, ahlan”, tutur salah seorang dari ketiga petani yang sedang mengisap syisya. “Izayyak ya habibi...”.apa khabar kekasihku...ah, rupanya mereka sudah familiar dengan kawan-kawan. Usai berbasa-basi, kami duduk melingkar, di sela-sela rimbunnya kebun jeruk, sambil menikmati manisnya buah jeruk yang baru saja dipetik. Saya pun terlena, diantara canda tawa mereka, para mahasiswa dan petani desa Tafahna....

Pinggiran Nil, Jumat 18 Maret 2005

3 comments:

  1. subhanallah...mang dede sangat pandai melukiskan suasana desa tafahna.. padahal cuma sehari disana...

    ReplyDelete