Wednesday, September 28, 2005

SSM 19 : Syekh Al Azhar

Dilema Sang Kyai

Mesjid dan Universitas Al Azhar dilihat dari udara

Tujuh September 2005 lalu, Mesir menggelar Pemilu Presiden secara langsung. Hasilnya, Mubarak terpilih lagi untuk masa jabatan enam tahun ke depan.

Dari Pemilu ini, saya sempat memperhatikan sebuah fenomena yang cukup menarik ; kekecewaan sebagian kalangan muslim Mesir atas keberpihakan Grand Syekh Al Azhar, Dr. Sayyed Tantawi kepada Mubarak. Keberpihakan yang dinilai berlebihan. Beberapa media cetak yang terbit selama musim Pemilu mengkritik sikap Tantawi. Tantawi, yang menjadi Grand Syekh Al Azhar sejak 1996 ini dituduh melakukan serangkaian upaya koordinasi dengan Menteri Wakaf (Menag-nya Mesir) Dr. Hamdi Zaqzuq, untuk memastikan dukungan para da’i dan imam mesjid terhadap Mubarak. Mingguan kritis Al Usbu menulis “Tantawi telah menggunakan atribut keagamaan semisal mesjid untuk kepentingan politik ; sebuah sikap yang menyalahi Islam”.

Sejak Tantawi menduduki posisi Grand Syekh Al Azhar, hubungan antara lembaga Al Azhar dan penguasa memang penuh kemesraan. Sederet kebijakan pemerintah didukung penuh oleh Tantawi, meski terkadang Tantawi terkesan jalan sendiri. Meski Tantawi harus menentang arus kebanyakan ulama Al Azhar lain atau bahkan publik Mesir. Meski Tantawi –kayaknya – harus melewati dilema-dilema batin yang berat.

Seperti yang terjadi pada bulan November 2002, kala Tantawi berfatwa bahwa bunga bank tidak termasuk kategori riba yang diharamkan. Penentuan laba (bunga) bagi investor di awal akad dianggap tak menyalahi syariat, selama dilakukan atas prinsip ridha. “Sejak saat ini, berurusan dengan bank konvensional atau bank Islam, hukumnya sama saja, tidak ada bedanya. Karena bunga bank itu hukumnya halal, halal dan halal”, ujar Tantawi. Spontan, pro kontra mengemuka, meggoncang publik Mesir. Foto sang syekh menghiasi koran-koran Mesir.

Majalah mingguan terkemuka Kairo Rouz el Youssef menjadikan isu ini sebagai laporan utama beruntun selama beberapa edisi. Mingguan bergengsi terbitan Dubai al Iqtishad al Islami menurunkan edisi khusus akhir 2002 dengan bahasan utama tentang polemik bunga bank. Kutipan para tokoh ulama negara-negara Arab dilampirkan, semuanya bernada sama ; memprotes fatwa Tantawi. Para ulama Syiah di Iran mengkategorikan Tantawi sebagai ulama duniawi. Al Azhar dinilai tak konsisten. Karena tahun 1965, Al Azhar bersama Lembaga Fiqh Jeddah, Lembaga Fiqh Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Lembaga Fiqh Washington, secara tegas menyatakan keharaman bunga bank.

Para ulama menuduh fatwa Tantawi sebagai ‘pesanan’ pemerintah. Untuk mendongkrak kepercayaan publik terhadap bank konvensional di Mesir. Maklum, kala itu Mesir mulai dilanda kesulitan ekonomi. Nilai tukar uang Mesir terhadap Dollar AS melemah.

Tantawi memang dikecam, tetapi fatwanya diikuti orang. Dipoyok dilebok, kata orang Sunda. Imbas fatwa itu, orang Mesir berduyun-duyun menabung di bank konvensional. “Jumlah deposito para nasabah di bank kami saat ini meningkat hingga 20 persen, terutama dalam sebulan terakhir”, ujar Hassan Abdul Aziz, Wakil Direktur Bank Al Ahli Al Misr Al Watani, salah satu bank resmi pemerintah Mesir.

Selain dalam kasus fatwa bunga bank, Tantawi juga dikritik para aktifis muslim militan berkaitan dengan fatwanya bahwa aksi bom bunuh diri seorang warga Palestina di tengah kerumunan warga sipil Israel bukanlah kategori bom syahid. Juga aksi pembunuhan pada orang sipil Amerika yang ada di Irak. “Itu bertentangan dengan HAM”, tutur Tantawi kala itu. Tantawi yang tidak setuju adanya aksi-aksi demonstrasi dukungan Palestina / Irak usai Jumat di Al Azhar, juga tak bersikap atas kasus pelecehan Alquran di penjara Guantanamo. Sewaktu masih menjabat sebagai dosen biasa, Tantawi tergolong kritis terhadap pemerintah. Publik menilai, Tantawi kini berbeda dengan Tantawi yang dulu. Kini ia sering mengikuti bisikan penguasa. “Kau bukan dirimu lagi”, mungkin begitu penilaian mereka.

Kala Amerika menyerang Irak, publik muslim Mesir menyatakan dukungan terhadap perjuangan muslim Irak melalui demonstrasi dan doa bersama. Pada bulan September 2003, seorang anggota Komisi Fatwa ulama Azhar, Syekh Muhammad Nabawi al 'Eish, mengeluarkan fatwa yang menyatakan keharaman hubungan diplomasi negeri muslim dengan pemerintahan transisi Irak bentukan AS. “Hubungan apapun dengan majelis ini, merupakan bentuk hubungan dengan musuh Allah", tutur al Eish.

Rupa-rupanya, pihak AS merasa terganggu dengan fatwa ini. Dua hari setelah fatwa itu dikeluarkan, Dubes AS di Kairo, David Willis, mendatangi Grand Syekh Al Azhar, Dr Sayyid Tantawi, seraya meminta Azhar meralat fatwa ini. Syekh Eish, ulama Azhar yang mengeluarkan fatwa ini, juga diminta dihentikan dari keanggotaan Dewan Ulama al Azhar.

Tantawi mendengarkan bisikan Willis. Dukungan masyarakat Mesir dan dunia Islam atas fatwa itu ia abaikan. Tantawi segera mengklarifikasi fatwa itu, seraya menganggapnya tak pernah ada. Reaksi publik pun mencuat. Sejumlah koran yang saya baca mengecam Tantawi, yang telah memilih suara orang Amerika ketimbang para ulama. "Kini semakin terbukti, siapa sebenarnya Tantawi. Ia tak lebih dari seorang ulama pro-penguasa", demikian tulis mingguan Afaq Arabiyah, salah satu corong gerakan Ikhwanul Muslimin.

Awal 2004 lalu, sikap Tantawi yang mendukung larangan berjilbab di Perancis juga menuai kritik luas. "Muslimah yang tinggal di negeri non muslim, boleh menaati aturan negeri setempat karena alasan darurat. Pemerintah Perancis punya hak untuk menerapkan aturan negerinya sendiri. Kita umat Islam, tidak boleh melakukan intervensi apapun atas Perancis", tandas Tantawi kepada pers, usai menerima Nikolas Sarkozi, Menteri Dalam Negeri Perancis, yang sengaja datang jauh-jauh ke Kairo untuk mencari dukungan Al Azhar. Mingguan beroplah tinggi, Al Usbu, menghujat Tantawi habis-habisan, dalam 7 halaman laporan utamanya. Judul-judul artikel yang ditulis koran oposisi ini adalah “Pecatlah Dia”, “Ini Dia, Imam Akbar Kita”, “Syekh Al Azhar tak pantas berfatwa”, dan “Gereja menolak sikap Perancis, Tantawi Malah Dukung”. Al Usbu juga menyertakan kutipan langsung beberapa ulama kharismatik Mesir semisal Nasr Farid Washil (Mufti Lama), Omar Hashem (Mantan Rektor), dan Ali Jumah (Mufti Negara). Semuanya bernada sama ; mengkritik fatwa Tantawi.

Dalam berbagai kesempatan, Tantawi selalu mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, agama yang luwes dan moderat. Sejak tragedi 11 September 2001, Tantawi sangat sibuk menyuarakan propaganda Islam agama anti terorisme. Berbagai seminar digelar Al Azhar, buku-buku diterbitkan, semuanya berisi kampanye Islam anti Terorisme. Kampanye 'Tajdid Khitab Dini" (Pembaharuan Wacana Keagamaan), pun serempak disuarakan para ulama. Tulisan berantainya Hadza Huwa al Islam di harian Al Ahram setiap Kamis dalam 3 tahun terakhir menyiratkan pola pandangnya yang moderat.

Sekelompok ulama Mesir yang berfikiran maju, kerap mendukung gagasan-gagasan moderat Tantawi. Tetapi, kalangan ulama lain, tak segan-segan mengkritiknya. Ia dianggap terlalu pro penguasa. "Dalam sejarahnya, baru sekarang-lah Al Azhar, tak lagi berwibawa di depan pemerintah", tulis seorang pengkritiknya di mingguan Al Usbu', dua tahun lalu. Belakangan, ia dituduh mau mengembangkan sebuah madzhab pemikiran keislaman baru, yang pro Barat (AS), atas nama humanisme, demokrasi dan HAM.

Begitulah, beberapa cerita tentang fatwa-fatwa Grand Syekh Al Azhar sekarang, Sayyed Tantawi, sosok yang saya kagumi. Saya membayangkan betapa beratnya tugas Tantawi. Ia ditentang, dikecam, tetapi dikagumi orang. Bagaimana ia dihadapkan pada dilema-dilema dan kebimbangan dalam bersikap, demi kemaslahatan umat yang lebih luas.

Sejak lama saya mengagumi Tantawi. Saya sangat senang pernah dua kali bersalaman dengannya. Semoga ilmunya bisa menular kepada saya, hehe.. Rentang tahun 2002-2003 saya kerap menyempatkan diri salat Jumat secara rutin di Mesjid Al Azhar, hanya karena ingin mendengarkan ceramah-ceramah Jumat Tantawi. Isi khutbahnya berbobot, selalu merespon isu-isu kontemporer yang sedang trend, dibasahi dengan dalil-dalil Alquran. Alur logikanya rapi, analisanya menarik, tutur katanya lembut tetapi memikat. Lama waktu ceramah 40an menit terasa singkat.

Saya selalu husnudhan, bahwa Grand Syekh Al Azhar era sekarang memang harus bersikap seperti Tantawi. Di era Tantawi, Al Azhar mampu menampilkan Islam yang ramah dan damai, Islam yang rahmatan lil’alamin. Andai saja pemikiran sang syekh sangat kaku, konservatif, tidak moderat, tertutup dari perubahan, mungkin sejak lama Mesir dan Al Azhar menjadi musuh Amerika. Tentu sejak lama Al Azhar mendapat stempel sarang teroris. Mungkin intervensi AS terhadap Mesir akan semakin jauh, hingga menyentuh persoalan keagamaan yang lebih sensitif. Maka para santri Indonesia di Al Azhar takkan nyaman belajar. Mungkin jumlah mahasiswa Indonesia di Al Azhar takkan sampai 4000 orang seperti sekarang. Terakhir, jika Grand Syekhnya bukan Tantawi, mungkin tulisan yang Anda baca ini takkan pernah ada, hehehe....

Pinggiran Nil, 28 September 2005

1 comment:

  1. de....kyai mang delematis....di satu sisi ia harus
    tidak memihak dengan salah kekuatan plitik
    manapun,nmun di sisi lain rayuan pltik sangt kuat
    menggodanya. de.....kalau di Ina perselingkuhan kyai
    dan politik bukan barang baru, tapi jadi tntonan
    sehari-hari

    ReplyDelete