Tuesday, February 07, 2006

Gila Bola

Fanatisme Bola, dari Mesir ke Tunisia
Belakangan ini, sepakbola kembali menjadi perhatian orang-orang di sekitarku. Piala Afrika 2006 yang digelar di Kairo adalah biangnya. Arena pertemuan dua tahunan bagi 16 tim terbaik Afrika. Dua tahun lalu, Tunis menjadi tuan rumah sekaligus menyabet juara.

Di tulisan ini, aku tak hendak bicara tentang Piala Afrika. Karena aku tidak mengikuti keseluruhan pertandingan itu secara serius. Aku hanya menonton beberapa pertandingan kebelasan Mesir dan kesebelasan Tunisia – yang kalah di perempat final lewat adu penalti yang menyakitkan dengan Nigeria. Aku hanya mau bertutur tentang fanatisme bola orang Arab, baik di Mesir ataupun Tunisia.

Orang Mesir dengan orang Tunis ternyata sama saja. Sama-sama penggila bola. Setiap kali Tunis main di Piala Afrika ini, jalanan selalu lengang, toko banyak tutup. Seorang kawan sempat gusar karena chating dengan kekasihnya batal, gara-gara warnet langganannya tutup. “Tukang warnetnya nonton bola” tuturnya, Jumat lalu, kala Tunis ketemu Nigeria itu.

Sebaliknya, kafe-kafe mendadak penuh. Kaum pria Tunis menonton bola rame-rame di kafe sambil menyeduh kopi dan mengisap rokok. Mirip dengan tradisi orang Mesir ; menonton bola di kafe (maqha) sembari mengisap syisya. Teriakan histeris atau suara gaduh mereka kal gol tercipta, kadang terdengar kemana-mana. Memecah kesunyian malam serta mengagetkan para pejalan kaki yang berlalu di dekatnya.

Arena Piala Afrika tahun ini bertepatan dengan Pameran Intenasional Buku Islam di Kairo. Seorang kawan di Kairo bercerita bahwa setiap kali kesebelasan Mesir main, stand-stand pameran banyak yang tutup sejak pukul 15, lebih cepat 5 jam dari jadwal seharusnya. “Semua orang pergi ke stadion”, keluh sang kawan. Hanya untuk menonton bola, para pedagang buku itu rela mengabaikan rezeki.

Bola memang bikin lupa segalanya. Bola melahirkan fanatisme yang kadang berlebihan. Sebagaimana trend umum yang terjadi di berbagai belahan dunia. Termasuk di tanah air. Seringkali kita dengar, setiap musim kompetisi Liga Indonesia di Senayan, ribuan supporter memadati ibukota, hingga kerap menimbulkan persoalan keamanan.

Di Mesir, cerita tentang supporter brutal sangat jarang terdengar. Tak seperti supporter Inggeris atau para bonek di tanah air itu. Di Mesir, fanatisme terhadap bola bahkan bisa menjadi berkah yang menguntungkan. Dukungan terhadap al Ahli atau Zamalek –dua kesebelasan terkemuka kota Kairo- kerap terasa hikmahnya dalam aktifitas sehari-hari. Di jalan-jalan, kantor, atau di mana saja, jangan heran kalau orang Mesir tiba-tiba bertanya, “anta ahlawi wal zamalkawi”? Kamu pendukung mana, Ahli atau Zamalek?

Pada saat itulah, kita –meskipun orang asing- harus bisa menjawab sesuai dengan keinginan si penanya. Jika kita mengaku ahlawi dan kebetulan dia juga seorang ahlawi, ia akan tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk punggung, atau bahkan memeluk kita. Jika ia seorang pedagang di sebuah toko, bisa jadi ia akan memberikan harga diskon kepada kita. Jika ia seorang pegawai kantor atau polisi tempat kita ada urusan, ia tak segan-segan akan membantu kita.

Sewaktu dalam perjalanan pulang dari Bukit Sinai ke Kairo pertengahan 2003 lalu, aku mampir ke kantor polisi di Mafariq Katrin, masih 400 km dari Kairo. Aku –bersama dua kawan- mengaku kehabisan uang dan minta bantuan polisi, menitipkanku ke mobil apapun, yang penting sampai ke Kairo. (Sebuah tradisi lama kala aku ABG,hehe... bepergian jauh tapi tak mau keluar duit. Sebagian orang Sunda menamai perilaku ini dengan istilah “papalidan”).

Komandan polisi menanyaiku macam-macam. Dari soal paspor, aktifitas di Mesir, tujuan perjalanan ke Sinai, hingga soal dukungan sepakbola itu. Tatapan matanya penuh curiga. “Ihna Ahlawiyyin ya Kapten”, tuturku berspekulasi. Kami semua pendukung Ahli. Raut muka sang komandan yang asalnya jengah berubah sumringah. Wawlohi?! Bigad?! Benarkah demikian?! Tanya pak komandan sembari menyalami kami erat. Seolah ketemu saudara yang lama berpisah. Beberapa stafnya ikut tersenyum dan berbicara ramah. Rupanya mereka juga pendukung al Ahli. Akhirnya, petang hingga sore itu kami bertiga jadi kawan ngobrol sang komandan, sambil menanti mobil lewat yang bersedia membawa kami secara gratisan. Teh (syay) dan aneka halawah, kue manis khas Mesir pun disuguhkan, mengisi perut kami yang keroncongan. Menjelang senja, sebuah bis wisata full AC yang dicegat oleh sang komandan, membawa kami hingga ke Kairo. Selama 5 jam perjalanan, aku tertidur lelap –bahkan mimpi indah-, berkah dukungan basa-basi terhadap al Ahli. Subhanallah.

Itu berkah dukungan terhadap kesebelasan yang sama. Sebaliknya, jika jawaban yang kita berikan tidak tepat -kesebelasan favouritnya berbeda dengan yang kita sebut, maka orang Mesir itu akan cemberut. Ia akan menunjukkan mimik muka kecewa.

Aku belum menemukan trend fanatisme seperti ini di Tunis. Mungkin karena aku belum banyak berinteraksi dengan orang Tunis. Tetapi dalam hal tradisi bermain bola, orang Tunis juga tak beda dengan orang Mesir. Setiap tempat yang agak luas, bisa disulap menjadi lapangan bola. Halaman rumah atau pelataran parkir beraspal pun bisa menjadi lapangan bola dadakan. Tak peduli kendaraan yang lalu lalang.

Lapangan bola di samping kediamanku sekarang, selalu diramaikan oleh anak-anak penggemar bola. “Musim panas nanti, lapangan itu lebih ramai lagi”, tutur seorang mahasiswa senior. Seperti yang sering kusaksikan di Mesir dulu. Selama musim panas, pertandingan bola menjadi aktifitas rutin, baik pagi, siang, malam hingga menjelang dini hari. Lapangan beraspal suq sayyarah, yang setiap Jumat berfungsi sebagai pasar mobil bekas, pada hari lainnya berubah fungsi menjadi lapangan bola.

Para pemainnya, tak pandang bulu. Anak-anak kecil, remaja hingga kakek-kakek bongkok. Tak punya bola, benda apapun jadi. Kaleng bekas minuman pun bisa dianggap seolah-olah bola. Ditendang sana-sini. Cuek saja. Toh pakaian pemainnya pun apa adanya. Tanpa kaos atau sepatu olah raga. Cukup dengan pakaian biasa, bahkan jubah yang biasa dipakai sembahyang.

Begitulah, sepakbola memiliki daya pikat yang luar biasa. Tak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi juga di Asia, Afrika dan Tanah Arab yang notabene negara muslim. Karena pandai bermain bola, seseorang bisa mendadak terkenal lalu jadi jutawan. Karena hendak menonton bola, pedagang bisa lupa pembelinya. Karena fanatisme bola, yang sulit bisa berubah mudah, lawan bisa menjadi kawan, atau sebaliknya.

Berkaitan dengan fanatisme bola ini, aku teringat analisa seorang ustad yang kutemui di Jakarta tahun 2000. Bahwa sepakbola (football) telah dijadikan sebagai salah satu –dari paket 9F - media propaganda Yahudi yang dihembuskan ke dalam tubuh umat Islam. Tujuannya, untuk meracuni, merusak persaudaraan, menebar benih permusuhan atau menghancurkan umat Islam. Ke-9 F itu diantaranya adalah fashion, food, film, fun, dan football itu tadi. Lainnya aku lupa.

Analisa semacam itu – meski terkesan mengada-ngada, menurutku sah-sah saja dan layak kita renungkan sejenak. Sekedar untuk berhati-hati, demi kebaikan bersama. Siapa tahu memang benar adanya; ada pihak ketiga yang memancing di air keruh. Menunggangi sikap fanatisme bola di kalangan umat Islam ini, demi kepentingan sang penunggang. Bisa saja terjadi, khan?!

Aku tak merasa perlu untuk bertutur lebih jauh lagi –baik tentang bola, atau tentang analisa sang ustad ini. Beberapa saat lagi, semi final Piala Afrika –antara Mesir dan Senegal- akan segera digelar. Aku akan segera bersiap-siap, duduk santai depan televisi, ditemani rokok, nescafe hangat dan snack. Bersama kawan-kawan serumah, tentu. Karena kami tak mau kehilangan momen yang mahal ini.
Salam Manis dari Tunis

Tunis, 7 Februari 2006







3 comments:

  1. Tadi malam (11/02/06) Orang-orang MEsir turun ke jalanan semalam suntuk untuk merayakan kemenangannnya melawan Cote d'ivoire dalam adu pinalti. Luar biasa, sebelumnya saya sydah membayangkan bagaimana jika tadi malam Mesir kalah dengan stadion yang dipadatai 84.000 penonton dan cafe-cafe dan jalanan yangd ipenuhi orrang menonoton di televisi. Apa jadinya?

    ReplyDelete
  2. mabruk ya masr...mabruk ya masr..lumayan dapat sebotol cocacola dari market bawah rumah...pasca kemenangan timnya..mesir rame, gaduh, ribut, segala sesuatu yg bisa bunyi dibunyikan, klakson, gendang, nyanyian,tarian, kembang api hingga himar penarik gerobok pemungut sampah pun ikut teriak2 dengan suara indahnya, mungkin karena gila bolanya org mesir ampe himar nya pun ngerti bola:)....kemarin gak ada ahly zamalik, semua melebur dalam riuh ruah kemengan tim mesir..mabruk ya masr alal intishar....bang dede rupanya pengamat bola juga nih...:)

    ReplyDelete
  3. Bicara tentang bola, saya jadi ingat ada seorang laki-laki (ikhwan= dia anak musola)bertanya kepada saya kenapa suka nonton bola. saya pikir alasan dia karena gender (saya prm). belum saya jawab dia udah langsung ngomong aja: karena pemainnya ganteng bla bla bla. dengan nada kesal saya jawab emang kenapa kalo saya suka nonton bola. trus dia jawab nonton bola itu kan bisa melalaikan kewajiban spt salat. trus saya jawab saya nonton bola setelah mengerjakan kewajiban saya, selama tidak melalaikan saya itu bukan hal yg terlarang kok. saya jawab aja, dengerin nasyid juga jd terlarang kalo itu melalaikan salat......
    itu jaman saya masih kuliah, tapi sampai sekarang masih suka nonton bola, abis seru banget.

    ReplyDelete