Monday, November 28, 2005

Makanan Tunis

Menikmati Kuskus di Kota Tunis

Beberapa hari sebelum terbang ke Tunis, aku bertemu Pak Muzammil Basyuni, Wakil Kepala Perwakilan RI di Mesir. “Setibanya di Tunis, pastikan Anda menikmati Kuskus, makanan khas Tunis“, pesan beliau. Aku hanya tersenyum “Insya Allah, Pak“, jawabku singkat tapi mantap. Sebagai bujangan yang hobi makan enak, aku sangat tertarik dengan pesannya yang satu ini. Pak Muzammil pernah bertugas di Tunis pada pertengahan dekade 1980-an. Wajar jika ia tahu makanan favorit Tunis.

Setibanya di Tunis pada tanggal 10 November 2005, aku tidak langsung mencari kuskus. Karena kesibukan, kuskus sempat terlupakan. Aku pergi kesana kemari, untuk urusan keimigrasian dan berkas-berkas studi. Baru pada senja Rabu (23/11) kemaren aku tiba-tiba ingat kuskus, makanan Tunis yang sejak lama aku angankan itu. Pukul 16an sore, usai mengikuti mata kuliah Pemikiran Islam Modern, perut terasa keroncongan, pikiran terasa lelah. Maklum, musim dingin begini, perut suka manja, tak mau dibiarkan kosong. Bersama dua orang mahasiswa senior, aku berjalan cepat meninggalkan kampus, menembus gerimis yang membasahi bumi Tunis. Dalam dua minggu terakhir ini, hujan turun hampir tiap sore di kota berpenduduk 1 juta jiwa ini.

Sore itu kami sepakat untuk menikmati kuskus. Saking semangat, aku melangkah mantap, tak peduli badan kebasahan. Setelah berjalan kira-kira 10 menitan, kami tiba di sebuah rumah makan kecil di tepi jalan raya, dekat kawasan kota lama (Old Tunis). Rumah makan penyedia kuskus yang terdekat dari kampus kami, Universitas Zaytuna.

Tak banyak orang sore itu. Dari 10 meja yang ada, hanya 3 terisi. Maklum, bukan jam makan. Sambil menunggu pesanan tiba, aku memandangi suasana rumah makan itu. Tak lebar-lebar amat. Tetapi bersih. Di setiap meja, tersedia panci air minum dan 4 buah gelas bersih. Beda dengan rumah makan murah di Mesir, satu meja hanya ada satu gelas. Tak peduli berapa orang yang duduk. Minum satu gelas bergiliran– meski dengan orang Mesir sekalipun, adalah hal yang lumrah.

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa makanan. Semangkuk besar makanan, terdiri dari kubis, kentang, wortel, mentimun, dan kacang lupia. Semuanya berbentuk irisan kecil dan direbus. Dicampur dengan gandum bubuk, lalu disirami kuah kental bersaos dan goreng cabe merah. Bumbu lainnya aku tak tahu. Merah warna kuah menyiratkan rasa yang pedas. Diatasnya ada sekerat besar daging kambing. “Inilah kuskus yang Anda cari-cari itu”, tutur sang kawan. Oya? Aku memandangi mangkok itu seraya menelan air liur.

Lalu pelayan datang lagi membawa beberapa potong roti tawar. “Untuk tambahannya, Anda bisa makan roti ini atau pesan goreng kentang” tutur sang kawan. Aku hanya mengangguk-angguk. Memandangi kuskus yang masih mengepul panas. Bagi yang tidak suka daging kambing, tersedia juga kuskus ayam. Potongan ayam rebusnya kira-kira seukuran kepalan tangan orang dewasa. Di Tunis, paket makanan ini dinamakan kuskus dajaj (kuskus ayam). Sedangkan kuskus kambing biasa disebut kuskus alusy. Harganya sama : 2,5 Dinar Tunis. Atau setara dengan 2,2 Dolar AS. Harga yang lumayan murah, masih bisa terjangkau oleh kantong mahasiswa seperti aku. Di restoran-restoran elit kota Tunis, harga kuskus bisa lebih mahal hingga dua kali lipatnya.

Kuskus semangkok besar itu kuaduk rata. Tapi kuahnya terasa kurang banyak. Seorang pelayan kuminta menambahi kuahnya. “Behi”, kata sang pelayan sembari bergerak cepat, memenuhi permintaanku. Behi adalah bahasa Arab Tunis, artinya oke atau baik. Semakna dengan kata masyi atau hadir dalam bahasa Arab Mesir.

Setelah panasnya berkurang, kuskus itu segera kucicipi. Oh, ternyata memang nikmat. Ada rasa gurih, sedikit pedas dan asin. Aroma manis tomat juga terdeteksi. Mirip Nano-Nano, rame rasanya…! Mataku berkedip-kedip, lidah menari-nari, hehehe... Aroma harum bumbunya membuat perutku semakin tak sabar meminta diisi. Tanpa banyak basa-basi, aku segera ‘menghabisi’ makanan yang terkenal seantero Tunis itu. Aroma saos yang sedikit pedas plus daging kambing rebus yang kulahap sore itu, semakin menghangatkan perut dan tubuhku yang baru saja kedinginan bermandi gerimis. Ternyata, kuskus sangat cocok dinikmati usai hujan-hujanan. Jika Anda tidak percaya atau penasaran dan ingin mencobanya, silahkan buktikan sendiri. Di kota Tunis, tentu…

Salam Manis dari Tunis
Jumat 25 Nopember 2005

3 comments:

  1. deuh.. pertama yg ngisi koment dah.

    boleh anda kenali kuskus, tapi awas kalau anda lupa isy & tha'meya, saya penggal kepala anda pak tua...

    dah gitu saja, sy tunggu tulisan anda selanjutnya

    *samingan

    ReplyDelete
  2. Hmmm kayaknya enak deh. Mirip-mirip sop daging or sop ayam gak siy? Btw, knp sekarang jadi pindah ke Tunis? (sebelah mananya Mesir siy? maaf geografinya payah:-P)

    ReplyDelete
  3. hehe, kuskus Tunisia memang enak bukan main.. waktu saya baca cerita ini, saya jadi rindu banget sama makanan Tunisia.

    ReplyDelete