Sang qari, biasanya duduk di kursi menghadap jemaah. Seperti yang kusaksikan siang itu. Seorang lelaki setengah baya, berjubah hitam, berpeci khas Al Azhar. Yang atapnya merah itu, tanda yang bersangkutan seorang hafidz. Wajahnya kalem, tetapi menyiratkan rasa PD tinggi. Ya, watak orang Mesir kebanyakan memang begitu. Senyum sumringahnya selalu tersungging, sambil sesekali menyeka keringat dan ludahnya dengan tisu yang kayaknya tak ganti-ganti. Sebuah botol air mineral tergeletak di samping kursi, penawar haus dahaganya. Maklum, ia bertugas sebagai pembaca ayat-ayat Al Quran sambil menanti waktu adzan Jumat tiba.
Sebagai bentuk pujian, biasanya, para jemaah, menimpali sela-sela bacaannya dengan ucapan "Ällah yiftah álaik.." "Allahu yuzid umrak.." “Allah yunawwir qalbak..” atau sekedar “..Állah.." saja. Tergantung ayat yang dibaca juga. Jika ayatnya tentang keindahan syurga, atau pahala, maka para jemaah berkomentar “Ya Rabb..” “Subhanallah..” dan seterusnya. Jika ayatnya tentang neraka, mereka terdiam. Atau malah berdesah. Ada juga yang histeris Allahu Akbar. Atau bacaan shalawat. Semakin rame komentar, suara sang qari pun semakin mantap menggema.
Sayang sekali, aku bukan seorang qari. Suaraku tidak mengizinkan, hehe. Untuk bidang yang satu ini, kurasakan, bakatku terpendam terus, hehehe...Kebanyakan nyanyi dangdut kali. Dulu di Ciputat aku pernah belajar lagu-lagu qiraat. Secara singkat, karena tujuannya untuk bekal pertandingan Musabaqah Fahmil Quran (MFQ). Bukan untuk jangka panjang, hehe.. Tak heran, jika sekarang semuanya itu sudah terlupakan. Aku hanya masih ingat, lagu bayati, karena biasanya dilantunkan di awal. Atau lagu hijaz yang berirama sedih itu, hingga kerap menghanyutkan perasaan.
Ah, andai aku seorang lelaki bersuara merdu, tentu aku mendapat lebih banyak pelajaran dari Jumat macam begini. Aku bisa menambah koleksi lagu-lagu qiraat yang terkini, melalui qari-qari Jumat itu. Karena konon, lagu tilawah itu selalu terus berkembang. Dosen tahfidz di IAIN-ku dulu, Ibu Maria Ulfa, pernah absen mengajar selama beberapa minggu, karena berangkat ke Mesir guna mempelajari trend-trend baru lagu qiraat. Dua bulan lalu, aku juga pernah ketemu seorang ustad muda dari tanah air di Mesjid Indonesia Kairo, yang katanya sedang tinggal 3 bulanan di Kairo, sekedar untuk menambah koleksi lagu qiraat terkini dari para qari Mesir. Subhanallah.
Untuk urusan lagu qiraat, Mesir memang nomor wahid. Di negeri ini, dikenal banyak syekh bersuara merdu. Kasetnya beredar luas, bacaannya diputar dimana-mana. Tetapi yang unik, di negeri ini tak ada pembaca Al Quran perempuan alias qariah, yang tampil ke publik. Peserta musabaqah cabang tilawah (MTQ) pun, semuanya kaum Adam. Entah kenapa. Apakah karena ada fatwa suara perempuan adalah aurat..?! Ah, aku tak tahu.. Beda dengan di tanah air. Kita mengenal ibu Maria Ulfa, yang kusebut tadi. Juga ibu Nur Asiah Jamil dan lainnya. Sebaliknya, di negeri ratu kleopatra ini, penyanyi perempuan bersuara emas malah yang bejibun dan populer di publik. Dengan gaya tariannya yang menggetar-getarkan tubuh. Cantik-cantik, lagi. Andai mereka mau banting stir, menggunakan suara emasnya untuk baca Al Quran dengan lagu qiraat –kayak penyanyi kita Mel Shandy itu – tentu akan sangat mengagumkan.
Dan qari Jumat di Mesjid Husein siang itu, juga mengumandangkan lagu qiraat yang beragam. Saking banyaknya, hingga aku bingung, mana yang Hijaz, mana Ras, mana Jiharkah, dan mana yang selain ketiganya, hehehe.. Kuperhatikan dalam beberapa Jumat, qari-qari Mesjid Husein ini memang bersuara merdu dan sering bawa lagu-lagu syahdu. Mesjid yang lain juga begitu. Hanya qari di mesjid Syafii yang suaranya kurang merdu. Beberapa kali aku Jumat di sana, qarinya ngga ganti-ganti. Tajwid dan lagunya sih barangkali ok, tetapi suara sang qari yang berusia tua itu, kadang kurang stabil, hingga kerap menunda tetesan air mataku yang nyaris tertumpah. Ya, tetesan air mata. Karena aku sangat menikmati bacaan Al Quran di mesjid-mesjid itu. Terlebih jika ayatnya pas dengan suasana hati..Ah, aku kerap dibikin terbuai. Keindahannya, la tarsumuha al alfadz. Tak terlukiskan oleh kata-kata...Seperti halnya orang Mesir, aku hanya bisa menimpali bacaan sang qari dengan teriakan kagum “Allah Yunawwir Qalbak..” Sedangkan dalam hati, aku hanya merasa iri, dengan mereka, para lelaki bersuara merdu. Untung saja, rasa iri-ku biasanya tak lama. Karena aku sadar, bahwa iri adalah tanda tak mampu....hehehe..
Pinggiran Nil, dinihari 20 Mei 2005