Monday, May 15, 2006

Tunis Pedesaan

Antara Tunis dan Sidi Bou Rouis


Aku berpose di stasiun Sidi Bou Rouis yang antik....

Sejak lama Muaz – seorang mahasiswa Tunisia - mengajakku bermain ke rumahnya di desa Sidi Bou Rouis, 160 km selatan ibukota. Tetapi baru Sabtu (13/5) lalu aku berkesempatan memenuhi undangannya.

Empat puluh enam jam kulewatkan di desa itu. Selama itu pula, aku terpukau oleh keelokan alam desa serta keramahan warganya. Mengingatkanku pada suasana desaku yang permai di pinggiran Sukabumi nun jauh di sana. Pada saat yang sama, nuansa religius yang kutemui di desa Sidi Bou Rouis (selanjutnya kusebut SBR) semakin menguatkan anggapanku selama ini bahwa tradisi Islam di Tunisia masih cukup kuat dalam terpaan arus sekulerisasi dan modernisasi Islam yang gencar melanda negeri bekas jajahan Perancis ini.

Tunis Hijau, Tunis al Khadra
Aku memilih Kereta Api (KA) untuk perjalanan kali ini. Biar lebih leluasa menikmati pemandangan alam.

Tiket KA kelas ekonomi dari kota Tunis ke SBR adalah 5,5 dinar. Satu Dinar setara dengan 8 ribu rupiah. Maka, harga tiket itu terhitung mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan Mesir. Beberapa kali aku naik kereta dari Kairo ke Port Said, Iskandariah, Mansura dan Luxor. Untuk jarak 160 hingga 200 km, tiket KA ekonomi di Mesir rata-rata antara 8 hingga 10 Pound. Atau kurang dari 2 Dinar Tunisia.

Akan tetapi, fasilitas KA di Tunisia memang jauh lebih OK ketimbang KA di Mesir. Selain bersih dan serba rapi, suasana stasiunnya juga asri. Satu lagi, pemandangan sepanjang jalannya sangat menawan. Jalur rel KA menelusuri tepian bebukitan kecil yang hijau. Hijau karena perkebunan zaitun, gandum, pohon pinus dan kebun palawija. Sesekali juga ada sabana, padang rumput yang luas. Di sana nampak para penggembala naik keledai, mendampingi ratusan domba gembala. Aku jadi ingat kisah masa kecilku, kala aku duduk di kelas 3 SMP. Selama hampir setahun, setiap sore aku juga jadi penggembala 5 ekor domba milik ayah, di lapangan desa tepi bukit.

Pantas Tunisia dijuluki al Khadra, negeri hijau, pikirku. Setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lain. Meski hijaunya Tunisia, didominasi oleh pepohonan zaitun yang ada di seluruh pelosok negeri. Maklum, Tunisia –yang luasnya hanya 164.150 km2 - adalah negeri penghasil zaitun ketiga terbesar di dunia setelah Spanyol dan Italia.

Beberapa kali rel kereta melewati tepian danau dan jembatan yang tinggi. Ternyata, Tunisia memiliki banyak sungai dan danau kecil (wadi). Sungai kecil dan danau alami yang kadang kering kala musim panas tiba.

Jacky Chan Turun ke Desa
SBR hanyalah sebuah mu’tamadiyah (semacam kecamatan) yang berpenduduk 15.000 jiwa, di propinsi Siliana. Siliana adalah satu diantara 23 propinsi yang ada di negeri Ben Ali ini. Jika dibandingkan, sebenarnya luas sebuah propinsi di Tunisia setara dengan luas satu kabupaten di pulau Jawa.

Menurut cerita, mulanya Sidi Bou Rouis adalah nama seroang wali yang mendirikan desa ini. Di Tunisia, banyak nama tempat diawali kata “Sidi”, yang artinya Tuan. Asalnya dari kata Sayid. Sedangkan kata Bou asalnya adalah Abu, artinya Bapak. Maka, Sidi Bou Rouis asalnya Sayid Abu Rouis. Di kawasan lain, ada Sidi Bou Zaid, Sidi Bou Mansur, dan lain-lain. Nama “Rouis” sekaligus juga menjadi nama resmi kabilah yang dipakai oleh seluruh lelaki dari kawasan SBR. Seperti Muaz kawanku itu. Namanya adalah Muaz ar Rouissi. Juga ada Muhammad ar Rouissi, Amin ar Rouissi, dan sebagainya.

Setelah tiga jam perjalanan KA, aku tiba di stasiun SBR, pada pukul 17. 30. Stasiun SBR nampak elok. Gedungnya kecil, tetapi antik dan bersih. Dengan corak biru-putih. Membuatku terpesona. Saat aku tiba, keelokan stasiun itu tak luput dari jepretan kamera. Beberapa kali aku berpose mirip model, hingga sempat menarik perhatian puluhan penumpang yang baru turun KA. Ah, peduli amat, pikirku.

Dan Muaz sahabatku itu, telah menantiku di ruang tunggu. “Selamat datang di Sidi Bou Rouis”, tuturnya ramah. Kami pun berbasa-basi, sekedar tanya-tanya khabar. Aku langsung menanyai Muaz tentang gedung stasiun cantik ini. “Semua jaringan rel KA di Tunisia dibangun oleh penjajah Perancis pada awal abad 19. Pun juga gedung-gedung stasiunnya”, tutur Muaz. Aku mengangguk-angguk. Sama donk dengan rel KA di tanah air, pikirku.

Lalu kami berjalan menyusuri komplek perumahan. Kawasan yang rapi dengan ruas-ruas jalan yang lurus seperti komplek KPR-BTN di Indonesia. Sekelompok anak-anak usia SD bermain bola di jalanan lengang. Tatkala kami lewat, mereka menghentikan permainannya. Beberapa diantara mereka melongo, memandangi wajahku, juga wajah dua kawan Indonesia lain. Aku menduga-duga, apa gerangan yang menarik perhatian mereka. Ah, barangkali mereka tak biasa melihat orang asing.

Ternyata benar. Anak-anak itu membuntuti kami dari jarak 15 meteran. Sambil meloncat-loncat, mereka serempak meneriaki kami, “Jacky Chan, Jacky Chan…” Aku tertawa terbahak-bahak. Ah, rupanya, bintang laga itu terkenal tak hanya di Mesir, tetapi juga di Tunisia. Dan orang-orang Arab umumnya meyakini bahwa semua orang Asia bisa bermain bela diri seumpama Jacky Chan dalam film-filmnya.

Keramahan Keluarga Muaz

Rumah Muaz cukup lebar, bersih dan asri. Tembok permanen, di atas tanah seluas kira-kira 40 meter persegi. Halaman kirinya seluas 60an meter persegi, ditanami pepohonan yang rindang. Ada pohon jeruk, mismis, zaitun dan tin. Zaitun dan Tin, dua nama buah yang disebutkan dalam Alquran surat at Tin.

Juga ada pohon anggur yang merambat. Seumpama labuh siam yang juga ada di halaman depan rumahku di desaku sana. Ada juga pohon cantik mirip tumbuhan puteri malu, namanya iklil. ”Benihnya diambil dari hutan. Itu khasiatnya untuk obat”, tutur Muaz menjelaskan.

Muaz adalah anak ketiga dari 5 bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri, guru bahasa Arab di Sekolah Dasar. Dua kakak Muaz telah selesai S1. Sedangkan dua adiknya masih di SMA dan SMP. Ternyata, seorang guru SD di Tunisia bisa memiliki rumah lebar dan nyaman, serta mampu membiayai pendidikan 5 anak hingga ke universitas. Selain karena biaya pendidikan yang gratis hingga universitas, kesejahteraan guru di negeri ini memang cukup baik. Gaji pokok PNS golongan III A dimulai dari angka 400 Dinar. “Di sini tak ada keluhan publik tentang kesejahteraan guru”, tutur Muaz.

Keluarga Muaz adalah keluarga yang ramah. Mereka bergiliran menyalami kami dengan senyum sumringah dan basa-basi. Mirip keramahan orang desa di Indonesia.

……nulis tesis di sini saja… !
Sore menjelang senja, kami berjalan-jalan santai mengitari desa, menelusuri jalan aspal yang lengang selebar 3 meteran. Di tepian desa, jalan itu naik turun, membelah perkebunan gandum yang menguning, tanda matang dan siap panen. Mayoritas warga desa SBR memang petani gandum atau zaitun. Jauh di ujung kebun gandum sana, bukit hijau berdiri tegar. Menurut catatan peta Tunisia yang kupegang, tinggi bukit itu hanya 887 meter di atas permukaan laut. “Kakek saya tinggal di lereng bukit itu, bersama ratusan warga lain”, tutur Muaz lagi.


Jalan desa yang berkelok-kelok, naik turun, membelah perkebunan gandum
Berkali-kali aku berdecak kagum akan keindahan dan kemolekan desa SBR. Alamnya tenang, jauh dari hiruk pikuk dan polusi kota besar. “Enak nih kalau kita nulis tesis di desa ini”, celoteh seorang rekan yang juga sedang dalam tahap penulisan tesis S2. Aku hanya mesem.

Tradisi Agama Masih Kuat
Menjelang maghrib tiba, kami langsung menuju mesjid. Mesjid desa SBR terletak di tepi jalan aspal, tak jauh dari stasiun KA. Mesjidnya bersih, ruangan dalamnya juga rapi. Ada hiasan kaligrafi dan tikar yang warna warni. Saat magrib tiba, kaset adzan diputar. Jadi, yang adzannya bukan muadzin. Melainkan kaset rekaman. Di Tunisia, penyeragaman adzan memang diterapkan sejak lama. Maka irama adzan di setiap mesjid –hingga di pelosok sekalipun – akan sama dengan adzan di Mesjid Agung Zaituna di kota Tunis. Di Mesir, konsep penyeragaman adzan ini pernah diusulkan oleh Menteri Wakaf, Hamdi Zaqzuq, pada awal 2003 lalu. “Agar irama adzan itu seragam ; semuanya enak didengar” demikian salah satu alasan yang ia kemukakan. Akan tetapi, setelah melewati berbagai polemik hangat, usulan ini ditolak oleh publik Mesir.

Di mesjid SBR itu, aku melihat banyak anak muda yang tadi nongkrong di jalanan. Saat magrib, mereka masuk mesjid. Beberapa diantara mereka langsung membaca Alquran. Ternyata anak-anak desa sini masih rajin shalat, pikirku. Tak seperti kebanyakan kawula muda kota Tunis. Selain itu, anak-anak muda SBR juga sopan dan ramah terhadap orang asing.

Aku menduga bahwa kehidupan beragama masih dijunjung tinggi oleh warga desa SBR ini. Sapaan salam alaikum terdengar diucapkan orang, baik tua atau muda. Berbeda dengan suasana di kota Tunis. Salam alaikum diganti dengan sabah al khair, aslama atau salam saja.

Beberapa orang wanita yang kutemui di jalan juga berpakaian tertutup. Di KA pun tadi siang, hanya satu dua gadis yang berbaju seksi serba ketat. Lantunan Alquran terdengar dari rumah-rumah penduduk, atau diputar di kafe dan warung. Menurut cerita Muaz, antusias masyarakat juga tinggi dalam acara-acara hari besar agama.

Dari sisi ini, aku masih merasa optimis dengan Islam di Tunisia. Setelah menyaksikan nuansa spiritualitas warga Kairouan beberapa waktu lalu dan kini desa SBR, aku semakin meyakini bahwa tradisi Islam masih dipegang kuat oleh masyarakat pedesaan di negeri berpenduduk 99 persen muslim ini. Image-ku selama ini bahwa Islam di Tunisia telah terserabut dari akar tradisinya, rupanya hanya didasarkan pada fenomena formal yang kusaksikan di kota Tunis.

Orang Kaya Naik Himar
Saat bangun tidur Ahad pagi, aku mendengar kokok ayam jantan dan kicau burung. Udara terasa segar. Ah, indahnya pagi ini, tuturku. Benar-benar suasana desa.

Pukul 08 pagi aku berjalan menuju kawasan dekat stasiun. Rupanya ada pasar mingguan. Rame juga. Ada aneka sayuran, buah-buahan, pakaian, juga peralatan rumah tangga. Kafe-kafe dan toko juga rame. Pasar setiap Ahad pagi yang digelar di jalanan itu memang menjadi pusat kegiatan ekonomi warga SBR.

Dari arah bebukitan, nampak rombongan orang berduyun-duyun. Mereka adalah orang-orang desa yang tinggal di kaki gunung. Beberapa diantara mereka naik himar (keledai). “Huwa min agniyaihim”, tutur seorang rekan. Penunggang himar itu biasanya orang kaya. Aku tertawa kecil. Kren juga, pikirku.

Di pasar ini, jarang sekali kulihat ibu-ibu. Atau wanita muda. Yang ada, hampir semuanya laki-laki. Aku bertanya-tanya, kenapa yang berbelanja sayuran itu bukannya ibu rumah tangga. “Tradisi di sini, memang kaum wanita jarang keluar rumah. Belanja ke pasar, termasuk tugas kaum lelaki”, tutur Muaz. Oh, lagi-lagi aku berfikir. Ingat suasana kota Tunis. Kota dimana kaum wanita – tua muda – bersaing berdandan, bertebaran di setiap sudut kota. Kota dimana wanita bisa berprofesi sebagai sopir taksi, kondektur, tukang servis listrik hingga pegawai pom bensin. Tunis dan SBR, menampilkan potret kehidupan wanita dalam bentuk yang jauh berbeda.


Stasiun KA di kota Tunis kala masih lengang...

Pulang ke Tunis, Kereta Penuh
Saat perjalanan pulang, aku tak kebagian tempat duduk di KA. Keburu penuh dengan warga Tunisia pedesaan yang hendak kembali ke kota. Maklum, hari Ahad sore.

Terpaksa aku duduk di lantai dekat pintu, di antara dua gerbong. Bersama beberapa orang Tunisia lain. Cuaca panas, serta banyaknya orang yang bolak-balik membuatku merasa tak nyaman. Belum lagi di setiap stasiun kadang ada orang yang naik atau turun KA. Satu lagi, semerbak aroma ketek orang Tunisia juga kadang menyengat.

Aku berfikir, bagaimana caranya mengalihkan konsentrasi, agar aku lupa semua itu. Maka, sambil memandangi hamparan kebun gandum dan zaitun sepanjang jalan, aku membuka notebook. Aku mengingat-ingat data penting dan menarik di desa SBR. Lalu rancangan catatan perjalanan kususun. Alhamdulillah, selesai juga. Hasilnya, sebagaimana Anda yang baca ini. Maka, jika tulisan ini tidak menarik atau tidak sistematik, harap maklum saja, hehe… Salam Manis dari Tunis.

Tunis al Khadra 15 Mei 2006

2 comments:

  1. AnonymousMay 17, 2006

    Mas Dede ... kok comment di buku tamu tidak pernah dijawab sibuk ya ? ....

    ReplyDelete
  2. AnonymousMay 18, 2006

    Hohohoo.. Fotonya keren bo! menggoda iman :D

    ReplyDelete