Saturday, December 10, 2005

Pesona Mesjid Zaytuna

Malam Jumat di Mesjid Zaytuna

Bab el Bahr, salah satu pintu Old Tunis
Sewaktu masih di Mesir, aku punya tradisi rutin ; menelusuri mesjid-mesjid tua nan bersejarah serta melarutkan diri dalam aneka ritual keagamaan didalamnya. Lumayan, untuk memperkaya pengalaman, baik pengalaman lahir ataupun pengalaman bathin.

Kini, setelah genap sebulan tinggal di Tunis, aku tiba-tiba berniat melanjutkan tradisi lama itu. Barangkali ada hal baru yang menarik. Buat cerita ke anak cucu kelak. Hehe..tentu mereka akan sangat senang menyimaknya. Maka pada senja Kamis (8/12) kemaren aku meninggalkan kediamanku di kawasan Bir Aniba, Tunis. Menuju mesjid paling terkenal dan bersejarah di kota Tunis ; Zaytuna, yang dibangun pada tahun 732 M pada akhir masa kekuasaan dinasti Umayyah. (Mesjid tertua di Afrika, mesjid Amr bin Ash di Fustat, Old Cairo didirikan tahun 640 M pada masa khalifah Umar. Sedangkan mesjid Al Azhar didirikan tahun 970 M pada masa dinasti Fathimiyyah].

Aku berjalan cepat menelusuri gang sempit yang berkelok-kelok diantara komplek perumahan kawasan Bab Manara, Old Tunis. Dari kediamanku, Mesjid Zaytuna bisa ditempuh selama 20 menitan jalan kaki.

Seperti halnya Kairo yang memiliki kota tua (Kahirah Qadimah, Old Cairo), Tunis juga punya kawasan kota tua Old Tunis atau Medina. Old Tunis dikelilingi oleh empat pintu gerbang di empat titik perbatasan ; Bab el Bahr, Bab Souika, Bab Sa’doun dan Bab Manara. Old Cairo juga dikelilingi Bab el Louk, Bab el Futuh, dan Bab en Nasr.

Kawasan Medina kini menjadi obyek wisata sejarah yang terkenal di Tunis. Mungkin seperti Old Cairo dengan paket Islamic Cairo-nya. Dan mesjid Zaytuna berada di tengah-tengah komplek Medina itu.

Usai melewati kompek perumahan penduduk dan Rue Manara (Manara Street), aku memasuki kawasan Medina. Berupa gang selebar 2 meter, berkelok-kelok dan bercabang ke banyak arah, membelah komplek pertokoan yang memanjang. Ada toko pakaian, kios tukang jahit, perhiasan, toko souvenir khas Arab Tunis, rumah makan, kafe, hingga penginapan. Sekilas mirip dengan Pasar Khan Khalili di Husein, Old Cairo. Hanya saja, Medina jauh lebih luas.

Bangunan toko-toko itu menyatu satu sama lain. Atap tembok berbentuk lengkung menaungi jalanan di seluruh komplek Medina. Melindungi pejalan kaki dari terik mentari dan hujan. Menurut cerita, umur komplek Medina plus atap temboknya yang masih kokoh itu juga setua usia Mesjid Zaytuna.

Aku belum hafal bener liku-liku jalan ini. Tapi aku PD saja, terus berjalan lurus, tak peduli beberapa belokan atau simpang empat yang kulewati. Di beberapa perempatan, terdapat merk-merk seperti Souk el Kuafi, Souk Et Trouk dan Souk At Tarine. Nama-nama blok bagian pasar. Souk At Tarine adalah pasar parfum, Souk de la Laine adalah tempatnya pakaian dan tenunan Arab. Begitu seterusnya.

Setelah 200an meter berjalan lurus di lorong itu, aku menemukan sebuah pintu terbuka, lebar dan tinggi, di sebelah kanan jalan, diantara deretan toko. Di dalam sana nampak pelataran luas. Ya, itulah pelataran dalam Mesjid Zaytuna. Di tengah komplek Medina. Keempat sisi tembok mesjid bersentuhan langsung dengan bangunan pertokoan ini.

Dengan bismillah aku memasuki pelataran mesjid. Alas kaki tetap dipake, meski lantainya berupa tembok tua yang bersih. Sejenak aku tertegun memandangi suasana sekeliling. Dalam senja yang temaram, aku berdiri di sebuah pelataran terbuka seluas kira-kira 1200an meter persegi. Sama luasnya dengan pelataran Mesjid Al Azhar. Dikelilingi bangunan tua berwarna kuning usang, serta tiang yang berderet. Disorot lampu malam, ketegaran bangunan itu semakin kentara, menyiratkan keangkuhan peradaban yang mewariskannya. Hanya menara setinggi 10 meteran di pojok kanan belakang mesjid yang dicat putih, dengan puncak genting berwarna biru. Khas menara mesjid-mesjid Tunis. Di atas menara itu, nampak seorang lelaki berpeci merah berdiri, tengak-tengok ke bawah. Siapa tuh, kok bisa naik ke atas. Aku khan jadi pengen, bisik hatiku penasaran.

Senja itu, aku merasa seolah-olah sang waktu terhenti sesaat. Lalu berbalik mundur hingga membawaku ke abad pertengahan. Seperti yang kurasakan kala berada di pelataran dalam mesjid Ahmad bin Tulun di Old Cairo, salah satu mesjid tua favoritku dulu.

Aku asyik mengamati setiap sudut dan lekuk bangunan kuno itu. Gaya arsitekturnya tak jauh beda dengan kebanyakan mesjid kuno di Mesir. Para jemaah yang hendak sembahyang magrib berdatangan dari empat pintu di empat pojok pelataran mesjid. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara adzan yang diteriakkan orang di atas menara sana. Oh, rupanya lelaki berpeci merah itu seorang muadzin. Aku membathin, mengapa adzannya tanpa pengeras suara. Tradisional banget gitu lho... Suara sang muadzin sore itu menggema, bersaing bersahutan dengan adzan magrib dari mesjid lain yang memakai pengeras suara.

Senja yang temaram berangsur kelam. Aku segera beranjak memasuki ruangan dalam mesjid. Juga dengan bismillah. Rupanya ruangan seluas kira-kira 1500 meter persegi itu telah dipadati jemaah. Mereka duduk rapi, diantara tiang-tiang yang berderet. Seperti halnya mesjid Al Azhar, mesjid Zaytuna juga banyak tiangnya. Ada 15 tiang dari kiri ke kanan serta 10 tiang dari depan ke belakang. Oh, jadi, semuanya 150 tiang, pikirku spontan. Lantai mesjid ditutupi tikar biasa. Berwarna dasar kuning, tanpa banyak variasi hiasan. Polos, sederhana, tetapi bersih. Kenapa bukan karpet atau permadani saja yach.

Aku memilih tempat duduk di shaf depan dekat imam. Sengaja, biar tau, siapa sih imam salatnya. Di shaf depan itu, banyak orang tua berjubah dan berpeci merah khas Tunis. Wajah mereka bersih dan berwibawa. Mungkin mereka ini para syekhnya, pikirku. Tapi cuek saja ah, aku yang tanpa peci serta bercelana jeans lusuh duduk bersila di sebelah mereka. Di hadapan Allah khan semuanya sama.

Belum 2 menit aku duduk, para jemaah itu berdiri serentak, sambil berteriak Allahu Akbar. Kompak banget. Aku kaget. Aya naon yeuh. Oh, rupanya sudah iqamat. Kirain teh ada keributan, lalu mereka panik dan bersiap-siap bubar, hehehe... Aku ikut berdiri. Kalimat iqamat baru sampai lafadz hayyaalasalah, para jemaah sudah berdiri rapi. Sebuah tradisi yang sangat menarik dan pantas kita ikuti, hehehe..
Seorang syekh yang renta memimpin salat magrib kami. Usai Fatihah, ia membaca surat-surat pendek dengan nada bacaan yang cepat. Usai salat, para jemaah membaca wirid, salawat dan doa secara serentak, bersama-sama. Dipimpin seorang syekh yang agak muda. Aku jadi ingat tradisi wiridan di mesjid-mesjid NU di tanah air.

Usai salat sunat bakdiyah, para jemaah berkumpul di tengah. Hampir semua mereka membawa mushaf Alquran. Aku menduga ada pengajian. Ternyata benar. Seorang syekh berusia setenga baya duduk di kursi dikelilingi para jemaah yang duduk lesehan. Seperti suasana pengajian Syekh Mutawalli Sya’rawi yang kerap kulihat di TV Mesir dulu. Hampir semua jemaah ikut. Tak kurang dari 400an orang. Belum lagi para jemaah wanita di bagian belakang mesjid, terhalang tirai kayu.


Pelataran dalam Mesjid Zaytuna kala sepi

Malam itu, rupanya sang syekh mengajarkan ilmu tajwid. Mula-mula para jemaah membaca surat Thaha bersama-sama. Aku duduk merapat pada seorang pria muda yang memegang mushaf di sebelahku. Ia tanggap. Segera mushaf yang terbuka itu didekatkan kepadaku hingga aku bisa membacanya. Sekilas kulirik, mulutnya komat-kamit mengaji, pandangan matanya kemana-mana. Gile, dia hafal surat Thaha, bisik hatiku. Padahal dia ga ada tampang orang saleh, hehehe....
Selesai surat Thaha, bacaan berpindah ke surat Al Anbiya. Serentak dengan nada tinggi. Seperti orang Indonesia yasinan. Nah, bacaan surat al Anbiya ini sering dipotong oleh sang syekh yang duduk di kursi. Lalu ia membaca sendirian dan menyuruh jemaah mengulangi bacaannya. Satu ayat diulang bisa sampai 5 kali. Tergantung isyarat tangan sang syekh. Jika tajwidnya sudah ok, bacaan berpindah ke ayat berikutnya.

Dan ratusan jemaah itu, yang rata-rata berpakaian rapi dan berusia muda, manut saja dengan perintah sang syeh. Sesekali sang syekh menjelaskan tajwid bacaan itu, diselingi tafsir / penjelasan kandungan maknanya. Di bagian ini aku merasa tertarik. Selain sang syekh nampak piawai mengurai makna kandungan ayat, ia juga sangat menguasai detail teori-teori ilmu tajwid, pendapat ulama serta syair-syair kaidah tajwidnya. Jika ada hamzah di ujung mad wajib muttasil bertemu hamzah lagi, maka hamzah pertama itu boleh dibaca panjang. Pendapat ini dianut oleh ulama anu pada abad anu…Contohnya dalam ayat wal muhsonatu minannisaa iiiiiiii….illa maa malakat…tuturnya. Aku asyik menyimak. Kepalaku mengangguk-angguk. Sesekali sang syekh bercerita tentang ikhtilaf ulama tajwid dalam hukum bacaan Alquran. Nama syekh Abdul Wahab al Qurtubi, ulama ahli tajwid abad ke-5 hijirah sering disebutnya. Membuatku terharu. Subhanallah.. Aneka ikhtilaf ulama dalam ilmu tajwid, sungguh, baru kuketahui saat ini. Aku benar-benar kuper. Aku ingat ungkapan hikmah Imam Syafii. Semakin lama belajar, aku semakin menyadari kebodohanku. Ternyata ilmu Allah itu sangat luas. Aku kira, ikhtilaf ulama hanya dalam masalah fiqh dan ushul fiqh sajah, hehehe… jadi pengen malu

Aku terlarut dalam ceramah-ceramah sang syekh yang memikat. Sesekali diselingi bacaan Alquran bersama-sama. Beliau adalah Syekh Muhammad Mansour, salah satu ulama besar di Zaytuna, tutur lelaki di sebelahku kala kutanya mengenai nama sang syekh. Setiap magrib hari Kamis, Ahad dan Senin, beliau mengajar di sini, katanya lagi. Aku mengangguk-angguk. Tatapan mataku tak berpaling dari sang syekh yang asyik berceramah. Sesekali gelak tawa jemaah terdengar, mengiringi guyonan sang syekh. Aku merasakan suasana pesantren di Sukabumi dulu, kala kyaiku yang juga suka humor, mengajariku ilmu tajwid. Ah, kyai di Mesir, Tunis dan Sukabumi sama saja ; punya tradisi humor tinggi.

Para jemaah yang datang terlambat, berdatangan lalu duduk bergabung. Tak sedikit diantara mereka berstelan jas dan dasi. Mungkin baru pulang kerja. Dengan mushaf yang siap di tangan. Rupanya mereka sudah mengetahui jadwal pengajian ini.

Menjelang adzan isya berkumandang, pengajian berhenti. Sang syekh memimpin doa. Jemaah mengamini kompak. Bergemuruh. Aku meresapi setiap ungkapan doa yang keluar dari mulut sang syekh, lalu mengamininya sepenuh hati. Kala ia membaca doa ampunan untuk kedua orang tua serta memohon ilmu yang bermanfaat, aku memejamkan kedua mata yang mulai terasa hangat. Bathinku berbisik pasti. Ya Allah, Maha Pemilik Ilmu. Curahkan ilmu-Mu yang luas kepadaku. Sebagaimana ilmu yang telah Kau curahkan kepada beliau yang duduk di kursi itu. Dalam terpejam, aku semakin terlarut dalam kenikmatan berdoa. Juga dalam kerinduan akan kampung halaman dan ayah bunda. Di sebuah malam Jumat di Mesjid Zaytuna...

Salam Manis dari TunisJumat 9 Desember 2005

3 comments:

  1. Kang Dede (KD) yang saya kenal dulu lewat SSM nya kini
    berkreasi lagi lewat Tunisiana. Dari nama rubriknya
    mudah ditebak, KD (yang jelas bukan Kris Dayanti) tak
    pernah tinggal diam untuk menulis dan berbagi
    pengalamannya dengan sesiapa akan negeri dan tempat
    yang tengah dikunjungi dan ditinggalinya. Masih dengan
    gaya khas feature-nya yang lugas, mudah dicerna, sarat
    pesan, dan tentu, sentilan kritis yang diramu indah
    dalam tulisan. Congratulation!

    ReplyDelete
  2. Subhanallah... Rasanya saya bisa mengalaminya sendiri :D
    Namun ada satu yang kurang, foto-foto bersama syaikh? hehe ada kan?

    Salam dari Surabaya.

    ReplyDelete
  3. Cerita2 Anda seperti novel Habiburrahman el-Shirazy "Ayat-ayat Cinta"! Begitu indah, dan temanya sama; tentang seorang mahasiswa Indonesia yang santri di negara Arab. Wow, Anda semestinta dijadikan buku.

    ReplyDelete