Metodologi Studi Islam di Kawasan al Maghrib al Arabi

Para pelajar dan mahasiswa Indonesia dalam sebuah acara di kampus Universitas Ez Zitouna, Tunis

Para pelajar dan mahasiswa Indonesia dalam sebuah acara di kampus Universitas Ez Zitouna, Tunis
Pekan lalu, utusan khusus Presiden RI untuk Timur Tengah, Dr. Alwi Shihab melakukan kunjungan dinas selama 3 hari ke Tunisia. Di sela-sela kesibukannya, hari Rabu (24/5) beliau berkesempatan bersilaturahmi dan berdialog dengan 40-an WNI di Tunis, termasuk kami, para mahasiswa.
Tentu kesempatan mahal ini tak kami sia-siakan. Empat orang mahasiswa –salah satunya aku - bertanya tentang beragam hal kepada Pak Alwi. Baik itu tentang Aceh, Merapi, tentang Islam di Barat dan tentang Islam Moderat di Indonesia.
Aku mengajukan beberapa pertanyaan dan usulan. Diantaranya, aku mempertanyakan komitmen pemerintah RI dalam program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan al maghrib al arabi - sebutan bagi negara-negara Arab di kawasan barat benua Afrika, seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Libya dan Mauritania. Akan tetapi yang kumaksud dalam konteks ini hanyalah Tunisia, Aljazair dan Maroko. “Saya mengusulkan agar program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan ini ditingkatkan di masa-masa mendatang”, tuturku penuh percaya diri.
Aku merasa perlu mengusulkan ini kepada Pak Alwi. Selain karena beliau dekat dengan para pemegang kebijakan di Jakarta, beliau juga seorang intelektual muslim yang kaya pengalaman seputar metodologi studi Islam, baik di Timur maupun di Barat.
Usulanku ini berangkat dari pengamatan sementaraku selama ini, bahwa studi Islam di kawasan al Maghrib al Arabi ini memiliki beberapa keunggulan yang layak dipertimbangkan. Terutama hal-hal yang kutemukan di Tunisia, yang sepertinya belum banyak diterapkan di kebanyakan negara Arab lain.
Tentu kesempatan mahal ini tak kami sia-siakan. Empat orang mahasiswa –salah satunya aku - bertanya tentang beragam hal kepada Pak Alwi. Baik itu tentang Aceh, Merapi, tentang Islam di Barat dan tentang Islam Moderat di Indonesia.
Aku mengajukan beberapa pertanyaan dan usulan. Diantaranya, aku mempertanyakan komitmen pemerintah RI dalam program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan al maghrib al arabi - sebutan bagi negara-negara Arab di kawasan barat benua Afrika, seperti Tunisia, Aljazair, Maroko, Libya dan Mauritania. Akan tetapi yang kumaksud dalam konteks ini hanyalah Tunisia, Aljazair dan Maroko. “Saya mengusulkan agar program pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan ini ditingkatkan di masa-masa mendatang”, tuturku penuh percaya diri.
Aku merasa perlu mengusulkan ini kepada Pak Alwi. Selain karena beliau dekat dengan para pemegang kebijakan di Jakarta, beliau juga seorang intelektual muslim yang kaya pengalaman seputar metodologi studi Islam, baik di Timur maupun di Barat.
Usulanku ini berangkat dari pengamatan sementaraku selama ini, bahwa studi Islam di kawasan al Maghrib al Arabi ini memiliki beberapa keunggulan yang layak dipertimbangkan. Terutama hal-hal yang kutemukan di Tunisia, yang sepertinya belum banyak diterapkan di kebanyakan negara Arab lain.
***
Diantara keunggulan itu adalah sisi metodologis. Studi Islam di kawasan ini memiliki basic metodologi yang khas, yakni perpaduan antara konsep an naqlu wal fahmu, menyalin dan memahami. Tradisi berfikir sistematik dan penguatan daya nalar mendapat perhatian serius. Bukan sekedar an naqlu wal hifdzu, menyalin dan menghafal.
Jika kita merunut sejarah, tradisi ilmiah seperti ini telah menjadi warisan khas peradaban Islam Andalusia yang pernah berjaya pada abad pertengahan. Berbeda dengan para ulama dari Tanah Arab lain, para pemikir muslim yang muncul dari kawasan al maghrib al arabi ini rata-rata dikenal memiliki kecenderungan filsafat. Sebut saja misalnya Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan Imam As Syatibi. Di era sekarang, kita lihat Maroko yang kaya dengan para pemikir modern seperti Al Jabiri, Abdullah al Urwi, Fatima Mernissi dan lainnya.
Tradisi ilmiah seperti ini diperkuat dengan adanya pengaruh peninggalan penjajah Perancis dalam sistem pendidikan di kawasan al maghrib al arabi. Metode ilmiah dan manajemen pendidikan di Tunisia banyak berkiblat pada negeri Jacques Shirac ini. Gerakan pembaharuan di Tunisia yang dimotori oleh Khairuddin Pasha pada akhir abad 19, diawali oleh kekaguman Khairudin pada kemajuan Barat. Pun gagasan modernisasi dan sekulerisasi Islam-nya Presiden Habib Borguiba, yang seorang lulusan Perancis.
Tradisi filsafat dan faktor Perancis ini berimbas pada sistem studi Islam di negara-negara ini. Konsep an naqlu wal fahmu diterapkan. Maka sistem belajar yang tidak melulu mengandalkan hafalan. Kegiatan kuliah diwarnai oleh diskusi-diskusi kelas, presentasi makalah dan berdebat dengan dosen. Bentuk jawaban soal ujian pun tidak mesti terpaku pada teks. Mahasiswa bisa berkreasi dengan gaya bahasanya sendiri tanpa mengabaikan substansi. Kerangka jawaban soal ujian pun harus mengacu pada metode penulisan makalah ; ada pendahuluan, hipotesa, data, analisa dan penarikan kesimpulan.
Hal-hal seperti ini sangat penting dalam memupuk tradisi kritis dan daya nalar mahasiswa. Untuk menghadapi tantangan kemajuan global dan modernitas, para santri Timur Tengah memang harus dibekali dengan metodologi yang memadai. Termasuk tradisi menulis, sebagai ciri pola pikir yang sistematis.
Keunggulan metodologis lain yang kutemukan di Universitas Ez Zitouna Tunis adalah adanya mata kuliah Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah bagi para mahasiswa S2 yang hendak mempersiapkan proposal tesis. Mata kuliah ini berbobot 6 SKS, disampaikan dalam dua pertemuan seminggu, selama rentang Maret hingga Juni. Sangat terasa membantu, baik dalam hal menyusun kerangka tulisan ilmiah, juga dalam mengembangkan uslub-uslub kalimat berbahasa Arab.
Sistem Kredit Semester (SKS) yang diterapkan juga mempermudah proses belajar. Standar penilaian terukur jelas, karena mahasiswa bisa melakukan konsentrasi khusus pada mata kuliah yang berbobot SKS tinggi. Berbeda dengan pascasarjana di Al Azhar misalnya, yang menggunakan sistem gugur. Jika seorang mahasiswa gagal dalam satu matakuliah, maka ia dianggap tidak lulus. Kendati nilai mata kuliah lainnya sangat tinggi.
Kemudahan sistem SKS, dukungan fasilitas yang lengkap dan dosen yang memadai, memungkinkan mahasiswa S2 untuk selesai dalam waktu 2 tahun. Enam bulan kuliah, empat bulan bimbingan tesis serta 12 bulan penulisan tesis. Seorang rekan yang masuk tahun 2004, saat ini tengah merampungkan pasal akhir tesisnya. Juli 2006 ini harus sudah selesai, untuk kemudian diujikan pada sidang tesis pada bulan September 2006 nanti, insya Allah.
Tradisi ilmiah seperti ini diperkuat dengan adanya pengaruh peninggalan penjajah Perancis dalam sistem pendidikan di kawasan al maghrib al arabi. Metode ilmiah dan manajemen pendidikan di Tunisia banyak berkiblat pada negeri Jacques Shirac ini. Gerakan pembaharuan di Tunisia yang dimotori oleh Khairuddin Pasha pada akhir abad 19, diawali oleh kekaguman Khairudin pada kemajuan Barat. Pun gagasan modernisasi dan sekulerisasi Islam-nya Presiden Habib Borguiba, yang seorang lulusan Perancis.
Tradisi filsafat dan faktor Perancis ini berimbas pada sistem studi Islam di negara-negara ini. Konsep an naqlu wal fahmu diterapkan. Maka sistem belajar yang tidak melulu mengandalkan hafalan. Kegiatan kuliah diwarnai oleh diskusi-diskusi kelas, presentasi makalah dan berdebat dengan dosen. Bentuk jawaban soal ujian pun tidak mesti terpaku pada teks. Mahasiswa bisa berkreasi dengan gaya bahasanya sendiri tanpa mengabaikan substansi. Kerangka jawaban soal ujian pun harus mengacu pada metode penulisan makalah ; ada pendahuluan, hipotesa, data, analisa dan penarikan kesimpulan.
Hal-hal seperti ini sangat penting dalam memupuk tradisi kritis dan daya nalar mahasiswa. Untuk menghadapi tantangan kemajuan global dan modernitas, para santri Timur Tengah memang harus dibekali dengan metodologi yang memadai. Termasuk tradisi menulis, sebagai ciri pola pikir yang sistematis.
Keunggulan metodologis lain yang kutemukan di Universitas Ez Zitouna Tunis adalah adanya mata kuliah Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah bagi para mahasiswa S2 yang hendak mempersiapkan proposal tesis. Mata kuliah ini berbobot 6 SKS, disampaikan dalam dua pertemuan seminggu, selama rentang Maret hingga Juni. Sangat terasa membantu, baik dalam hal menyusun kerangka tulisan ilmiah, juga dalam mengembangkan uslub-uslub kalimat berbahasa Arab.
Sistem Kredit Semester (SKS) yang diterapkan juga mempermudah proses belajar. Standar penilaian terukur jelas, karena mahasiswa bisa melakukan konsentrasi khusus pada mata kuliah yang berbobot SKS tinggi. Berbeda dengan pascasarjana di Al Azhar misalnya, yang menggunakan sistem gugur. Jika seorang mahasiswa gagal dalam satu matakuliah, maka ia dianggap tidak lulus. Kendati nilai mata kuliah lainnya sangat tinggi.
Kemudahan sistem SKS, dukungan fasilitas yang lengkap dan dosen yang memadai, memungkinkan mahasiswa S2 untuk selesai dalam waktu 2 tahun. Enam bulan kuliah, empat bulan bimbingan tesis serta 12 bulan penulisan tesis. Seorang rekan yang masuk tahun 2004, saat ini tengah merampungkan pasal akhir tesisnya. Juli 2006 ini harus sudah selesai, untuk kemudian diujikan pada sidang tesis pada bulan September 2006 nanti, insya Allah.
***
Pada akhirnya, kunci sukses studi sebenarnya kembali pada komitmen pribadi sang mahasiswa itu sendiri. Sistem studi, fasilitas dan kenyamanan lokasi, hanya sarana yang bisa memudahkan. Jika yang bersangkutan tetap malas, maka semua kemudahan itu takkan bernilai apa-apa.
Apalagi, studi di Tunis pun bukan tanpa persoalan. Godaan kebebasan dan tingginya biaya hidup, kerap mengusik konsentrasi sang mahasiswa. Khazanah keislaman dan akses literatur pun barangkali tak sekuat Kairo. Bobot kuantitas dan kualitas materi – sejauh yang kulihat - juga tak sekuat di Al Azhar. Hal lainnya, bayang-bayang pengawasan politis penguasa masih terasa, merasuk hingga dinding-dinding ruang kuliah. Kajian-kajian yang beraroma Islam gerakan (harakah), masih dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Sesuatu yang sebenarnya tak bisa dilepaskan dari bingai umum kecenderungan politik di negara-negara Timur Tengah.
Sebaliknya, kajian keislaman senantiasa diarahkan untuk menampilkan wajah agama yang moderat dan berpihak pada HAM. Khusus di Tunis, wacana pemikiran yang liberal agak kekiri-kirian mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai kalangan.
Apalagi, studi di Tunis pun bukan tanpa persoalan. Godaan kebebasan dan tingginya biaya hidup, kerap mengusik konsentrasi sang mahasiswa. Khazanah keislaman dan akses literatur pun barangkali tak sekuat Kairo. Bobot kuantitas dan kualitas materi – sejauh yang kulihat - juga tak sekuat di Al Azhar. Hal lainnya, bayang-bayang pengawasan politis penguasa masih terasa, merasuk hingga dinding-dinding ruang kuliah. Kajian-kajian yang beraroma Islam gerakan (harakah), masih dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Sesuatu yang sebenarnya tak bisa dilepaskan dari bingai umum kecenderungan politik di negara-negara Timur Tengah.
Sebaliknya, kajian keislaman senantiasa diarahkan untuk menampilkan wajah agama yang moderat dan berpihak pada HAM. Khusus di Tunis, wacana pemikiran yang liberal agak kekiri-kirian mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai kalangan.
***
Itulah sekelumit cerita tentang studi Islam di al Maghrib al Arabi, terutama Tunisia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan di depan Pak Alwi, aku mengusulkan pengiriman mahasiswa S2 ke kawasan ini semata-mata untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi para tunas bangsa untuk tetap belajar Islam di Timur – tempat kelahiran Islam - tanpa harus kehilangan warna metodologi Barat. Agar para santri Timur Tengah tak lagi dikesankan orang sebagai miskin metodologis, tidak bisa menulis, atau tidak bisa berfikir sistematik – seperti yang belakangan ditudingkan sebagian kalangan. Salam Manis dari Tunis.
Tunis al Khadra, 27 Mei 2006
Tunis al Khadra, 27 Mei 2006