Tuesday, January 31, 2006

Info PPI Tunisia

Dinamika PPI Tunisia

Jumlah anggota yang hanya 14 orang, bukan penghalang bagi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia untuk berdinamika. Ragam kegiatan – dalam segala keterbatasan- tetap digelar, sebagai media aktualisasi diri dan potensi.
Beberapa kegiatan PPI Tunisia 2005-2007 direkam dalam tulisan oleh Divisi Public Relation. Lalu, tulisan-tulisan itu secara periodik dikirimkan ke milis Badan Koordinasi Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah. Sambil mempersiapkan sebuah website khusus. Beberapa diantara tulisan itu bisa Anda nikmati di sini.

Pengajian Tahun Baru Hijriyyah di PPI Tunis
Sabtu (28/1) malam kemaren, 40an orang WNI di Tunisia berkumpul di Aula Nusantara KBRI Tunis. Mereka menggelar pengajian dalam rangka menyongsong tahun baru 1427 Hijiriyah. Acara ini merupakan hasil kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia dengan KBRI Tunis.

Acara diawali dengan salat Magrib berjamaah pada pukul 17.50. Sahabat Ulung Partajaya bertindak sebagai imam. Usai salat, para jemaah duduk melingkar. Pengajian umum pun digelar. Sahabat Abdul Hamdi dan Hasbiyallah masing-masing bertindak sebagai MC dan pembaca wahyu ilahi. Sedangkan uraian hikmah tahun baru hijriyyah disampaikan oleh sahabat Dede Permana.

Duta Besar RI di Tunis, Hertomo Reksodiputro yang pada malam itu menyampaikan kata sambutan, berharap agar acara keagamaan tetap dijalankan secara kontinyu di lingkungan masyarakat Indonesia di Tunis. “Untuk menambah wawasan serta mempererat silaturahmi antara kita”, tuturnya. Sedangkan dalam ceramahnya, sahabat Dede Permana mengajak para jemaah untuk senantiasa memiliki semangat memperbaiki diri, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. “Hijrah bagi kita di era modern ini bermakna sikap jiwa untuk mau terus melakukan perbaikan diri, meninggalkan hal yang buruk lalu menggantinya dengan hal yang baik. Menjauhi gelap menuju terang, membuang kejelekan lalu mencari kebaikan. Jika ini telah difahami secara baik oleh setiap individu muslim, maka umat Islam akan menjadi bangsa terhormat dan kembali meraih kejayaan”, kata mahasiswa S2 Syariah ini.

Dalam cermah yang berdurasi 25 menit ini, sahabat Dede juga menggambarkan kesabaran Nabi dalam menghadapi beratnya perjuangan dakwah di Mekkah. Beberapa kisah permusuhan Abu Jahal dituturkan, diselingi hikayat-hikayat lain yang dibumbui humor. Gelak tawa para jemaah pun terdengar sesekali.

Pada pukul 18.30, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Para jemaah melontarkan pertanyaan, komentar atau gagasan lain yang belum disampaikan penceramah seputar tema hijrah. Bapak Hanafi, seorang local staf bertanya tentang sikap permusuhan Abu Jahal kepada Nabi. Bapak Mahfud bertanya soal hikmah sistem penanggalan hijriyah yang berdasar pada peredaran bulan. Sedangkan Pak Dubes bertanya soal keragaman pemikiran di dalam tubuh umat Islam. “Bagaimana mungkin umat Islam akan bisa maju, jika di dalam tubuh Islam sendiri masih banyak pertentangan”, tutur Pak Dubes.

Sebagian pertanyaan itu dijawab oleh penceramah. Lalu para jemaah lainnya memberikan komentar atau tambahan informasi. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Abdul Hanan dan Bapak Hidayat Sibyan. Beberapa jemaah ibu-ibu pun ikut memberikan tanggapan dan pertanyaan, termasuk Ibu Dubes.

Diskusi itu dihentikan pada pukul 19.30, kala diskusi sedang hangat-hangatnya. Padahal, rencana semula, acara pengajian berakhir pukul 19.00. Pada pukul 19.30, para jemaah melaksanakan salat Isya yang dipimpin oleh sahabat Dede.

Sebagai acara penutup, para jemaah menikmati hidangan makan malam yang disediakan oleh Dharma Wanita KBRI Tunis. Sambil beramah tamah. Hidangan pembukanya adalah mie bakso panas. Sangat cocok dinikmati pada musim dingin begini. Kenikmatan bakso malam itu menambah indah kesan pengajian tahun baru hijriyyah.

Tunis, 30 Januari 2006

Dimana Ada Koperasi, Di Situ Ada Dinar
Pada puncak musim dingin yang kadang diiringi hujan seperti sekarang ini, keluar rumah bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Kecuali untuk kuliah, urusan KBRI, atau urusan lain yang sangat penting.

Pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia membaca fenomena ini dari sisi bisnis. PPI segera menyediakan kebutuhan harian para mahasiswa yang biasa dibeli di warung. Seperti rokok dan aneka jenis makanan ringan alias snack. Agar para mahasiswa tak usah bersusah payah pergi ke luar, menembus dingin dan hujan yang turun hampir tiap hari.

Benda-benda pengisi perut itu disimpan rapi di sebuah dus besar, lalu diletakkan di meja pojok kanan aula sekretariat, tepat sebelah kiri komputer. Secarik kertas dipasang rapi di dekatnya. Berisi daftar harga. Satu sachet nescafe dijual seharga 0,3 Dinar. Sebungkus rokok Mars dihargai 1,8 Dinar, sedangkan Dji Sam Soe dan Gudang Garam masing-masing 3 dan 2,5 Dinar. Begitu juga beberapa jenis cokelat, wafer, roti dan kue kering. Semua harga tertera jelas. Oya, 1 Dinar Tunis setara dengan Rp 8 ribu atau 0,8 Dolar AS.

Koperasi jadi-jadian ini diadakan sejak pertengahan Desember 2005. Idenya bermula dari obrolan-obrolan ringan. Atas instruksi Ketua PPI, sahabat Muhammad Iqbal, Divisi Dana dan Usaha menindaklanjuti ide ini secara konkret. Modal awal dicairkan, sahabat Hasbiyallah, mahasiswa baru S1, berusia 21 tahun, ditunjuk sebagai penanggung jawab operasionalnya.

Maka sahabat Hasbi pun segera berbelanja. Lalu barang-barang beliannya disimpan di kotak itu. Dalam praktik jual belinya, sahabat Hasbi juga berperan sebagai penjual. Jika ia sedang di luar rumah, pembeli cukup menyimpan uang di kotak yang disediakan, lalu menuliskan nota pembeliannya di white board yang terletak di sebelah kanan komputer. Sebuah praktik kegiatan ekonomi yang menuntut kejujuran tinggi. “Pada paket penjualan pertama, kita dapat untung 12 Dinar”, tutur sahabat Hasbi diiringi senyum sumringahnya. Buah rasa syukur kepada Allah.

Konsumen koperasi ini bukan hanya para mahasiswa anggota PPI yang tinggal di sekretariat. Melainkan juga keluarga besar KBRI Tunis yang biasa bersilaturahmi ke sekretariat. Sesekali kadang ada staf KBRI Tunis yang menelpon, memesan rokok Indonesia. Maka, koperasi pun melakukan pelayanan home delivery (tausil al manazil) dengan biaya antar sewajarnya.

Bagi mahasiswa yang belum punya uang, koperasi juga memberikan kemudahan berupa fasilitas utang. “Tapi jumlah pengutang dan nilai barang yang diutang, selalu kita pantau. Agar koperasi tidak nombok”, tutur sahabat Hasbi, penuh perhitungan. Jiwa bisnis memang harus begitu.

Ke depannya, koperasi akan menambah macam barang yang dijual. Tiga anggota PPI Tunisia yang sedang melakukan ibadah haji, mendapat tugas berbelanja makanan khas Indonesia di Jedah, untuk barang jualan di koperasi. Seperti aneka rokok Indonesia, indomie, obat-obatan, bumbu dapur serta aneka makanan/minuman ringan. Dalam waktu dekat, koperasi juga akan menyediakan bakso dan mie ayam. Sebagaimana permintaan yang banyak dilontarkan oleh keluarga besar KBRI Tunis. Seorang rekan mahasiswa berbakat, telah menyanggupi pembuatan kedua makanan Indonesia ini. “Usai ujian musim dingin, insya Allah saya siap”, tuturnya pelan, tapi pasti. Tatapan matanya menerawang penuh harapan. Kita lihat nanti aksinya usai ujian bulan Februari ; benarkah dinar akan mengalir deras ke pundi-pundi koperasi?!

Tunis, 23 Januari 2006

Diskusi Hangat ala PPI Tunis
PPI Tunisia terus bergeliat, meski kadang perlahan. Satu per satu kegiatannya terlaksana. Setelah kegiatan rutin kursus bahasa, penerbitan jurnal serta pengaktifan koperasi mahasiswa, kali ini giliran acara diskusi bulanan. Ahad (15/1) pukul 09.00 pagi, 11 anggota PPI Tunis berkumpul di sekretariat. Mereka memulai paket diskusi ilmiah bulanan.

Untuk edisi perdana ini, sahabat Dede Permana bertindak sebagai pemakalah. Ia mempresentasikan makalahnya yang berjudul ‘Menimbang Gagasan Feminisme dalam Dunia Islam’. Sedangkan sahabat Hasbiyallah dan sahabat Ahmad Ridlo masing-masing sebagai moderator dan notulen.

Paket diskusi bulanan ini berusaha mengapresiasi isu-isu keislaman kontemporer. Seperti tema-tema Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam, Penegakan Syariat Islam, Universalitas Alquran, Islam Liberal, Gender dan lain-lain. Para presentator diwajibkan menulis makalah berbahasa Indonesia. Meski pembahasannya diarahkan pada hal-hal yang mendasar dan bersifat pengenalan.

Seperti dalam diskusi ahad kemaren. Tema feminisme dipaparkan oleh presentator secara global. Dimulai dari definisi feminisme serta sejarah kemunculannya di Eropa dan AS pada abad ke-18. Lalu, bagaimana isu feminisme itu bersentuhan langsung dengan dunia Islam di Timur, hingga kemudian muncul buku Tahrir al Mar’ah-nya Qassim Amin dari Mesir.

Presentator juga memaparkan sekilas gagasan-gagasan Qassim Amin dalam buku itu. Serta gagasan tokoh-tokoh feminisme Islam yang muncul belakangan, seperti Rifat Tahtawi, Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi. Pada sesi tanya jawab, diskusi menjadi hangat ketika tema pembicaraan mulai menukik pada persoalan hak-hak wanita dalam Islam. Seperti soal kewarisan, hijab dan poligami.

Diskusi hangat itu berakhir menjelang jam 11, karena keterbatasan waktu. “Sebenarnya tak cukup waktu dua jam untuk diskusi soal feminisme dalam Islam”, tutur sahabat Dede Permana. Antusiasme para peserta memang sangat nampak, padahal tema yang dibicarakan baru pengantar umum feminisme. “Semoga diskusi ini bisa menjadi pemacu semangat untuk mau terus membaca”, tutur sahabat Muhammad Iqbal, ketua PPI.

Acara itu diakhiri dengan pembicaraan tentang ke-PPI-an, yang dipandu langsung oleh ketua PPI Tunisia. Tema pembicaraannya menyangkut evaluasi kegiatan PPI serta agenda-agenda terdekat ke depan. Diantaranya yang akan segera dilaksanakan adalah pengajian rutin bulanan, pelatihan jurnalistik serta pembentukan klub studi ilmu kalam dan filsafat Islam. Doakan sukses ya………….

Tunis, 16 Januari 2006

Semalam Bersama Mas Rojab
Senin (2/1) usai magrib, sekretariat kami kedatangan tamu spesial. Dialah sahabat Muhammad Sahrul Murojab, mantan wakil ketua organisasi mahasiswa Indonesia di Libya tahun 2003, yang kini menjadi local staff di KBRI Tripoli.

Kedatangan beliau tak kami sia-siakan begitu saja. Acara dialog dadakan segera kami gelar, di aula pertemuan sekretariat kami yang sederhana. Tujuh anggota PPI Tunisia yang kebetulan berada di sekretariat, duduk melingkar membuat lingkaran kecil. Mas Rojab, sapaan akrabnya, kami hujani dengan puluhan pertanyaan tentang beragam hal ; ihwal sistem studi di Libya, beasiswa, kegiatan KKMI (PPI-nya Libya), iklim sosio-politik Libya, hingga kisah-kisah pribadinya. Saya bertindak sebagai pemandu diskusi santai itu.

Dalam suasana yang penuh kekeluargaan, Mas Rojab bertutur penuh semangat. Tentang aktifitas studi mahasiswa Indonesia di Libya yang kini berjumlah 78 orang. Tentang kehidupan keseharian di asrama mahasiswa, juga tentang beasiswa sebesar 30 Dinar. “Mahasiswa yang najah dalam dua tahun pertama, akan mendapat tiket liburan ke tanah air”, tutur alumnus The Faculty of Islamic Call, Tripoli tahun 2004 itu diiringi decakan iri kami, para mahasiswa Tunis.

Sesekali Mas Rojab juga balik bertanya kepada kami, tentang Universitas Zaytuna, atau tentang Tunisia secara umum. Baik menyangkut sistem studi, aktiftas mahasiswa ataupun iklim belajarnya. Kami pun bergiliran bertutur. Sahabat Mohammad Iqbal, ketua PPI kami angkat bicara. Juga rekan lainnya, baik sahabat Diki, Ulung, Hasbi, Hamdi, atau Ayat, mahasiswi satu-satunya di lingkungan PPI Tunis.

Dialog berlangsung santai dan mengalir. Kami semakin terlena. Terlebih ketika Mas Rojab yang kini baru berusia 26 tahun itu bercerita tentang liku-liku perjalanan hidupnya sejak masa kuliah, persiapan menikah, hingga bisa kembali ke Tripoli untuk bekerja di KBRI. Penuturannya sarat dengan filsafat dan hikmah-hikmah kehidupan.

Menjelang jam 21, dialog dihentikan, karena ada beberapa rekan kami yang bersiap-siap menghadapi ujian. Tapi tidak berarti dialog hangat itu berakhir begitu saja. Beberapa menit kemudian, saya bersama dua rekan lain, menemani Mas Rojab, menyusuri wajah malam kota Tunis Modern di Borguiba Avenue. Kali ini, giliran Mas Rojab yang berdecak, melihat keindahan dan eksotisme kota tua Tunis. Maka patung Ibnu Khaldun, Tugu 7 November, Katedral, stasiun kota serta alun-alun Borguiba menjadi sasaran jepretan kamera Mas Rojab. Sahabat Hamdi, seorang mahasiswa senior, tak henti bertutur soal sejarah Zaytuna, Old Tunis, juga beberapa pesona khas Tunis.

Malam semakin larut dan dingin. Tetapi kami punya jurus jitu mengusir dingin ; duduk di kursi rumah makan Tunis, menikmati Lablabi, jamuan khas Tunis yang mengandalkan sumsum sapi sebagai menu utama. Meski aroma lablabi hangat itu melenakan kami, diskusi kami terus berlanjut….

‘Satu malam bersama PPI Tunis, memberikan nuansa tersendiri. Komunitas anak-anak muda, yang masih memiliki nafas kebebasan. Di sini, saya menemukan kenangan lama saya ‘, tutur alumni KMI Gontor 1999 ini dalam pesan tertulisnya yang kami abadikan di buku tamu PPI Tunis.

Mas Rojab, terima kasih atas kunjungannya. Juga atas info-infonya yang menarik tentang Libya. Allah akan mempertemukan kita lagi suatu saat nanti,InsyaAllah.

Tunis, 3 Januari 2006

Usir Dingin Dengan Bahasa Perancis
Ahad (11/12) seharian kemaren, matahari tak nampak di angkasa Tunis. Awan tebal bergelayut, mendung hitam menutupi langit. Sesekali gerimis turun membasahi bumi. Gimana rasa dinginnya, wah jangan tanya lagi dech.

Hingga lewat magrib, suasana masih tak berubah, gerimis malah tak mau henti. Kabut tebal diatas sana nampak semakin hitam, ditelan senja yang temaram. Udara dingin terasa dimana-mana, menusuki pori-pori satu juta warga kota Tunis.

Tapi, udara dingin senja itu seolah tak dirasakan oleh 9 manusia mungil bin imut yang tengah berada di sekretariat PPI Tunisia. Gelak tawa menghiasi acara kami saat itu ; kursus mingguan bahasa Perancis. Waktu dua jam tak terasa lama, udara dingin akibat gerimis juga tak digubris. Pasalnya, pelajaran senja itu sangat menarik. Kami harus bercerita soal Un Bureau Fou Fou Fou, kisah sebuah kantor gila.

Kantor gila? Ya, sebuah kantor gila. Kantor yang acak-acakan tak tentu. Sang instruktur, sahabat Muhamad Yazid yang Perancisnya sudah cas cis cus mula-mula menggambar suasana sebuah ruangan yang tidak teratur. Di sebuah white board tua tapi serbaguna milik PPI. Ada gambar meja yang sedang terlentang, kursi sofa yang bergantung di dinding, serta buku yang berserakan di lantai. Lalu, ia menanyai kami bergiliran. Ou est la cloche! Dimanakah posisi jam dinding! Au dessous de la choise. Bacanya, o dessu de la sez, tuturku terbata-bata. Diulang-ulang karena salah melulu. Kawan-kawan tertawa cekikikan. Maklum, aku masih buta soal Perancis. Jam dinding itu berada di kolong kursi, begitu kira-kira arti kalimat yang kusebutkan.

Ou est le canafe! Dimanakah kursi panjang itu! Tanya Pak Guru kepada sahabat Ulung, mahasiswa baru di S2 Ushuludin. Le canafe debout contre le mur. Sahabat Ulung mencoba membaca, le canafe debu contkhe le mukh. Kursi panjang itu berdiri di seberang dinding. Jorok banget tuh pemilik kantor, komentarku.

Ya begitulah, suasana belajar yang amat santai. Tema-tema populer, dikemas dengan ungkapan sederhana dan contoh yang menarik. Meski ga masuk akal dan sedikit norak, hehe.. Yang penting khan substansinya itu lho. Bagaimana melatih lidah untuk fasih Perancis. Aku merasakan, bahasa Perancis ternyata sangat sulit. Lebih sulit dari bahasa Inggeris. Menurut cerita dosenku, kosakata bahasa Perancis jauh lebih kaya ketimbang Inggeris. Bahasa Perancis banyak mengumbar pelafalan kha seperti halnya kha huruf idzhar dalam ilmu tajwid. Pendule dibaca pendikh, bureau dibaca bikho. Teks diucapkan sangat jauh berbeda dari tulisannya.

Bagi mereka yang belajar di Zaituna, bahasa Perancis adalah kebutuhan yang tak terelakkan. Mungkin hal ini dialami juga oleh kawan-kawan di Maroko dan Aljazair. Dosen-dosen banyak merujuk referensi berbahasa Perancis. Pengumuman-pengumuman atau merk-merk tulisan di kampus, banyak menggunakan bahasa Perancis.

Maka bagi kami yang di Zaituna, kursus mingguan bahasa Perancis menjadi program utama PPI. Sukses bahasa Perancis, berarti sekian puluh persen kesuksesan belajar telah di tangan. Meski kami juga tak lupa dengan bahasa Arab dan Inggeris. Diskusi ilmiah bahasa Arab akan segera diaktifkan lagi. Selain kursus bahasa Inggeris setiap Selasa malam yang kebetulan aku sendiri ketiban tugas sebagai pemandunya. Ya sebagai new comer di lingkungan PPI Tunisia, aku manut saja. Khusus untuk bahasa Inggeris ini, metode belajaranya berkonsentrasi pada pemahaman teks dan latihan pengucapan (pronunciation) yang baik. Karena rata-rata para anggota sudah punya basic bahasa Inggeris.

Kami biasanya belajar selama maksimal 90 menit. Seperti Ahad kemaren itu. Menjelang jam 19.00 malam, acara kami berhenti. Petugas piket masak segera beraksi di dapur. Sementara kawan lainnya bersantai di ruang tengah, sambil sesekali mengulang-ulang pelajaran yang baru berlalu. Suasana tetap terasa hangat, padahal di luar sana, gerimis masih terdengar berjatuhan.

Tunis, 12 Desember 2005

Maju Bersama PPI Tunisia
Kecil itu indah. Begitu kata peribahasa. Bagi para mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Tunisia, makna peribahasa ini lebih terasa. Komunitas mahasiswa yang kecil akan lebih mudah bersinergi menuju sesuatu yang indah. Maju menuju tujuan bersama yang diangankan.

Saat ini, ada 14 mahasiswa Indonesia yang belajar di Tunisia. Sepuluh diantaranya belajar di Universitas Zaytuna, perguruan tinggi Islam yang berusia lebih dari 1300 tahun. Tiga orang belajar di Institut Borghuiba dan satu orang lagi di sebuah akademi manajemen. Kesepuluh mahasiswa Zaytuna itu, 3 orang belajar pada jenjang S1, 6 orang di S2 dan satu orang di program S3. Ke-14 orang itu juga terdaftar sebagai anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia.

Minimnya jumlah anggota tidak menghambat kelancaran kegiatan PPI. Justru sebaliknya, jalinan komunikasi dan silaturahmi diantara para mahasiswa terjadi secara intensif. Koordinasi sesama anggota terasa mudah. Pun koordinasi dengan KBRI Tunis, selaku wakil pemerintah RI di Tunisia. Tak jarang para mahasiswa terlibat secara penuh dalam kegiatan-kegiatan KBRI.

Kekompakan sesama anggota PPI nampak pada acara Rapat Anggota Tahunan (RAT) PPI Tunisia yang digelar pada hari Sabtu (26/11) lalu. Ke-14 anggota hadir, mengikuti acara yang digelar di sekretariat PPI, di kawasan Bir Aniba, kota Tunis. Acara dimulai jam 15.00 waktu Tunis (21 WIB) dan berakhir jam 22.00 (04.00 Ahad dinihari WIB).

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah rapat tahunan, evaluasi kegiatan menjadi agenda utama RAT PPI Tunisia. Kinerja kegiatan PPI periode 2003-2005 dilaporkan secara terbuka, lalu dikritisi secara positip. Sahabat Abdul Hamdi, ketua PPI 2003-2005 menyampaikan LPJ-nya, sementara para anggota secara bergiliran memberikan komentar dan tanggapan. Persidangan yang dipimpin oleh sahabat Muhammad Yazid ini berjalan dengan lancar. Dinamika persidangan, kopi yang mengepul, serta tawa santai para anggota, turut menghangatkan acara yang digelar di awal musim dingin ini.

Pada bagian akhir, ada agenda pemilihan ketua PPI periode 2005-2007. Tiga orang calon ketua terjaring ; sahabat Arwani Syaerozi, Diki Abdul Kadir dan Mohammad Iqbal. Sahabat Arwani adalah putera Cirebon yang saat ini sedang menggarap tesisnya di bidang Syariah Islamiyyah. Sedangkan sahabat Diki dan sahabat Iqbal adalah mahasiswa tingkat akhir pada program S1 Fakultas Peradaban Islam Universitas Zaytuna. Setelah melewati proses seleksi dan debat kandidat, sahabat Iqbal meraih 8 suara. Sedangkan sisa 6 suara dibagi rata antara sahabat Diki dan sahabat Arwani.

Bagi PPI Tunisia, agenda pengembangan potensi dan prestasi akademik anggota adalah hal utama. Akan tetapi, PPI Tunisia 2005-2007 akan memperbaiki kinerja organisasi serta membuka jaringan (networking) yang lebih luas. Akses ke Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BKPPI) se-Timur Tengah dan sekitarnya akan mendapat perhatian serius. Agar para anggota PPI Tunisia bisa tetap berhubungan dengan komunitas mahasiswa luar. Sebagai bekal tambahan dalam menempa diri dan potensi sebelum berkiprah di arena pengabdian yang sesungguhnya di tanah air kelak.

Tunis, 29 Nopember 2005

1 comment: