Tuesday, September 06, 2005

SSM 18 : Imam Syafii

Suci Dalam Debu*


Aku (kemeja biru) di depan makam Imam Syafii, awal Mei 2004. Di tiang marmer putih itu, sang Imam sering bersandar kala mengajar..

'Engkau bagai air yang jernih, di dalam berkas yang berdebu....'

Untaian syair lagu milik grup Iklim yang sempat populer di awal dekade 1990-an itu, kayaknya cocok sekali untuk menggambarkan suasana di sekitar makam Imam Syafi'i, di pinggir selatan kota Kairo. Makam Imam Syafi'i, laksana air jernih, di tengah-tengah lingkungan kumuh (berkas berdebu).

Hari itu, 10 November 2001. Baru tiga hari aku di Mesir. Di depan mesjid Imam Syafi'i, di kawasan Islamic Cairo, aku tertegun heran. Lingkungan sekitar mesjid benar-benar semrawut. Sampah-sampah berserakan, tahi himar (sejenis keledai) 'terkapar' dimana-mana. Bangunan-bangunan butut yang ngga teratur itu, mengelilingi mesjid. Orang-orangnya juga, nampak kotor. Warna pakaian mereka, sudah ngga jelas. "Kumuh", begitu komentarku.

Jalan beraspal selebar 3 meter menuju mesjid, sepanjang 300 meteran, juga nampak tak terurus. Genangan air kotor, bahkan lumpur, mewarnai jalan. Ada sebuah pasar tradisional yang kujumpai di salah satu bagian jalan itu. Ngga usah diceritakan gimana suasananya, pokoknya kotor. Di Mesir ini, debu jadi pemandangan biasa. Jika ada angin menerpa, kita mesti siap menutup mata dan hidung. Pokoknya, kesemrawutannya la tarsumuha al alfadz..sulit dilukiskan dengan kata-kata...

Kawan-kawan, makam Imam Syafii terletak di dalam sebuah mesjid, di kawasan pinggiran kota Kairo, ditempuh selama kira-kira 30 menit dari pusat kota. Kawasan itu kini dikenal dengan kampung Imam Syafii. Kalo naik bis, cukup dengan ongkos 0,5 Pound (kurang dari 1000 rupiah). Mesjidnya sendiri, berukuran besar, berwarna usang dengan arsitek lama. Halamannya tidak terlalu luas, dikelilingi pagar tembok. Di puncak kubahnya ada arca kecil berbentuk perahu.

Setiap harinya, ratusan orang, berziarah ke makam imam madzhab yang wafat tahun 205 H itu. Dari sekedar yang baca doa, baca Quran, hingga yang meratap, menangis terisak, sambil memegangi tembok pusaranya. Tentang persoalan ini, pernah dikritik oleh sebuah majalah mingguan Kairo, Roz el Youssef, edisi Nopember 2002 lalu. Model ziarah seperti itu, curhat di depan makam seorang ulama besar, memang berpotensi menyeret pelakunya ke prilaku musyrik, menganggap bahwa sang ulama bisa memberikan manfaat atau madharrat bagi kita yang hidup.

Aku sendiri, sebagai seorang muslim, juga selalu berhati-hati dalam berziarah, jangan sampai niat dalam hati melenceng. Akan tetapi, sesampainya di depan makam Syafi'i, semua tekad tadi nyaris hilang. Yang ada adalah perasaan syahdu, terpana, seolah tak percaya, bahwa saat ini aku sedang berada di depan makam ulama berpengaruh, yang dulu hanya namanya, yang sering kudengar.

Sekitar 300 meter dari mesjid Syafi'i, ada sebuah makam seorang sahabat Nabi terkenal, Abu Dzar Al Ghiffari r.a. Makam beliau tidak berada dalam sebuah mesjid, melainkan di pinggir jalan sempit beraspal, tanpa bangunan apapun di sekitarnya. Mirip dengan makam-makam di Indonesia, berukuran sekitar 2 x 1 meter, dengan tembok biasa.

Dari makam sahabat ini, biasanya para peziarah langsung menuju makam tokoh wanita sufi terkenal, Rab'ah Al Adawiyah, yang berdampingan dengan makam Dzun Nun Al Mishry. Kedua tokoh ini, dikenal sebagai sufi besar dalam dunia Islam. Lokasinya sekitar 200 meter dari makam Abu Dzar.

Seperti halnya makam Abu Dzar, makam mereka juga tidak berada dalam mesjid, hanya saja , berada dalam sebuah bangunan kecil, ukuran kira-kira 4x4 meter. Seorang ibu tua pemilik warung pinggir jalan kumuh, adalah juru kuncinya. Yang memprihatinkan, adalah rute menuju makam para wali suci ini, melewati jalan berkelok-kelok, gang sempit, diantara komplek perumahan orang Mesir pinggiran yang amat kotor. Persis beberapa meter sebelum makam, kita mesti melewati gang sempit,yang kotornya...na'udzubillah. Sepanjang gang, ada kandang itik, di tepian dapur orang Mesir. Saat lewat ke sana, aku terpaksa menutup hidung saking harum aromanya. Bagian bawah celana pun terpaksa 'dilinting' ke atas, kayak orang yang takut kebanjiran, agar ngga kena lumpur.

Suci dalam debu. Sekali lagi, kalimat ini cocok untuk menggambarkan posisi beberapa makam ulama besar di pinggiran kota Kairo. Ironis memang. Peristirahatan orang-orang yang (dianggap) suci, dikelilingi aneka kotoran.

Makam Syekh Jalaludin As Shuyuti, ulama besar pengarang tafsir Al Jalalain, juga bernasib serupa. Lingkungan sekitarnya, nampak tak rapi. Untuk menuju kesana, kita mesti berjalan perlahan, mengendap-endap, tanah nafas, apalagi bersin, persis orang mengintip wanita sedang mandi, takut ketauan hansip. Soalnya, komplek pemakamannya yang terletak di kawasan Sayyidah Aisyah ini, dihuni banyak anjing galak yang suka menyalak.

Cerita ini bukan basa basi. Seorang kawan mahasiswa s2 , nyaris digigit anjing, setelah selama beberapa menit di kejar-kejar anjing 'geng' kuburan. Untung saja, ia berlari ke arah rumah bawwab (penjaga kuburan) yang orang Mesir. "Sialan, si Mesir itu malah ketawa terbahak-bahak", kata sang kawan berkisah. Ia memang selamat dari gigitan rabies itu, karena keburu dijinakkan oleh sang bawwab. Rupanya, penjaga kubur di sana juga berprofesi ganda, sekaligus pawang anjing galak.

Pemakaman yang berfungsi sebagai markas anjing galak juga bisa kita temui di komplek pemakaman tempat Syekh Athoillah (pengarang kitab tasawuf terkenal, Al Hikam) dimakamkan. Tak jauh dari kawasan Sayeda Aisha. Menuju kesana, kita mesti hati-hati. Anjing-anjing dengan raut muka tak bersahabat kerap menyambut kedatangan kita, sejak di gerbang pemakaman.

Suci dalam debu. Makam orang-orang suci, dikelilingi suasana tak rapi. Tidak usah kaget dengan suasana pemakaman Mesir seperti itu. Kotor, atau disambut anjing galak. Dulu, aku sempat malas berziarah, ya karena anjing-anjing itu. Tapi kini, setelah sekian lama, aku baru faham, bahwa di balik semua itu terkandung hikmah yang besar. Sesuatu akan terasa lebih bermakna, ketika didapat dengan susah payah. Sebuah keindahan akan lebih mengesankan jika diawali oleh perjuangan.

Kenikmatan spritual, bermunajat kepada Allah di depan makam orang-orang suci, terasa sangat syahdu, setelah melewati jalan yang kumuh, debu-debu kotor, atau berjalan dalam bayang-bayang gonggongan anjing galak. Bisa Anda buktikan nanti kalo ke Mesir. Insya Allah.

Pinggiran Nil, awal Desember 2002

* Hanya sebuah catatan lama.. Kini, suasana mesjid dan makam Syafii, tak seseram cerita ini..

1 comment:

  1. wah emang dimana-mana kotor dan berbau, ati-ati ke injak tai himar ntar dibawa kemana-mana, tapi kok aku suka ya?...hehhehehe..

    ReplyDelete