Monday, May 08, 2006

Tunis Book Fair

Cerita Seru dari Tunis Book Fair



Aku duduk santai di kantin dalam arena TBF...
Sepekan terakhir ini, perhatian masyarakat kota Tunis terpusat pada arena Pameran Buku Internasional Tunis (Foire Internationale du Livre de Tunis) yang dibuka tanggal 28 April 2006 lalu. Tak terkecuali aku. Hingga acara berakhir pada 8 Mei ini, aku terhitung lima kali pergi ke sana. Karena kebetulan, aku mendapat tugas belanja untuk koleksi perpustakaan KBRI Tunis.

Arena Tunis Book Fair (TBF) yang ke-24 ini memang tak sebesar Cairo Book Fair. Maklum, Tunisia adalah negeri kecil, jumlah konsumen bukunya pun tentu lebih sedikit. Jika Cairo Book Fair 2004 terdiri dari 12 hall dan diikuti oleh 1600 penerbit dari 97 negara, maka TBF 2006 ini hanya terdiri dari 4 hall, diikuti oleh 400 penerbit dari 23 negara.

Meski demikian, TBF menyisakan beberapa catatan menarik bagiku. Diantaranya soal pelarangan buku tertentu dan tentang harga yang tinggi. Selain itu, di TBF aku juga bertemu saudara tua yang selalu kurindukan ; orang Mesir…..!

Larang Buku Kanan
Pengalamanku menelusuri lorong-lorong stand TBF kemaren semakin menguatkan dugaanku bahwa Tunisia sangat alergi dengan buku-buku pemikiran Islam gerakan (harakah) yang berhaluan kanan. Seperti yang secara sederhana pernah kututurkan dalam tulisan “Buku Qardhawi Susah Dicari”.

Pimpinan delegasi penerbit terkemuka Dar el Fikr, Muhammad Abdul Aziz ez Zugbi yang kutemui menuturkan hal itu secara jujur. Mulanya ia tak mau terbuka kala kutanya mengapa tak satupun buku-buku Said Ramadan al Buthi (SRB) nampak di arena TBF ini. Padahal banyak buku bagus karya SRB yang diterbitkan Dar el Fikr. Setelah beberapa lama – terutama setelah tahu bahwa aku beli buku banyak di tokonya - pria separuh baya itu mau juga cerita. Nada bicaranya pelan, setengah berbisik. “Buku kami yang lolos masuk ke Tunis hanya 70 persen”, katanya. Sisanya kena sensor, dinyatakan tak boleh masuk oleh pemerintah Tunisia. “Termasuk semua karya SRB”, kata dia lagi. Aku bergumam, subhanallah…

Kisah serupa juga sering kudengar di arena Cairo Book Fair (CBF). Meski kayaknya di CBF, proses sensornya masih lebih longgar..

Sewaktu aku menanyakan buku kumpulan wawancara 8 intelektual Arab tentang Maqasid Syariah, Pak Zugbi hanya menggeleng-gelengkan kepala, seraya mengerdipkan mata. Lima menitan kemudian, kala stand itu sepi, ia menghampiriku dan berbisik. “Buku yang kamu inginkan itu ada. Itu satu-satunya buku kami yang katanya terlarang, tetapi bisa lolos masuk Tunis”, katanya seraya berjongkok, mengambil buku itu dari kardus di kolong meja. Rupanya buku itu tak ditampilkan di rak.

Buku setebal 232 halaman bersampul biru-putih itu kucermati isinya. Ah, sepertinya biasa saja. Kajian Maqasid Syariah bukanlah hal yang tabu, fikirku. Lalu, mengapa buku itu tak boleh masuk ?! Aku mencoba mencari-cari jawabnya. Nama delapan nara sumber dalam buku itu kuperhatikan satu per satu. Ada Jamaludin Athia, seorang ulama Al Azhar. Juga ada Ahmed Raisuni, ahli Ushul Fiqh dari Maroko. Tetapi, ketika aku membaca nama Hassan Turobi, seorang intelektual yang sangat vokal dan kritis terhadap pemerintah di Sudan, batinku bergumam. Mungkinkah buku ini dilarang karena ada Hassan Turobi-nya? Bisa jadi...

Subur Buku Islam Modern
Buku-buku filsafat serta pemikiran Islam modern mendapat apresiasi dari panitia TBF. Stand al Markaz ats Tsaqapi al Arabi tampil dengan deretan komoditi andalannya, buku-buku pemikiran dan filsafat. Ada karya Arkoun, Abu Zaid, Abdullah Urwi, juga Abed al Jabiri. Penerbit asal kota Cassablanca Maroko ini memang dikenal rajin menerbitkan buku-buku pemikiran Islam modern.

Aku mencoba menyisihkan sedikit dinar untuk membeli buku-buku pemikiran. Selain buku-buku bertema maqasid syariah untuk referensi tesis. Tetapi karena modal uang pas-pasan, aku sangat hati-hati dalam memilih-milih buku. Duh, Gusti

Untuk sementara ini, aku memilih beberapa buku pemikiran karya penulis Tunisia terbitan Cérés Edition. Diantaranya ada buku Umat al Wasath karya Mohammed Talbi, seorang pemikir liberal dari Universitas Tunis. Bagi Anda yang pernah membaca buku Wacana Islam Liberal-nya Charles Kurzman terbitan Paramadina, tentu akan menemukan nama Talbi yang menulis tentang Kebebasan Beragama.

Selain buku-buku Mohammed Talbi, juga ada dua buku karya Lathifa al Akhdhar, penulis wanita Tunisia. Dua buku itu adalah Imraat al Ijma dan al Islam ath Thuruqy. Buku yang disebutkan pertama berisi tentang isu-isu syariat yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam Islam. Meski isu yang diangkatnya tak jauh dari persoalan jilbab dan fiqh perempuan –seperti yang telah ditulis banyak orang – buku ini memiliki kelebihan khas, yakni kental dengan analisa sosiologis lokal Tunisia. Saat ini, seorang rekan sedang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan buku kedua berisi tentang kiprah gerakan tarekat sufi dalam proses perubahan sosial dan gerakan kemerdekaan di Tunisia pada abad 18.

Ada satu lagi buku terbitan Cérés Edition yang menarik perhatianku. Yakni buku berjudul Borguiba wa al Masalah ad Diniyyah. Buku karya Amal Musa –juga penulis wanita Tunis- ini membahas isu sekulerisasi Islam di Tunisia, sebagaimana dicanangkan oleh presiden pertama Tunisia, Habib Borguiba. Buku ini – sejauh pengamatanku - bisa menjadi salah satu rujukan penting bagi para pengkaji isu relasi antara agama dan kekuasaan.

Harga Buku Melangit
Gila-gilaan. Itu barangkali ungkapan yang cocok disampaikan untuk mengomentari mahalnya harga-harga buku di arena TBF ini. Sepertinya tak ada beda, antara buku-buku TBF dengan buku-buku di toko-toko di kota Tunis.

Buku-buku terbitan Mesir pun jadi ikut-ikutan mahal. Padahal, seingatku dulu, buku-buku Mesir terkenal lebih murah. Setidaknya jika dibandingkan buku-buku terbitan Syria dan Maroko.

Mahalnya harga buku ini merupakan imbas dari pajak yang tinggi. Seorang pengusaha buku dari Mesir mengaku tak terlalu berharap untung banyak dari arena TBF ini

Buku al Fiqh al Islami wa Adillatuhu yang terdiri dari 13 jilid, dijual seharga 120 Dinar, atau hampir 100 Dolar AS. Di Kairo, tahun lalu buku serupa dijual seharga 70an Dolar. Buku-buku pemikiran terbitan Cérès Edition rata-rata dijual 8-10 Dinar (1 Dinar = 8 ribu rupiah) . Padahal buku-buku kecil. Untuk ukuran Kairo, harganya barangkali bisa lebih murah hingga 50 persennya.

Seorang kawan mahasiswa senior bertutur bahwa harga buku seperti itu memang sudah standar di Tunisia. Artinya, untuk ukuran Tunis, masih terhitung wajar. Tentu penilaiannya ini berangkat dari asumsi bahwa segala hal memang tak ada yang murah di kota ini. Sedangkan aku, dalam banyak hal, masih selalu mengukur Tunisia dengan standar Mesir. Ah, ada-ada saja yach…!

Orang Mesir Saudara Tua
Tatkala mampir ke stand-stand penerbit Mesir, aku menemukan kesan yang sangat menyenangkan. Aku ketemu orang-orang Mesir…. ! Sesuatu yang hampir tak kuduga sebelumnya.

Di stand Dar al Hadis, salah satu penerbit Mesir, aku berbincang akrab dengan para staf yang orang Mesir. Aku menyalami mereka seraya menyapanya dengan bahasa Arab-Mesir sebisanya. Izayyak ya akhi..inta kuwais?! Ana kuntu fi masr. Dzil wa’ti ana adrus hina fi Tunis. Wawlohi ana ‘aiz asyuf masr tani…dan seterusnya. Dengan ejaan Mesir yang masih kuingat ; huruf jim dibaca gin serta qaf dihilangkan, kecuali dalam dua kata ; al Quran dan al Qahirah, hehehe…
Dan ustad Asyrof, pegawai Mesir yang kusapa siang itu menimpali basa-basiku dengan hangat. Terlebih kala aku memuji-muji Mesir. Ia gencar menanyaiku. Mengapa kamu pindah sekolah ke Tunis?! Mengapa tidak di al Azhar?! Di sana khan lebih bagus, biaya hidup juga lebih murah. Dan seterusnya.

Aku hanya tersenyum. Lalu aku menjawab pertanyaannya dengan cerita lain. Ustad, aku memang di Tunis, tetapi Mesir tak mungkin lepas dari benak. Ingat Mesir, ingat harga bukunya yang murah. Rindu sungai Nil-nya yang eksotik, serta keikhlasan para ulama Al Azharnya yang mengagumkan. Ful dan Ta’miyahnya juga sulit kulupakan.

Nyerocos aku bicara. Ekspresi kerinduanku pada Mesir, dengan segala warna kenangannya. Ustad Asyrof pun tertawa terbahak-bahak. Hingga ia memperkenalkanku pada beberapa pegawai Mesir lainnya. Kami pun bicara beberapa hal, diselingi gelak tawa. Seperti reuni keluarga saja.

Di stand lain pun begitu. Aku selalu menyempatkan diri menyapa orang Mesir. Aku rindu logat bicara mereka, juga basa-basinya yang kadang menggelikan. Serasa mimpi aku ketemu orang Mesir.

Aiman, seorang staf penerbit Dar al Fadlilah Kairo malah memberiku diskon setelah aku berbasa-basi dengannya. “Mana lebih enak, tinggal di Tunis ataukah tinggal di Kairo?!”, tanya dia. Sebuah pertanyaan yang sudah jadi ciri khas orang Mesir. “Kairo ahla min Tunis”, tuturku, meski sebenarnya aku tak yakin dengan jawabanku. “Benarkah?!”, Aiman menimpali dengan pertanyaan. Maka aku pun nyerocos lagi, tentang hal-hal yang menarik di Mesir. Tentang kehebatan piramid, sphink, keindahan pantai Iskandariah. Juga tentang kemasyhuran Al Azhar. Hingga Aiman tak henti terbahak sambil sesekali menyalamiku. Dan akhirnya, ia memberiku tambahan diskon atas harga sebuah buku. Satu dinar lebih rendah dari harga pasca diskon. Hingga seorang rekannya membisikinya, tapi masih sempat kudengar. “Kenapa kamu kasih dia enam dinar? Itu khan tujuh dinar setelah diskon?”

“Tak apa”, kata Aiman, “orang Indonesia ini tetap mencintai Mesir, meski kini ia sudah tak di Mesir”. Alhamdulillah, beda satu dinar sangat berarti bagi seorang mahasiswa sepertiku.


Aku bersama beberapa kawan mahasiswa Indonesia di gerbang TBF..
Itulah kisah pertemuanku dengan beberapa orang Mesir di arena TBF. Keramahan, ketulusan –dan bahkan keluguan mereka, tak mungkin lepas dari benak. Asal pandai basa-basi dan mau memuji, maka harga akan turun. Sesuatu yang nyaris tak pernah kutemui pada orang Tunisia.

Dan diantara pertanyaan orang-orang Mesir di arena TBF itu, selalu terselip kalimat, “kapan Anda ke Mesir lagi?!” Membuat hatiku berdebar dan bertanya-tanya. Ya, kapan, ya ?! Kapan aku mengunjungi negeri tempat kumelewatkan ultah-ku yang ke 23, 24, 25 dan 26 itu…?! Suatu kali nanti, Insya Allah, tuturku mantap.

Beli Buku di Mesir Saja
Kala sedang melihat-lihat buku di arena TBF, aku sering berfikir begini. “Buku ini bagus dan penting untukku. Sayang sekali harganya mahal. Belinya nanti saja ah, jika aku berkesempatan ke Mesir lagi”.

Setelah aku tinggal di Tunis, aku semakin menyadari betapa enaknya tinggal di Kairo, bisa beli buku dengan harga-harga murah. Mengapa dulu aku tak banyak beli buku di Mesir?!

Dalam kitab Al Hikam, Syekh Athaillah menulis. Man lam ya’rif an ni’am inda wujdaniha, ya’rifuha inda fuqdaniha. Seseorang yang tidak menyadari pentingnya nikmat kala nikmat itu masih ada, maka ia akan menyadari nilai nikmat itu, kala nikmat itu telah tiada dari hadapannya. Ungkapan ini kemudian diadopsi oleh artis Rita Effendi dalam salah satu syair lagunya, “berpisah denganmu, membuatku smakin mengerti, betapa indah saat bersama”, hehe...
Maka untuk kawan-kawan lama, para mahasiswa Indonesia di Kairo sana, rajin-rajinlah beli buku. Mumpung lagi banyak dan murah. Mumpung Anda masih di sana. Sesal kemudian tak ada gunanya. Salam Manis dari Tunis.

Senin, 8 Mei 2006

3 comments:

  1. AnonymousMay 09, 2006

    Wow, asik sekali membacanya. Sya serasa ikut berada di arena pameran buku. Hnya, kamu nggak menceritakan bagaimana animo masyarakat/mahasiswa setempat. Apakah antusis? Minat belinya tinggi? Penuh sesak nggak? Pamerannya di arena seperti Istora Senayan atau Jakarta Convention Centre? Selamat dan jangan lupa pulang kalo udah selesai. Indonesia butuh perbaikan!

    ReplyDelete
  2. AnonymousMay 10, 2006

    setuju...orang seperti kk memang harus sgra kembali ke indo...smga sxs n salam kenal.

    ReplyDelete
  3. AnonymousMay 15, 2006

    wah.. ternyata mas dede pinter nawar ya :D (orang mesir suka disanjung-sanjung ya mas?).
    btw, itu tulisan arabnya entree (pada foto) kok lam-nya seperti ro'?

    ReplyDelete